Air Tenang Menghanyutkan

tw / divorce

Julian segera mematikan layar ponsel begitu melihat Mama keluar dari kamar mandi. Ia telah menunggu sepuluh menit di ruang tengah. Jantungnya berdetak resah pada Mama dan pikirannya terus melayang pada Raden.

Bagaimana kalau Mama tak setuju pada hubungannya dengan Raden?

Bagaimana kalau Raden terlampau sakit hati untuk memaafkan Mama?

Bagaimana kalau nanti ia harus dihadapkan pada pilihan sulit?

Lelaki dengan lesung pipi itu mengerjap beberapa kali. Ia menarik napas panjang untuk mengusir seluruh pertanyaan di kepala. Belum saatnya berpikir sejauh itu, ada hal lebih mendesak yang harus ia lakukan sekarang—menenangkan Mama.

“Mama nggak nyangka bakal denger kabar kamu pacaran dari orang lain, Mas.” Mama membuka percakapan, ia duduk pada kursi di seberang Julian. Wajahnya jauh lebih tenang dan terang setelah dibasuh air.

Lelaki itu menelan ludah. “Emang belum lama pacarannya, Ma.” Bibirnya ditarik—tersenyum. “Raden baik banget, Ma, dia—”

“Mas.” Mama lebih dulu memotong, tangannya yang sudah berkeriput ditaruh di atas meja—digunakan untuk menyangga tubuh kurusnya yang ditegakkan, “Mama tau Raden baik. Mama bukannya nggak suka sama Raden.” Ada helaan terdengar dari mulut Mama, “dia baik, rajin, terpelajar, dari keluarga baik-baik. Mama tau dia keliatan sempurna di mata kamu.”

Lalu apa yang salah? Julian menggigit bibir bawah. Resahnya makin menjadi. Ia takut mendengar alasan Mama menentang hubungannya dengan Raden.

“Mama nggak suka kamu tiba-tiba berubah gini.”

Lengang.

Berubah?

“Ratu... Shelin...” Mama memberi jeda sejenak, matanya menatap lurus-lurus Julian, “... Raden?” Satu alisnya diangkat, memberi tatapan ragu—seolah nama terakhir adalah outlier yang tidak seharusnya disebut.

Ah....

Julian paham.

“Kenapa tiba-tiba Raden, Mas?” Pertanyaan Mama semakin menuntut, wajahnya sedikit maju. Mama tak sabaran. Ia sudah terlalu kesal karena mendengar kabar tentang hubungan anaknya dari orang lain.

“Dulu pas kamu cerai. Mama juga sama sedihnya sama kamu.” Imbuh Mama sebelum Julian sempat menjawab, “Mama pikir Mama gagal jadi mama mertua yang baik. Atau mungkin Mama salah didik kamu. Atau jangan-jangan dulu Mama pernah nyakitin orang lain terus kamu yang kena karma.”

Astaga.

“Enggak, Ma.” Julian hendak meraih tangan Mama, menenangkannya, “Kejadian itu sama seka—

“Apalagi pas liat sehancur apa kamu waktu itu, Mas.” Mama lebih dulu menarik tangannya.

“Kamu inget 'kan kamu pas dulu itu kayak apa?” Seru Mama, walau suaranya tak keras namun kalimat itu mengetuk jantung Julian lebih keras daripada angin yang mengetuk jendela rumahnya.

Walaupun Julian tak mengingat setiap detailnya, namun ia setuju bahwa kata hancur benar-benar tepat untuk mendiskripsikan kondisinya saat itu—saat ia harus menghadapi perceraian keduanya.

“Mama liat semuanya, Mas.”

Jantung lelaki itu makin berpacu. Tatapan dan kalimat tajam Mama seolah menelanjanginya. Matanya dialihkan pada ujung meja.

“Pas liat kamu nangis di kamar, Mama makin—makiiin—ngerasa bersalah, tapi Mama nggak bisa apa-apa.”

Ah, iya. Julian juga mengingatnya. Ia pernah—atau sering—menangis di kamar. Ia masih bisa memaafkan dirinya untuk kegagalan pertama, namun gagal untuk kedua kalinya? Ia tak dapat mengingat berapa ratus kali ia menyalahkan diri sendiri. Hari-harinya berlalu dengan menghakimi diri sendiri. Seminggu penuh ia mengurung diri di kamar.

Saat itu adalah masa terberat di hidup Julian.

Lelaki itu memberanikan diri untuk menatap wajah wanita di depannya.

Dan Mama adalah satu-satunya sandaran yang ia miliki... saat itu.

Mata Julian terasa panas. Ia ingat bagaimana Mama memeluk dan mengusap punggungnya. Mama tak banyak bicara ataupun bertanya. Beliau hanya akan menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam.

Pagi—sebelum beraktivitas—dan malam—sebelum tidur—Mama akan datang ke kamar Julian. Tak banyak yang dilakukan Mama, hanya duduk menemani.

Hal ini luput diperhatikan Julian. Bahwa sosok ibu akan selalu merayakan apapun yang dialami anaknya. Saat anaknya tertawa, seorang ibu ikut bersuka cita. Saat anaknya menangis, seorang ibu ikut berduka cita.

Dan saat Julian hancur, Mama juga melebur.

Walau Mama diam. Walau Mama tak banyak berkomentar. Mungkin Mama juga banyak melamun di kamar. Mungkin Mama juga menitikkan air mata saat menyiapkan sarapan. Mungkin Mama hanya dapat bersandar pada nisan Papa.

Astaga...

Julian menunduk dalam-dalam. Kini ia merasa bersalah telah berbagi luka pada Mama dan membiarkan dirinya sembuh sendirian.

“Sehancur apapun kamu, Mama nggak suka kalau kamu putus asa.” Suara lembut Mama terdengar, hatinya iba melihat wajah anaknya ditundukkan, “kamu lelaki hebat, Mas. Kamu jangan ngerasa kecil hati cuma karena—”

“Maaf, Ma.” Julian menatap Mama.

Hening. Suara kicauan burung terdengar samar dari balik jendela.

Mama tak menjawab. Ia terkejut melihat kilatan bening dari mata Julian.

“Maaf udah bikin Mama ikut hancur bareng Iyan. Harusnya waktu itu Iyan—”

“Heh!!” Tangan Mama lebih dulu mengibas di depan wajah Julian. “Kok ngomongnya gitu?!”

“Iyan bikin Mama ikut sedih. Bikin Mama nyalahin diri sendiri juga. Padahal semuanya salah Iyan. Harusnya Iyan—”

“Harusnya apa?!” Seruan Mama memotong tajam. “Kamu nih, Mas, kalau ngomong aneh-aneh aja. Mama nggak suka.”

“Ma, waktu itu Iyan udah gede. Harusnya Iyan nggak bikin Mama kepikiran masalah Iyan. Harusnya Iyan nggak bikin Mama sekhawatir ini sama hal-hal pribadi yang bisa Iyan atasin sendiri.”

“Lho?!” Dahi Mama berkerut, matanya memicing, terlihat jelas wanita yang rambutnya digulung itu sedang tersinggung, “terus Mama harus khawatir sama siapa?! Mikirin masalah siapa?! Orang lain?!” Seru Mama galak. “Kamu ini anak Mama satu-satunya lho, Mas. Wajar kalau Mama khawatir sama kamu. Emang kamu maunya gimana? Jangan-jangan menurutmu Mama terlalu ikut campur ya?!”

“Bukan gitu, Ma.” Julian menggeleng cepat, “Iyan ngerasa bersalah karena bikin Mama ikut sedih. Padahal harusnya Iyan aja yang nanggung sedihnya. Kan kejadian itu salah Iyan. Tapi Iyan malah bikin Mama ikut sedih, ikut nyalahin diri sendiri. Maaf ya, Ma, Iyan masih bikin Mama kepikiran....”

Lagi-lagi, hening.

Mama terdiam. Ia hanya dapat menatap lamat-lamat anak tunggalnya. Garis wajah dan tutur kata lembut Julian mengingatkannya pada mendiang suaminya. Dalam hatinya, Mama terus memanggil nama suaminya. Mas, liat 'kan? Anakmu persis banget sama kamu. Dia selalu lebih mikirin orang lain daripada diri sendiri. Dia jauh lebih takut nyakitin orang lain daripada disakitin orang lain....

Julian membenarkan posisi duduknya. Mendadak ia resah karena Mama tak kunjung bersuara.

Setelah satu helaan napas, Mama akhirnya menjawab, “tolong ambilin Mama minum, Mas.”

Kaki Julian segera bergerak. Tangannya cekatan mengambil cangkir bening di ruang makan lalu mengisinya dengan seperempat air panas dan memenuhi gelas dengan air bersuhu sedang.

“Ini, Ma.” Disodorkannya cangkir itu lalu kembali duduk.

“Makasih.” Mama menerima gelas itu lalu menyeruput sedikit. “Kamu nggak usah minta maaf, Mas.” Mama menaruh cangkirnya di meja, “udah jadi tugas orang tua buat kepikiran sama anaknya. Lagian kamu udah bikin Mama hidup enak, selalu menuhin kebutuhan Mama dan nemenin Mama sejak Papa meninggal, emang apalagi yang bisa Mama pikirin selain kamu?”

“Wajar kalau Mama khawatir sama kamu, Mas. Mama udah pernah lihat kamu gagal, Mama nggak mau liat kamu gagal lagi.” Mama menggeleng singkat, ia menatap Julian dalam. “Dulu Mama nggak bisa apa-apa karena semua udah terlanjur kejadian, tapi sekarang Mama bisa ngingetin kamu, Mama bisa ngewanti-wanti kamu.”

Punggung Mama disandarkan pada sandaran kursi. Tangannya dilipat di depan dada. “Mama emang pengen kamu cepet nemuin pasangan. Tapi Mama juga nggak mau kamu terlalu terburu-buru dan malah salah pilih. Mama juga nggak mau kamu ngerasa kecil hati karena kejadian kemarin-kemarin. Mama pengen mastiin kamu dapet yang terbaik, Mas.”

Resah di rongga dada Julian mulai menguap perlahan. Kekhawatiran Mama yang semula mencekiknya kini terasa menenangkan. Mama bukan menentang hubungannya dengan Raden karena Mama tak menyukai Raden, Mama hanya belum yakin dengan keputusan Julian.

Kini Julian tau apa yang harus ia lakukan.

“Iyan sayang Raden, Ma. Beneran.” Julian tersenyum mantab.

“Kenapa?”

“Kenapa Iyan sayang Raden?”

Mama mengangguk.

“Aku...” Ia nyaris menjawab nggak tau, karena memang Julian tak pernah menyiapkan berbagai alasan ia menyukai Raden. Semua tentang Raden, mungkin adalah jawaban yang paling benar, namun kurang tepat untuk diucapkan.

“Raden luar biasa, Ma, di mata Iyan. Dia ngapain aja selalu keliatan beda buat Iyan.”

Mama memajukan badannya, menggunakan dua sikunya sebagai tumpuan di meja, “seluarbiasa itu sampai kamu mau ngerelain impianmu?” Tatapan Mama menyelidik, “kamu masih inget 'kan sama impianmu itu?”

Ah, impian itu.

Tentu, ia masih mengingatnya. Itu impiannya bersama Ratu. Julian ingat saat itu ia menceritakan pada Mama bahwa ia ingin memiliki seorang anak yang matanya mirip dengannya dan senyum secerah istrinya—Ratu. Ia juga menceritakan itu pada Papa.

Mungkin saat itu Papa dan Mama terus membahasnya. Hingga impian Julian berubah menjadi impian Mama dan Papa. Sampai akhirnya Julian berpisah dengan Ratu. Ternyata hanya Julian yang mengubur impiannya. Mama dan Papa tetap menggenggam impian itu.

Hingga saat Julian bersama Shelin—dan Papa meninggal, impian itu kembali mekar di tangan Mama. Mungkin itu sebabnya Mama terlihat kolot dan posesif di mata Shelin, mungkin itu sebabnya Mama begitu kecewa pada sikap Shelin, mungkin itu sebabnya Mama masih sering membicarakan Shelin pada Julian walau beliau yang paling marah saat Shelin memutuskan pergi.

Mama sangat berharap pada pernikahan kedua Julian. Atau mungkin, terlalu berharap.

Akan sulit untuk Julian menghapus harapan itu, Mama sudah terlanjur menggenggam dan memimpikan angan-angan itu.

Tapi masih ada hal lain yang bisa Julian lakukan....

“Ma, justru Raden bikin Iyan punya impian baru.” Senyum Julian semakin merekah.

Memberi Mama harapan baru yang jauh lebih menjanjikan.

Mama terdiam sejenak. Dan mau tak mau, Mama ikut tersenyum, “jadi Raden emang luar biasa ya?”

Julian mengangguk. “Raden bikin Iyan pengen mulai semuanya lagi. Pengen berusaha lagi.”

Senyum Mama makin melebar. Binar wajah Julian menghapus kabut yang bersarang di kepalanya.

“Raden ini tenang banget, Ma. Mama tau 'kan air tenang menghanyutkan? Iyan jadi hanyut karena keseringan liatin Raden.”

Mama tertawa. “Gitu ya? Jadi anak Mama udah terlanjur kebawa arusnya Raden?”

Julian terkekeh, mengangguk. Rasa tegang di pundaknya lenyap begitu mendengar tawa renyah dari Mama.

Saat Julian merasa ia sudah aman, sebuah pertanyaan dilontarkan Mama.

“Kalau arus Raden ngebawa kamu jauh dari Mama, gimana Mas?”

Julian tau arah pembicaraan Mama—persis seperti Eyang yang menanyakan bagaimana kelanjutan hubungan Raden dan Julian bila nanti Raden kembali ke kota.

Julian paham betul maksud Mama. Dengan sedikit ilmu tebak-menebak, Julian mengira-ira jawaban yang diinginkan Mama. Untuk saat ini, prioritasnya adalah membuat Mama yakin bahwa hubungan Raden dan Julian akan baik-baik saja.

Dan tanpa disadari, mulut Julian telah menjawab sebelum seluruh kepalanya selesai berpikir, “nggak akan, Ma. Iyan nggak akan ninggalin Mama.”

“Tapi kuliahnya Raden gimana? Kerjaan Raden gimana? Kamu mau bikin Raden pindah kesini? Atau kamu mau bikin kita pindah kesana? Nggak mungkin. Kan kerjaanmu di sini, Mas. Rumah kita di sini.” Cecar Mama tanpa jeda.

Persis. Persis seperti yang diucapkan Eyang padanya.

Lelaki itu tak dapat berpikir terlalu panjang, tujuan utamanya sekarang adalah meyakinkan Mama. Ia lantas tersenyum lalu menjawab, “Iyan bakal ngobrolin ini sama Raden, Ma. Aku sama Mama nggak akan kemana-mana. Kan Raden juga punya banyak alasan buat tetep di sini. Ada Eyang yang harus dijagain, ada aku juga.”