Aku, Seorang Ibu.

Menjadi seorang Ibu adalah fenomena yang tak bisa dijabarkan, tanggung jawab yang tak bisa ditelaah, dan sekelumit kata yang tak bisa ditafsirkan.

Jika menjadi seorang Ibu dimulai sejak hari pertama kamu mengetahui ada nyawa lain dalam perutmu,

Kapan tugas seorang Ibu selesai?

Saat anakmu akhirnya bisa berjalan? berlari?

Atau saat akhirnya ia memiliki dunianya sendiri? saat akhirnya ia memilih jalan hidupnya sendiri? meski akhirnya ia berjalan di atas duri?

Aku, sebagai seorang ibu dari anak berusia delapan belas tahun, tak bisa menjawab.

Kadang, aku merasa anakku sudah dewasa—lihat, ia sudah bisa menjemur kain gorden yang ukurannya berkali-kali lipat lebih besar dari tubuhnya.

Tapi kadang, aku merasa ingin menyimpan anakku selamanya, menyembunyikan dibalik punggung hingga tak ada yang berani menyentuhnya.

Menjadi ibu adalah peran teraneh yang pernah kulakukan.

Aku pernah menjadi seorang anak, teman, pacar, sahabat, musuh, hingga istri seseorang.

Namun seorang ibu, tentunya berbeda.

Menjadi seorang Ibu, katanya, adalah mencintai tanpa cacat, mencintai tanpa takut, mengasihi walau kalut.

Aku tak pernah menyangka akan mencintai seseorang lebih dari semua hal yang pernah kutemui di dunia ini.

Aku tak pernah menyangka akan merawat seseorang dari ia hanya bisa meminum asi hingga mulutnya lancar berkomunikasi.

Aku tak pernah menyangka akan mengajari seseorang yang hanya bisa menangis saat gerah namun kini ia bisa meneriakkan sumpah serapah.

Aku memandangi anakku satu-satunya, Regan.

Tangannya yang kecil sedang bersusah payah menjemur kain di ember terakhir yang ia bawa.

“Udah kan, Ma? ini aja?”

Matanya yang bulat menatapku. Ah, mata itu, persis seperti mataku, rasanya seperti sedang dipandang diri sendiri.

“Mama baru nggak liat kamu dua hari, tapi kok rasanya udah lama, ya?”

Aku menyentuh ujung kepala Regan, merasakan lembut rambutnya, turunan dari Ayahnya.

Oh, tentu bukan suamiku yang sekarang.

Ayah Regan sudah lama meninggal.

Regan hanya terdiam. Tangannya mengangkat ember yang baru saja ia bawa.

Sebelum langkahnya membawa diri lebih jauh, aku tersenyum padanya,

“Regan, nanti bicara sebentar ya sama Mama?”

“Capek, Ma.”

Tentu anakku akan menjawab demikian.

“Banyak yang belum kamu bicarain sama Mama, kan?”

Regan terdiam, ia mengangguk sebelum akhirnya pergi.


Seberapa sibuk aku pada duniaku yang lain hingga aku abai pada dunia utamaku—anakku sendiri?

Lihat.

Matanya sayu, pipinya tirus, pancarannya redup.

Aku menggigit bibir bawahku.

Menjadi seorang ibu mengajarkanku untuk tetap bernafas teratur, menahan air mata, dan membiasakan rasa sakit.

Namun kali ini, aku gugup.

Nafasku agak tak teratur, air mataku tertahan, namun rasa sakit ini menyelundup diantara nyali yang bertahun-tahun kubangun.

Rasa takut akan kemungkinan runtuhnya dinding yang kubangun dengan jerih payah mulai mengintip bagai mentari yang dipaksa terbit.

Satu menit berlalu, hanya ada diam diantara aku dan Regan. Sofa ruang tamu terasa dingin dan tebal.

“Kamu belum pernah cerita tentang pacarmu ya?”

Aku memberanikan diri membuka suara, senyum ramah kupasang susah payah.

“Jufferi bilang apa ke Mama?”

DEG!

Menjadi seorang ibu berarti aku ingin selalu berada di depan anakku. Selalu membersihkan setiap langkah yang akan ia lewati.

Menjadi sebuah antisipasi.

“Jufferi bilang, pacarmu baik.”

“Bohong.”

Takut kembali menyelimutiku.

“Mama nggak tau pas orang lain bohongin Mama, tapi Mama tau anak Mama bakal selalu jujur sama Mama,” Ucapku akhirnya, menatap matanya dalam, aku ingin berenang dan tinggal selamanya disana, melihat bagaimana ia melihat dunia.

“Jadi, coba kamu cerita ke Mama. Apapun yang kamu ceritain ke Mama, pasti Mama bakal percaya sama kamu.” Aku memberikan senyum terbaikku.

Regan terdiam cukup lama. Ia tampak memikirkan banyak hal. Seperti ada satu-dua hal yang ingin ia ceritakan, namun tiga-empat hal menahan.

Entah mengapa, aku memahami Regan.

Entah mengapa, aku tau bagaimana rasanya menghitung kemungkinan-kemungkinan.

Entah mengapa, mungkin ucapan Jufferi ada benarnya, mungkin Regan telah menapaki jalan yang kubuka.

Aku sudah tak lagi memikirkan apa yang akan dikatakan Regan.

Sebuah pertanyaan menghadang dalam kepalaku,

Jika Regan memang mengalami apa yang aku alami, dimana aku akan berpijak?

Jika seseorang memintaku meninggalkan Mas Jo—Papa Regan sekarang—apa aku akan sanggup dan langsung mengiyakan?

Kepalaku mulai menemukan beribu alasan, Mas Jo dan Musa pasti lah berbeda.

Mas Jo memperlakukanku dengan baik, hanya kadang ia tak bisa menahan emosi dan aku memahaminya.

Mas Jo tentunya berbeda dengan anak belasan tahun itu, kan?

Kepalaku membuat perbandingan tak sebanding, antara lelaki yang kucintai lebih dari diriku sendiri, dengan lelaki yang dicintai anakku dan kubenci lebih dari aku membenci diriku sendiri.

Aku juga membenci situasi ini, mungkin nantinya aku harus mengambil pilihan yang sulit.

Pilihan untuk melepas peganganku pada Mas Jo dan mengulurkan tanganku pada Regan, atau membiarkan anakku satu-satunya berpegang pada tali yang rentan.

Perih, bagaimana di sudut hati, aku tau, aku harus melepas Mas Jo demi Regan.

“Ma.” Regan memanggil, entah yang keberapa kali. Aku baru kembali dari lamunanku setelah tangan lembutnya menyentuhku.

“Iya?”

“Mama udah tau, kan?” Matanya menatapku dengan penuh tuntutan.

Aku tertangkap basah.

Mataku mulai kuarahkan pada benda lain, namun padandanganku berhenti pada leher Regan.

Ada sedikit merah-merah yang ia tutupi dengan tangannya.

Mulutku ingin bertanya walau kepalaku sudah tau jawabnya.

Menjadi seorang ibu, katanya, akan membuatmu melompat di rel kereta untuk menyelamatkan anakmu.

Aku ingat bagaimana tanganku menahan rak buku yang berjarak setengah meter dari ujung kepalanya saat ia berusaha memanjat di ruang tengah.

Aku ingat bagaimana lutut dan sikuku terluka menangkapnya saat ia nyaris jatuh bermain sepeda.

Aku ingat bagaimana aku nyaris tertabrak bus untuk menyelamatkannya saat ia mengejar bola di jalan raya.

Sakit.

Ada nyeri saling bergelayut yang membuat jantungku berdenyut.

Mataku panas.

Aku melanggar ratusan aturan seorang Ibu.

Tanganku dengan sigap menghapus air mata yang siap bergulir.

“Ma,” Regan kembali bicara, matanya menatapku dan aku menyadari ada bulatan keberanian disana. Entah akan ia gunakan untuk apa.

“Mama liat.” Ia menurunkan tangannya yang menutupi leher.

Bergetar tanganku berusaha menggapai lehernya.

Ada lebih banyak bekas. Entah luka atau tanda cinta, aku tak berani menduga.

Ada bekas cekik. Walau sudah bekas namun leherku ikut tercekik.

Regan menatapku seolah ia tau aku tersiksa dan mendoakanku untuk binasa.

“Liat.” Regan menunjukkan sudut bibirnya dengan tangannya yang tak kalah bergetar dengan tanganku, ada bekas luka disana, membuat bibirnya terlihat lebih menonjol dari biasanya.

Aku menatapnya gusar sedang ia menatapku nanar.

“Pipiku, Ma, pernah di—” Regan menggigit bibirnya, seluruh wajahnya bergetar.

“Pernah digampar.” Lanjutnya.

“Tanganku, Ma...” Tangannya memperagakan sebuah cekalan kuat.

Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan seluruh gundah dan amarah yang ingin meletup dan berjibaku.

Menjadi seorang Ibu, katanya, adalah tentang mengubah seluruh panca inderamu menjadi telinga.

Mendengar anakmu mengucap kata pertama hingga tak sadar menjadi ribuan kata, layaknya anak tangga yang terus bertambah dan kamu tak akan pernah tau, dimana ujungnya.

Setiap hal yang diucap anakmu, adalah mantera yang menyihir dan kelas yang tak akan berakhir.

Dan kini, untuk pertama kali, aku tak mau mendengar ucapan anakku.

“Sakit nggak, Ma?”

Aku menghapus air mataku. Mengangguk.

“Mama bayangin,”

Aku tak siap mendengar apapun yang akan ia ucapkan setelahnya.

“Baru segini aja, Mama udah sakit. Aku gimana, Ma? aku udah bertahun-tahun liat Mama begini. Mama pernah nggak—”

Ucapnya tercekat.

Jantungku tersayat.

Mataku beradu dengan matanya yang menuntut lebih dari sebuah kalimat.

Seluruh alam bawah sadarku meminta Regan untuk berhenti mengucapkan apapun yang akan ia ucap.

“Mama pernah nggak bayangin rasanya jadi aku?”

Kamu pernah merasakan duniamu runtuh?

Belum?

Aku sudah, baru saja.

Sekarang aku sudah berkali-kali menghancurkan aturan seorang Ibu.

Apa aku bukanlah sosok Mama yang selama ini kuyakini?

Apa di mata Regan aku adalah Mama yang menyakiti?

Apa aku bukan Mama yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya?

Apa menceritakanku seperti membuka sebuah luka?

Menjadi seorang Ibu, katanya, akan membuatmu melewati laut ketakutan bahkan jika kamu harus berenang dan tenggelam di kedalaman ratusan.

Menjadi seorang Ibu, katanya, akan membuatmu memiliki cukup keberanian untuk menyeberangi jembatan keraguan.

Menjadi seorang Ibu, katanya, akan membuatmu menelan semua kepahitan dan tetap tersenyum walau kehilangan.

Menjadi seorang Ibu, katanya, adalah tentang keberanian dan pengorbanan.

“Regan,” Ucapku dengan suara bergetar.

“Kita mungkin pernah salah memilih, tapi, Nak, bukan berarti kita udah nggak punya pilihan lagi, kan?”

Aku mengusap rambut Regan perlahan.

Menjadi seorang Ibu,

katanya,

harus berani berkorban.

“Kamu bisa tinggalin pacarmu, kan? Mama juga bakal ninggalin Papa.”