Babak Terakhir

disclaimer: Aku bukan ahli di bidang hukum. Kalau ada kesalahan yang masih bisa dimaklumi tolong maklumi, kalau tidak bisa dimaklumi tolong ketuk DM. Terima kasih.


Satu jam sebelum sidang pembacaan putusan Pak Juna.

“Raib!”

Yang dipanggil menoleh, tersenyum, “Sini, Mas!”

Yudha, dengan mata merah dan kemeja yang dimasukkan sembarang, berjalan mendekati Raib yang tengah bertumpu pada railing penahan—memandangi kesibukan lantai dasar gedung pengadilan di pagi hari.

“Lo berangkat jam berapa dari rumah?” Yudha memilih duduk pada kursi panjang di samping Raib.

“Jam tujuh, sih. Lo baru bangun?”

Yudha mengangguk, melepas ikatan rambut lalu menguncir ulang rambutnya sambil menceritakan mimpi yang baru dialami hingga ia bangun kesiangan.

Raib terkekeh, “Gimana ceritanya bisa sampe mimpi ngobrol sama meja?””

“Aneh, kan?” Yudha mengangkat dua alis, “Tapi di mimpi keliatan biasa aja.”

Perbincangan tentang mimpi terus berlanjut hingga sepuluh menit kemudian.

Sebulan belakangan, Yudha dan Raib semakin dekat.

Pertama, entah Yudha hanya bersimpati atau memang ingin berteman dengan Raib, akhirnya Raib mulai merasa dekat dengan Yudha dan menceritakan tentang Hugo. Setelahnya, Yudha selalu menempel pada Raib. Tiap lelaki mungil itu sedang berada di Kota Neo, Yudha akan menghampiri.

Seperti sekarang.

Kedua, dua bulan lalu, Raib memberikan gelang tolak bala dari Maminya untuk Yudha setelah lelaki itu memberi tau akan memutus perjanjian pesugihan.

Well, sampai sekarang, Yudha belum memutus perjanjian itu.

“Gue belum ada waktu buat nemuin dukun gue.” Selalu menjadi alasan Yudha tiap kali Raib menanyakan tentang pesugihannya.

Namun apapun alasannya, kehadiran Yudha memberi dampak yang cukup baik di hidup Raib. Walaupun terlihat menyebalkan, Yudha cukup peduli pada orang di sekitarnya.

“Lo udah sarapan?”

Raib menggeleng.

“Gue mau turun deh, nyari kopi dulu, ngantuk banget.” Yudha bangkit dari duduknya, “Mau makan apa?”

“Apa aja deh yang penting bukan bakso.”

“Heh!” Wajah Yudha memerah, antara malu dan kesal, “Udah gue bilang jangan bawa-bawa bakso lagi! Gue juga nggak bakal bawa bakso kesini.” Kedua tangannya disilangkan, “Maksud gue ya makanan yang praktis aja misal roti kek atau onigiri atau apaan.”

Raib tertawa. Sampai sekarang, ia masih suka mengungkit tentang bakso untuk menggoda Yudha, “Roti aja, deh. Isi keju kalau ada.”

Yudha mengangguk, “Tunggu sini.” Lalu melangkahkan kaki, menghilang di belokan tangga.

Raib kembali pada kegiatannya, memandangi kesibukan lantai dasar. Bertanya-tanya, apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang sedang lalu lalang di bawah sana? Apakah raut cemas di wajah benar-benar menunjukkan pikiran yang resah?

Raib suka melempar pertanyaan sembarang di pikirannya. Tak ada yang menjawab—memang, namun lebih baik daripada pikiran Raib terasa kosong, kan?

Sejak Hugo benar-benar pergi, Raib merasa ada yang kurang, ada yang hilang, ada yang hampa. Tak ada lagi hal-hal yang menarik perhatian.

Raib kira, kehampaan itu hanya akan terjadi—paling lama—sebulan, namun setelah dua bulan, tiga bulan, empat bulan, bahkan lima bulan, rasa kosong masih mendera seluruh tubuh Raib.

Mungkin ini yang disebut kekosongan berkepanjangan.

Sedikit demi sedikit, Raib mulai memahami bahwa ia tak hanya kehilangan Hugo saat lelaki itu meniggalkannya.

Setiap hari, ia kehilangan Hugo.

Maka, setiap malam, Raib selalu mengulang peristiwa-peristiwa yang ia lalui bersama Hugo. Beberapa ia tulis rapi. Beberapa ia ceritakan pada angin malam.

Ada rasa takut yang mengejar Raib bila suatu saat, seluruh kenangannya bersama Hugo akan hilang perlahan.

Raib tak mau makin kehilangan.

Belum lagi—awalnya—tak ada manusia di dunia ini yang tau kedekatan Raib dan Hugo. Raib tak tau bagaimana cara mengenang Hugo selain memikirkannya tiap hari.

Namun, kehadiran Yudha sedikit membantu. Raib dapat sedikit mengisi kekosongan dalam hidupnya dengan mengenang Hugo melalui ucapan.

“Raib?”

Sebuah suara membuyarkan lamunan Raib.

Raib menoleh.

Oh, shit.

“Bisa ngobrol sebentar?”

Bu Shania, dengan rambut dikuncir bawah dan setelan jas hijau muda, sedang berdiri dua meter dari Raib bersama dua pengawal.

“Kalau nggak salah, kita belum sempat ngobrol yang benar-benar ngobrol, ya?” Bu Shania duduk pada kursi panjang di samping Raib.

Raib ikut duduk.

Jujur, ia tak peduli lagi—atau lebih tepatnya, berusaha tak peduli—dengan Pak Juna dan seluruh keluarganya. Raib masih menolak untuk mengingat kepahitan yang dialami Hugo.

Mengingat kenangan baik tentang Hugo sudah cukup menyakitkan, apalagi kenangan buruk, kan?

“Raib,” Bu Shania tersenyum, “Luka-luka kamu, sudah sembuh?”

Raib mengangguk. Sudah sejak lama. Ia tau Bu Shania hanya basa-basi.

“Selama ini saya belum sempat minta maaf,” Senyum Bu Shania masih terpasang, matanya menatap lembut, “Atas nama suami saya, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya.” Kepalanya sedikit ditundukkan.

Baru saja Raib hendak menjawab, Bu Shania sudah melanjutkan,

“Tapi Raib,”

Anjrit.

Jangan pernah percaya dengan orang yang mengucapkan tapi setelah meminta maaf.

“Dari tatapan kamu, saya yakin kamu nggak suka sama saya, ya?” Lanjut Bu Shania, raut wajahnya masih terlihat ramah, namun matanya—sedikit—menyelidik.

Oh, keliatan ya?

Raib tak menjawab.

“Saya bukan pelaku pembunuhan, Raib.” Senyum Bu Shania sirna, “Saya juga bukan yang menyakiti kamu. Kenapa saya harus menanggung ini semua?” Tak ada lagi keramahan dari raut wajahnya.

Benar. Bu Shania bukan pelakunya.

Benar. Ini tak adil untuk Bu Shania.

Tapi, untuk apa Raib mendengar ini semua?

“Anak saya masih kecil,” Bu Shania menatap ujung sepatunya, “Dia nggak salah apa-apa, kan?” Ia mendongka, menatap Raib dengan penuh tuntut.

Raib menggigit bibir bawah. Tentu ia tau Bu Shania dan Aika tak ada sangkut pautnya dengan apa yang dilakukan Pak Juna. Tapi Raib juga tak bisa mengabaikan rasa perih di ulu hatinya tiap kali teringat Pak Juna.

Dan Raib tak tau apakah Bu Shania harus menanggung setiap tatapan benci yang ditujukan padanya. Yang Raib tau, ia teringat Pak Juna setiap melihatnya

Namun tak urung, Raib tetap memberi anggukan lemah.

“Jangan benci keluarga saya, ya?”

Raib tak menjawab.

Entah Raib terlalu emosional atau memang di pikirannya hanya ada Hugo. Mendadak ia teringat kalimat Hugo yang melarangnya untuk membenci Pak Juna.

Oh?...

Raib menyadari sesuatu.

Sama seperti Bu Shania yang berusaha melindungi keluarganya dari kebencian orang lain. Sepertinya Hugo juga berusaha melindungi Pak Juna.

Kenapa?

Raib menelan ludah. Apakah sampai detik terakhirnya, Hugo masih menyayangi Pak Juna?

Raib memejamkan mata.

Nggak.

Raib sudah memikirkan ini berkali-kali. Apapun yang terjadi antara Pak Juna dan Hugo, tak harus ia bandingkan dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Hugo.

Tak sebanding.

Kata Yudha, melakukan perbandingan hanya akan merusak seluruh kenangan berharga yang disimpan.

Raib menarik napas lalu menghembuskannya perlahan.

Hugo ngelarang gue benci Pak Juna karena dia nggak mau hidup gue nggak tenang.

“Raib?”

Raib tersadar dari lamunannya. Mengangkat wajah.

“Kamu belum jawab perta—”

PLAK!

Mulut Raib ternganga.

Sebuah tangan baru saja lewat di depan Raib, menampar keras-keras pipi Bu Shania, membuat wanita itu segera bangkit dan dua pengawalnya siaga.

Raib ikut berdiri, mencari siapa pemilik tangan itu.

Kania.

Wanita itu berdiri tegak, Bima—suaminya, menyusul dari belakang, ikut terkejut dengan gerakan istrinya. Tiga pengawal Kania menghalau dua pengawal Bu Shania yang sudah mendekat.

Kania menatap tajam Bu Shania, matanya mengkilat dan napasnya sedikit terengah. Rambutnya yang digerai sedikit berantakan.

“Kania! Kamu ngapain?!” Bu Shania mengusap pipi yang memerah, balas menatap tajam Kania.

“Raib.” Kania menoleh pada Raib, “Ngapain kamu ngobrol sama keluarga pembunuh in?!” Serunya galak.

“Eh—ini—” Raib mengerjap beberapa kali. Tak tau harus menjawab apa. Tatapan Kania terlalu tajam hingga ia tak mampu mengucap satu katapun.

“Kania!” Bu Shania melotot, “Aku lagi ngomong baik-baik sama Raib, dia korban dari kelakuan suamiku. Aku lagi berusaha tanggung jawab!” Protesnya, “Senggaknya, ini hal terakhir yang bisa aku lakuin buat suamiku!”

“Oh ya?” Kania menaikkan satu alisnya, maju satu langkah hingga jarak wajahnya hanya tinggal beberapa jengkal dari Bu Shania, “Kamu udah minta maaf ke anak sulungku?”

Hening.

Sepertinya semua orang menahan napas.

Bu Shania menggertakkan gigi.

Raib menatap Bu Shania dan Kania bergantian. Keduanya saling tatap dengan tatapan yang sama-sama tajam, tak ada satupun yang hendak mengalah.

Bima menatap khawatir dari belakang. Ragu-ragu hendak membawa istrinya beranjak dari tempat ini.

“Kania,” Ujung bibir Bu Shania terangkat—membuat Raib menatap was-was, “Kania, kamu nggak lupa, kan? Anakmu—”

“APA?!” Sergah Kania galak. Dagunya terangkat tinggi-tinggi, menantang Bu Shania untuk melanjutkan kalimatnya.

Raib mengusap rambut ke belakang. Gugup.

Sepertinya kedua wanita di depannya tak seharusnya saling bertemu.

PLAK!

Semua orang melotot pada serangan dari Bu Shania.

Tiga pengawal Kania sudah siap maju melihat bos mereka ditampar, namun Kania mengangkat tangan—memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.

“Kita impas, aku nggak akan nuntut kamu buat luka ini.” Bu Shania menunjukkan ujung bibirnya yang berdarah.

Kania tersenyum miring. Membiarkan pipinya memerah tanpa mengusapnya sama sekali.

Senyum Kania membuat situasi semakin tegang. Rasanya, wanita itu bisa saja melempar Bu Shania dari railing di belakang Raib.

Kedua wanita itu saling terdiam untuk beberapa saat.

“Raib,” Kania melirik pada Raib, “Ayo kita masuk ke ruang sidang. Jangan ladenin keluarga pembunuh ini.”

“Eh—” Raib salah tingkah, menggaruk tengkuk yang tak gatal, “Saya lagi nunggu temen, nanti aja saya nyusul.”

Sial, canggung banget.

Kania mengangguk, “Jauh-jauh dari orang gila kayak Shania.” Ucapnya sebelum berbalik, ia disambut oleh tangan suaminya, bahunya segera diusap lembut oleh Bima.

“Aku udah mau gugat cerai Juna!” Bu Shania berseru sebelum Kania melangkah jauh. Mata wanita itu berkilat.

Kania menoleh.

Raib bergeser beberapa langkah, khawatir bila tiba-tiba Bu Shania dan Kania akan kembali saling tampar.

As you should.” Jawab Kania tak acuh.

“Aku bukan pembunuh! Harusnya kamu nggak memperlakukan aku kayak gini! Keluarga kita punya hubungan baik—”

“Nggak mengubah fakta kalau kamu istri pembunuh!” Potong Kania cepat. Matanya menatap tajam. Bahunya diusap oleh Bima yang sepertinya berbisik agar Kania tak hilang kendali.

Raib memandang Kania. Dalam lubuk hatinya, ia menyetujui ucapan Kania. Sakitnya kehilangan tak akan selesai hanya dengan kata maaf. Kalau Raib masih memiliki rasa nyeri pada degup jantungnya tiap kali melihat apapun yang berhubungan dengan Pak Juna. Pastinya, seluruh keluarga Hugo merasakan hal yang sama.

Bu Shania balas menatap tajam, “Aku harap kamu bisa lebih dewasa.”

Hening.

Di satu sisi, Raib tau seberapa tak adil situasi ini untuk Bu Shania. Wanita itu bahkan tak tau atas apapun yang dilakukan suaminya. Ia hanya berusaha menjadi istri dari Pak Juna, ibu dari Aika, dan anak dari Keluarga Golda.

Terbesit rasa simpati di ujung hati Raib.

Kania menyurai rambutnya ke belakang lalu menggenggam tangan Bima, “Aku harap Aika bisa punya umur panjang.”

Rasa simpati Raib seketika sirna.

Oke, harus diakui, sindiran dari Kania cukup telak.


Sidang Pembacaan Putusan Pak Juna

Raib duduk di barisan belakang kursi pengunjung.

Sidang hari ini ramai.

Keluarga Sadewa, perwakilan keluarga Golda, wartawan, media, beberapa teman kampus Hugo. Kursi pengunjung penuh.

Pak Juna jauh di depan sana—di kursi terdakwa.

Raib sengaja memilih duduk di belakang, tak ingin melihat wajah Pak Juna.

Seluruh Keluarga Sadewa—Kania, Bima, Jibran, bahkan Pak Jo—duduk di barisan paling depan. Entah mereka memang memiliki mental yang kuat atau hanya berpura-pura, namun dagunya terangkat tinggi. Kania menatap tajam Hakim yang sedang membacakan putusan.

Bu Shania duduk beberapa baris di depan Raib.

Suasana luar biasa hening, hanya terdengar suara Hakim yang sedang membacakan putusan.

Raib menggigit bibir saat kronologi tindakan Pak Juna pada Hugo dibacakan. Ia melihat semua peristiwa itu, semua peristiwa mengerikan itu terpatri jelas di pikirannya.

Amar putusan mulai dibacakan.

“Memperhatikan pasal 340 KUHP , pasal 221 KUHP, dan Undang-Undang no.8 tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan-peraturan lain yang bersangkutan,”

“Mengadili,”

“Menyatakan terdakwa Junaedi alias Juna telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, Pembunuhan dan percobaan pembunuhan berencana.”

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup.”

Raib menelan ludah.

Hugo, kamu denger, kan?

“Menetap—”

BRAK!

Pembacaan amar terhenti.

Seluruh mata tertuju ke depan.

Raib menahan napas saat melihat Jibran melompati pagar pembatas baris pengunjung.

Seluruh petugas yang menjaga jalannya sidang segera berlari mendekati Jibran.

Suara riuh pengunjung mengikuti.

Kamera-kamera disorot pada Jibran yang mendekati Pak Juna.

Hakim mengetuk palu untuk menenangkan suasana.

Situasi yang awalnya tenang berbalik kacau.

Ramai. Riuh. Tak terkendali.

Namun suara Jibran menelan semua keributan,

“BALIKIN KAK HUGO!”

BUGH! BUGH!

Dua tinju dilayangkan sebelum tubuh Jibran dibawa beberapa petugas.

Kakinya menendang-nendang tak terima,

“PENJARA AKU SEKALIAN! BIAR AKU KUBUR DIA HIDUP-HIDUP DI TANAH PENJARA!”

Dalam hatinya, Raib mengamini ucapan Jibran berkali-kali.

Bukan, bukan agar Jibran dipenjara. Ia berdoa semoga Pak Juna terkubur hidup-hidup di tanah penjara dan tak ada satupun yang menemukannya.

Amin.