Banda Rarangi

POV: BERMUDA.

cw / tw : mention of human trafficking ; crime ; death . Kissing

Enam belas jam telah berlalu sejak aku dan Haya memasuki penginapan. Dua jam kami habiskan untuk berdebat tentang dekorasi tempat tidur, satu jam untuk ban motor, tiga jam untuk saling mendiamkan satu sama lain, dan sepuluh jam untuk melakukan urusan masing-masing—aku di balkon dan Haya di ruang tamu kecil yang menyatu dengan kamar.

Pagi ini—pukul tujuh tepat, kami sedang menunggu jemputan mobil ke panti.

Pakaianku dan Haya agak kontras hari ini, dia mengenakan kemeja dan celana pendek bernuansa gelap yang memberikan kesan santai, sementara aku mengenakan celana kain hitam dan kemeja coklat lengan panjang—lengkap dengan tas pundak hitam—yang membuatku terlihat lebih... serius.

“Sama kayak yang gue bilang kemarin, gue Harum Sinardjaja, lo Rudi Sinardjaja. Kita abis nikah, kesini mau honeymoon, sekalian ngecek panti karena reputasinya bagus. Entar bakal ada pegawai yang nemuin kita karena gue udah bikin janji sebelumnya. Inget, harus keliatan santai.”

Mataku melirik sumber suara dengan sengit. “Lama-lama gue beneran apal.”

Sumber suara itu—siapa lagi kalau bukan si Haya menyebalkan—balas menatapku. “Ya bagus. Daripada lo lupa?”

“Lo udah ngulang-ngulang itu 100 kali, gue nggak bakal lupa.” Balasku kesal.

Berani sumpah, ucapan itu sudah diucapkannya satu... dua... tiga—puluhan kali. Memang tidak sampai seratus, tapi kalau selama perjalanan ia terus mengucapkannya, bisa jadi saat mencapai panti akan genap seratus.

Bahkan, di antara sepuluh jam kami mengurus urusan masing-masing semalam, sekitar enam jam kuhabiskan sambil mendengar Haya merapalkan hafalan itu.

Jika dilihat sekilas, orang-orang akan mengira kalimat itu terus menempel di lidah Haya karena ia khawatir aku akan lupa—tentunya karena Haya jauh lebih pintar dariku. Tapi faktanya, yang membuatnya takut adalah dirinya sendiri.

Kenapa?

Karena dia sedang tidak percaya diri.

Aku dapat mencium rasa gelisah yang berserakan di sekitarnya dengan jelas.

Dua menit sebelum mobil jemputan kami datang, aku menepuk pundak Haya. “Lo panik, 'kan?”

“Enggak.” Haya menggeleng cepat. Jawaban tersebut kontras dengan kuku jarinya yang terus digigiti dan kaki kiri yang digoyangkan.

Tidak butuh orang luar biasa cerdas untuk mengetahui seberapa gugup Haya sekarang.

Aku juga sama gugupnya dengan Haya. Selama bekerja menjadi RED, aku tidak pernah mendapat misi untuk menyamar atau melakukan interaksi sosial dengan orang lain—interaksi antar buku jariku dengan rahang mereka, mungkin pernah.

Namun melihat Haya—si HOKU yang selalu menyombongkan kapasitas otaknya—kehilangan percaya diri, mau tidak mau aku harus mengabaikan rasa cemasku.

Aku gugup, tapi aku tidak takut. Setakut apapun aku dalam misi ini, aku masih cukup yakin tidak ada tangan yang bisa menyentuhku. Tapi Haya berbeda, dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari serangan fisik. Aku masih ingat wajah pucatnya saat dia ditodong moncong pistol Maru yang sebenarnya bisa ditepis dengan mudah. Jadi wajar jika dia merasa takut.

Napas panjangku terhela saat mendengar Haya, sekali lagi, menyampaikan paragraf itu dengan bahasa yang diubah pada sopir kami.

Diceritakannya latar belakang kami. Harum Sinardjaja, seorang anak mandor pemilik kebun teh, menikahi Rudi, seorang—

Seorang apa?

Aku menoleh saat Haya mengenalkanku sebagai... buruh pabrik?

Kenapa dia mengenalkan kami sebagai pasangan dengan status sosial yang berbeda jauh?

“Saya jatuh cinta sama dia pas pertama ketemu di pabrik.” Tiba-tiba tangan Haya menggenggam jemariku. “Dia pekerja keras, baik...” Matanya menatapku, tersenyum, “ya, mukanya emang judes tapi hatinya baik banget, Pak. Penyayang juga.” Ia tertawa kecil seolah-olah kami memang memiliki kenangan seperti ucapannya.

Cih. Dasar halu.

Setidaknya dia bisa mengenalkanku sebagai buruh pemetik teh atau pekerjaan lain yang mudah dibayangkan. Buruh pabrik terlalu luas, bagaimana kalau—

“Saya dulu kerja di pabrik juga. Jadi operator forklift, Bapak Rudi di bagian apa?”

Nah kan.

Mataku melirik Haya tajam. Dari banyaknya pekerjaan yang pernah kulakukan, buruh pabrik bukan salah satunya. Aku sudah menjelaskan pada Haya tentang pengalaman kerjaku seumur hidup, aku yakin otaknya yang berkapasitas besar itu bisa mengingatnya—kalau dia benar-benar menyimak.

Haya memang tidak pernah mendengarkan.

Ditanya seperti itu, Haya terbatuk. Akhirnya ia tersedak kecerobohannya sendiri. Mungkin rasa gugup membuatnya tidak berpikir panjang.

“Admin produksi.” Jawabku akhirnya.

Setelah itu aku membiarkan Haya menangani situasi ini. Aku memandangi jalanan.

Banyak pohon dan rumah makan terlihat sepanjang jalan. Mendadak aku teringat Fuji.

Aku tidak bisa menjangkaunya, jarak kami terlampau jauh.

Mataku melirik gelang SOS di tangan kiri. Semoga nantinya, alat ini benar-benar berguna tapi tidak digunakan.

**

Tidak sampai empat puluh menit, kami sudah memasuki area panti. Mataku tertarik pada sebuah bangunan satu lantai dengan gapura tinggi di sebrang jalan, sebuah papan nama terlihat.

Panti Sosial Wredha Banda Rarangi?

Panti... Wredha?

Aku kembali fokus saat mobil kami melewati papan nama bertuliskan Panti Sosial Anak Banda Rarangi. Dua buah bangunan tiga lantai yang saling berhadapan dan satu bangunan dua lantai di tengahnya menyambut kami.

Helaan kasar napas Haya terdengar. Dia berdeham beberapa kali.

Aku lebih dulu keluar, membuka pintu di sisi Haya lalu mengulurkan telapak—meminta tangannya.

Bukannya menyambut uluran tanganku, Haya justru terdiam. Dua alisnya terangkat. Mulutnya komat-kamit, apa? Ngapain?

“Yuk.” Aku sedikit melotot.

Haya menyambut tanganku. Berpamitan pada sopir.

Wah. Telapak tangannya dingin.

“Lo nggak apa-apa?”

Haya mengangguk, melonggarkan kerah bajunya, “nervous dikit.”

“Katanya 'harus keliatan santai'?” Aku terkekeh pelan. Menggodanya dengan hafalan yang semalaman dikomat-kamitkannya.

Haya mendengus kesal. “Apaan sih. Nggak lucu.”

“Tenang aja.” Mataku menunjuk tangan kami yang bergandengan. “Ada gue.” Lalu menepuk punggung tangannya sekilas.

Haya menggigit bibirnya, bergumam. “Hm, thanks.

“Bapak Harum Sinardjaja?” Seorang dengan kemeja batik dan celana hitam menghampiri kami, menyalami Haya.

Seketika mimik muka Haya berubah. Seolah ia menanggalkan rasa gugupnya di suatu tempat, menggantinya dengan senyum lebar. Disambutnya jabat tangan dari pria tersebut—yang kuduga adalah pengurus panti.

“Ini suami saya.” Dia mengenalkanku pada pengurus panti tersebut.

“Rudi.” Jawabku cepat, sebisa mungkin tersenyum. Pengurus ini menyalamiku dengan dua tangan dan badan sedikit membungkuk—membuatku tidak nyaman.

“Saya Joseph.”

Lelaki bernama Joseph itu memiliki perawakan kurus-tinggi dengan kumis tipis dan kaca mata berbingkai hitam tebal. Rambutnya yang juga berwarna hitam legam dipotong cepak. Hidungnya mancung, matanya besar, alisnya tebal. Dia memiliki kulit kuning yang sedikit terbakar sinar matahari—membuatnya terlihat mendekati sawo matang saat berada di dalam ruangan.

Setelah berkenalan, ia mempersilakan aku dan Haya mengikutinya.

“Bapak sedang di perjalanan, sambil nunggu Bapak sampai, kita keliling sebentar.”

Bapak... yang dimaksud Bapak pastilah ketua panti di sini.

“Kalau kalian perhatikan, di depan tadi ada Panti Sosial Wredha, itu juga panti di bawah yayasan kami.” Joseph mulai menjelaskan, “bedanya—selain penghuninya, di sana lebih banyak relawan daripada pegawai tetap. Panti kami nggak terlalu memerlukan relawan karena banyak pegawai terlatih di sini.”

Joseph berjalan sambil merapikan ujung lengan kemeja motifnya.

“Panti di sini ada dua, ini Panti Petirahan,” tangannya menunjuk bangunan di sebelah kanan, “yang ini Panti Asuhan,” lalu menunjuk bangunan sebelah kiri.

Kami diajak berjalan melewati lorong bangunan di sebelah kiri—panti asuhan. Bagian tengah diisi taman dengan beberapa fasilitas olahraga dan permainan. Area ini tampak sepi namun terawat.

“Di sini biasanya ramai anak-anak. Sekarang mereka sedang membersihkan halaman belakang yang terhubung langsung sama jalan kampung di sini.” Seolah dapat membaca pikiranku, si Joseph menambahkan.

“Panti Petirahan digunakan untuk memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yang mengalami hambatan belajar karena terkena masalah sosial. Jadi mereka hanya tinggal beberapa bulan di sini.”

Kami diajak memasuki lorong panti asuhan.

“Kalau Panti Asuhan digunakan untuk memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim piatu yang membutuhkan. Biasanya, kami menemani mereka sampai SMA.”

“Dua gedung di sini gedung kembar. Lantai tiga sama-sama digunakan sebagai kamar anak-anak. Lantai satu dan dua ini isinya ruang-ruang komunal.” Ia membuka salah satu ruang di lantai satu, “ini ruang makan, di balik sekat itu ada dapur. Petugas kami sedang menyiapkan snack dan sarapan untuk anak-anak.”

Sebuah ruangan luas dengan meja panjang dan kursi-kursi berjajar rapi menyambut kami. Terdapat ruangan lain di ujung yang dipisahkan oleh dua pintu, salah satu pintunya terbuka. Dari pintu itu, aku dapat melihat kepulan asap dan kesibukan beberapa orang di dapur.

Entah bagaimana, aku lega.

Anak-anak ini mendapatkan tempat makan yang layak dan makanan yang baru selesai dimasak.

“Pak Harum dan Pak Rudi bisa ikut kami sarapan kalau mau.” Ia menoleh pada kami. “Nanti Bapak juga akan ikut sarapan bersama anak-anak. Mereka pasti senang kalau melihat ada tamu hari ini.”

Aku tertegun. Bahkan makanan mereka layak dihidangkan untuk orang lain.

We're good. Kita udah makan sebelum kesini. Sebenernya—”

“Mending kita ikut aja nggak sih, Sayang?” Aku memegang lengan Haya, berusaha menghentikan ucapannya. “Nanti kalo masih ada waktu.”

Haya menatapku. Ia terdiam cukup lama hingga aku harus meremas lengannya agar dia mengatakan sesuatu.

“Oke.” Haya menoleh pada Joseph, “siapa tau... eh—pas sarapan...” Haya melirikku, “nanti... kan—”

“Siapa tau kita bisa ketemu sama anak-anak di sini.” Aku melanjutkan. Tanganku turun menuju telapak tangan Haya—dan benar, telapak tangannya dingin, dia pasti gugup karena improvisasi mendadak yang kuberikan. Kami memang tidak berencana makan di sini.

Joseph mengangguk. “Akan kami siapkan. Anak-anak pasti senang menyambut orang baru.” Ia berbalik. Mengajak kami ke ruangan berikutnya.

“Gue cuma pengen liat mereka makan apa di sini.” Bisikku pelan saat Joseph berada beberapa langkah di depan kami, “kita bisa ngobrol sama anak-anak juga.”

Anything for you, Sayang.”

Uh?

“Dia sampe minta maaf karena udah ngubah jadwal.” Haya tiba-tiba terkekeh, matanya memandang Joseph, “it's okay, Sayang, acara abis ini bisa kita undur sementara. Mereka bakal ngerti.”

Sepertinya Joseph sempat menoleh saat aku berbisik dengan Haya.

Jantungku berhenti berdetak saat tiba-tiba Haya melepas pegangan tangan kami lalu mengusap pundakku, menarik pelan kepalaku hingga bersandar di bahunya—kami nyaris berpelukan.

Uh-Oh. Wajahku memanas.

Mungkin aku terlalu terbawa peran.

Pegangan Haya melonggar saat Joseph tersenyum lebar menanggapi kebohongannya.

Kami melanjutkan berkeliling.

Lantai dua berisi ruang belajar. Setelah puas melihat-lihat, kami berpindah ke gedung lain—gedung sebelah kanan, panti petirahan.

Lantai satu berisi aula, digunakan untuk acara-acara yang diadakan panti ini. Lantai dua adalah ruang bermain, lengkap dengan fasilitas seperti tempat menyimpan snack, kulkas, pojok baca, hingga rak penuh mainan. Aku takjub dengan fasilitas yang dimiliki panti sosial ini.

Kami terus berkeliling dan mendapati banyak jejak yang menunjukkan kebersamaan mereka. Foto-foto yang dibingkai indah di dinding hingga souvenir dari luar negeri yang ditempel di kulkas bertuliskan asal masing-masing negara—Malaysia, Singapore, Cambodia.

Joseph menceritakan tentang asal-muasal souvenir itu. Tiap tahun panti ini mengadakan liburan ke luar negeri, beberapa yang lain merupakan kiriman dari pengurus yang melakukan pelatihan.

Di antara gedung petirahan dan gedung di tengah—gedung administrasi, terdapat sebuah jalan setapak kecil yang membawa kami ke sebuah kebun mini.

Puluhan pot warna-warni yang disusun rapi menyambut mata. Ada berbagai macam tumbuhan yang ditanam di sini—bunga dan buah.

“Berkebun adalah salah satu cara kami agar anak-anak dapat merawat makhluk hidup dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.” Joseph mulai menjelaskan.

Kami terus menyimak setiap cerita yang diungkapkan Joseph. Mataku tetap awas, kakiku berjalan mengelilingi kebun, membuatku seolah sedang melihat-lihat pot satu per satu, padahal aku sedang mengecek sekitar—mencari hal-hal mencurigakan yang mungkin tidak seharusnya di sini.

Nihil.

Sekop, garpu tanah, sarung tangan, gunting ranting, penyiram tanaman, kereta dorong—setiap barang berjumlah normal dan berposisi di tempat yang wajar.

Joseph lanjut menceritakan tentang kegiatan yang diadakan setiap tahun di sini. Entah itu pelatihan, kursus, festival, atau lomba kecil-kecilan.

Seluruh anak di panti ini diberi kesempatan untuk tetap menikmati masa kecil mereka, dan panti ini—entah petirahan atau panti asuhan atau apapun namanya—benar-benar memastikan semua anak dapat mengembangkan diri. Kadang di hari besar tertentu, panti anak di sini akan mengunjungi Panti Wredha di sebrang.

Aku menelan ludahku, merasa tidak nyaman.

Tempat semenyenangkan ini adalah kaki tangan Manggala?

Tidak mungkin.

Bahkan aku mulai berpikir panti asuhan yang dulu kutinggali bukan di sini. Tidak di pulau ini.

Mungkin Fuji salah.

Dia menganggap panti asuhan kami di wilayah Timur karena kami terus berlari ke arah barat. Padahal kami tidak harus berasal dari daerah Timur untuk berlari ke arah barat. Kami bisa di bagian Utara atau Barat dan tetap berlari ke arah barat.

Bagaimana jika... panti ini bukan bagian dari Manggala?

Dugaanku semakin kuat saat Joseph tiba-tiba memberi penjelasan tentang apa saja masalah yang dihadapi di panti ini.

“Anak-anak seneng tinggal di panti ini. Kami selalu berusaha ngasih pelayanan dan bimbingan terbaik. Tapi tetap ada masalah selanjutnya yang dihadapi anak-anak. Misal, anak-anak dari panti petirahan yang kesini karena masalah sosial cuma tinggal di panti beberapa bulan. Kadang mereka udah terlanjur dekat sama anak-anak lain dan malah nggak mau keluar dari panti.” Dia menghela napas, “anak-anak dari panti asuhan juga begitu. Kadang mereka jadi sedih karena ada anak lain yang punya keluarga baru.”

Joseph membawa kami ke ruang ketua panti sambil memberi penjelasan tentang masalah-masalah lain yang mereka hadapi. Seolah kami memang harus mengetahui semua informasi ini.

“Untuk anak-anak petirahan yang masuk karena mereka nggak bisa disekolahkan sama orang tuanya, justru punya masalah lain. Mereka ngrasa lebih dekat sama orang panti daripada keluarga sendiri—saking lamanya tinggal di panti. Jadi istilahnya, kita tetep ngawasin mereka tapi nggak boleh terlalu dekat sampai melebihi keluarganya. Tapi juga tetep memposisikan diri sebagai penanggungjawab karena secara fisik, kami lebih dekat dari keluarganya.” Joseph melanjutkan, “makanya yayasan terus ngasih kami pelatihan biar masalah kayak gini nggak keulang. Malah ada yang dilatih sampai luar negeri, tapi banyak juga yang akhirnya ditarik sama yayasan untuk ngurus panti yang lebih besar.”

Haya terlihat seksama mendengarkan, aku hanya mengangguk—agar terlihat paham.

Setelah memberi penjelasan, Joseph undur diri. Kami ditinggal di ruang ketua panti.

Tiba-tiba aku dapat merasakan ada jemari lain yang menyusup di antara jemariku. Aku berdeham, segera menjauhkan diri saat menyadari tanganku dan Haya saling mengait sejak tadi.

Kami saling memandang lalu terdiam.

Satu detik.

Dua detik.

Aku membuang mataku. Awalnya aku tidak tahu kemana arah pandangaku, tapi setelah melihat ruangan penuh bingkai foto ini, aku berencana memastikan tidak ada kamera yang mengawasi kami.

Haya beranjak, mendekati meja ketua panti yang terletak tidak jauh dari jendela besar. Saat kakiku mendekati jendela, desisan kasar Haya terdengar, “shit. Gue gemeter.”

Aku menoleh. Haya mengibaskan tangannya sebelum kembali mengarahkan penunjuk layar.

Uh, pasti dia gugup lagi.

Setelah mengawasi situasi di luar, aku menghampiri Haya, menepuk dan mengusap punggungnya, “lo tadi bisa ngomong sama Joseph, sekarang pasti juga bisa.”

“Kepala gue berisik banget.”

“Kenapa?”

“Takut bakal ketauan. Gue nggak bisa stop mikir apa yang harus kita lakuin kalo ketauan beneran. Gue takut kalo Joseph udah tau kita cuma ngarang dan dia sekarang lagi nelpon back up. Sekuat apapun lo, kita bisa abis di sini. Atau jangan-jangan dari awal mereka udah tau kita bo'ong. Lo liat panti ini sepi banget? Dia bilang anak-anak lagi bersih-bersih? Gimana kalo mereka nggak lagi bersih-bersih? Gimana kalo ternyata ini jebakan buat kita, terus sebener—”

“Heh!” Tanganku mencekal lengannya. “Fokus!”

Haya mengusap wajahnya kasar. “Lo enak. Lo bisa berantem. Bisa ngelindungin diri sendiri, gue gimana? Gue mau ngelindungin diri pake apa?”

“Gue.” Jawabku cepat.

Mata Haya mengerjap dua kali.

“Gue bisa nglindungin lo, jadi lo fokus aja sama apa yang mau lo lakuin sekarang.”

Matanya kembali menatap layar. Ia berdeham, “sopir kita nungguin di bawah, gue udah cek background-nya berkali-kali, clear, dia sopir beneran dan peduli ama penumpangnya. Dia bakal nyariin kita kalo kita nggak keluar-keluar.”

Oh. Jadi sekarang Haya sedang mengumpulkan hal-hal yang bisa melindunginya. Aku mengangkat pergelangan tanganku, “kita juga punya gelang SOS ini, kalo entar ada apa-apa dan gue lagi nggak ada di deket lo, gue pasti bakal langsung nyamper—”

“Kalo lo yang kenapa-kenapa, lo bakal ngaktifin gelang ini nggak?”

Tentu saja tidak. Sergahku cepat dalam hati.

Jika aku menyalakan gelang ini, berarti aku sedang terjebak dalam sebuah jurang dalam, kemudian Fuji akan menerima sinyalnya. Aku tidak akan menyeret Fuji atau siapapun ke dalam jurang yang tidak bisa kudaki sendiri.

“Kok nggak jawab?” Haya menoleh, menatap mataku.

“Emang gue bakal kenapa?”

“Ya...” Haya terdiam selama beberapa saat, pandangannya kembali terpaku pada layar, “lo boleh aja yakin kalo lo nggak bakal kenapa-kenapa, tapi masih ada kemungkinan lo bakal kenapa-kenapa.” Ia balik menatapku. “Nggak pernah ada kemungkinan 100% di dunia ini kecuali kemungkinan setiap manusia bakal mati.”

“Gue nggak bakal kenapa-kenapa.” Haya terlihat kurang puas dengan jawabanku, “kalo gue kenapa-kenapa berarti gue mati.” Tambahku.

Tangan Haya terhenti, ia menoleh padaku dengan wajah sengit. “Sembarangan banget sih mulut lo!”

“Lo duluan!” Balasku cepat. “Makanya fokus aja sama komputer ini!” Aku melepaskan tanganku darinya.

Haya mendengus kesal sebelum melanjutkan aktivitasnya.

Mataku meliriknya sekilas, wajahnya kini lebih tenang—meski aroma tegang masih menguar jelas di sekitarnya.

Mungkin ada beberapa hal tentang orang pintar yang tidak akan kupahami. Satu, bagaimana mereka bisa pintar. Kedua, bagaimana cara tubuh mereka bekerja.

Mengapa dia merasa begitu dikuasai oleh pikirannya? Mengapa dia lebih mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi daripada kenyataan yang ada di depannya? Bukankah pikiran juga bagian dari tubuh manusia, yang artinya bisa dikendalikan, mengapa Haya justru tidak bisa melakukan apapun saat kepalanya berpikir?

Sayup-sayup terdengar suara riuh dari luar.

“Gue mau liat keluar bentar.” Ucapku sebelum berjalan menuju jendela.

Terlihat anak-anak berlari riang memenuhi taman. Aku menghela napas lega, “tuh, anak-anak baru selesai kerja bakti beneran, tadi pantinya beneran kosong, bukan sengaja dikosongin.”

Beberapa pengurus panti yang menggunakan baju olahraga ikut mendampingi mereka, mengarahkan anak-anak untuk memasuki asrama masing-masing agar segera membersihkan diri lalu ke ruang makan.

Sepasang anak kembar menarik perhatianku. Keduanya dikuncir dua dengan kaos olahraga dan muka yang sama-sama dipenuhi noda tanah. Berlarian hingga mencapai lorong gedung panti asuhan, mereka saling berebut tentang siapa yang lebih dulu mencapai lorong lalu berhenti saat dilerai oleh pengurus yang wajahnya juga dipenuhi noda tanah. Ketiganya tertawa.

Aku menggigit bibir.

Mendadak semua terasa tidak nyaman.

Bagaimana jika panti ini hanyalah panti biasa?

Atau lebih parah lagi, aku justru takut menemukan sesuatu di panti ini.

Bagaimana jika semua kebahagiaan ini hanya digunakan untuk menutupi tangisan orang lain? Atau bagaimana jika tawa mereka nantinya berubah menjadi jeritan?

“Kameranya sama elo, 'kan?”

Pertanyaan Haya memecah lamunanku.

Aku mengangguk, merogoh sesuatu dari dalam tas hitam yang kukenakan, sebuah kamera tersembunyi yang dimodifikasi menjadi USB, “ini mau taruh di mana?”

Dagu Haya diarahkan pada sebuah boks dokumen yang berjejer di ujung meja, “taruh di box file ini aja, ada banyak kertas di sini, pasti nggak keliatan, atur aja bagian pinggir adep ke dokumen terus bagian yang ada merah-merahnya itu di bagian celah ini.” Jarinya bergerak menunjuk setiap tempat yang dimaksudnya.

Aku mengangguk paham, mulai meletakkan dan mengatur kamera kecil ini sesuai yang diperintahkan Haya agar USB, mengarahkannya ke sofa—tempat Ketua Panti menerima tamu.

Kamera ini terhubung langsung dengan ponsel Haya, ia menyerahkan ponselnya padaku untuk mengecek dan membenarkan letak kamera.

Dua menit berlalu. Pemasangan kamera selesai.

“Sini doang yang mau dipasangin kamera? Bagian luar perlu nggak?”

Haya menggeleng, “nggak perlu. Tadi gue liat salinan video CCTV di gedung ini udah kehubung otomatis sama komputer ini, kita bisa liat dari sini langsung, tapi nggak real time, nunggu 24 jam.”

Aku mengangguk (lagi). Kembali berjalan mendekati jendela, mengamati kondisi di luar.

Seorang lelaki tua memasuki area panti dengan motor matic abu-abu dan helm hitam. Ia mengenakan jaket hitam dan celana krem. Tampak beberapa anak menyapanya dan pegawai—

Uh-Oh.

“Haya.” Aku menoleh. “Masih lama?”

Haya menatapku, diam untuk beberapa saat. “Kenapa?”

“Ketua Panti udah dateng.”

Haya menggigit bibir. “Lagi loading. Dikit lagi.”

Aku menelan ludah. Mengingat jarak ruangan ini yang tidak jauh dari tempat parkir, Ketua Panti itu akan segera mencapai pintu ruangan ini dalam beberapa puluh detik lagi.

“Udah belum?”

Haya menggeleng.

“Kita duduk sekarang aja.” Aku berjalan mendekati Hay—

Cklek.

Sial.

.

.

.


Pretend.

POV: HIMALAYA.

Kira-kira, berapa besar kemungkinan kami tidak akan meninggalkan panti ini dalam keadaan hidup?

Pertanyaan sederhana itu terus membuat kepalaku berhitung semalaman, sepagian, bahkan hingga sekarang.

Aku telah memperhitungkan semua hal yang akan terjadi hari ini. Jam keberangkatan kami dari penginapan, waktu perjalanan, hingga acara keliling panti tadi sudah kuperhitungkan. Semuanya sudah dihitung secara presisi, ketua panti seharusnya belum berangkat saat kami tiba di sini karena kami datang satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan. Kalaupun ketua panti itu langsung berangkat dari rumahnya, paling tidak membutuhkan waktu 20 menit.

Saat tiba-tiba Erde mengumumkan kedatangan Ketua Panti. Hitunganku pecah, sebuah variabel baru muncul.

Perhitunganku makin buyar ketika Erde tiba-tiba menyerangku—uhm—tidak separah menyerang, sebenarnya, ia membalik badanku lalu mendorongku hingga mau tidak mau pantatku naik di ujung meja.

Angin kencang menyerbu kepalaku saat sepasang benda kenyal menyapu permukaan bibirku. Hembusannya menerbangkan puluhan kertas hitung probabilitas yang berserakan di kepalaku.

Kepalaku berhenti bekerja.

Kini hanya ada ruangan kosong dengan angin yang berputar di dalamnya seiring dengan tangan Erde yang meremas pinggangku.

Shit.

Erde menciumku!

Untuk pertama kalinya sejak aku tahu hubungan kami terjalin bukan berlandas perasaan, kami berciuman!

Yep. Kami sudah pernah berciuman sebelumnya, tapi ini berbeda. Dulu aku yang menciumnya berdasar pikiran bahwa Erde menginginkanku sebagai aku.

“Ini tinggal dicabut aja, 'kan?”

Bisikan Erde terdengar.

Angin di kepalaku berhenti.

Aku tertegun.

Dan saat kesadaranku kembali, ternyata kami telah menjadi tontonan dua orang di pintu.

Shiiiiiiiit.

Aku ingin menegakkan punggungku namun Erde menahanku dengan tubuhnya. “Pura-pura nggak nyadar.” Hangat bisik Erde menyentuh kulit leherku, membuatku bergidik.

Ehem.

Tubuh Erde segera menjauh dariku, seolah-olah terkejut. “Oh? Maaf....” Ia terkekeh pelan. Aku dapat melihat USB yang sebelumnya kutancapkan di komputer kini disembunyikan di belakang tubuhnya lalu perlahan memasuki saku celananya.

Deg.Deg.Deg.Deg.

Oke, baiklah.

Aku bukan lagi manusia kosong. Tubuhku dapat merasakan setiap organ tubuhku bekerja. Jantungku berdetak keras, lambungku perih, dan kapasitas paru-paruku membesar. Aku tersengal.

Seorang lelaki tua dengan kaos berkerah dan celana warna cerah bersama dengan Joseph berdiri canggung di ambang pintu.

“Maaf, kita kebawa suasana...” Erde tersenyum, tangannya melingkar di pinggangku. Berkat tangan ini aku berhasil berdiri tegak.

“Ah nggak apa-apa... Saya dengar kalian baru menikah ya?” Lelaki tua tadi—si Ketua Panti, alias Pak Darwis—terkekeh pelan.

Aku menelan ludah. Ikut terkekeh pelan. Tanganku meraih punggung tangan Erde yang melingkari pinggangku, mengusapnya pelan. Erde menoleh padaku. Terlihat pura-pura (atau tidak?) terkejut.

“Tahan dulu ya sampai nanti kembali ke hotel. Sekarang kita ngobrol dulu, bisa 'kan?”

Aku nyaris tersedak mendengar godaan ketua panti ini.

Semua yang ada di ruangan—termasuk Joseph—tertawa.

“Silakan duduk.”

Kami menurut. Segera kembali ke sofa (dengan aku yang sedikit terbatuk).

Tidak banyak hal yang membuatku terkesan saat berbincang dengan Pak Darwis, jika aku tidak tahu dia adalah Ketua Panti, pasti aku hanya mengira dia adalah lelaki tua biasa. Kaos polo biru muda dimasukkan ke celana kain berwarna krem membuat perut buncitnya terlihat. Kumisnya tebal dan rambutnya disisir ke belakang dengan gel rambut.

Perbincangan dengan Pak Darwis berjalan lancar, kami hanya membahas topik ringan yang sebelumnya sudah kuprediksi.

Pak Darwis juga tidak menanyakan tentang hal-hal sensitif atau berat, tentu karena aku membawa nama Sinardjaja. Keluarga pemilik perusahaan minuman raksasa. Aku memanfaatkan desas-desus di kalangan atas yang menyebutkan bahwa anak bungsu Sinardjaja, Riko Sinardjaja, memiliki anak di luar nikah berinisial H yang baru saja melangsungkan pernikahan—yang mana menjadi asal usul nama Harum Sinardjaja. Kabar ini tidak ada di media manapun karena keluarga Sinardjaja berusaha keras menutupinya, hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya (contoh: pemilik Yayasan Kasih Abadi yang pastinya menerima kabar kedatangan kami di sini).

Pak Darwis lanjut menceritakan tentang permasalahan di panti ini. Lagi-lagi, ini adalah topik yang sudah masuk di perhitunganku. Tentu saja mereka akan membuatku bersimpati, tujuannya adalah membujuk keluarga Sinardjaja mendukung tempat ini.

“Banyak hal-hal baik terjadi di sini. Tapi seperti kebanyakan hal di dunia, mereka datang berpasangan. Baik dan buruk. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan kesedihan.” Pak Darwis melanjutkan ucapannya setelah sibuk membahas fasilitas di panti ini.

“Beberapa anak masuk ke petirahan karena menjadi korban kekerasan orang tuanya. Ada juga anak yang tinggal di panti asuhan karena kehilangan orang tuanya sejak kecil.” Pak Darwis menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, “seolah sama aja, ada atau tidak adanya orang tua, mereka tetap masuk ke panti. Jadi, kami berusaha memberi bimbingan di sini, biar mereka nggak berkecil hati sama kondisi yang mereka alami. Orang tua mereka di sini ada banyak.”

“Tapi masalah lain muncul, hampir 90% anak-anak di sini masih punya orang tua dan keluarga, jadi kita juga harus memastikan peran kita nggak terlalu besar buat mereka. Biar mereka yang masih punya keluarga, nggak merasa jauh dari keluarganya.”

“Nasib anak-anak di sini macam-macam. Ada yang nggak liat orang tuanya dari kecil, ada yang liat orang tuanya tapi malah diperlakukan kurang baik, ada yang liat orang tuanya; diperlakukan dengan baik; tapi justru nasibnya yang kurang baik.”

Aku mengangguk paham, melirik Erde yang sejak tadi terlihat membeku.

Telingaku terpasang sempurna mendengar setiap keresahan Pak Darwis.

Kami terus membahas hal-hal terkait anak panti, saat berjalan bersama di lorong, duduk di meja makan, bahkan saat mereka mengantar kami ke mobil.

Sepanjang cerita itu, Erde tetap bergeming. Sejak tadi hanya aku yang memberi tanggapan. Bahkan Erde terdiam saat beberapa anak menghampiri kami di ruang makan.

Aneh.

Saat di mobil, aku kembali mengisi kekosongan dengan bercerita pada sopir kami.

“Oh, Bapak habis ketemu Pak Darwis?”

“Bapak kenal?”

Sopir kami tertawa, “siapa yang nggak kenal Pak Darwis? Dia baik dan sederhana, Pak. Orang-orang sini sampe bilang, kalo ada masalah, coba ke Pak Darwis.” Ia kembali tertawa. Diceritakannya cerita-cerita kecil tentang kebaikan Pak Darwis.

“Pak Darwis pernah bantu warga yang terjerat hutang.”

“Sering banget Pak Darwis ini memberi pekerjaan sama orang-orang kampung sebrang, Pak.”

“Kebaikan Pak Darwis ini sudah paling top, nggak ada orang sini yang nggak kenal Pak Darwis. Setiap keluarga pasti pernah dibantu sama Pak Darwis, istilahnya, minimal Pak Darwis ini pernah nyingkirin batu di depan rumah tiap warga.”

Sambil mendengar pujian-pujian itu, mataku sesekali melirik Erde, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.

Kenapa?

Jika ditelusuri secara mendalam, Erde terdiam sejak kami di ruang Pak Darwis. Sejak kami berc—

Tunggu...

Apa jangan-jangan... ciuman tadi membekas di ingatan Erde?

Dan sekarang dia merasa terlalu canggung?

***

Kami sampai di penginapan saat hari menginjak siang. Aku melanjutkan kegiatanku di depan laptop dan Erde pergi keluar—lari siang, katanya.

(Atau mungkin dia memang benar-benar merasa canggung karena ciuman tadi)

Aku menyandarkan punggungku. Menarik napas sejenak, hari ini pikiranku telah bekerja keras, terutama karena aku sedang dalam tekanan.

Jadi, dari mana aku harus memulai pengecekan ini?

Dalam seni rupa dasar, setiap titik saling terhubung membentuk garis, setiap garis membentuk bidang. Semakin banyak titik yang kutemukan, semakin banyak garis yang bisa kuhubungkan.

Dalam matematika sederhana, pola bilangan dapat ditemukan dengan menyusun sebanyak mungkin deretan angka. Jika aku ingin menemukan pola tertentu di sini, maka aku harus menyusun informasi sebanyak mungkin.

Jadi, dimulai dari manapun tidak masalah, yang penting adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

Spyware yang kupasang di komputer Pak Darwis bekerja dengan cara menduplikat layar komputer sasaran hingga aku bisa bebas menggerakkan kursor mereka sekaligus melihat pergerakan layar mereka saat komputernya digunakan. Hampir mirip seperti dual monitor tools biasa, tapi perangkat ini didesain khusus agar komputer target tidak dapat mendeteksi pergerakanku di layar komputer mereka.

Karena masih dalam pengembangan, mungkin kursor dan tampilan di layar komputer Pak Darwis akan mengalami glitch saat aku menggerakannya dari sini.

Mataku fokus memeriksa semua file di komputer milik Pak Darwis. Saat sarapan bersama pagi tadi, aku mencuri kesempatan untuk menanyakan jadwal kegiatan Pak Darwis, tidak ada jadwal yang mengharuskan ia untuk tetap berada di ruangan. Jadi hari ini aku bebas mengutak-atik komputernya.

Satu jam terlewati.

Lagi-lagi, tidak banyak hal yang membuatku terkesan.

Komputer milik Pak Darwis didominasi oleh foto-fotonya sebagai representasi Panti Asuhan Banda Rarangi di berbagai event, foto liburan tahunan dan laporan-laporan yang harus ia tandatangani. Ada berbagai laporan, tapi yang paling sering muncul adalah laporan perjalanan liburan anak-anak panti atau pelatihan pengurus.

Tidak menarik.

Tapi informasi tidak menarik ini harus tetap kuingat. Petunjuk sekecil apapun pasti berguna nantinya.

Ada dua hal yang kudapat dari pengecekan siang ini: dokumentasi kegiatan-kegiatan di panti dalam bentuk foto, video, dan laporan, serta video CCTV setahun belakangan (aku juga menemukan file CCTV tahun-tahun sebelumnya, tapi perlu beberapa saat untuk melakukan pemulihan karena dokumen CCTV otomatis terhapus tiap tahun).

Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi, menghela napas panjang.

Dua menit istirahat.

Tanganku bergerak, beralih melihat file lain. Rekaman CCTV.

Mataku menyipit memperhatikan setiap video yang kuputar.

Selama setahun belakangan, panti asuhan ini memiliki banyak pengunjung. Cukup sulit mendeteksi pengunjungnya satu per satu, apalagi keterbatasan CCTV yang hanya berada di lorong-lorong gedung.

Ternyata CCTV ini tidak seberguna yang kuduga.

Ini agak sulit. Ingatanku memang bagus tapi menghapalkan muka yang hanya terlihat dari angle setinggi ini tidaklah mudah.

Setengah jam.

Satu jam.

Dua jam.

“Lo ngapain?”

Aku menoleh—Aduh. Punggungku sakit karena terdiam di posisi yang sama terlalu lama.

“Udah selesai larinya?” Tanyaku, meringis karena nyeri di punggung.

“Udah.” Erde meminum botol air mineral yang tersedia di meja. “Lo masih liatin isi komputer Pak Darwis?” Badannya didudukkan di sofa yang terletak tepat di belakangku.

Aku mengangguk, “ini lagi ngecek CCTV-nya.”

“Udah nemuin apa aja?” Erde menyeka keringatnya dengan handuk kecil di tangan.

Ganteng. Cantik. Bersinar. Seksi.

Wajah kecil Erde terlihat menawan dengan kilauan keringat di sekitar wajah dan lehernya.

Aku menimang sejenak apakah aku harus mengucapkan pikiranku atau menjawab pertanyaan Erde.

“Nemu orang ganteng.”

Oh. Yep. Shit. Cerdas.

Erde mengernyit. “Di CCTV?”

Aku menggigit bibir. Mungkin sebaiknya aku istirahat. “Ya...” Aku berdeham, “btw, tadi gue abis mikir,” cepat-cepat mengalihkan topik, aku memutar kursiku hingga menghadap Erde.

Dua alis Erde naik, apa?

Aku menegak gelas air putihku yang tinggal setengah.

Saatnya menghubungkan titik yang baru ditemukan dan yang telah ada.

“Lo inget nggak Maru kemarin sempet bahas perubahan sistem pengelolaan panti Manggala? Dari tahun 2014, panti asuhan di Barat, Utara, sama Selatan dibubarin. Jadi sekarang panti di bawah Manggala cuma ada di Timur—di sini.” Aku membasahi tenggorokanku sekilas, “sampe tahun 2018, mereka cuma ada satu panti—Panti Asuhan Kasih Abadi. Tapi dari tahun 2019, panti di sini dipecah jadi tiga titik: Nilamani, Banda Rarangi, Salura.”

“Yang perlu kita garisbawahin di sini, pembubaran panti Manggala di tiga wilayah pasti bikin mereka rugi besar.”

Erde mengangguk perlahan, “jadi wilayah Timur satu-satunya harapan mereka buat terus lanjutin bisnis di bidang ini.”

Aku mengangguk cepat. “Bener!”

“Manggala udah terlanjur punya sindikat—nggak main-main, menurut gue mereka punya jaringan sampe luar negeri—kalo mereka matiin bisnis ini gitu aja, itu sama aja mereka ngancurin relasi dan reputasi yang udah mereka bangun bertahun-tahun.” Aku memajukan kursiku mendekati sofa Erde, “lo inget Maru pernah bilang, ada tiga pesaing Manggala di sektor perdagangan anak?”

Kepala Erde mengangguk lamban—terlihat ragu.

“Di grup, dia pernah ngomong gitu.” Imbuhku sebelum melanjutkan, “jadi Manggala pasti berusaha mati-matian buat tetep mertahanin reputasinya walaupun banyak panti yang harus ditutup.”

“Artinya, pemecahan panti jadi tiga titik di sini, pasti salah satu cara mereka buat ngembangin bisnis itu.”

Erde terdiam.

“Kemarin kita sempet bingung 'kan, kira-kira mana di antara tiga panti di sini yang ada di bawah Manggala?” Aku mencondongkan tubuhku, “menurut gue, semuanya.”

Tidak ada jawaban.

Mata Erde hanya menatapku kaku.

“Panti asuhan lo dul—eh sorry, kita bakal bahas panti asuhan lo dulu, nggak apa-apa?”

Erde membenarkan posisi duduknya, ia berdeham sambil tangannya mempersilakan aku melanjutkan penjelasan.

“Panti lo dulu jelas ada di bawah Manggala, mereka ngelakuin adopsi ilegal sama perdangan anak. Jaman udah banyak berubah, menurut gue mereka udah pasti ngubah modus operandinya. Mungkin nggak lagi sekasar dulu, kayak yang kita liat tadi—justru fasilitasnya jor-joran, bagus banget.”

“Yang bikin gue bingung,” aku memundurkan tubuhku, menyandarkan punggungku di sandaran kursi, “gimana modus operandi mereka sekarang? Gimana bisa pemecahan tiga panti jadi cara mereka buat ngembangin bisnis? Kalo satu panti aja kayak tadi yang kita liat—fasilitasnya mewah, sarana prasarana lengkap, ada banyak pegawai, ada banyak kegiatan—berarti biaya operasional satu panti aja bisa bikin keuangan mereka bengkak.”

Aku menatap Erde. “Fuji pasti bisa jawab ini, 'kan?”

“Hah?”

“Gue nggak terlalu paham tentang bisnis,” aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokan, “tapi setau gue, buat nambah keuntungan, mereka harus nambah pembeli, atau nambah jumlah anak yang dijual, atau ngurangin modal mereka—salah satunya biaya operasional.”

Tanganku menyilang di depan dada. “Gimana cara mereka ngelakuin itu semua?” Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “serumit apa sistem baru mereka, sampe harus ditutupin serapi ini?”

Rapi?

Aku mengangguk. “Dari tadi nggak banyak yang gue temuin. Mungkin ini salah satu cara mereka buat nyembunyiin modus operandi biar nggak ditiru sama wilayah lain, karena antar wilayah selalu saingan satu sama lain.”

“Cuma ada laporan, foto, video, CCTV—semuanya biasa aja.”

Aku menyandarkan kepalaku hingga mendongak menatap langit-langit. Kepalaku terus mengulang semua informasi yang telah kutemukan tadi. “Berarti wilayah Timur harus ngasih performa bagus biar bisa terus dipercaya sampe sekarang.” Gumamku. “Kalo sampe mereka dikasih ijin mecah panti sosial jadi tiga, berarti keuntungan yang mereka hasilin jauh lebih besar dari biaya mecah pantinya.”

“Berarti mereka berhasil ngembangin bisnis mereka.” Aku membasahi bibirku yang terasa kering karena terlalu banyak bicara.

Satu menit berlalu, kami terdiam.

“Berarti jaringan mereka lebih gede dari sebelumnya.” Suara Erde akhirnya terdengar.

“Mereka jauh lebih gede dari sebelumnya.” Aku menegakkan posisi tubuhku, mengangguk setuju. Sebuah cahaya menembus kepalaku.

“Bisa jadi...” Aku mencondongkan tubuhku, “panti Manggala di wilayah Utara, Barat, Selatan, emang udah nggak ada, tapi mereka semua jadi satu di Timur. Dan semua panti di sini, nggak berdiri sendiri—tapi kerja sama buat nglengkapin satu sama lain.”

Erde kembali terdiam, kini ia menggigit bibirnya, terlihat gelisah.

“Kenapa?”

Matanya melirikku, seolah menimang beberapa hal. “Gue...” Kini pandangannya dijatuhkan ke lantai sebelum kembali melanjutkan, “lo inget kemarin Fuji bilang panti gue dulu kemungkinan ada di wilayah sini?”

Aku mengangguk. Fuji memang pernah mengatakan ada kemungkinan panti mereka dulu ada di Timur, karena Fuji merasa mereka berlari ke barat.

“Gue nggak yakin apa panti gue dulu emang ada di wilayah ini. Nggak ada satu tempat pun yang familier...” Erde menatapku, “semuanya asing banget, kayak gue baru pertama kesini.”

Oh... menarik.

Erde tidak sepenuhnya bodoh. Meski, ya... mungkin memang agak bodoh—secara daya pikir. Tapi Erde mampu mengendalikan tubuhnya dan memiliki insting yang bagus. Bahkan jika otaknya tidak mengingat di mana pantinya dulu berada, tapi aku yakin tubuhnya mampu mengingat medan yang dihadapinya dulu.

Jika Erde merasa asing dengan tempat ini, maka memang ada kemungkinan panti tadi bukanlah tempat tinggalnya dulu.

“Terus?”

Tidak ada jawaban.

Mataku mengerjap.

Kenapa... dia tidak menjawab?

Jantungku berdebar. Aku merasa Erde telah membuat keputusan yang bertentangan denganku selama ia terdiam.

“Terus kenapa kalo panti lo dulu nggak ada di sini? Panti lo dulu dikelola Manggala dan ada kemungkinan semua panti di sini juga di bawah Manggala, emang—”

Kini aku terdiam melihat tatapan Erde.

Napasku tertahan. “Lo masih mau ngelanjutin ini semua, 'kan?”

Lagi-lagi, Erde terdiam.

Oh... no.

Erde menghela napas berat. “Gue takut kalo mereka cuma panti biasa.”

Jadi... ini yang membuat Erde terdiam sejak tadi?

“Semua yang lo bilang tadi, masih kemungkinan... 'kan?”

Aku menggigit bibirku. Kepalaku sudah memahami maksud kalimat Erde. Hatiku mendesis sebal. Semua tadi bukan hanya kemungkinan biasa, itu semua kemungkinan besar yang didukung dengan logika yang—

“Belum tentu semua panti di sini ada hubungannya sama Manggala, bisa aja mereka berdiri sendiri dan dua panti lain jadi panti biasa buat sekadar reputasi ke masyarakat, bisa aja panti yang jadi jaringan ilegal Manggala ada di Nilamani, Salura, atau di sini.” Mata Erde menatapku lurus. “Berarti kita juga belum tau pasti apa mereka beneran jaringan ilegal Manggala. Lo sendiri liat 'kan tadi ada banyak panti di sana—panti petirahan, panti asuhan, bahkan ada Panti Wredha di depannya pas.”

Mataku menatapnya datar. Terus?

Erde bangkit, berjalan beberapa langkah mendekati ranjang. “Gue nggak tahu keadaan panti yang lain gimana. Tapi panti yang kita kunjungin tadi bukan jaringan Manggala.”

Kini aku yang dibuat terdiam.

“Jadi ini yang bikin lo diem aja dari pagi?”

Erde tidak menjawab.

Yep. Inilah yang mengusik pikirannya.

Bagaimana bisa aku mengira dia terdiam karena ciuman kami siang tadi?

Mungkin dia sudah melupakannya.

Mungkin hanya aku yang memikirkannya.

Bagaimana bisa aku melupakan fakta bahwa kedatangan kami kemari hanyalah untuk berpura-pura?

Semua yang terjadi di hadapan orang lain hanyalah sandiwara.

“Denger.” Aku ikut berdiri. “Gue nggak tahu apa yang bikin lo jadi nggak mau nerusin—mungkin karena lo nganggep mereka baik, karena panti tadi jauh lebih bagus dari tempat lo dulu atau gimana, tapi ini langkah awal kita buat ngancurin Manggala. Ini hal paling deket yang bisa kita lakuin buat nyingkirin salah satu jaringan mereka.”

“Gue nggak—”

“Oke. Mungkin kita nggak tau apa panti yang baru aja kita datengin beneran jaringan Manggala atau bukan, Ketua Panti di sana juga keliatan baik dan nggak ada celah. Tapi kita bahkan belum selesai nyari tau tentang mereka, Fuji sama Maru juga belum ngasih tau apa-apa. Terlalu cepet buat mundur sekarang. Lo nggak bisa nyampurin perasaan lo ke sini.”

“Haya.”

“Oke, gue tahu lo ikut seneng atau terharu karena anak-anak tadi nggak semenderita elo dulu.” Aku mengabaikan Erde yang berusaha memotong ucapanku. “Mungkin liat anak panti di bawah yayasan yang dulu nyiksa lo dibaik-baikin bikin lo ngrasa kalo yayasan itu udah tobat dan itu cara mereka nebus kesalahannya buat lo, Fuji, sama temen-temen lo dulu.”

“Haya.” Aku dapat mendengar Erde menggertakkan giginya.

“Ohh!” Aku menaikkan dua alisku, “bisa aja lo bukan mau mundur karena yakin panti itu beneran baik, bisa aja lo takut eskpektasi lo yang tinggi itu ancur. Lo takut kalo ternyata lo masih harus ngadepin mereka karena mereka belum tobat.” Aku memicingkan mataku. “Lo cuma pengecut yang pengen kabur dari mereka!”

Grep!

Cengkeraman Erde pada kerah kaosku menghentikan ucapanku.

“Gue nggak peduli mereka baik atau enggak.” Kedua mata Erde memandangku lurus , terlihat jelas dia tersinggung dengan ucapanku tadi, “anak-anak di sana hidup layak. Mereka punya kasur empuk, baju anget, temen, keluarga.” Suaranya bergetar. “Ada orang yang mikirin masa depan mereka, bahkan mereka nggak saingan satu sama lain cuma buat makan karena ada orang yang masakin mereka tiap hari!”

“Kalo jaringan Manggala beneran ada salah satu di antara 3 panti yang lagi kita selidikin—atau dua, atau malah tiga-tiganya,” suara Erde masih mendominasi percakapan, “dan kita berusaha ngancurin mereka...” Ia bersusah payah melanjutkan ucapannya, “... anak-anak tadi juga bakal kena!” Erde menelan ludah. “Anak-anak itu juga bakalan ancur!”

“Lo—”

“Dunia luar belum tentu lebih baik dari kehidupan di panti tadi. Belum tentu pas mereka keluar dari sana, ada orang yang bakal mikirin ke depannya mereka bakal jadi apa, belum tentu ada yang masakin mereka—boro-boro masakin, belum tentu mereka bisa makan!”

Baru saja aku akan menjawab, Erde lebih dulu memotong, “lo mungkin nggak tau rasanya mau mati cuma buat tetep hidup!” Tangannya menunjukku. “Tapi jangan sampe lo biarin orang lain ngrasain itu cuma karena lo nggak tau rasanya! Lo terlalu arogan karena hidup enak!”

Oke. Cukup.

Aku mencekal pergelangan tangan Erde. “Hidup enak?!

Ini adalah limitku.

Aku tidak percaya Erde tidak tahu bahwa kata hidup enak yang dilontarkan pada orang lain adalah hal yang menyinggung dan pantang dilakukan. Jika hidupnya memang sesulit itu, seharusnya ia tahu aku tidak akan berada di hadapannya jika hidupku memang benar-benar enak, aku justru akan berada di hadapan orang lain yang hidupnya sama enaknya denganku!

Darahku mendidih.

“Gue pernah ngubur jasad adek gue di kebun orang!” Rahangku mengeras. “Gue liat keluarga gue satu-satu mati di depan mata gue! Kalo lo mau ceramah tentang mau mati atau hidup enak, jangan ke gue!” Seruku geram, ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku.

Cengekaraman tangan Erde pada kerahku melemah.

“Nggak usah ngrasa hidup lo yang paling menderita dan orang lain hidupnya enak.” Aku menghempas tangan Erde. “Nggak ada orang yang hidupnya enak di dunia ini. Kalo gue bisa milih nggak lahir—” Kalimatku tercekat di tenggorokan. Aku tidak bisa mengucapkannya, akhirnya kalimat itu menguap menjadi helaan napas.

Kakiku bersiap meninggalkan Erde.

“Oh, satu lagi.” Aku melirik Erde, “lo mungkin nggak tau rasanya dikasih rasa aman yang ternyata palsu . Orang-orang di sekitar lo bilang semuanya bakal baik-baik aja padahal lo lagi jalan ke jurang.”

Aku tertawa getir. “Dari awal lo udah hidup di jurang, lo berusaha buat bangkit dari situ seumur hidup. Dan lo pikir lo orang paling menderita karena titik awal lo serendah itu. Tapi gimana orang-orang yang titik awalnya di langit terus berakhir di jurang? Lo pikir jatuh itu nggak sakit?”

Sebelum kembali ke meja kerjaku, aku dapat melihat mata Erde yang berkilat.