Beberapa Hal Hanya Perlu Dirasakan, Tanpa Diungkapkan
Orang pertama yang datang adalah Naresh. Pukul delapan tepat, lelaki itu tersenyum dengan kaos putih dan celana jeans berwarna biru cerah, pakaian khas yang digunakan Naresh kemanapun—sejak dulu.
“Lo masak?” Senyumnya meninggi saat melihat beberapa hidangan di meja ruang tengah Raden.
Raden menggeleng, “gue pesen makan. Ini udah dateng—sisanya masih di dapur, tinggal gue pindahin ke piring aja.” Ia melenggang menuju dapur, “lo tunggu situ aja.”
Namun Naresh tetap mengkuti Raden ke dapur, ia melihat beberapa paper bag yang tersusun di dekat kompor. “Apa nih?”
Mata Raden melirik sekilas pada paper bag yang ditunjuk Naresh, ia sedang mengambil piring, “cookies.” Jawabnya singkat, “gue banyak beli yang rasa coklat, lo suka 'kan?”
“Gue udah nggak makan coklat.”
Gerakan Raden terhenti untuk sepersekian detik.
Oh...
Tangannya cekatan menaruh beberapa piring dari rak, “tapi masih makan pisang, 'kan?” Tangannya menunjukkan beberapa cookies rasa pisang yang diambil dari paper bag.
Naresh tersenyum menunjukkan gigi-giginya, “masih.”
Tubuh Raden lincah beralih menuju paper bag lain, “gue beli french fries juga—buat Leo—”
“Leo udah nggak makan gorengan.”
Tubuh Raden kembali membeku untuk sepersekian detik. Aneh. Ia merasa ditampar dua kali dan merasa dirinya tak tau apa-apa tentang teman-temannya.
“Atau buat yang lain juga bisa.” Raden berdalih cepat.
“Terus ada salad wrap juga,” Lanjut Raden, mengambil box dari dalam paper bag lain, “gue nggak sedia makanan berat, kita nggak bakal dinner di sini.”
Tak ada jawaban dari Naresh.
Kepala Raden segera menoleh saat merasa sepi yang terlalu ganjil—ia tak ingin terkena tamparan lainnya, “kenapa? Ada yang nggak makan sayur?”
Tawa renyah Naresh memenuhi apartemen Raden. “Masih pada makan sayur, kok.” Ia beralih mengambil box berisi salad wrap, “sini gue ikut nyiapin.”
Keduanya sibuk mengeluarkan berbagai makanan dari paper bag dan menatanya di atas nampan dan piring yang telah disiapkan Raden sebelumnya.
“Ini udah?” Tanya Naresh saat tak ada lagi makanan yang masih terbungkus, “atau masih ada lagi?”
“Kopi.” Jawab Raden cepat, “bentar lagi dateng.”
Tangan Naresh berkacak pinggang, senyumnya kembali terlihat, “banyak banget?”
“Sorry.” Raden terkekeh pelan, “udah lama nggak jadi tuan rumah.”
Tak lama, Raden mengambil dua piring lalu memindahnya ke meja kaca di ruang tengah—diikuti oleh Naresh yang juga membawa dua piring di masing-masing tangan.
“Lo mau nikah sama pacar lo ya?”
Hah?
Raden nyaris menjatuhkan piring berisi cookies di tangannya, “kata siapa?”
“Nebak aja, sih.”
“Nggak...” Suara Raden semakin melemah—tunggu, mendadak ia merasa ada jawaban yang lebih pas,, “hmm... belum...?”
“Ooooh.” Ia terkekeh pelan saat melihat wajah temannya bersemu merah. “Kok nggak pernah dikenalin ke kita, sih?”
Raden mendengus mendengar pertanyaan itu, “sama gue aja jarang ketemu, gimana mau ketemu kalian?”
Tawa Naresh kembali terdengar, “kalo bukan buat ngabarin itu, kenapa lo minta kita kesini?” Ia kembali bertanya. Kakinya berusaha mengimbangi langkah cepat Raden ke dapur.
“Entar aja nunggu yang lain dateng.” Raden telah kembali mengambil piring lalu menaruhnya di meja ruang tengah.
Saat menyadari tak ada piring lagi di dapur, Naresh segera ikut duduk di sofa ruang tengah, “penting?”
“Menurut gue...” Raden mengangguk perlahan, “...penting.”
“Gue kepo banget.”
“Tunggu aja.” Raden tersenyum simpul.
Tiga detik kemudian, keduanya telah beralih membicarakan topik lain. Naresh adalah orang yang supel—hampir mirip Julian, ia bisa mencomot topik sembarangan dan memperdalam topik itu hingga menjadi pembicaraan panjang.
Sepuluh menit berlalu, suara bel memenuhi ruangan. Raden segera membuka pintu—mendapati Aji dan Leo datang bersamaan.
“Maaf telat, Bang. Tadi jemput Leo dulu.” Aji tersenyum, ia mengenakan kemeja yang dua kancingnya telah dilepas.
“Dia yang telat jemput gue.” Leo mendecak. Lelaki berkulit putih susu itu mengenakan kaos santai dan celana jeans hitam. “Btw ini pertama kalinya gue dateng ke apart lo.”
“Aji sama Naresh juga baru pertama kesini.” Raden menimpali, ia mempersilakan Aji dan Leo duduk di sofa.
“Helmi?” Leo menaikkan satu alisnya.
Raden mengerjap beberapa kali—membatalkan niatnya untuk ikut duduk, “gimana?”
“Helmi udah pernah kesini?” Leo memperjelas pertanyaannya.
Cepat-cepat Raden menggeleng, “belum. Hari ini pertama juga.”
Leo memberi anggukan dan mulutnya membentuk O kecil.
Tak lama setelahnya, kopi yang dipesan Raden telah datang. Keempat lelaki itu kini berbincang ditemani segelas kopi dan berbagai macam makanan kecil yang telah disiapkan Raden.
Raden baru menyadari. Naresh memang pintar mencari topik pembicaraan, namun kebanyakan topik pembicaraan disopiri oleh Leo. Ia memiliki energi dan ekspresi yang kuat tiap kali menyampaikan sesuatu—apapun yang dibahas Leo langsung membuka jalan untuk perbincangan lebih lanjut.
Dan mungkin itulah salah satu hal yang membuat Raden tak suka. Bukan—bukan tak suka pada Leo. Raden tak suka dengan topik yang dibawa Leo—tak jauh-jauh dari masa SMP dan SMA mereka, berkutat di hal yang itu-itu saja.
Terlebih lagi—lihatlah Aji dan Naresh yang asyik menikmati kopi di tangan masing-masing, mereka tampak menikmati setiap pembicaraan yang diangkat oleh Leo.
Seolah hanya Raden yang tak ingin membicarakan masa sekolah mereka.
Mata Raden mengerjap beberapa kali. Ia tak suka perasaan mengganjal yang membuatnya merasa berbeda dari teman-temannya. Rasa inilah yang akhirnya membuat banyak orang merasa sendiri di tengah keramaian. Persis seperti yang dirasakan Raden saat ini.
Tapi setidaknya Raden akan mengakhiri rasa mengganjal itu malam ini—beberapa orang di luar sana terpaksa terus terjebak di situasi ini hingga sisa hidupnya.
Raden menarik napas dalam-dalam. Benar. Setidaknya, Raden sudah memiliki keberanian untuk mengakhiri rasa mengganjal ini. Ia telah memikirkan semuanya enam bulan belakangan, ia telah menyusun rangkaian kata yang harus ia gunakan untuk malam ini.
Seharusnya, Raden sudah siap. Tapi sekarang ia merasa jantungnya berdegup kencang dan ujung jarinya terasa dingin. Ia mendadak gugup. Seluruh kalimatnya tersangkut di tenggorokan.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Satu menit.
Raden masih membiarkan teman-temannya mengisi suasana.
Baiklah. Setidaknya, Raden harus cepat-cepat memuntahkan apapun yang ada di pikirannya sekarang—sebelum Helmi sampai dan rasa gugup menelan kewarasannya.
“Guys.” Suara Raden terdengar sedikit parau. Saat ia yakin teman-temannya telah menoleh, ia melanjutkan. “Gue mau cerita.”
Hening.
Tak ada lagi suara tawa dan percakapan yang saling bersahutan.
Raden menelan ludah, matanya memandang satu-satu ke arah Leo dan Aji yang ada di sampingnya dan Naresh yang berada tepat di depannya, “kalian udah tau alasan gue putus sama Helmi?”
Pertanyaan itu mencetak tanda tanya besar di antara ketiga temannya. Mereka saling pandang untuk beberapa saat sebelum mengangguk, hanya Naresh yang bergumam, “tau.”
Saat itulah. Raden kembali merasakan kegugupan yang membuat kalimatnya kembali tertelan. Ia mendadak lupa kata apa yang harus diucapkan pertama dan kalimat seperti apa yang harus ia berikan.
Jari-jarinya saling mengusap saat menyadari teman-temannya telah menunggu lanjutan dari pertanyaan Raden sebelumnya.
Pikiran Raden hanya dapat mengingat kalimat yang seharusnya ia ucapkan di ujung pidatonya.
“Gue pengen keluar dari grup kita...” Bahkan Raden sempat tak percaya suara itu berasal dari mulutnya—mau tak mau ia harus menyelesaikan kalimat itu, “...boleh?”
Tak ada jawaban. Ruangan itu membeku. Bahkan Aji mengurungkan niatnya untuk menyesap kopi.
Tiga pasang mata di ruangan itu terfokus pada Raden.
“Bukan karena gue benci kalian—gue cuma...” Raden kembali menelan ludah, ia merasa sebuah batu besar bersarang di tenggorokannya, “gue nggak bisa ketemu Helmi lagi...” Ia memilih untuk membuang pandangannya pada ujung piring di depannya, “dan bareng kalian bikin gue takut kalo...”
Kalimat Raden terhenti. Ia tak tau kata apa yang pas untuk membuat kalimat yang baru diucapkannya menjadi masuk akal. Seluruh kamus di kepalanya menghilang.
Apa yang seharusnya Raden katakan?
Ia berusaha menggali memorinya. Dua hari yang lalu ia telah menulis di laptop apa saja yang perlu disampaikannya. Apa sekarang ia harus meminta waktu sejenak untuk mengintip laptopnya?
Tidak.
Raden harus menyelesaikan ucapannya, seluruh temannya telah menunggu.
“Gue nggak tau.” Suara Raden kembali terdengar setelah jeda yang cukup lama, “it feels like I'm walking on eggshells.”
Sepi kembali mengukung ruang tengah.
Keheningan ini terlalu bising karena Raden dapat merasakan berbagai macam tatapan menghujaninya—walau wajahnya tertunduk dalam.
Raden mengangkat kepalanya, mendapati wajah Naresh yang benar-benar membeku—bahkan matanya tak mengedip.
Lelaki berkacamata itu berdeham, “gue masih bisa dihubungin dan bakal tetep jaga hubungan sama masing-masing dari kalian, tapi gue nggak bisa lagi jadi bagian dari kalian.”
Gerakan pertama yang ditangkap mata Raden adalah alis Leo yang saling mendekat satu sama lain diiringi matanya yang menajam.
“Itu masalah lo sama Helmi.” Seruan Leo akhirnya memecah keheningan.
Semua mata beralih pada Leo—termasuk Raden.
“Harusnya lo selesaiin sendiri antara lo sama Helmi tanpa bawa-bawa kita.” Cibir Leo—ritmenya cepat, telinga Raden nyaris tak dapat menangkap apa yang diucapkan, “emang kita salah apa?!”
Ruangan itu kembali sepi setelah seruan Leo berakhir.
“Makanya lo jangan macarin temen, sekarang kalo udah gini lo bisa apa?”
Raden dapat melihat dagu Leo yang dimajukan—seolah menantang Raden, tubuh lelaki bercelana hitam itu menegap, tangannya mengepal.
“Leo.” Bahkan sebelum Raden menjawab, Naresh sudah lebih dulu memanggil Leo—lebih mirip teguran.
Leo menoleh pada Naresh, matanya menatap sengit, “lo nggak inget pas mereka janji hubungan mereka nggak akan ngrusak hubungan kita? Mereka sendiri yang bilang pas hari pertama mereka jadian. Lo lupa?” Matanya berganti menatap Aji, “lo juga lupa Ji?”
Astaga...
Perjanjian itu. Hanya ucapan sekilas. Sebuah anggukan dan gumaman yang diberikan Raden saat Leo menginterogasi dirinya dan Helmi.
Raden tak menyangka hal-hal sekilas itu tetap dipegang Leo hingga saat ini. “Maaf Le, gue dulu nggak tau kalo bakal gini.”
“Helmi masih nepatin janjinya tapi lo gimana?!” Suara Leo menyambar cepat—nadanya meninggi. Ia mulai melebarkan dua matanya pada Raden—terang-terangan menantang.
“Le,” Aji segera bangkit, duduk di samping Leo, tangannya meremas bahu Leo pelan, “udah.”
“Lo nggak bisa mutus hubungan gitu aja, Den.” Seru Leo sekali lagi, kalau saja bahunya tak dipegang oleh Aji, mungkin Leo sudah beranjak mendorong Raden.
“Kita selalu—”
Ding Dong!
Seruan Leo terhenti.
Raden segera bangkit, berjalan menuju pintu apartemennya.
Helmi.
Dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans pendek, gaya kasual.
“Yang lain udah dateng ya?” Helmi tersenyum, wajahnya lebih cerah dari lampu di atas Raden.
Lelaki berkacamata itu mengangguk sebagai respon. Ia mempersilakan Helmi memasuki apartemennya.
“Heeee—i.....” Wajah Helmi seketika meredup saat mendapati wajah keras Leo dan kediaman yang ganjil dari Aji dan Naresh, “kok gerah banget ya di sini, abis ada apa?”
Helmi baru saja akan duduk di sofa ketika Leo menyambarnya dengan wajah sinis, “urus mantan lo tuh!”
“Leo!” Naresh berseru keras. Matanya menatap tajam temannya. Terdengar desisan pelan dari Aji yang berusaha mengusap bahu Leo—menenangkan.
Kepala Helmi segera menoleh pada Raden, “kenapa?” Tanyanya, lebih mirip bisikan.
Untuk kesekian kalinya, Raden menelan ludah, ia memandang teman-temannya, “gue boleh ajak Helmi ngobrol berdua dulu nggak?”
Alis Helmi saling bertaut, “lo nggak mau jelasin dulu ada apa?”
“Entar gue jelasin.” Jawab Raden lirih, “ngobrol di balkon kamar ya, di situ,” ia menunjuk pintu kamarnya, “gue bukain pintunya dulu.”
Kaki Raden melangkah cepat menuju kamarnya. Kalau bisa, ia ingin terus berjalan hingga melompati balkon kamarnya lalu lari sejauh mungkin.
Seiring dengan langkah kakinya yang menjauh, Raden dapat mendengar Leo menjelaskan situasi yang baru terjadi dengan penuh penekanan
Raden meraup oksigen sebanyak-banyaknya saat ia telah mencapai balkon. Kedua sikunya diistirahatkan pada railing balkon. Matanya memandang keramaian malam dan kerlap-kerlip lampu gedung.
“Hei.” Sebuah suara serak lembut menyapa telinga Raden.
Yang disapa menoleh. “Hei.”
Helmi ikut menyandarkan sikunya di railing balkon, “gue udah denger dari Leo.”
Ah... tentu. Raden juga mendengarnya.
“Sebenernya ini yang paling gue takutin,” Helmi melirik pada Raden, “lo akhirnya makin jauh dari anak-anak gara-gara gue.”
Tak terdengar jawaban dari Raden. Kehadiran Helmi di sampingnya sudah cukup membuat kepalanya berdentum kuat, susah payah ia mengumpulkan keberaniannya.
“Maaf.” Suara Helmi memukul gendang telinga Raden.
Aneh.
Raden tak salah dengar, 'kan?
Lelaki itu segera menoleh, matanya melekat pada wajah Helmi yang juga menghadap wajahnya.
“I messed up everything.” Lanjut Helmi.
Hening.
“Jadi ini ya jawabannya?” Ujung bibir Helmi terangkat, tersenyum getir, “kita nggak bisa temenan lagi?”
Raden mengangguk, “iya.”
“Apa gue aja yang jauhin anak-anak?”
Cepat-cepat Raden menggeleng, “jangan. Gue aja.”
“Maaf.” Helmi mengalihkan pandangannya dari Raden, “gue beneran ngancurin semuanya. Hubungan kita...” Ia terhenti sejenak, wajahnya menunduk dalam, helaan napas kasar terdengar sebelum Helmi melanjutkan, “semuanya.”
Iya. Iya. IYA.
Raden ingin meneriakkannya kuat-kuat. Ia ingin Helmi menanggung seluruh luka yang selama ini ia bawa sendirian. Ia ingin melimpahkan seluruh peristiwa ini pada Helmi. Ia ingin Helmi menyesali setiap keputusan yang dibuat setelah mengkhianati Raden.
Tapi Raden tak bisa melakukannya. Malam ini ia mengumpulkan keberanian untuk menyelesaikan masalah, bukan menambahnya.
Dan Raden mengingat sebuah kata yang dilihatnya di papan mading SMA saat ia mengambil rapor milik Aiden. Be Humble.
Ia juga mengingat bagaimana kerendahan hati Julian dapat membawa ketenangan di hidupnya.
Untuk itu, Raden juga akan bersikap rendah hati. Ia akan merendahkan egonya—semaksimal mungkin.
“Gue juga minta maaf.” Jawab Raden akhirnya, “gue tau lo pengen gue tetep biasa aja sama lo, sama temen-temen—tapi gue nggak bisa. Gue nggak sehebat itu.”
“Masa sih beneran nggak bisa?” Helmi merubah posisi, menolehkan seluruh tubuhnya pada Raden, “atau gini aja, setiap kita kumpul, kalo lo dateng, gue nggak bakal dateng, vice versa. Gimana?”
Raden nyaris mengumpat.
Seharusnya Raden tau kerendahan hati tak bisa diberikan pada sembarang orang—termasuk Helmi. Lelaki itu jelas akan menggunakan kerendahan hati orang lain untuk alas pijakan.
“Ribet ya...” Gumam Helmi. Ia menyadari wajah Raden yang menatapnya dingin, “kasian anak-anak.” Ia kembali menyandarkan dua sikunya di railing balkon.
Beberapa detik kemudian, yang terdengar hanya suara hembusan angin malam.
“Kayaknya lo udah mikirin ini dari lama ya?”
Raden menoleh sekilas, “iya.”
“Lo nggak bisa mikirin sekali lagi?”
Kini Raden melirik Helmi tajam. Lihat, 'kan? Bahkan saat Raden tak merendahkan hatinya pun Helmi berani menggunakannya sebagai pijakan.
“Sorry.” Helmi cepat-cepat menambahkan, sedikit gelagapan.
Tak ada jawaban dari Raden.
“Jadi habis ini gue nggak boleh chat lo lagi?”
“Kalo penting...” Raden menimang sejenak, “boleh.”
“Sorry... sorry...”
Raden menoleh cepat saat Helmi membenturkan dahinya di railing balkon, tangannya juga ikut menepuk-nepuk besi dingin itu. “Gue ngancurin semuanya. Harusnya gue nggak ngelakuin itu semua, sorry gue goblok banget—”
“Udah.” Tangan Raden cepat-cepat menghalangi dahi Helmi dari benturan, “jangan terlalu nyesel.”
Helmi tak menjawab.
“Itu jalan yang lo buka buat ketemu jodoh lo sekarang.” Lanjut Raden, ia menarik tangannya saat dirasa Helmi tak lagi berusaha membenturkan kepala, “dan jalan buat gue ketemu sama pacar gue yang sekarang. Harusnya gue bilang makasih.”
Sepi.
Ucapan Raden menusuk seluruh tulang Helmi melebihi angin malam yang dingin berhembus.
Ujung bibir Raden terangkat. Ia menyadari ia tak perlu mengatakannya pada Helmi, namun ia tak kuasa untuk tak mengucapkannya. Raden akan melepaskan seluruh sesal dan beban yang terus menggelayuti dadanya selama ini, setidaknya Helmi harus merasakan sedikit kepahitan Raden.
Suara ketukan pintu balkon membuyarkan lamunan Raden. Di balik pintu kaca itu berdiri seorang lelaki dengan senyum lebarnya.
Naresh.
“Kalian sebenernya jadi ngobrol nggak? Gue liat malah diem-diem aja.” Ucapnya, kakinya dilangkahkan mendekati kedua temannya.
Raden dan Helmi saling melirik untuk beberapa saat.
“Udah selesai.” Jawab Raden.
Naresh menoleh pada Helmi yang terlihat lesu, “gue mau ngobrol bentar ama Raden, bisa?”
Tak ada jawaban. Hanya anggukan kecil. Helmi melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
“Lo nggak apa-apa?”
Raden tersenyum—setidaknya masih ada yang peduli pada keadaannya, “nervous, dikit.”
“Leo sayang banget sama lo, Den.” Naresh menyandarkan punggungnya di dinding balkon, “Aji juga.” Ia menatap Raden lurus-lurus, “gue juga.”
Raden tak bergeming.
Ia tau.
Dulu Raden dapat dengan mudah merasakan kasih sayang teman-temannya, namun kini ia hanya melihat teman-teman yang mengasihaninya dan memaksakan kebahagiannya pada Raden.
Atau mungkin, mereka memang masih menyayangi Raden hingga saat ini, namun Raden ingin memadamkannya—ia tau pikirannya sekarang amat kejam, namun Raden tau, ia tak menginginkan kasih dari teman-temannya—apapun bentuknya, entah kasih sayang atau belas kasih.
“Ini pertama kalinya mereka ditinggal temen.” Suara Naresh kembali terdengar, “maaf kalo omongan Leo nyakitin lo.”
Raden tersenyum, ia tak berhak memberi maaf pada Leo. Dirinyalah yang seharusnya meminta maaf pada Leo. Raden memilih fokus pada kalimat pertama Naresh, “Kalo lo? Udah pernah?”
“Sering.” Naresh terkekeh, “gue dulu punya banyak temen dari OSIS, HIMA, BEM, band. Tapi cuma beberapa doang yang masih temenan sampe sekarang. Ya... lo tau lah siapa aja.”
Raden kembali tersenyum. Tentu ia tau—dulu—ia menyaksikan bagaimana Naresh menambah jumlah teman tiap hari. Di sekolah, di kampus, di media sosial—banyak.
“Lo udah yakin sama keputusan lo?” Tanya Naresh akhirnya, pertanyaan ini adalah tujuan utamanya menemui Raden di balkon.
Yang ditanya balas mengangguk. “Udah.”
Naresh menggigit bibirnya, tersenyum simpul, “oke deh.” Ia sudah siap beranjak meninggalkan balkon, namun langkahnya terhenti—kembali menoleh pada Raden, “kayaknya baru kali ini ya lo ngomongin tentang hubungan lo sama Helmi?”
“Abis kalian putus.” Tambahnya cepat-cepat.
“Iya.” Raden mengangguk sekilas, “Sorry baru bisa bilang sekarang.”
“Nggak apa-apa. Gue seneng lo mau jujur ke kita.” Naresh mengangkat tangannya, menepuk bahu Raden, “emang sih, dari dulu lo selalu ngambil keputusan yang keren.”
Senyum Raden meninggi, “thanks.“
Naresh menarik tangannya, memasukkannya ke dalam saku. “Gue bakal berusaha ngomong sama Leo. Kalo Aji udah aman, dia selalu nurut sama lo.”
Ucapan Naresh memberatkan rongga dada Raden.
Ia tau. Dulu Aji telah seperti adik kandungnya sendiri, ia anak yang polos dan selalu takjub pada hal-hal baru. Dulu, Raden menyukai cara pandang Aji pada dunia.
Bibir Raden kembali naik, “thanks lagi.”
“Kita masih bisa ngobrol, 'kan?”
“Masih.”
“Lo masih bakal ngundang kita ke nikahan lo, 'kan?”
“Iya.”
“Oke, then,” senyum Naresh makin melebar menghias wajah, “it's enough.“
Raden balas tersenyum. Memang begitulah Naresh. Dari dulu hingga sekarang, ia cenderung menerima apapun tanpa banyak bertanya—mulai dari hal sepele seperti kado dan hal yang tak bisa disepelekan seperti takdir.
“Oh iya, Raden,” Naresh kembali menoleh saat kakinya telah sampai di ambang pintu, “satu lagi.”
Dua alis Raden naik. Apa?
“Lo selalu bisa balik ke kita, kapanpun.”