Bertemu Musa

TW // Domestic violence

An unspoken problem, with uneasy answer

Aduh, kamu sudah pernah lihat sosok terkuat justru terkulai lemas?

Kalau belum, kamu harus lihat kondisi Musa sekarang.

Tidak seperti Musa yang suka petentang-petenteng bersama Laut di Warung Pak Eko, ia terduduk di tanah. Kakinya tertekuk dan kepalanya terbenam dalam lutut.

Regan mendekat,

“Musa?”

Bukan main, Musa memang luar biasa.

Badannya sedikit tersentak namun kepalanya sama sekali tak terangkat,

“Kenal?” jawab Musa tak bergeming. Kepalanya masih setia terbenam.

“Hmm...”

Regan serba salah, mungkin Musa sedang tak ingin diganggu.

Yaudah mending gue nangis di tempat lain, batin Regan mengajukan saran.

Kakinya beranjak namun retinanya menangkap kilatan familier yang mengintip di antara remang malam.

Langkah yang awalnya hendak berbalik bermanuver mendekat.

“Musa,”

Regan berjongkok di depan Musa.

Cahaya lampu jalan saling menyalip di antara dedaunan yang mengelilingi taman. Dalam remang yang menyelimuti, Regan melihat rona ungu dan rona kulit saling mengisi.

Jika mata mampu bersuara maka bola matanya akan menjerit sampai pita suaranya tercekik.

Regan tau. Terlampau tau.

Rona ungu itu, Mama juga punya satu.

Jika tangan bisa bersuara, Regan ingin berbincang dengan tangan Musa. Ia ingin bertanya dan menuntut, kenapa?

Kepala Regan sekali lagi dihujam duri-duri kenangan yang datang tanpa minta diri.

Regan pernah bertanya pada Mama, tangan Mama kenapa?

Mama hanya tersenyum, perih dan luka terpaksa dikulum.


Mata Regan menelisik apa yang bisa ditilik.

Musa mengenakan jaket dan celana denim. Surainya tak tersisir, sepatunya putih bersih.

Hanya sedikit yang bisa ditilik. Lebam di pergelangan tangan pun hanya mengintip.

“Tanganmu lagi sakit ya?”

Regan ragu dalam tutur, nadanya lembut dan penuh takut. Bagaimana jika nanti ada yang tersulut?

Mulut Musa terdiam namun jemarinya sibuk menggenggam gelang tangan, memisah lebam dan mata Regan.

Sekali lagi, Regan teringat Mama.

“Nggak usah ditutupi.”

Mata Regan menatap ngeri jemari Musa yang masih erat menggenggam,

“Nanti makin sakit.”

Angin malam pun tak sempat mencegah jari Regan yang melayang pada ujung jemari Musa.

Go away!

Seluruh tubuh Musa menyeruak tak sabar.

Tangannya menepis kasar, matanya menatap gusar. Regan jatuh mundur, nafasnya tak teratur.

“Maaf—”

Pupil mata Regan membesar, ia terkejut melihat luka lebam bermekar di bawah mata Musa.

Terlalu sakit untuk disaksikan, terlalu perih untuk dirasakan.

Duri-duri memori merambat dalam jantung Regan yang telah lama melarat.

Regan terkulai lemas di tanah, tak tau harus bagaimana.

Kalut. Kusut. Semrawut.

Tidak tau.

Tubuh Regan berpijak pada rerumputan namun ingatnya ditarik kembali pada rumah kecil di pinggir jalan kota, rumah Papa.

Mata Regan bersaksi pernah melihat luka yang sama di wajah Mama.

Pipi lebam, mata sayu, rambut kusut.

Bedanya, Mama memiliki sedikit senyum.

“Sa—sakit ya?”

Tak perlu ditanya. Bahkan rumput yang membuang muka saat melihat angin berdansa dengan daun gugur pun dapat mengamini seberapa perih pipi Musa.

“Pergi.”

Persis. Mama dan Musa, keduanya hanya beda tipis.

Mengusir. Dulu Regan juga dipaksa minggir, dengan dua kata yang lebih panjang, 'Tidur ya, Nak.'

Tapi Musa bukan Mama.

Regan merangkak perlahan di samping Musa, ia sandarkan punggungnya pada bangku taman, tangannya melingkar di lutut yang tertekuk.

“Nggak, aku juga mau nangis.”