Biarkan Ragumu Berenang di Permukaan
“Oma kok kayak siap-siap tadi, mau ikut kerja bakti juga?” Tanya Julian begitu Raden memasuki mobilnya.
Raden menggeleng, “paling cuma mau ikut kumpul di rumah Bu Lily.”
“Oh, nggak mau bareng sekalian?”
“Nggak, tadi katanya mau bareng Bu Lilis.” Raden mengenakan sabuk pengaman.
Suara Eyang masih terbayang di kepala Raden.
Pacaran main-main? Eyang ngira aku sama Helmi cuma main-main? Eyang ngira penyebab aku sama Helmi putus itu karena kita cuma main-main?
Main-main memang menyenangkan. Tapi bermain perasaan selama 5 tahun? Siapa yang kuat?
Raden menghela napas kasar. Kenapa sih Eyang selalu pintar menyinggung perasaannya?
“Kamu kenapa?”
Kepala Raden segera ditolehkan, terkejut mendapati gelagatnya sedari tadi diperhatikan oleh kekasihnya, “apanya?”
“Mukamu cemberut dari tadi.”
“Eh? masa sih?” Buru-buru Raden mengangkat pipi, menyunggingkan senyum canggung.
Mata Julian menyipit, ia merasakan ada kejanggalan di wajah Raden. Tapi apa? “Aku ada salah ya?”
Raden segera menggeleng. “Nggak, Mas.” Jawabnya cepat.
“Terus kenapa?” Pikiran Julian segera ditarik ke belakang—pada pertemuan mereka semalam. Mungkin ada hal yang ia lewatkan hingga Raden terbangun dengan beban di rongga dada?
“Tadi malem kamu keliatan baik-baik aja,” Ia menggumam pelan, “hari ini kenapa?”
Raden menggigit bibir. Mendadak ia ingin melihat cermin, memang suasana hatinya tercetak jelas di wajah ya? Kenapa bisa Julian begitu mudah menebak perasaannya?
“Nggak apa-apa, Mas.” Raden akhirnya mengulurkan tangan, mengusap punggung tangan Julian sekilas, “beneran.”
Jantung Raden seperti siap meledak saat Julian menatapnya lurus-lurus. Mengamatinya begitu dalam, seolah lelaki itu sedang menyelam di matanya.
“Pagiku ada yang kurang kalo nggak liat senyummu.”
Mau tak mau bibir Raden terangkat, “apaan sih?! Gombal!” Serunya sembari membuang muka, “Udah ah! berangkat yuk!”
“Nah. Sekarang pagiku udah lengkap.” Julian ikut mengulum senyum.
Ya ampun...
Tak seperti yang dibayangkan Raden, kerja bakti hari ini ternyata jauh lebih berat. Ia mendapat tugas membereskan pagar yang telah rusak lalu membantu bapak-bapak lain memasang pagar baru. Tak sulit karena pagar yang dipasang adalah pagar kayu. Namun dengan sengatan matahari dan jumlah papan pagar yang harus dipasang, Raden merasa pinggangnya terasa kaku dan punggungnya terbakar.
Pukul satu siang. Akhirnya pemasangan pagar (dan pembersihan halaman depan) selesai. Raden memilih untuk istirahat di halaman belakang rumah Pak Ridwan. Ada kebun kecil di halaman ini. Areanya dibatasi dengan pagar bambu kecil, lalu di balik pagar terdapat jalan setapak—sebrangnya lagi, berpetak-petak sawah.
“Mas, nggak ikut makan?”
Raden menoleh. Istri Pak Ridwan sudah bertengger di pintu belakang.
“Nanti aja Bu, masih mau ngadem.”
Wanita itu terdiam, mengangguk sekilas lalu segera kembali ke dalam. Tak lama ia membawa es teh, lengkap dengan kue-kue kecil di piring, “dimakan ya, Mas. Nanti kalau laper langsung masuk aja.”
Raden segera bangkit, menerima uluran piring dan gelas itu lalu ditaruh di sampingnya—hanya ada satu kursi panjang di halaman belakang. “Makasih, Bu.”
Lelaki berkaos putih itu kembali duduk lalu menyandarkan punggung. Matanya mengamati bentangan biru langit yang sedikit tergores dengan garis-garis awan putih. Hembusan angin menyapa kulit wajahnya, meredakan peluh-peluh yang perlahan mengering.
Raden terpejam.
“Aku cariin dari tadi.”
Mata Raden sontak terbuka—ia segera menoleh.
“Eh, Mas? Kirain ikut makan di depan?”
Julian—yang kaos hitamnya terlihat penuh debu dan serbuk putih—menggeleng. “Nggak ada kamu.”
Raden terkekeh, ia mempersilakan Julian duduk di sampingnya. “Terus dari tadi kamu ngapain?”
“Nyariin kamu.” Julian ikut duduk, matanya mengerling.
“Apaan sih?” Raden tertawa, “beneran, Mas.”
Lengang.
Ganjil.
Raden segera menoleh, mendapati Julian hanya terdiam memandang pohon cabai yang buahnya masih hijau. Lelaki itu menggigit bibirnya dengan pandangan tiga per empat ke bawah, sebuah kebiasaan yang hanya muncul saat Julian tengah berpikir.
“Kenapa, Mas?”
Mata Julian melirik, namun lelaki itu tetap tak menjawab.
“Mau minum?” Raden menawarkan es tehnya.
Julian menggeleng.
“Terus?”
“Aku tadi abis ngobrol sama Oma.”
Deg.
Sebuah gong seolah baru saja dipukulkan di jantung Raden.
“Ngomongin apa?” Tanyanya hati-hati.
“Hubungan kita.”
Oh.
Raden segera menegakkan posisi duduk.
Oh pantas Julian terlihat murung.
Mungkin Eyang membicarakan hal-hal yang sedari kemarin dituntut pada Raden.
Lelaki berkaos putih itu melirik kekasihnya. Ia kurang pintar membaca ekspresi orang lain, tapi Julian terlihat cukup kecewa di matanya.
Mungkin Julian merasa risih karena Eyang terkesan terburu-buru dan memaksakan hubungan mereka yang baru dimulai.
Atau Julian akhirnya tersadar hubungan mereka terlalu rumit untuk dilanjutkan?
Raden mendesis pelan. Ulu jantungnya terasa nyeri membayangkan berbagai kemungkinan.
Dengan alasan apapun, Raden tak ingin Julian terlalu memikirkan ucapan Eyang.
“Mas, kamu nggak perlu—”
Belum sempat ucapan Raden selesai, Julian lebih dulu menoleh, “itu yang bikin kamu kepikiran dari kemarin?”
Raden terdiam.
“Yang mau kamu omongin ke aku kemarin,” Julian memberi jeda pada ucapannya, “sebenernya tentang ini?”
Raden masih terdiam.
Julian menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan, “kenapa nggak bilang?”
“Aku nggak—” Raden kembali terdiam. Ia tak siap dengan topik apapun yang menantinya di ujung pembicaraan.
Bagaimana kalau pembicaraan ini mengantar keduanya pada jalan buntu dan satu-satunya arah yang tersisa adalah menapaki jalan masing-masing?
“Oma bilang, beliau udah nyuruh kamu buat ngomongin ini ke aku. Kenapa kamu nggak bilang?”
“Aku—” Dan Raden kembali terdiam. Ia melirik kebun di sampingnya lalu membuang tatapannya pada piring di depan tangan. “Aku masih nunggu moment yang pas buat bahas ini semua ke kamu, Mas.”
“Moment yang pas ini kapan?”
Kini Raden menggigit bibir, memilih untuk menumpahkan apa yang dirasakan, “aku nggak tau mau ngomong gimana, Mas. Hubungan kita baik-baik aja, kita baru mulai semuanya, pembicaraan kayak gini terlalu berat nggak sih?”
Kerut-kerut di wajah Julian mulai menghilang, ia menghela napas sebelum kembali membalas, “kalau menurutmu berat, kenapa kamu simpen sendiri? Bukannya malah tambah berat?”
Lengang.
Hanya ada suara angin yang bertiup melewati keduanya.
“Raden,” Julian membenarkan posisi duduk, menghadap Raden seluruhnya. “Kamu inget, 'kan? Kamu nggak lagi pacaran sendiri, kamu pacaran sama aku.”
Masih tak ada jawaban dari Raden.
Tentu. Raden tau.
Raden tau hubungan ini seharusnya dijalani dan dipikirkan dua arah.
Tapi apa pantas membuat Julian ikut memikirkan kekhawatiran yang belum tentu terjadi? Apa pantas berpikir sejauh itu saat keduanya baru memulai?
Terlalu banyak takut dan ragu yang menghalangi Raden untuk mengucapkannya. Namun Raden harus mengakui, semua ini terlalu menyesakkan untuk disimpan sendiri.
“Ini yang aku bikin aku khawatir sama kamu, Raden.”
Lelaki berkaos putih itu sontak mengangkat wajah, merasa isi kepalanya baru saja dibaca Julian.
“Aku takut kamu mikirin apa-apa sendirian.” Julian mengamati Raden yang masih tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab ucapannya, “aku bakal ngerasa lebih dihargain kalo kamu mau ngomongin tentang ini ke aku.”
Iyakah?
“Aku pengen kamu tau aja. Kamu penting buat aku. Hubungan kita juga penting buat aku.”
Iyasih...
Dan sekarang, Raden merasa bersalah.
Tapi Raden tak bisa mengelak bahwa mulutnya seperti terkunci saat disuruh membahas tentang hal-hal yang berujung pada perpisahan. Mudah bagi Eyang dan Julian untuk memaksanya membicarakan hal ini. Raden juga sempat berpikir demikian, nanti deh aku bahas sama Mas Iyan.
Nyatanya?
Nanti akhirnya tak pernah berujung pasti. Lidahnya kelu dan hatinya ragu.
Raden tak pernah siap dihadapkan pada perpisahan.
“Eyang bilang apa aja, Mas?” Tanya Raden—setelah dua menit tak bersuara.
“Ngomongin kamu, katanya kamu harus balik ke kota minggu depan.”
“Udah?”
Julian mengangguk, “kurang lebih tentang itu.”
“Menurutmu gimana, Mas?” Tanya Raden hati-hati.
“Apa? Tentang kamu balik minggu depan?”
Raden menggeleng pelan, “tentang LDR. Aku belum pernah.”
Mata Julian dialihkan pada piring dan gelas di depannya, ia terdiam sejenak, “aku juga belum.”
Hening.
Angin kembali bertiup tanpa permisi. Tiap hembusnya mengusap siapapun yang dlewati—tubuh Raden, tubuh Julian, dedaunan, dan pagar bambu.
Terlihat seorang lelaki melewati jalan setapak—salah satu petani—tengah dalam perjalanan ke petak sawah yang akan digarap. Raden dan Julian sempat mengangguk sekilas—memberi senyum saat pandangan mereka bertemu dengan petani itu.
“Raden?”
Yang dipanggil segera melirik, “iya?”
“Kamu tau nggak. Tadi malem, dari sebelum tidur sampai pagi ini aku jemput kamu, aku kepikiran kamu terus?”
Lengang sejenak. “Nggak tau....”
“Kemarin pas aku di toko, aku juga mikirin kamu.”
Raden tak menjawab.
“Bahkan tadi, pas aku lagi nambal dinding, aku juga kepikiran kamu.”
Mata Raden mengerjap beberapa kali, “kamu... lagi ngegombal ya?”
Julian menggeleng, “sama sekali nggak.”
Mau tak mau bibir Raden sedikit terangkat—tapi segera ia turunkan saat melihat raut serius di wajah Julian, “terus?”
“Aku belum pernah nyobain hubungan jarak jauh. Tapi kayaknya aku bisa.”
Lagi-lagi, Raden tak mampu berkata-kata. Ia tak menyangka arah pembicaraan Julian akan kesana.
“Sejak bareng sama kamu, aku nggak pernah ngerasa sendirian.”
Tapi kalimat Julian seolah meleleh di telinga Raden, menimbulkan rasa geli di daun telinga, mau tak mau Raden tetap tersenyum, “karena kamu mikirin aku terus?”
Julian mengangguk mantab, “iya.” Lalu dahinya berkerut saat melihat Raden membalas dengan kekehan pelan, “kok malah ketawa?”
“Eh, maaf, Mas.” Raden masih berusaha mengendalikan senyumnya, “Tapi—ehm—bukannya kalo kepikiran terus, malah ganggu kerjaan sehari-hari ya?”
Walaupun kesal kalimatnya dianggap bercanda oleh Raden, Julian mau tak mau ikut tersenyum sebelum akhirnya merespon kalimat Raden dengan menggeleng, “aku sih enggak, malah rasanya kayak kamu lagi nemenin aku.”
Raden menggigit bibir. Menahan senyum yang siap meledak.
“Kalo kamu?” Lanjut Julian, “apa LDR bakal ganggu pikiranmu?”
Mata Raden mengerjap beberapa kali, tak menyangka pertanyaan itu akan kembali padanya. “Eh—hmmm—nggak tau.”
“Kok nggak tau?” Julian sedikit memiringkan kepalanya, “tapi menurutku, kamu bukan tipe orang yang bakal keganggu sama hal-hal kayak gini.”
“Hal-hal kayak gini?”
“Iya.” Julian mengangguk, “aku yakin kamu bakal lebih fokus sama urusanmu daripada aku.”
“Urusanku?” Raden memastikan kalimat yang baru saja didengarnya.
“Iya.”
“Kamu juga urusanku, Mas.”
Wah. Julian tak pernah menyangka suatu saat wajahnya akan memerah karena mengetahui hidupnya diurusi orang lain. “Ya—maksudnya—iya sih.” Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal, “maksudku—aku mikirnya, kamu bakal lebih mentingin kuliahmu daripada aku. Dan besok, bakal lebih mentingin kerjaanmu juga daripada aku.”
Besok?
Kini jantung Raden dibuat berdesir tak karuan mendengar ucapan Julian.
Besok Raden akan lebih mementingkan pekerjaan?
Julian mengatakannya... sekarang? Saat Raden bahkan belum menyelesaikan S2-nya?
Yang artinya... Julian berpikir hubungan mereka akan bertahan... selama itu?
Susah payah Raden menyembunyikan senyumnya, “kok kamu mikir gitu, Mas?”
“Iya. Kamu bisa lolos tes kerja padahal abis—hmm—kejadian itu. Kamu juga ambil S2 pas lagi sedih-sedihnya. Perasaanmu nggak bisa ngalangin kamu buat terus maju.”
Tawa Raden berhambur, “aku keliatan sekaku itu ya?”
Julian ikut tertawa—ia tak tau di mana letak kelucuan kalimatnya; tapi Raden terlihat lucu di matanya, “bukan kaku, Sayang. Itu bagus, nggak semua orang bisa kayak kamu. Aku juga nggak bisa.”
“Masa sih?”
“Iya,” Julian mengangguk, “aku yakin, besok kalo kita berantem dan sama-sama emosi, kamu bakal punya pemikiran yang lebih rasional daripada aku.”
Dua alis Raden terangkat, “kamu sepercaya itu sama aku?”
“Iya.”
Dan Raden hanya dapat tersenyum.
“Mas,” Panggil Raden setelah keduanya menikmati segelas es teh untuk berdua, “pas diajak Eyang ngobrol tadi, kamu jawab apa?”
Julian tak langsung menjawab, ia memikirkan kalimat apa yang tepat untuk merangkum jawabannya pada Eyang.
“Aku jawab kalo aku serius sama kamu.”
Meski jantungnya berdetak cepat saat mendengar jawaban Julian, Raden tetap berusaha terlihat tenang, “terus? Eyang jawab apa?”
“Nggak jawab apa-apa, cuma ngangguk doang.”
“Besok kalo aku ditanyain Eyang lagi, aku jawab gitu aja ya? Aku serius sama Mas Iyan?”
Dan kini jantung Julian yang dibuat berlompatan, ia tertawa, “yang lain, dong.”
“Kenapa?”
“Nggak kreatif. Plagiat.”
Raden tertawa, “oke, nanti aku pikirin jawaban yang lebih orisinil.”
Julian ikut tertawa. Lesung pipinya terlihat jelas.
Setelah menyantap satu kue, Julian kembali membuka percakapan, “abis ini mau kemana? Tadi malem kamu bilang kita mau jalan-jalan, 'kan?”
Sebuah gumaman terdengar dari mulut Raden, “pulang dulu nggak sih, Mas?”
“Hmmmm, mau ke rumahku?”
Satu alis Raden terangkat, “ngapain?”
“Main?”
“Kan udah pernah?”
“Belum.”
“Udah.” Jawab Raden dengan tekanan, ia ingat jelas kakinya penah menapak di lantai rumah Julian, “aku udah sering ke rumahmu.”
“Nggak. Nggak.” Julian menggeleng, “Kamu belum pernah ke rumahku sebagai pacarku, ya 'kan?”
Oh?
Memang apa bedanya?