Bincang Pagi.

Suara kicau burung terdengar jelas dari ruang makan. Raden baru saja mencuci piring setelah menyajikan teh hangat dan beberapa camilan di ruang tamu.

Suara para ibu yang ramai berbincang dengan Eyang samar-samar terdengar.

Di antara cahaya mentari pagi yang menembus ventilasi dan angin pagi yang berhembus melalui pintu menuju halaman samping yang sedikit dibuka, Raden tengah menyandarkan punggung sembari mengusap layar ponsel.

Nggak ada berita menarik pag—

“Pagi, Raden.”

Sebuah suara muncul dari belakang Raden.

Yang disapa segera menoleh, mendapati Julian sedang berjalan dari ruang keluarga yang menjadi penengah antara ruang tamu dan ruang makan—yang digabung dengan dapur.

“Mas Iyan?” Mata Raden mengikuti Julian yang menarik kursi di seberangnya, duduk di sana, “Katanya mau jengukin Eyang?”

“Iya, tadi udah selesai ngobrol sama Eyang,” Tangan Julian menaruh cangkir tehnya yang dibawa dari ruang tamu, “Sekarang semua ibu-ibu lagi pada ngobrol.”

Raden terkekeh, tau persis maksud kata ngobrol yang diucap Julian, “Kamu nggak ikut ngobrol?”

Julian tersenyum, menggeleng, “Informasi yang dibagiin terlalu banyak.”

Raden kembali terkekeh, ia menegakkan posisi duduk, “Kamu udah sarapan, Mas? Aku ada nasi sama sop kalau kamu mau. Sopnya masih anget.”

“Udah sarapan, kok. Tadi makan dulu sebelum berangkat.” Julian menyesap teh yang masih hangat lalu menaruh kembali cangkir ke meja, “Kamu udah sarapan?”

Raden menggeleng.

“Lho? Kok malah belum?”

“Tadi sih, niatnya mau sarapan. Tapi dapet kabar bakal ada tamu, nggak jadi sarapan deh.” Raden tersenyum, melirik Julian untuk melihat ekspresi tamu yang disindirnya.

Julian kontan tertawa, paham sindiran itu ditujukan untuknya, “Sebenernya orang sini kalau mau jenguk langsung jenguk aja, nggak pakai ngabarin.”

“Terus kenapa kamu ngabarin?”

“Biar kamu nggak kaget aja sepagi ini udah dapet tamu banyak banget.” Julian tersenyum , menunjukkan lesung pipi.

“Justru aku malah disuruh bikin gorengan dadakan sama Eyang.”

“Oh, yang bener?” Dua alis Julian terangkat, “Oh iya maaf aku lupa Eyang totalitas banget dalam hal menjamu tamu.” Ia terkekeh pelan.

Raden hanya membalas dengan senyum singkat. Tangannya telah melepas ponsel, ia memainkan jari di atas meja.

Suara bincang asyik di ruang tamu terdengar hingga ruang makan lalu sedetik kemudian gelak tawa saling bersautan.

Raden menatap jari telunjuknya yang menyentuh satu sama lain. Keramaian di ruang tamu mengingatkannya pada acara masak-memasak di rumah Bu Ares kemarin.

Persiapan arisan kemarin ramai. Namun tak seramai hari ini. Ada lebih banyak tetangga yang menjenguk Eyang.

Hanya saja, Raden heran.

Baru kemarin beberapa dari orang di sana membicarakan satu sama lain. Sekarang mereka dapat tertawa bersama seolah acara menggosip kemarin tak pernah dilakukan.

“Kok bisa ya?” Ucap Raden, tak terlalu keras namun masih tertangkap daun telinga Julian.

“Apanya?” Julian menimpali.

Raden melirik sekilas, sedikit terkejut Julian mendengarnya, “Itu,” Ucapnya, lebih mirip gumaman, “Keliatan akur gitu.” Mata Raden kembali fokus pada jemarinya

Dahi Julian mengernyit, “Siapa?”

“Ibu-ibu itu,” Raden mengangkat wajah, menatap Julian, “Kemarin Bu Lilis abis ngomongin Bu Maya, Budhe abis ngomongin Bu Wahyu. Tapi sekarang semuanya ketawa bareng gitu.”

“Terus kamu maunya mereka ngapain?”

“Ya...” Raden mencondongkan tubuh, menaruh siku di atas meja, “Maksudku gini lho,” Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun, “Nggosipin orang emang... cukup seru. Kita jadi tau hal-hal nggak biasa yang dilakuin orang lain.”

Julian menyimak, menunggu Raden melanjutkan kalimat.

“Tapi...” Ucapan Raden sedikit terjeda saat menyadari Julian menatapnya dengan serius, “Karena kita tau hal-hal nggak biasa yang mereka lakuin. Rasanya jadi susah buat tetep biasa aja sama-sama orang itu...” Kalimatnya menggantung saat ia menyadari raut wajah Julian yang terlihat tak relate dengannya.

“Maksudnya,” Lanjut Raden, “Misal, susah buat aku tetep biasa aja ngobrol dan ketawa bareng Bu Maya pas aku tau beliau punya sifat hedon tapi suka ngutang dan telat bayar gitu...”

“Terus,” Raden masih mendominasi percakapan, “Bakal susah buat aku ketawa bareng Bu Wahyu pas aku tau, beliau istri kedua Pak Wahyu—yang mereka aja nikah belum lama abis Pak Wahyu cerai.”

Julian masih menatap Raden dengan takzim.

Raden mengerjap beberapa kali, “Itu cuma menurutku,” Telunjuknya bergerak seolah mempertegas kalimatnya baru saja, “Aku cuma heran aja kenapa bisa gitu. Nggak maksud ngatain orang lain munafik dan aku orang paling bener—”

“Iya, iya,” Julian terkekeh pelan, ia mencondongkan tubuh, ikut menaruh siku di meja, “Aku paham, kok.”

Julian menyisip tehnya sebelum melanjutkan ucapan, “Aku pernah punya temen kayak kamu.”

“Kayak aku?”

Juian mengangguk, “Sifat yang kayak gini, yang baru aja kamu sebutin,” Ia mengusap dagu, berpikir, “Apa ya sebutannya?”

Raden tak menjawab pertanyaan Julian, ia masih belum paham.

“Dia orangnya jujur dan tegas banget.”

Dua alis Raden bertaut, ia tak merasa dirinya jujur dan tegas, apalagi dua kata sifat itu ditambah penekanan banget di belakangnya.

“Kalau dia nggak suka orang. Ya dia nggak suka. Dan nggak bisa pura-pura suka atau keliatan biasa aja di depan orang itu.” Terang Julian, tangan kanannya bergerak seiring penjelasan.

“Eh, nggak.” Raden menggeleng panik, “Aku bukannya nggak suka—”

“Iya, iya,” Julian tertawa melihat wajah panik Raden, “Mirip. Kalian cuma mirip. Bukan sama persis.”

“Kamu ngerasa nggak cocok sama orang yang ngelakuin hal-hal nggak biasa menurut kamu,” Jari Julian bergerak membentuk tanda kutip, “Dan kamu nggak bisa bareng sama orang-orang yang nggak cocok sama kamu bahkan walaupun cuma pura-pura, gitu 'kan maksudnya?”

Raden terdiam sejenak, memikirkan kalimat Julian. Tak lama, ia mengangguk pelan, “Iya, sejenis itu.”

“Bedanya, penilaian dia ke orang-orang juga tegas. Nggak gampang berubah,” Julian menatap Raden, “Kalau kamu, penilaian kamu ke seseorang, gampang berubah, ya nggak?”

Raden terdiam sejenak, “Bukan gampang berubah,” Elaknya, “Kan hal-hal yang aku denger kemarin tentang Bu Maya, Pak Wahyu, Adon—semua sumbernya valid. Bukan terus aku gampang terpengaruh sama omongan orang.”

Julian menahan senyum. Entah mengapa sifat Raden cukup menarik untuknya. Lelaki di depannya terlihat tak ingin dipandang judgemental saat seluruh kalimatnya membuktikan sebaliknya.

“Maksudku juga bukan gitu,” Senyum Julian sedikit mengintip dari ujung bibir, “Maksudku, kamu cepet banget ngambil keputusan kalau kamu nggak akan cocok sama Bu Maya atau Bu Wahyu cuma karena denger satu keburukan mereka.”

Raden terdiam. Ia cukup terkesan dengan cara Julian begitu cepat memahaminya. Ia tak mengelak, ia memang mudah mengambil keputusan untuk mendekati atau menjauhi orang lain.

Tapi hal itu dilakukan Raden bukan tanpa sebab. Bertemu dengan banyak orang yang lewat di hidupnya dan merasa perihnya dikhianati ekspektasi, membuat Raden tak ingin berlama-lama membangun reputasi orang lain di kepala. Jika orang itu sudah menunjukkan satu keburukan—atau hanya sekadar tanda-tanda keburukan, Raden akan langsung menjaga jarak.

Mengesampingkan hal yang sedang mereka bahas, Raden memberi poin plus pada Julian atas kemampuannya memahami Raden.

“Aku boleh nggak nih belain ibu-ibu yang lagi ketawa bareng sama bahan gosipan mereka?” Satu alis Julian terangkat, tampak sedang menggoda Raden dengan pertanyaannya.

Raden tertawa, ia sempat membuang muka ke pintu samping sebelum kembali menatap Julian, “Boleh, boleh.” Angguknya mantab.

Julian meminum tehnya sebelum mulai menjelaskan, “Aku setuju sama kamu. Kadang aku juga kaget sama gosip-gosip baru yang dikasih Mama tentang tetangga di sekitar sini. Saking kagetnya, gosip-gosip ini bakal terus nempel di kepalaku dan pas aku ketemu orang yang digosipin, aku bakal langsung keinget gosipnya. Tapi itu nggak ngubah pandanganku ke orang ini.”

Raden terdiam.

“Ibu-ibu di sini juga gitu,” Lanjut Julian, “Mereka emang ngegosip, dan kata ngegosip sendiri kedengeran negatif, kan? Tapi manusia itu makhluk sosial, Raden, wajar kan kalau saling sharing informasi?”

Raden mengangguk, cukup masuk akal, “Tapi aku nggak bilang ngegosip is a bad thing lho.”

“Iyaaaa. Maksudku,” Julian membenarkan posisi duduk, “Dari pada ngegosip—sebenernya—ngobrol ala ibu-ibu ini harusnya kita sebut saling berbagi informasi. Karena gosip-gosip ini, buat ibu-ibu di sini, emang cuma sebatas informasi. Mereka saling ngasih informasi biar makin tau aja, bukan buat nge-judge.”

“Selama masih bisa ditoleransi, gosip-gosip ini nggak akan mempengaruhi sikap orang-orang sini ke satu sama lain.” Lanjut Julian.

Nah, itu lho.

Masalahnya, tingkat toleransi setiap orang berbeda, termasuk antara Raden dan para warga di sini—termasuk Julian.

Sifat Bu Maya—contohnya.

Raden adalah orang yang menghargai waktu dan kewajiban. Sifat telat membayar utang (padahal beliau bisa membayarnya) melanggar keduanya. Selain itu, Raden sudah sering dibuat kesal oleh orang-orang yang terlambat menyerahkan kewajiban di kantor. Entah alasan lupa atau pura-pura lupa. Raden tak dapat menoleransi sifat ini.

“Kok diem?”

Lamunan singkat Raden langsung buyar, ia melirik Julian yang masih menatapnya.

“Tingkat toleransi tiap orang kan beda, Mas.” Ucap Raden, menanggapi penjelasan Julian sebelumnya, “Aku juga gitu. Kalau masih bisa ditoleransi, ya aku diemin, aku anggep angin lalu malah.”

Julian terdiam, dua alisnya terangkat, “Iya, ya?”

Raden tak menjawab.

“Iya juga sih,” Julian tampak mengangguk setuju, matanya terpaku seolah baru menyadari fakta baru, “Iya deh ya? Kok aku bisa langsung nyimpulin tingkat toleransi kita sama, ya?”

Raden mengendikkan bahu, ia juga tak tau.

Julian tertawa, “Maaf ya,” Tangannya diangkat mengusap dagu, “Harusnya aku tau tingkat toleransi orang beda-beda, nggak bisa disamain gitu aja. Cuma karena aku sama ibu-ibu yang lain masih bisa maklumin, bukan berarti kamu juga bisa.”

“Nggak apa-apa, Mas,” Raden menggeleng, “Aku juga minta maaf udah ngomongin hal kayak gini ke kamu. Harusnya ini jadi pendapat pribadi yang aku simpen sendiri.”

“Justru aku seneng kamu kayak gini,” Julian memberi senyum simpul, jemarinya membalut cangkir, “Bisa nyampein apa yang kamu pikirin ke aku.” Lanjutnya.

Alis Raden terangkat, “Kok gitu?”

“Kita udah sepakat buat jadi temen, 'kan?”

Raden mengangguk.

“Kamu bisa ngomong apa aja ke aku. Bahkan hal-hal yang menurutmu nggak seharusnya disampein kayak tadi, tetep bisa kamu omongin ke aku.” Julian tersenyum, membuat mata menyipit dan pipi berlesung.

Senyum Raden mengembang.

Jujur, sedari tadi, Raden merasa perbincangan pagi ini sedikit menegangkan, ia khawatir tiba-tiba mereka akan beradu argumen atau saling menjatuhkan satu sama lain karena merasa pendapat masing-masing yang paling benar.

Namun, Raden salah.

Raden lupa bahwa di balik status Julian sebagai pemilik toko di desa, ia adalah sarjana teknik dengan pengalaman kerja 5 tahun.

Selain itu, Julian memiliki pengalaman hidup enam tahun lebih banyak dari Raden. Pasti tak semudah ini terlibat adu argumen dengan Julian.

Nggak mungkin suasana jadi panas cuma karena ngomongin orang yang lagi ngomongin orang lain, 'kan?

Untuk sekarang, Raden menyukai cara Julian membuatnya merasa aman untuk membicarakan segala hal.

Ah, satu lagi.

Raden menyukai cara Julian meredamkan perbincangan pagi ini dan berpindah ke topik lain.