Celah

TW // Post Trauma

Rasaku sudah kumatikan, namun lupa kumakamkan

Tiga puluh menit telah berlalu sejak Regan berada di atas motor.

“Gue mau cerita sambil jalan ya, lo harus bawa motor pelan-pelan biar suara gue nggak kalah sama suara angin,”

“Oh, nggak usah pakai helm, biar lehernya nggak usah miring-miring.”

Dua wanti-wanti dari Regan sebelum menaiki motor yang akhirnya membuat keduanya mengitari kota Neo perlahan, tanpa helm, membuat pipi keduanya sedikit lebih dingin karena diterpa angin.

Sudah tak ada lagi kehidupan di jalanan. Hanya ada lampu-lampu jalan yang memeriahkan sepinya malam.

Motor matic hitam dengan kecepatan 30 km/jam membelah jalanan perlahan.

Wajah Regan sedari tadi dimajukan di atas pundak Naim. Tangannya menyangga tubuhnya di atas lutut.

Naim yang membawa motor hanya mendengar tak nyaman. Bagaimana tidak? tiga puluh menit berlalu dan yang Regan ceritakan hanyalah bagaimana ia bisa dekat dengan Musa dan bagaimana ia menyayangi Musa.

Gue turunin disini aja kali ya? dongkol banget. Batin Naim menggerutu tak terima.

“Lo tau nggak sih, Kak Musa nggak pernah matiin telfon duluan, dia selalu nungguin gu—”

“Ini kenapa lo jadi nyeritain Musa sih? bagus dong kalau lo sama Musa saling sayang? masalahnya apa?” Potong Naim kesal.

Regan tertawa, “Iya ya? kenapa jadi nyeritain Kak Musa? Lo juga kenapa dari tadi iya-iya aja?”

“Gue turunin disini mau?”

Regan tertawa lagi.

Ia tak pernah menceritakan tentang hubungannya pada siapapun dan tak pernah membicarakan seberapa ia menyayangi Kak Musa, mungkin telinga Naim adalah pendengar pertama.

Perutnya dipenuhi kupu-kupu setelah menceritakan tentang Kak Musa kesayangannya.

Kepakan sayap kupu-kupu di perutnya seketika mengusir resah yang menggumpal di dadanya hingga lupa tujuan utamanya. Mungkin ia terlalu sayang atau memang kepalang senang.


Sepuluh menit berikutnya Regan mulai menceritakan rasa gundahnya. Tentang Mama, tentang Papa, dan tentang dirinya. Hanya garis besar, Regan tak mau menumpahkan air mata.

“Ya gitu. Karena Papa sering mukulin Mama, gue jadi masih agak nggak nyaman kalau liat luka-luka atau orang berantem gitu, kinda trauma...”

Naim terdiam. Walau Regan berusaha membuat lukanya terlihat kecil, namun tak mengubah fakta bahwa lukanya dalam.

Bener juga kata Hiro, gue nggak kenal Regan.

Untuk malam ini, Naim memikirkan Regan sedikit lebih banyak dari biasanya. Ia kira ia telah menggambar Regan dengan sempurna dalam kepalanya, namun ternyata banyak potongan hilang yang baru ia temukan.

“Temen-temen udah tau tentang ini?”

“Udah, dari lama.” Jawab Regan, namun ia enggan menceritakan insiden di Warung Pak Eko.

“Jadi sekarang Mama sama Papa gimana?”

“Masih berhubungan tapi udah nggak serumah,” Regan terkekeh, “Mama sering sembunyi-sembunyi ketemu Papa.”

Naim terdiam, ia tak akan pernah ikut tertawa pada tawa yang berbau duka.

“Gue heran deh, kenapa ya Mama masih nemuin Papa?” ada jeda sebelum Regan melanjutkan, “Gue juga kangen Papa tapi gue udah nggak mau nemuin dia lagi.”

Matanya panas. Mati-matian ia menahan air mata.

Jantung Naim tertusuk perih.

Sepi.

“Im, kok diem aja sih? ih ini yang bikin gue males cerita-cerita, lo pasti kasian ya sama gue?”

Regan menepuk pinggang Naim yang tak kunjung menyahut perkataannya, “Im gue nggak apa-apa tau!”

Regan menepuk pinggang Naim sekali lagi dengan tangan kirinya, namun kini ditangkap dengan tangan kiri Naim. Ditariknya tangan Regan perlahan memasuki saku hoodie-nya.

“Kenapa sih?” Regan heran namun enggan menarik tangannya.

“Tangan satunya sini.” Tangan kiri Naim meminta tangan lain Regan.

Regan heran namun memberikan tangan kanannya.

Dua tangan Regan melingkar di pinggang Naim, menghapus jarak diantara keduanya.

“Maju sini.”

Naim menepuk pundaknya, meminta wajah Regan lebih mendekat.

Regan menurut, ia menaruh dagunya di pundak Naim, “Kenapa sih?” tanyanya sekali lagi.

“Siap-siap.” jawab Naim.

“Siap-siap apa?”

“Nangis.”

Regan segera menarik kembali kedua tangannya dan memberi jarak diantara keduanya, ia menepuk pundak Naim keras,

“Aduh!!!”

“Sembarangan banget, siapa yang mau nangis?” Regan mendengus kesal.

“Elo!”

“Kok gue sih? udah gue bilang gue nggak apa-apa, emang sih kadang takut tapi gue nggak sampe nangis sembarangan!”

“Nggak apa-apa gimana? tiap malem lo nggak bisa tidur menurut lo itu nggak apa-apa?!”

“Maksud lo? kan lo tau tiap malem gue emang suka baca-baca. Lo tau sendiri otak manusia lebih aktif pas malem.”

“Regan, gue seneng lo bisa jujur sama gue, tapi lo juga harus jujur sama diri sendiri,”

Naim terdiam sejenak,

“Coba lo inget kapan terakhir lo tidur sebelum jam 12 malem?”

Regan tertegun, ia tak pernah memikirkannya.

Mungkin saat SMP? saat Papanya masih memandangnya dengan penuh kasih?

“Kapan lo mulai nggak bisa tidur?”

Belum sempat Regan menarik nafas, pertanyaan lain telah dilontarkan Naim.

Regan juga tak pernah memikirkannya. Ia tak tau pasti, namun ia ingat hari-harinya terjaga hingga pagi.

Mendengar Mama menangis dan memohon ampun pada Papa.

Mendengar seluruh penjelasan Mama yang saat itu tak dipahami olehnya.

Hingga mendengar suara ribut yang lebih dari adu kata.

“Regan, lo kenapa-kenapa...”

Regan terdiam. Ia tau. Tapi ia tak pernah tau bahwa ia sekenapa-kenapa ini.

Dulu ia lebih sering menteskan air mata atau membakar duka di kamar hingga fajar. Sejak kapan ya Regan mulai mengisi malam panjangnya dengan membaca?

Regan tertawa, membuat Naim nyaris mengerem motornya.

“Masa iyasih gue trauma sampe begadang tiap malem gitu?” Regan mengusap air mata yang jatuh karena tawanya,

“Gue emang trauma tapi nggak sampe segitunya lah!” Tawanya mulai reda.

Entah mengapa tiap tawa Regan menikam jantung Naim.

By the way, lanjut cerita ya? intinya bukan ini.”

Ah, Naim baru ingat. Sementara ia menjadikan Regan sebagai pusat, dunia Regan mengorbit pada Musa.

Naim menduga, mungkin masalahnya adalah Musa yang sering ikut balap? Musa yang kadang agak anarkis? Naim sudah menyiapkan beberapa kata penenang untuk Regan.

“Musa ya? temen-temen ngelarang lo sama Musa karena lingkungannya yang jelek buat lo—”

“Bukan.”

Regan sama sekali tak mempermasalahkan bagaimana Musa menghabiskan waktunya dan dengan siapa Musa berteman.

“Temen-temen belum tau soal ini.”

Naim terdiam.

Regan terdiam. Ia tak punya nyali untuk menyakiti kekasihnya walau hanya dalam kata.

“Kak Musa... luka...”

Regan menarik nafas dalam lalu menghembuskannya pelan,

“Bundanya...”

Jantungnya berdebar keras. Entah mengapa lebih dari sulit untuk mengatakannya. Ia dapat berbicara hingga berbuih tentang kasihnya namun lidahnya terlilit untuk menjelaskan rasa sakit.

Naim menelan ludahnya. Ia nyaris tak paham dengan apa yang dikatakan Regan.

“Nggak usah dijelasin, gue paham.” Ucapan Naim menghentikan Regan yang sudah membuka mulutnya.

“Gue nggak akan bisa nyeritain apa yang gue alamin ke Kak Musa—”

“Lo takut nggak akan pernah bisa jujur ke dia?”

Naim membelokkan motornya, melewati persimpangan SMA Neo, terus melaju hingga melewati beberapa pertokoan yang sudah tutup.

“Bukan,” Regan terdiam sejenak,

“Kak Musa, sayang banget sama Bundanya,”

“Gue takut nanti gue nggak akan bisa lagi mahamin dia,”

Sama kayak sekarang, gue udah nggak bisa mahamin Mama.

“Gue paham dia sayang sama Bundanya, tapi... gue nggak paham kenapa dia mau disiksa—”

Regan tercekat, ada gumpalan mendung di rongga dadanya. Sesak.

“Regan, sini.” Naim menepuk pundaknya, meminta Regan mendekat padanya.

Tak menunggu lama, Regan segera melingkarkan tangannya di pinggang Naim. Wajahnya dibenamkan pada pundak lebar temannya.

Regan menarik nafas panjang lalu membuang air matanya perlahan.

Satu tetes.

Dua tetes.

Hingga semuanya menetes.

Jemari Naim menepuk kedua tangan Regan pelan.

Lagi-lagi, kepala Regan bising. Ia ingin memikirkan Musa lebih banyak hari ini,

Kalau Mama punya gue buat dipeluk di rumah, siapa yang dipeluk Kak Musa di rumah?

Kalau gue yang cuma liat aja sampe kayak gini, Kak Musa yang ngalamin sendiri gimana rasanya?

Regan mengeratkan peluknya pada Naim.

Regan teringat ucapan Chleo tentang Musa,

Ingatnya yang saling bersatu membuat kesimpulan bagai sebuah panah yang melesat tepat di tiap organ dalamnya.

Regan mengangkat wajahnya, “Naim...”

“Kak Musa, nggak mau dipegang siapa-siapa...” suaranya parau,

“Mungkin nggak itu karena—”

Regan kembali membenamkan wajahnya di pundak Naim.

Naim tertegun, kepalanya sibuk mengaitkan segala mungkin,

“Mungkin. Dia nggak mau disentuh orang lain sebagai wujud defensif karena alam bawah sadarnya ngira orang lain bakal nyakitin dia kayak—”

Naim terhenti saat merasakan pelukan Regan semakin erat padanya,

“Udah. Jangan dilanjutin...”

Kepala Regan berisik. Informasi ini terlalu asing dan mengusik.

“Naim...” ucap Regan, wajahnya sudah terangkat, dagunya disandarkan di pundak temannya.

“Gue nggak bisa mahamin Kak Musa...”

Naim terdiam,

Hatinya berkecamuk.

Berbagai suara bersautan di dalam pikirnya.

Regan, lo bisa jujur ke gue,

Regan, gue bukan orang yang susah dipahamin,

Regan, sama gue aja ya?


Naim kira, ia hanya akan menjadi lampu jalan yang mendamba jalan raya.

Ia kira, ia harus mengalah pada cahaya bulan yang memadamkannya.

Ia kira, ia akan terhalang dedaunan sebelum sorotnya sempat jatuh di jalanan.

Namun, untuk malam ini, Naim akan menjadi cahaya lampu yang menyelip di antara rimbun dedaunan untuk mencumbu jalan raya.

Besok, mungkin, dedaunan akan gugur.