Chemistry

POV: Himalaya.

Aku percaya perasaan manusia dikendalikan oleh otak. Inilah yang dulu aku pelajari saat masih SMA—ritme detak jantung; telapak tangan berkeringat; kaki bergetar; lutut yang mendadak terasa lemas; dan semua reaksi tubuh kita diatur oleh organ yang dilindungi di dalam tengkorak.

Sebagai manusia dengan ingatan kuat dan kemampuan analisis yang tajam, sejauh ini aku merasa aku lebih unggul dari semua manusia yang pernah aku temui. Setidaknya aku meyakini struktur lekukan otakku lebih kompleks dari kebanyakan manusia.

Itu sebabnya, aku selalu menjadi juara umum di sekolah atau di lomba manapun yang aku ikuti. Itu sebabnya, aku lebih dari percaya diri bahwa aku dapat mengendalikan seluruh perasaan yang kurasakan atau gerakan yang kulakukan. Itu sebabnya, aku tidak pernah ragu dalam melakukan apapun.

Tapi saat melihat pesan dari Erde masuk di ujung layar ponselku. Aku sempat meragukan dan mempertanyakan apapun yang dilakukan tanganku yang seharusnya menggerakkan mouse komputer.

Tiba-tiba aku sudah mem-pause game online yang sedang kumainkan.

Dan hal yang lebih gila terjadi. Aku mengabaikan teriakan beberapa orang di headset yang mengomel karena karakterku di game terdiam.

Erde Hk'22 : Kak, masih bangun gak?

Sebenarnya, sejak sore tadi aku tidak bertukar pesan dengan Erde. Dia mengantarku ke kampus untuk bertemu dengan Pak Jati namun dia pamit tidak bisa menjemputku. Aku tidak menanyakan alasannya, hanya memberi anggukan setuju.

Haya : Belum. Kenapa?

Tiga puluh detik kemudian, dua buah pesan muncul.

Erde Hk'22: Laper. Mau nemenin gue makan gak? Erde Hk'22: Kalo mau, entar gue jemput setengah jam lagi.

Jika aku masih mempercayai otakku dan meyakini bahwa kepalaku akan selalu memberikan perintah rasional pada seluruh tubuhku, seharusnya aku menjawab tidak mau. Aku bisa beralasan sekarang sudah terlalu larut atau aku terlalu lelah untuk keluar. Tapi tanganku memberi balasan lain.

Haya: Mauuu.

Aku menjawab mau dan... menambahkan banyak huruf U di belakang...?

Tunggu. Bagian mana dari otakku yang akan bertanggung jawab untuk tindakan yang baru saja kulakukan?

Aku sudah menyadari adanya perubahan sejak beberapa hari belakangan. Mulai dari panggilan sayang yang terdengar natural saat aku memanggil Erde atau tanganku yang tiba-tiba memiliki inisiatif sendiri untuk menggamit lengannya.

Nah, seharusnya otakku sudah membuat sebuah mekanisme baru untuk menghadapi Erde agar aku tidak terus-menerus membuat kesalahan. Itulah salah satu fungsi otak—self monitoring error—yang tugasnya mengirimkan sinyal negatif saat tubuhku melakukan kesalahan—sebuah proses error-related negativity.

Tapi mulutku malah otomatis menjawab enggak, Sayang. Saat Erde datang dengan muka cengengesan, Kak Sayang, gue ganggu ya?

Tidak sampai lima belas menit kemudian—saat kami sudah duduk lesehan di salah satu warung angkringan yang buka sampai pagi—aku kembali membuat kesalahan. Aku mengulurkan tanganku pada Erde sambil mengeluh, dingin.

Awalnya aku tidak menyadari hal yang kulakukan adalah kesalahan karena... ya... apa sih salahnya mengeluh kalau malam ini dingin? Toh ini sudah jam setengah satu pagi dan beberapa hari lalu badan pemerintah yang bertugas menyampaikan kondisi cuaca sudah memberi pernyataan bahwa cuaca di malam hari akan lebih dingin dari biasanya karena sedang peralihan musim.

Otakku segera memberi sengatan baru—aku sudah melakukan kesalahan—saat aku mendapati tangan Erde sedikit menepuk punggung tanganku sambil bergumam, masa sih? Karena ternyata tangannya lebih hangat walaupun menerjang angin malam selama di perjalanan.

Belum sempat aku menarik tanganku, Erde langsung berdiri dan buru-buru menghampiri mas-mas penjual angkringan, ia kembali dengan gelas dan cangkir minuman—membuatku sedikit heran mengapa ia melakukan self-service padahal pesanan kami akan diantar nanti.

“Ngapain?” Tanyaku.

Dia meletakkan susu jahe hangat dan es jeruk—yang, by the way, bukan pesanan kami karena tadi kami meminta dua es jeruk.

“Lo jangan minum es, minum jahe anget aja.” Erde menyodorkan cangkir berisi susu jahe anget padaku.

Apaaaa sihhhhhhh.

Kalau begini 'kan aku jadi terharu.

Kenapa dia selalu memberikan solusi atas masalah-masalah(tidak penting)ku?

Ini bukan pertama kalinya Erde bersikap seperti ini. Sebelumnya dia pernah membelikan makanan padahal aku yang lapar; membungkuk untuk mengambil barang padahal pulpenku yang jatuh; berjalan ke lantai 3 dengan tangga padahal ponselku yang tertinggal; berlari membeli salep di apotek padahal tanganku yang tersengat ujung puntung rokok; dan hal-hal heroik tidak penting lainnya.

Tapi kalau dipikir-pikir, apa aku boleh merasa terharu?

Ya boleh, dong. Aku merasa aku adalah orang penting karena ada orang lain yang memilih untuk mengurusi hal-hal kecil yang bahkan tidak kupedulikan.

Nah, itu dia. Itulah sebabnya sekarang aku merasakan sedikit rasa aneh yang mengganjal. Karena aku tidak biasa diperlakukan seperti ini—bukan tidak pernah karena, by the way, aku pernah diperlakukan seperti ini oleh panitia lomba tingkat nasional yang kuikuti saat aku menjadi finalis, dan beberapa staff hotel yang kudatangi saat aku menginap.

Tapi mereka semua melakukan itu karena itulah tugas mereka. Sedangkan Erde? Oke aku tau dia pacarku tapi memangnya tugas seorang pacar adalah mengurus hal-hal kecil dari pacarnya? Bukankah manusia—

“Eh!! Awas itu panas!” Seruan ini adalah seruan dari mulutku yang jelas bukan perintah otakku karena otakku sedang memikirkan hal lain. Sepertinya karena mataku tidak sengaja—atau sengaja—melihat tangan Erde yang memegang pegangan cangkir agak miring dan tangannya yang lain secara kebetulan sedang berada di sekitar bagian bawah cangkir yang membuatku takut dia akan menyentuh bagian bawah cangkir yang panas atau malah—kemungkinan terburuknya—cangkir itu tumpah dan isinya akan langsung menyiram tangan Erde.

Tapi sepertinya semua itu hanyalah skenario di kepalaku karena apa yang terjadi sekarang adalah tangankulah yang memegang bagian bawah cangkir itu dan gerakanku membuat cairan panas di dalamnya tumpah mengenai jari-jariku.

Erde cepat-cepat menaruh cangkir di meja lalu meraih jari-jariku yang mulai memerah.

“Gue tau, Kak, ini panas.” Ia meraih tisu lalu mengeringkan jari-jariku. “Lo tau nggak ini panas?! Kenapa tangannya langsung nyamber sembarang gitu?!” Ia meniup jari-jariku—yang duh, emang panas banget, sih.

Aku belum sempat memarahi tanganku yang bergerak sendiri karena tiba-tiba Erde sudah bertanya lagi, “perih nggak?”

Aduuuuh.

Harusnya sih, tanganku tidak apa-apa karena susu jahe yang menumpahi tanganku tidak panas-panas amat. Tapi aku malah menjawab, “perih dikit...”

Aku segera menggigit bibirku yang berani mengeluarkan rengekan menyebalkan seperti itu—yang sepertinya membuat Erde mengira aku benar-benar kesakitan.

Erde celingukan lalu matanya berhenti pada satu titik, “ke kran sana, yuk? Biar kena air mengalir.” Kemudian dia menambahkan lagi, “atau mau ke rumah sakit aja? Ke IGD?”

Aku segera menggeleng. “Nggak usah.”

“Kok nggak usah? Katanya perih?”

“Udah enakan abis lo tiup-tiup.”

Shiiiiiiiiiiiiiit. Kalau aku bisa mengeluarkan kartu merah, aku akan langsung mengeluarkan kartu merah untuk mulutku yang berani mengucapkan kalimat-kalimat aneh saat aku berada di depan Erde.

Erde terkekeh lalu melepas tanganku—yang membuatku kecewa dan bertanya-tanya apa urgensinya melepas tanganku untuk tertawa padahal dia bisa tertawa sambil tetap menggenggam tanganku—TUH, KAN. Aku akan mengeluarkan kartu merah untuk otakku yang berani memikirkan hal-hal aneh.

Kemudian—seperti biasa—Erde menanyakan kegiatanku hari ini dan menanyakan hal-hal umum terkait projekku dengan Pak Jati dan apakah Pak Jati memperlakukanku dengan baik. Rasanya sekarang sudah biasa menceritakan semua kegiatan perkuliahanku pada Erde karena ia terus menanyakan lika-liku kegiatan kampusku.

Jadi, aku menceritakan semua hal mulai dari aku yang malas bangun, malas mandi, malas ikut kelas, hingga malas mengerjakan projek bersama Pak Jati.

Di tengah-tengah ceritaku—yang sepertinya sudah setengah jam—tiba-tiba tangan Erde sudah berada di pipiku, mencubitnya.

Tunggu. Erde mencubit pipiku?

Tunggu.

Erde mencubit pipiku!

Tidak hanya itu. Dia mengusap pipiku selama beberapa saat!

“Makan dulu, ini makanannya udah dingin.” Ucapnya.

Aku langsung diam.

Erde tertawa.

Gawaaaaat.

Apa yang terjadi?

Sepertinya ada sesuatu di tangan Erde tadi. Awalnya rasa hangat itu hanya ada di pipiku namun lama kelamaan aku bisa merasakan efeknya menjalar di seluruh tubuhku.

Rasanya seluruh dunia melambat dan hal-hal di sekitar Erde terlihat buram—gerobak angkringan, meja sebelah, dinding tinggi yang melindungi gedung kantor, bahkan mas-mas angkringan yang tengah lewat di belakang Erde pun hanya terlihat samar-samar.

Suara-suara di sekitarku mendadak lenyap. Seolah ada musik pelan yang mengalun di telingaku untuk mengiringi gelak tawa Erde. Dulu aku menyukai musik band indie tanah air namun sekarang gelak tawa Erde menjadi lagu favoritku dan ingin kutambahkan ke daily playlist.

Belum lagi jantungku yang berdetak lebih cepat, seolah organ sekepal tangan itu sedang meronta-ronta dari balik tulang rusuk.

Kemudian… dorrrr!

Ada sebuah kembang api yang meledak di dalam kepalaku. Memporak-porandakan saraf dan menghalangi sinyal-sinyal yang saling terhubung di sana.

Kepalaku mendadak kosong.

Aku tidak bisa berpikir. Napasku tertahan sejenak.

Gawat.

Apa aku nyaris gila?


Aku memikirkan kesalahan apa yang terjadi pada otakku hingga semua hal aneh tadi terus terjadi di luar kendaliku.

Apa kemarin kepalaku sempat terbentur sesuatu? Apa aku salah makan? Atau jangan-jangan aku melakukan kebiasaan rutin yang tanpa kusadari dapat menurunkan daya kerja otak?

Jangan-jangan pola tidurku merusak salah satu saraf di otakku. Atau karena aku terus-terusan berada di ruangan ber-AC? Tapi menurut penelitian, otak bekerja lebih baik di suhu dingin daripada panas.

Gawat.

Sepertinya aku sedang bingung.

Aku paling membenci kondisi ini.

Tidak ada soal yang tidak dapat kujawab. Bahkan saat seluruh temanku kebingungan mencari kesalahan pada kode yang kami tulis, aku dapat menemukannya hanya dengan mengamati beberapa menit—karena apa? Karena aku memiliki lekukan otak yang lebih kompleks dari kebanyakan manusia.

Lalu apa yang menyebabkan tubuhku bergerak di luar kendali?

Sepertinya ada bagian di otakku yang mengirimkan sinyal-sinyal tertentu tanpa kusadari. Walaupun sinyal-sinyal ini tidak kukenali, tapi mereka memiliki getaran kuat yang membuat tubuhku dapat bergerak sebelum aku menyadari apa yang kulakukan.

Kira-kira bagian otak sebelah mana yang dapat memberikan sinyal kuat seperti ini?

Kepalaku berdenyut.

Apa ya...

Apa ya...

Apa—

“Kak Sayaaaaang. Kita udah sampe.”

Panggilan Erde segera membuatku tersadar.

“Bengong terus, kenapa Kak?”

Iya, ya.

Sepertinya pikiranku terlalu menyita kesadaranku.

Aku segera turun lalu menyodorkan helm. “Thanks, Erde. Hati-hati baliknya.”

Kakiku siap berbalik saat tiba-tiba suara Erde menusuk telingaku. “Makasih, Kak Sayang udah nemenin makan. Besok ketemu lagi, ya!”

Kak Sayang...

Oh...

ITU DIA!

Aku segera berbalik.

Itu dia!

Itu dia sinyal kuat yang sudah mendominasi seluruh tubuhku!

“Erde!” Aku cepat-cepat menghampiri Erde yang sudah siap berbalik dengan motornya. Wajahnya terheran melihatku berlari ke arahnya.

Itu dia. Itu dia. Itu dia!

“Gue sayang sama lo!”

“H-hah?” Erde terkejut saat tanganku tiba-tiba mencengkeram lengannya. Tentu dia akan terkejut! Aku juga terkejut dengan jawaban yang kutemukan!

Tapi inilah potongan puzzle yang kucari belakangan ini!

Sekarang semuanya menjadi sangat jelas dan masuk akal.

Hormon yang dihasilkan saat jatuh cinta dapat melemahkan prefrontal cortex—bagian otak yang mengatur kemampuan kognitif seseorang—merencanakan sesuatu, membuat keputusan, memecahkan masalah, mengontrol diri, mengingat instruksi, menimbang konsekuensi—yah, pokoknya fungsi-fungsi semacam ini.

Itu dia jawabannya!

“Iya, Kak. Gue juga...” Erde tampak sedikit tertegun melihat gerakan tiba-tibaku, “gue juga sayang sama lo.”

Erde menjawab pernyataanku seolah itu hal biasa yang memang harus terjadi di antara kami.

Tidak. Dia tidak paham.

“Gue sayang lo, Erde.” Aku mengencangkan cengkeramanku pada lengannya—dia harus benar-benar memahami apa yang hendak kusampaikan, “gue beneran sayang banget sama lo.” Aku mengulangi ucapanku dengan penekanan. Dia harus benar-benar paham.

Erde sedikit menepis tanganku—dan aku menyadari cengkeramanku sudah terlalu kuat. Bisa-bisa aku mendorongnya dan membuatnya terjatuh dari motor. Aku segera mundur.

Aku merasa bersalah karena tiba-tiba menyerangnya, tapi aku terlalu girang karena berhasil menemukan lubang yang sudah lama mengganjal di kepalaku. Dan aku ingin membagikan dopamin dan serotonin yang meledak-ledak di tubuhku pada Erde.

“Gue juga sayang sama lo, Kak. Kita emang pacaran karena itu, ya 'kan?”

Bibirku tersenyum lebar.

Aku nyaris tidak dapat menjelaskan fenomena yang ada di rongga dadaku. Rasanya ada bunga-bunga yang bermekaran di sekitar tulang rusukku. Aroma wanginya menggelitik perut dan wajahku. Senyumku tidak mau turun.

Setelah kami berpamitan (sekali lagi), kakiku memasuki rumah dengan langkah ringan. Rasanya lega.

Aku lega karena semua kesalahan yang terjadi di kepalaku bukanlah error atau karena daya pikirku menurun. Aku hanya sedang jatuh cinta.

Aku jatuh cinta pada pacarku sendiri.

Rasanya aku ingin menjelaskan seberapa buncah yang memenuhi tubuhku. Aku merasa hebat. Aku merasa tubuhku ringan. Aku merasa aku bisa terbang kapan saja.

Aku juga ingin menjelaskan bahwa jatuh cinta adalah perasaan ekslusif yang—dulunya—kupikir akan sangat jauh dariku. Ternyata, tidak juga. Aku juga bisa merasakan kemewahan jatuh cinta. Aku ingin menjelaskan sepanjang dan seruntut mungkin karena semuanya sudah masuk akal dan aku tau mengapa aku melakukan ini-melakukan itu.

Lihat, 'kan? Kadang pertanyaan yang terlihat sulit memiliki jawaban paling sederhana.

Gawat. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Lucu kalau mengingat aku hanya mendekati Erde untuk mencari tahu tentang Pak Danaraja, tapi sekarang aku malah lebih tertarik untuk mengetahui segala hal tentang Erde. Aku nyaris tertawa (lagi).

Gawatnya lagi, karena terlalu senang, aku tidak bisa tidur. Walaupun aku belum sampai di kamar, aku tahu aku tidak akan bisa tidur karena mataku terasa segar.

Sepuluh detik kemudian, aku teringat pagar rumahku yang belum kukunci karena sibuk memikirkan Erde tadi.

Aku segera berjalan keluar. Dan, tebak apa yang kulihat?

Yep.

Pacarku!

Erde!

Orang yang kusayangi.

Cinta pertamaku.

Erde belum pulang. Kukira dia sudah pergi dari tadi.

By the way, kalau dilihat-lihat, tubuh Erde sangat... apa ya namanya?

Sangat bagus.

Dia berdiri di samping motor maticnya yang (katanya) dibeli khusus untuk kuliah. Tangannya yang satu menggenggam ponsel, tangan yang lain berkacak pinggang.

Sepertinya aku sudah menambah satu alasan lagi mengapa aku menyayangi Erde. Pinggangnya terasa pas di lingkaran tanganku. Aku ingin melompati pagar lalu memeluknya dari belakang. Kakiku berjalan sepelan mungkin—entah mengapa tapi aku ingin mengejutkannya dari belakang.

Eh, apa aku ajak dia menginap hari ini ya? Toh ini sudah terlalu larut.

Jarak kami tinggal beberapa langkah.

“Halo?”

Oh, Erde sedang menelepon seseorang.

Walaupun suaranya agak pelan, tapi frekuensinya masih dapat ditangkap daun telingaku.

“Nggak ada hasil. Sia-sia.” Suara Erde terdengar penuh kekecewaan.

Kenapa?

“Gue udah mancing dia buat cerita tentang Sejati, tapi dia malah cerita panjang lebar kemana-mana, kuping gue bisa berdarah lama-lama!” Nada suaranya meninggi.

Sebentar. Apa—

“Gue capek banget, Ji. Dia juga makin aneh. Sampe kapan gue harus gini terus sama Haya? Lo coba cari cara lain selain jadi pacarnya, bisa nggak?”

DEG.