Dapur dan Kasih yang Tak Luntur
“Lo...” Mata Yahya bergetar tak percaya, “Nyurigain gue?”
Raib tak memiliki rencana untuk mengatakannya langsung pada Yahya, tapi sudah kepalang tanggung.
“Kartu ujian beasiswa Golda punya Hugo—”
“Kan udah gue jelasin?” Yahya mengepalkan tangan di atas meja, “Gue emang salah karena nyuri itu, tapi niat gue karena nggak mau pisah dari Hugo!” Mata Yahya berkilat.
Raib terdiam selama beberapa saat, ia sedang menimang apa yang harus ia katakan setelahnya.
Di mata kuliah investigasi—satu-satunya mata kuliah yang akan Raib dengarkan dari salam pembuka hingga salam penutup, dosennya pernah berkata, cara terbaik melakukan wawancara investigatif adalah dengan: persiapan dan perencanaan, membangun hubungan, keterangan bebas, klarifikasi dan pemaparan, menutup wawancara, dan terakhir, evaluasi wawancara.
Raib mengusap wajahnya. Ia sudah melewatkan tiga langkah sekaligus. Tak ada persiapan—apalagi rencana. Ia tak sempat membangun hubungan baik dengan Yahya—menunjukkan bahwa mereka ada di pihak yang sama. Ia juga tak sempat bercakap ringan dengan Yahya—agar suasana lebih santai.
Raib (justru) langsung menyatakan kecurigaan. Apa pun yang dikatakan Yahya setelah ini hanya akan menjadi pernyataan yang makin defensif. Rasa defensif ini, jika diteruskan, hanya akan menjadi agresif.
Jadi, bagaimana solusinya?
Raib kembali berpikir. Dalam hal yang terjadi secara tiba-tiba, solusinya... juga harus tiba-tiba.
Dengan sedikit bumbu nekat, Raib memutuskan. Ia harus lebih dulu menyerang Yahya—sebelum Yahya menyerangnya.
Jadi, Raib harus lebih agresif.
BRAK!
Tangan Raib menggebrak meja—menimbulkan rasa panas dan sedikit nyeri,
Anjrit mejanya keras banget.
“Lo mikir aja, dikira gue bakal percaya sama alesan menye-menye gitu?” Raib memicingkan mata, “Lagian orang kayak lo udah jelas bakal iri sama orang sehebat Hugo.”
Mulut Yahya ternganga, matanya sedikit melotot. Ia merasa baru saja dihujani senjata oleh Raib.
“Lagian ya,” Raib tak memberi kesempatan Yahya untuk mengelak, “Gue nemuin sesuatu di kamar lo.”
Yahya menelan ludah. Wajahnya mendadak lebih pucat. Ia ingin pura-pura tak tau apa yang dimaksud Raib namun kepalanya tertuju pada satu kemungkinan.
“Nemuin apa?” Tak urung Yahya tetap bertanya.
Tangan Raib meraih ponsel, mengusap beberapa kali lalu disodorkan pada Yahya,
“Tuh.”
Yahya mematung.
“Ini punya Hugo, kan?”
Tak ada jawaban.
“Lo nyuri tugas-tugasnya Hugo?”
Yahya terdiam.
“Lo yang ngelakuin ini?”
Yahya menggeleng cepat.
Kini justru Raib yang melotot, “Yang bener aja! Gue nemuin ini di kamar lo!”
Raib menarik kembali tangannya saat dirasa Yahya tak akan menjawab pertanyaannya.
Rumah kos ini mendadak terasa lengang. Hanya terdengar sayup-sayup kendaraan dari luar dan burung berkicauan di depan jendela dapur.
Raib menatap Yahya yang menundukkan kepala.
Setelah diam yang terasa panjang, Yahya mengangkat wajah, “Apa yang lo pikirin tentang gue?”
“Lo iri sama Hugo. Dengan pencapaian lo yang kurang dari dia, lo nggak bisa pamer-pamer.” Jawab Raib tanpa ragu.
Yahya mengangguk perlahan, membuat Raib mengangkat satu alisnya, Dia setuju sama kalimat gue? Udah gini aja?
“Lo iri, jealous,” Raib melanjutkan kalimatnya, “Kalian udah temenan dari lama, akhirnya rasa iri itu numpuk, then you hate him,” Ia mencondongkan wajah, “Enough to kill him.”
Yahya terbelalak, “GUE? BUNUH HUGO?!” Bahkan ia nyaris terjengkang dari kursinya, “Gu—gue—” Ia tergagu, “Kita bahkan nggak tau Hugo masih hidup atau udah—” Mulutnya ternganga, “Bisa-bisanya lo—” Yahya masih melotot, “Bahkan lo nuduh gue bunuh dia?!”
Oh, iya juga.
“Hugo udah ngilang lebih dari sebulan,” Raib berdeham, “Menurut gue justru mengkhawatirkan kalau dia masih hidup.”
Raib memajukan badan, menopang dagu, “Jadi lo ngaku aja deh, lo apain Hugo?”
“Gue nggak ngapa-ngapain dia!” Yahya mengepalkan tangan untuk kesekian kalinya, memukulnya keras pada meja.
“Lo bisa ngelakuin ini selama bertahun-tahun ke Hugo jadi lo bisa aja senekat itu buat bunuh dia!”
“Bukan gue!”
“Bohong!”
“Beneran bukan! Kertas itu gue temuin di kamar Hugo!” Kepalan tangan Yahya makin erat.
Raib terdiam selama beberapa saat, ia memundurkan badannya, menyandarkan punggung di sandaran kursi makan, “Yuk, kita liat lo bisa bohong sampai mana.”
Yahya menatap tajam. Kepalan tangannya makin erat hingga tangannya bergetar sebelum akhirnya ia menarik nafas dalam.
Ia hembuskan nafas seiring kepalan tangannya yang mengendur, “Oke, gue akuin,” Ia memejamkan mata singkat,
“Gue emang ngelakuin itu ke Hugo dan tugas-tugasnya!” Yahya menarik nafas sekali lagi, “Lo bisa bilang gue munafik atau pembohong. Terserah!”
Yahya terdiam, tampak sedang menyiapkan diri “Tapi gue bakal jujur, gue nggak bunuh Hugo atau ngapa-ngapain dia, gue juga pengen tau dia dimana!”
Raib terkekeh, “Stop bohongin gue.”
Yahya menggeleng, “Gue nggak bohong,” Ia mengusap wajahnya kasar, “Gue udah ada niat mau ngakuin semuanya ke Hugo.”
Raib mendecak remeh, “Kata orang, niat doang mah nggak bakal keliatan.”
Yahya cepat-cepat meraih ponsel. Mengusap dengan terburu-buru, “Liat, nih.”
Raib mencondongkan badan, menyipitkan mata.
“Gue beneran pengen tau Hugo di mana. Kalau lo tau, please kasih tau gue.” Yahya menarik kembali ponselnya bersamaan dengan Raib yang memundurkan badan.
Raib terdiam selama beberapa saat.
Meyakinkan banget anjrit. Kalau gini mah kemungkinannya cuma dua. Yahya emang jujur, atau dia emang seniat itu buat bohong.
“Te—terus,” Raib berdeham, “Kenapa lo selalu nyabotase tugas-tugasnya Hugo?”
Mendung menghiasi wajah Yahya, “Gue benci sama bokap gue.”
“Apa hubungannya benci sama bokap terus—”
“Bokap gue selalu banding-bandingin gue sama Hugo,” Yahya meraih air putih di samping tangan, menegaknya, “Gue nggak suka. Beliau selalu nuntut supaya gue setara sama Hugo,” Tangannya mencengkeram gelas dengan erat, “Nggak bisa. Gue nggak bisa.”
“Lo nggak bisa nyaingin Hugo... so you try to drag him down?”
Yahya terdiam.
“But you failed. Gue liat di kamar Hugo, penghargaan lulusan terbaik sama siswa teladan—tiga tahun berturut-turut,”
Raib menatap Yahya lurus-lurus, “Jadi lo masih berusaha buat jatuhin dia bahkan pas kuliah? Lo nggak mau dia keterima beasiswa Golda?”
Yahya menggeleng cepat, matanya makin bergetar, “Gue emang takut dia keterima beasiswa Golda, tapi itu beneran karena gue nggak mau ditinggal Hugo,”
Yahya menyadari Raib yang masih menatapnya dengan penuh curiga. Ia memajukan badannya sambil membenarkan posisi, “Raib,” Panggilnya pelan, “Hugo satu-satunya temen gue,”
“Lo pikir gue nggak bisa pamer-pamer ke Hugo karena gue minder?” Yahya menggeleng, “Lo salah,” Yahya terdiam untuk beberapa saat.
“Gue selalu pamer semua hal yang gue dapetin ke Hugo dan dia selalu muji gue. Walau pun dia punya ratusan piala, dia selalu ngerayain hal-hal kecil yang bisa gue dapetin,” Yahya menatap ujung piring di atas meja.
“Dia pernah ngasih surprise pas gue dapet ranking 1 di kelas dan ranking 3 seangkatan. Padahal bokap gue marah-marah karena gue nggak bisa jadi nomor 1 di angkatan SMA,” Sebuah senyum terukir dari bibir Yahya.
“Dia ngajak gue dinner pas gue keterima di kampus ini. Padahal bokap gue marah-marah karena gue keterima lewat jalur mandiri,”
“Bahkan gue sendiri juga malu keterima lewat mandiri,” Yahya terkekeh, “Tapi Hugo bilang, lo udah berusaha mati-matian sampai sini, there's nothing to be ashamed of, harusnya malah lo pamer ke seluruh dunia, lo berjuang keras buat dapetin apa yang lo mau, lo harus bangga,”
“Dia ngundang gue ke rumahnya,” Lanjut Yahya, “Terus lo tau? dia pasang banner gede banget di ruang tamunya, nutupin lukisan-lukisan hewan yang dipajang itu. Tulisannya Selamat atas diterimanya saudara Yahya di Jurusan Manajemen Universitas Neo. BANGGA BANGET!“
“Banner-nya dipasang seminggu. Kania sampai bingung kalau ada tamu yang mau ke rumah, akhirnya semua acara pertemuan-pertemuan kolega penting dipindah ke rumah gue.” Yahya tertawa.
Entah mengapa tawa Yahya terdengar memilukan di telinga Raib, membuatnya tak minat ikut tertawa.
“Gue baru nyadar pas kemarin Hugo ngilang,” Yahya menghela nafas, “Harusnya gue nggak ngelampiasin semua rasa benci bokap ke dia,”
Telat. Cibir Raib dalam hati.
“Karena jadi yang nomor satu, jadi yang terbaik, juga bukan kemauan Hugo.” Lanjut Yahya.
“Bukan kemauan Hugo?”
Yahya menggeleng, “Bukan sepenuhnya kemauan dia. Awalnya karena Jibran bilang nggak mau ngurusin perusahaan. Makanya Hugo selalu berusaha jadi yang terbaik, biar orang tuanya cuma ngelirik dia,”
Yahya menghela nafas untuk kesekian kali, “Hugo pengen buktiin kalau... cuma dia sendiri... udah cukup buat ngurus perusahaan.”
Raib terdiam, ia baru menyadari nafasnya tertahan sejak tadi, “Lo udah tau itu semua dan lo masih pengen jatohin dia?” Ia menarik nafas cepat, “Lo pikir lo pantes buat disebut temen? Lo pikir lo pantes bilang kangen ke dia?”
“Gue tau gue salah. Gue beneran mau minta maaf ke Hugo,” Yahya memijat pelipis, tampak lebih frustasi dari sebelumnya, “Gue juga pengen tau Hugo di mana.”
Raib kembali terdiam. Ia masih ingat bagaimana Yahya berusaha menipunya dan bagaimana lelaki di depannya ini juga bersikeras mengelak tentang perusakan tugas-tugas Hugo.
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menciptakan keheningan yang cukup dalam.
“Buat gue,” Raib akhirnya angkat bicara, “Lo masih lebih mencurigakan dari siapa pun. Lo senekat itu buat ngambil tugas Hugo, lo setega itu sama Hugo bahkan setelah tau dia berusaha ngejar itu semua buat adeknya. Lo egois. Lo bisa aja—”
Drrrt. Drrrt. Drrrt.
Ponsel Raib bergetar beberapa kali.
Waduh.
Raib segera memandang sekitar, jangan-jangan Hugo dari tadi ada di sini?
“Gue lupa ada tugas,” Raib segera berdiri, “Entar lagi deh ngobrolnya.” Ia segera menaruh gelasnya ke wastafel lalu mencuci tangan.
“Lhah? eh—bentar.” Yahya ikut berdiri, hendak mencegah Raib pergi dari ruang makan. Ya bagaimana? mereka belum menyelesaikan obrolan sama sekali.
“Gue udah ditagih dosen. Tadi dosennya nge-pc langsung.” Raib membereskan kotak makan lalu mengembalikannya ke tengah meja.
“Lo tadi mau bilang apa sekalian aja dilurus—”
Ucapan Yahya terhenti saat ia menyadari Raib mematung di tempat.
Yahya mengikuti pandangan Raib.
Tepat di dekat meja makan, di lorong yang menghubungkan kamar dan dapur.
Ada tubuh tinggi dari seorang lelaki. Tak melakukan apa pun. Hanya menyenderkan tubuh di dinding.
“Jerri?” Ucap Raib kemudian,
“Lo... nguping?”