Debar Pertama
Malam ini, aku akan tidur di matamu. – Joko Pinurbo
Genap seminggu Julian tak lagi bertemu Raden.
Jam tujuh kurang lima menit, mobil Julian telah terparkir di depan halaman rumah Raden.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu turun, mengetuk pintu dua kali.
Cklek.
Pintu terbuka.
Julian langsung disambut Raden yang mengenakan kaos putih dan celana jeans hitam.
“Katanya jam 7?” Tanya Raden saat melihat sosok Julian, “Bentar aku tinggal pakai jaket. Kamu duduk dulu.” Setelah mempersilakan Julian duduk, ia segera kembali ke kamar.
Julian menurut, ia duduk di ruang tamu.
“Oma!” Lelaki itu kembali berdiri saat melihat Eyang memasuki ruang tamu. Tangannya diulurkan untuk berjabat tangan.
“Eh, udah dateng. Duduk, duduk.” Eyang ikut meyambut Julian.
Setelah mencium sekilas punggung tangan Eyang, Julian kembali duduk.
“Ini yang ulang tahun adiknya Ningsih anaknya Pak Yongki, to?”
Julian mengangguk, “Iya, Oma. Vivian.” Ia menyebut nama adik Ningsih, “Acaranya 3 kali. Siang tadi buat temen-temennya Vivian, malam ini buat temen-temen sama keluarga besar Ningsih, baru besok pagi nganter makanan ke tetangga.”
Eyang mengangguk paham, “Wooo iya, Pak Yongki itu keluarga kaya itu ya, yang punya toko pakaian di kota itu, to?”
Julian mengangguk.
Tak lama, Raden muncul dari pintu kamar, “Eyang, aku berangkat dulu ya.” Ia meminta tangan Eyang lalu mencium punggung tangan, “Jangan ditungguin, aku bawa kunci rumah.”
“Iyooo.” Jawab Eyang.
“Oma, aku bawa Raden dulu ya, tenang nanti Iyan jagain, pasti pulang dengan selamat.” Julian ikut bersalaman dengan Eyang.
Eyang tertawa, “Iyo. Raden jarang keluar-keluar—paling pol jalan pagi tok, malah seneng aku nek ada yang ngajak Raden pergi-pergi.”
Julian tersenyum, “Kalau gitu Iyan bakal sering-sering ngajak Raden pergi.”
“Mas, kamu kasih kado apa buat adiknya Ningsih?” Raden segera membuka percakapan saat mobil mulai melaju pelan.
“Itu ada di jok belakang,” Julian menunjuk dua bungkus kado melalui kaca tengah spion.
“Keranjang buah?” Raden yang menolehkan tubuh sedikit terkejut dengan bingkisan yang ia lihat.
“Iya,” Julian mengangguk pelan, “Yang keranjang buah itu buat keluarganya, buat Vivian yang—”
“Vivian?”
“Nama adiknya Ningsih.”
Oh. Raden baru ingat, ia bahkan tak tau nama orang yang berulang tahun hari ini.
“Yang bungkus merah ini buat Vivian?” Raden menoleh sekilas ke belakang lalu memandang Julian dari samping.
“Iya,” Julian masih fokus pada jalanan, “Isinya boneka.”
“Ohh.” Raden mengangguk paham.
Perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai rumah Ningsih hanya sekitar lima belas menit.
Sebenarnya, rumah Ningsih masih tergolong dekat. Hanya saja, rumahnya terdapat di daerah pegunungan sehingga membutuhkan kehati-hatian ekstra saat menyetir.
Kerlap-kerlip lampu segera menyambut Raden saat ia turun dari mobil.
Rumah Ningsih adalah rumah dua lantai dengan desain modern-minimalis, berwarna dominasi abu dengan sedikit sentuhan kuning. Halaman rumahnya cukup luas—mungkin masih muat untuk tiga mobil lagi—itu pun masih tersisa ruang sebuah taman kecil di samping pagar tembok—berisi bunga anggrek, bunga seruni, dan rumput hias.
Terdapat teras kecil di tengah rumah.
Saat memasuki dua pintu depan yang terbuka lebar, Raden langsung disambut kolam kecil yang berisi bungai teratai dengan hiasan batu-batu di pinggir.
Suasana ruang tamu masih sepi. Acara baru dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Sepertinya beberapa orang memilih datang tepat waktu—benar-benar tepat waktu.
Entah karena rumah ini memang besar atau hanya ditata demikian untuk acara malam ini, namun Raden merasa ruang tamu rumah ini cukup lapang.
Semua meja dan kursi tamu disingkirkan, hanya tersisa meja panjang di tiap ujung ruang yang berisi berbagai makanan yang dapat ditemui di restoran cina.
Di tengah ruang—satu meter di dekat kolam—terdapat meja bundar yang berisi hidangan mi yang cukup tebal.
“Permisi!” Julian yang tengah memegang keranjang buah berseru.
Keduanya segera disambut Ningsih yang terlihat menawan dengan dress ungu, ia muncul dari ruang lain—yang sepertinya ruang tengah.
“Pak Julian!” Panggilnya riang, “Hai, Mas Raden!” Ia menoleh pada Raden, mengangguk sekilas.
Raden membalas anggukan Ningsih, memberi senyum simpul.
“Oh ini buat orang rumah.” Julian menyerahkan keranjang buah.
“Wahh, thank you, Pak!” Ningsih segera menerima keranjang buah itu.
“Ini buat...” Raden terdiam sejenak, apa ia akan terlihat sok kenal bila memanggil Vivian dengan... Vivi?
“Buat Vivian.” Julian yang melanjutkan.
“Oh!” Dua alis Ningsih terangkat, “Sebentar—VIVI!!!!!!!!” Teriakan Ningsih langsung memenuhi ruangan, membuat Raden sedikit terjingkat. Sementara Julian hanya tersenyum singkat—ia terlampau sering mendengar teriakan Ningsih.
Seorang gadis kecil dengan pakaian koboi memasuki ruang tamu, “Kenapa? Adik lagi dandan.” Wajahnya cemberut.
“Tuh, dikasih kado!” Ningsih menunjuk kotak yang dipegang Raden.
“Wah!!” Raut muka Vivi langsung berubah, ia menerima kado dari Raden dengan wajah cerah, “Makasih, Kak!”
Raden kikuk, melirik Julian—yang seharusnya mendapat ucapan terima kasih.
Julian mengangguk, nggak apa-apa.
“Sama-sama.” Jawab Raden dengan senyum canggung.
Setelah saling mengobrol selama lima menit. Rumah Ningsih mulai ramai. Penuh dengan keluarga besar, teman dari orang tua Ningsih, dan teman kuliah Ningsih.
Raden baru tau, Ningsih masih kuliah. Wanita itu mengambil jurusan tata busana di salah satu perguruan tinggi di Angelo.
Setelah acara makan bersama di ruang tengah—yang lebih besar dari ruang tamu—seluruh tamu undangan dipersilakan saling berbincang, ditemani berbagai macam camilan di ruang tamu.
Sebenarnya, acara malam ini mengusung konsep standing party. Namun Raden tak terlalu suka berdiri di antara banyak orang.
Julian tengah asyik bercakap dengan orang tua Ningsih—benar, akhirnya Julian tetap mengobrol dengan orang tua Ningsih, Raden hanya geleng-geleng kepala; heran dengan kemampuan sosial Julian.
Bukannya Julian mengajak Raden kemari karena tak ingin berbincang dengan para orang tua?
Akhirnya Raden memilih membelah lautan manusia di ruang tengah, berjalan terus hingga mencapai teras samping rumah. Terdapat empat kursi saling berhadapan di sana dengan satu meja kecil di tengah.
Raden memilih menduduki salah satu kursi yang menghadap keluar—ia langsung disuguhi kerlip perumahan. Rasanya teras ini bak gardu pandang yang sengaja dibangun untuk menikmati suasana desa dari atas.
Mata Raden menyapu sekitar.
Menurutnya, keputusan orang tua Ningsih untuk membangun rumah di sini amatlah tepat.
Harga tanah di sini tentulah tak semahal harga tanah di kota. Rumah di sini cukup luas namun masih tersisa banyak tempat untuk membuat taman di halaman depan dan menghias halaman samping dengan beberapa pot bunga—bahkan masih dapat dibangun teras.
Belum lagi beberapa meter setelah halaman samping terdapat kebun dengan tanah yang lebih rendah, membuat bagian samping rumah ini memiliki pemandangan yang elok.
Tentu, tanah ini berisiko tinggi terkena longsor. Namun tak ada tempat yang tak memiliki risiko bencana alam, 'kan? Bahkan tanah dengan lokasi paling strategis masih dapat terkena gempa bumi.
Kayaknya bagus kalau besok gue bangun rumah di area kayak gini sebelum pensiun.
“Misi, kosong, nih?”
Sebuah seruan langsung membuyarkan lamunan Raden, ia segera menoleh.
Seorang... lelaki? dengan rambut panjang dan setengah poni menutup muka, tiba-tiba sudah berdiri di samping Raden.
“I—iya.” Raden mengangguk kikuk.
Lelaki itu langsung membanting tubuh, duduk di seberang Raden, “Rame-rame gini kok lo sendirian aja sih? Nggak takut diculik?”
Raden terdiam, tak langsung menjawab, ia mengamati lelaki didepannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Telinga penuh tindik, jepit rambuh menghiasi kepala, kemeja gelap mengkilat dibalut jas berwarna krem penuh glitter.
Oh, wow.
Raden nyaris pusing sendiri melihat cara berpakaian lelaki itu.
“Kok malah bengong liatin gue gitu?” Satu alis lelaki itu terangkat, bibirnya tersenyum jahil.
Sebuah senyum canggung muncul dari bibir Raden, “Nggak apa-apa, lagi pengen sendiri aja.” Ia menekan kata sendiri, sengaja agar lelaki di depannya paham lalu segera angkat kaki.
Lelaki itu justru membalas dengan senyum dan helaan napas singkat, “Kenalin,” Tangannya terulur, “Gue Naka.”
“Raden.” Balas Raden singkat, tangannya juga hanya menjabat sekilas.
“Gue sepupunya Ningsih, lo siapa? Temen kampusnya ya?” Ujar Naka. Dengan santai ia menyandarkan puggung di sandaran kursi, kakinya diangkat satu—ditumpukan pada kaki yang lain.
“Lo cantik deh, udah punya pacar belom?” Naka kembali bertanya saat dirasa pertanyaan pertamanya tak mendapat respon apa pun.
Mulut Raden terdiam namun matanya memberi banyak hujat.
Pertama, cara lelaki ini berpakaian... terlalu nyentrik.
Kedua, cara lelaki ini duduk, tak sopan.
Ketiga, lelaki ini terlalu sok akrab.
Keempat, lelaki ini memberi pertanyaan yang terlalu personal dan menjurus.
“Muka lo tegang banget, sih? Santai aja lah.” Naka mengibaskan tangan lalu merogoh sesuatu dari saku jas.
Rokok elektrik.
Kelima, merokok sembarangan.
Meski Raden tak masalah dengan asap rokok—apalagi asap rokok elektrik yang sebenarnya lebih lembut dan harum—namun bagaimana bila yang duduk di depan Naka adalah orang lain yang tak betah dengan asap? atau seseorang dengan gangguan pernapasan?
Orang seperti Naka inilah yang membuat para perokok mendapat cap buruk.
Raden memberi respon kalimat Naka sebelumnya dengan senyum seadanya.
“Kursi yang lo dudukkin sekarang,” Naka memencet tombol nyala di rokok elektriknya, “Itu dulu gue yang beliin pas Om Yongki ulang tahun.”
Daaaaammnnn.
Dari banyaknya jenis manusia yang Raden tak suka, sifat Naka adalah salah satu dari top 3 sifat buruk yang paling Raden hindari.
Suka pamer.
Memang baru satu kalimat, tapi Raden berani mempertaruhkan semua isi dompetnya, kalau saja ia merespon dengan wah yang bener? pasti lelaki ini akan lanjut memamerkan hal lain.
“Bagus kursinya.” Raden merespon seadanya, meski ia tak suka dengan sifat Naka, namun harus diakui kursi yang ia duduki memang cukup bagus dengan kerangka kayu jati dan bantalan empuk di tengah.
“Gue beli sepaket sama meja ini,” Naka menunjuk meja kecil di antaranya dan Raden, “Berapa ya dulu? Pokoknya waktu itu harga kayu jati lagi mahal-mahalnya.”
Tuh, kan.
Raden memijat pelipis saat Naka melanjutkan ceritanya sambil sesekali menghembuskan kepulan asap berbentuk donat dari rokok elektriknya.
Oke, jadi yang bangun teras ini juga Naka.
Jadi Naka pernah ngunjungin semua tempat di negara ini.
Oke, jadi Naka juga bantu beliin tanah ini buat orang tuanya Ningsih.
Terlalu banyak informasi.
Raden sudah bersiap pamit undur diri saat terdengar suara yang cukup familier bergabung di teras.
“Eh, Mas Naka, kapan sampai sini?”
Mas Iyan.
Kepala Raden segera ditolehkan, ia terkejut Julian mengenal Naka namun cukup bersyukur karena kehadiran Julian mengurangi sakit kepalanya.
“Raden, aku cariin kemana-mana taunya di sini.” Julian duduk di samping Raden.
“Lho? Iyan? Kenal sama dia?” Naka menunjuk Raden dengan jari telunjuk.
Dahi Raden mengernyit. dia? Saat sudah jelas Naka mengetahui nama dari dia adalah Raden?
Bahkan Naka menunjuk wajah Raden? dengan jari telunjuk?!
How rude.
“Aku nggak suka sama Mas Naka.” Ucap Raden begitu di teras hanya tersisa dirinya dan Julian.
Julian menoleh, satu alisnya terangkat, “Kenapa?”
“Sifat dia, Mas.” Raden menghela napas kasar, “Jelek banget.”
Julian mengerjap beberapa kali, “Dia kurang sopan ya sama kamu?”
Raden mengangguk. Raut kesal masih tersisa di wajah.
“Tadi kalo bukan karena kamu, dia bakal ngira aku temennya Ningsih.” Ujar Raden.
Julian terkekeh, “Kenapa nggak kamu jelasin aja?”
“Aku bingung mau jelasin apa. Masa iya aku jawab aku temennya bosnya Ningsih. Aku langsung keliatan kayak outsider di sini, mana aku lagi di luar sendirian. Entar dia ngira aku dikucilin.”
Julian menggigit bibir. Menahan diri untuk tak tersenyum.
“Mana dia suka banget pamer,” Raden melanjutkan aksi protesnya, “Masa iya dia bilang kursi ini dia yang beliin? Terus bilang dia banyak bantu keluarganya Ningsih? Coba kalo aku bener temennya Ningsih? Apa nggak awkward pas dapet informasi kayak gitu?”
“Terus,” Raden kini menoleh pada Julian—dengan wajah masih kesal, “Liat nggak dia tadi...” Ia berhenti sejenak, mencari kalimat yang tepat, “Mencolok banget?”
“Benerin dulu itu kaca matanya turun.” Julian menunjuk matanya sendiri, memberi instruksi pada Raden bahwa bingkai kaca matanya melorot.
Tangan Raden sigap membenarkan posisi kaca mata.
“Terus dia ngerokok sembarangan juga,” Raden menarik napas dalam lalu mengeluarkannya pelan, “Aku juga perokok, sih. Tapi kan bla-bla-bla“
Julian tak lagi mendengarkan ucapan Raden. Ia terfokus pada ekspresi wajah kesal di depannya.
Sisi Raden yang ini adalah sisi yang baru Julian lihat.
Jika biasanya nada dan ucapan Raden setenang lautan, sekarang lebih terlihat seperti arus sungai yang deras.
Walau, pada faktanya—entah itu laut atau sungai, Julian tetap akan terhanyut.
Namun dengan dorongan arus di dalamnya, Julian merasa terbawa lebih jauh.
Hal ini, membuat Julian tersadar.
Saat bersama Raden, Julian selalu menemukan hal baru.
Mungkin itulah yang menyebabkan perbincangan mereka terasa candu. Mungkin itulah yang menyebabkan bincang di telpon ingin ia ubah jadi temu.
Raden masih terus mengungkapkan hal yang membuatnya kesal setengah mati pada Naka. Tempo ucapannya cepat, mungkin seratu lima puluh kata per menit?
Namun seluruh gerakan Raden melambat.
Kenapa ya?
Entah karena lama tak saling tatap atau memang demikian adanya, Julian merasa ada hal yang berbeda dari Raden malam ini.
Apa ya?
Julian tak tau. Maka matanya terus menyusuri Raden, dari ujung dahi hingga ujung kaki.
Apa yang berbeda dari Raden hingga Julian tak ingin membuang pandang dari lelaki ini?
Mungkin memang karena mereka tak bersua tujuh hari belakangan?
Atau karena ini pertama kalinya Julian melihat sisi baru dari Raden?
Atau karena langit malam yang terlihat indah saat dipadu dengan atasan Raden yang berwarna cerah?
Atau karena cahaya lampu teras yang menghujani wajah kesal Raden?
Atau, Raden tak berubah? Hanya cara pandang Julian yang tak lagi sama?
“Mas?” Panggil Raden yang langsung membuat pikiran Julian kembali ke teras, “Kamu ngelamun ya?” Lelaki berkacamata itu menatap Julian lamat-lamat, “Aku banyak omong banget ya? Sorry lagi kesel.”
Julian menggeleng, “Enggak. Aku dengerin, kok.” Ia tersenyum saat melihat raut kesal di wajah Raden seolah ditekan untuk diganti raut biasa aja. Terlihat jelas lelaki di depannya ini tengah menahan kesal.
“Aku baru tau kamu kayak gini.” Komentar Julian.
“Kayak gini apa?” Raden menaikkan dua alis.
“Apa ya sebutannya?” Julian menggigit bibir, berpikir sejenak, “Pilih-pilih temen?”
Raden mengerjap beberapa kali. Pilih-pilih temen?
“Hmmm,” Julian menggaruk ujung telinga yang tak gatal, “Kamu punya standar tertentu sebelum kenalan lebih jauh sama orang lain. Tipe orang yang mentingin first impression banget.”
Dahi Raden mengernyit, “Emang kamu nggak gitu?”
Julian menggeleng, “Enggak. Mana bisa aku langsung nilai orang padahal baru tau dikit? Nentuin nilai properti aja butuh waktu berbulan-bulan karena perlu dilihat dari berbagai aspek, masa nilai manusia cuma beberapa menit doang?”
“Iya, sih,” Raden mengangguk pelan, “Itu kan kalau menurutmu. Kalau menurutku kesan pertama orang itu penting banget,” Ia membenarkan posisi kaca mata yang (kembali) menurun, “Kalau kita berprasangka baik sama orang di awal, terus makin deket—taunya makin ke belakang dia makin ngecewain gimana?”
“Buang-buang waktu nggak sih ngenal orang lebih jauh tapi ujungnya zonk gitu?” Lanjut Raden, “Aku sih mending cut off dari awal aja.”
“Tapi selama proses kenal lebih jauh itu, kita bakal tau banyak kebaikan dia, 'kan?” Julian akhirnya menjawab, “Mungkin awalnya dia keliatan ngeselin, tapi semakin kita kenal dia, ternyata dia nggak sengeselin yang keliatan?”
“Emang bisa gitu?”
“Bisa,” Julian tersenyum, menunjukkan lesung pipi, “Kamu, misal.”
“Aku?” Raden menunjuk diri sendiri, ia cukup terkejut.
“Awalnya kamu keliatan cuek banget,” Senyum Julian masih menghiasi, “Ternyata kamu perhatian, asyik diajak ngobrol, dan murah senyum—bahkan kamu tetep senyum sama Mas Naka walau kamu nggak suka sama dia.”
Angin malam berhembus pelan saat Julian memberi jeda untuk kalimatnya. Suara keramaian dari dalam rumah samar-samar terdengar.
“Aku nggak pernah nyangka bakal liat kamu ngomel kayak tadi.” Lanjut Julian, senyumnya melebar.
Dua alis Raden terangkat, ia segera menutup mulutnya sendiri, “Eh—sorry—iya ya, kenapa aku malah jadi ngomel-ngomel ke kamu padahal kamu nggak salah apa-apa.”
“Enggak, enggak.” Tanpa sadar Julian meraih tangan Raden, menurunkan tangan yang terasa kecil di ujung jarinya.
“Aku seneng liatnya.” Lanjut Julian, ia menarik tangannya sebelum Raden merasa tak nyaman.
“Kok gitu?”
“Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing.”
Raden tak menjawab selama beberapa saat—mendadak ia teringat sesuatu, “Kayaknya aku lebih banyak nunjukkin kekuranganku ke kamu ya?”
“Masa sih?”
Raden mengangguk.
Awal ketemu cuek. Ketemu berikutnya... mungkin masih cuek? Ketemu berikutnya, Raden keliatan ceroboh dan nggak peduli sama sekitar?
Ketemu berikutnya, ngajak begadang semaleman? nangis-nangis?
Alis Raden saling bertaut. Ia masih merasa tak nyaman mengingat dirinya yang menangis hebat di depan Julian.
Intinya, Raden mulai menyadari, ia terlalu banyak menunjukkan kekurangan pada Julian, namun mulutnya tak mampu menyebut keburukan sendiri, “Banyak, Mas. Kalau jadi kamu, aku bakal jauhin aku.”
Julian tertawa, “Aku nggak bakal jauhin kamu.”
Wow, yakin banget?
“Kenapa?”
Julian tersenyum melihat dua mata Raden yang membulat di balik lensa.
Ia baru menyadari dua mata indah Raden yang selalu terang-terangan. Dua mata yang tak akan pernah mengingkari perasaan sendiri walau mulut tersenyum manis.
Benar kata orang, mata adalah jendela hati.
Kalau tiang di ujung teras memiliki mata, mungkin ia akan menatap heran dua orang di depannya. Mengapa lelaki berjaket putih itu mengerutkan dahi sementara lelaki satunya tersenyum tanpa henti?
Bahkan angin yang bergerak sepanjang harimenatap geli ujung bibir Julian yang terus tertarik. Jika angin memiliki mulut, mungkin ia akan bertanya, Nggak pegel kamu? pada bibir Julian.
Julian sadar. Ada yang aneh.
Senyumnya tak mau padam walau matanya melihat tatapan heran dari Raden.
“Mas,” Seru Raden saat Julian tak kunjung menjawab, “Kok diem?”
“Eh?” Julian tersadar, “Tadi kamu nanya apa?”
“Kenapa kamu yakin banget kamu nggak bakal jauhin aku?”
“Oh,” Julian tersadar, sebuah kutipan yang pernah ia baca langsung gesit—hinggap di pikiran, “Kamu pernah denger kalimat ini belum?”
Raden menunggu dengan seksama.
Namun Julian tak kunjung menyebutkan kalimat yang dimaksud.
Di antara riuh percakapan dari ruang tengah dan ramainya bintang menghiasi langit malam, Julian hanya dapat terdiam saat wajah tenang Raden menuntut jawaban.
Mengapa di antara beribu kalimat yang pernah ia baca, kalimat ini justru yang pertama ia pikirkan?
Julian menggigit bibir, tak mampu melanjutkan ucapannya.
Sebuah kalimat sederhana yang ia baca dari penyair yang ia ikuti di media sosial.
Jantung lelaki berlesung pipi itu berdetak kencang hanya dengan memikirkan kata per kata.
Dalam segala kekurangannya, lihatlah begitu banyak celah yang akan bangkit sebagai keindahan bila saja kau bersedia mencintainya.
Angin malam berhembus pelan, namun rasa dingin di ujung jari membuat lidah Julian makin kelu.
Akhirnya, Julian menggeleng, “Nggak jadi.” Ia sedikit menunduk, menyembunyikan wajah yang mendadak terasa panas, “Lupa.” Senyumnya membelah wajah, menghantar panas dari ujung telinga kiri ke telinga kanan.
Seluruh wajah Julian memerah.