Dendam: Api yang Tak Pernah Padam.
POV: HIMALAYA.
cw / tw / trauma ; slightly panic attack ; mention of family death
Aku merinding. Perutku melilit. Tenggorokanku kering. Leherku seperti dibebani karung berat yang membuatku ingin terus menunduk.
Tubuhku memang lemah dan mudah lelah, tapi aku jarang mengalami gejala demam panggung yang membuat mulutku gagu.
Seperti sekarang.
Seluruh sel di kepalaku bekerja keras. Aku dapat melihat ribuan peristiwa melintas di salah satu layar yang terbentang luas di ujung tempurung kepalaku.
Flashback. Mungkin itu namanya.
Kepalaku mau tak mau mengingat perlahan seluruh peristiwa yang kualami lima belas tahun belakangan.
Matanya memang lebih tajam dan tubuhnya lebih tegap. Aku bisa melihat perawakannya dimakan usia. Tapi aku masih mengingat hal-hal yang tidak berubah darinya.
Tatapan matanya yang lurus. Langkah kakinya yang panjang dan tidak mencolok. Satu tangan yang diletakkan di dalam saku.
Namanya Danaraja.
Aku baru mengetahui namanya belum sampai 24 jam. Tapi wajahnya telah tinggal di kepalaku sejak lima belas tahun silam.
Pikiranku masih sedikit mengingat kebiasaanku menatap wajahnya di kertas lusuh itu tiap malam. Tapi entah sejak kapan kebiasaan itu mulai hilang. Mungkin sejak aku mengikuti Ujian Nasional saat SMA? Mungkin sejak aku sibuk menjadi mahasiswa baru di kampus ini? Mungkin sejak aku sibuk mengumpulkan uang dari situs tersembunyi itu?
Selama ini aku disibukkan dengan kebiasaan baruku. Kuliah dan mencari uang. Aku mulai mengabaikan kebakaran besar pada tubuhku yang membakar habis masa kecilku.
Aku mulai melupakan wajah Ayah.
Aku mulai melupakan kaki Bunda yang menggantung di dalam rumah kumuh kami.
Aku mulai melupakan tubuh kurus dan kaku Hito yang meringkuk di depan toko karena kelaparan.
Aku mulai melupakan seluruh telunjuk yang mengarah pada keluargaku setelah kepergian Ayah—seolah kematian Ayah dapat menjadi alasan seluruh rakyat berpesta.
Aku mulai melupakan sumpahku pada setiap tanah yang menguburkan jasad keluargaku.
Aku mulai melupakan seluruh rasa yang kulewati belasan tahun belakangan.
Kemiskinan, kekurangan, kesakitan, kelaparan, kehilangan, kematian.
Aku... nyaris melupakan semuanya.
Mungkin jasad keluargaku sedang marah karena aku melupakan seluruh rasa sakit mereka.
Dan lelaki dengan kemeja dan celana hitam bernama Danaraja ini adalah pengingat yang mereka kirimkan.
Aku menelan ludahku.
Seluruh tubuhku memanas.
Hidungku mencium aroma busuk tubuh Hito yang saat itu menguar karena liang kuburnya tak cukup dalam.
Aku kembali mendengar raungan tangis Bunda saat kepergian Ayah.
Telingaku menangkap bisikan-bisikan tetangga yang mengasihaniku karena tubuh Bunda yang tergantung di langit-langit rumah.
Dadaku sesak.
Aku kembali mengingat semuanya.
Aku lupa caranya bernapas.
Tanganku terkepal kuat. Napasku tersengal. Aku dapat mendengar suara Erde yang memanggil namaku dari kejauhan.
Suara lain di sekitarku menghilang. Ada sebuah dengingan panjang yang membuat pupil mataku terus terkunci pada sosok Danaraja.
Seluruh duniaku berhenti saat mulut lelaki itu mengeluarkan suara seringan Selamat Pagi, Pak Hakim! yang lima belas tahun lalu kudengar di teras rumah.
“Saya nggak liat kamu di kelas. Dari tadi kamu nunggu di sini?” Ucap suara itu.
Nadanya berhasil menusuk telingaku.
Hening.
Sesak.
Tubuhku panas. Jantungku paans. Mataku panas.
Aku terbakar.
Aku segera berdiri dengan kaki gemetar yang pijakannya tidak bisa kurasakan. Aku sempat ragu apakah kakiku benar-benar berdiri atau aku hanya sedang berdiri di dalam kepalaku.
Aku tidak tau apakah Danaraja benar-benar berhubungan dengan kematian Ayahku.
Tapi membayangkan seseorang mengenal Ayahku dan berkemungkinan besar mengetahui seluruh nasib burukku sudah cukup membuat organ tubuhku memberontak.
Aku ingin pergi dari sini.
“Gu—gue pulang dulu.” Ucapku. Suara yang mencapai telingaku adalah suara parau dari tenggorokanku yang kering.
Aku melangkah pergi.