Domino
“Mas, kamu kayak...” Raden mengamati Julian dari ujung kepala hingga ujung kaki—kaos putih dibalut jaket hoodie biru tua dengan celana jeans hitam, “mahasiswa.” Lanjutnya saat melihat rambut Julian yang memanjang menutup dahi.
Julian mengernyit, sebuah senyum tertarik di ujung bibir, “keliatan muda dong?”
“Yaaaa,” tangan Raden sibuk memasang sabuk pengaman, “iya.” Jawabnya kemudian, tersenyum tanpa memandang wajah lawan bicara.
Sementara yang merasa dipuji membalas dengan kekehan pelan, “kenapa ya denger kayak gini aja aku seneng banget?”
Raden ikut terkekeh, ia melirik sekilas untuk melihat ekspresi Julian—lesung pipi tercetak sempurna.
Sebenarnya, Julian tau mengapa ia begitu senang mendengar pujian dari Raden.
Pertama, karena itu adalah Raden. Terdengar bias namun memang itulah yang dirasa Julian. Apapun yang dikatakan Raden—bahkan bila lelaki itu hanya bergumam atau membicarakan materi kuliah yang tak dipahami Julian—ia akan tetap senang. Asal kalimat itu keluar dari mulut Raden.
Kedua, karena—kalau boleh jujur—hari ini semua begitu kacau untuk Julian. Tadi malam ia tidur larut karena lembur di toko—mendekati akhir tahun, banyak yang harus ia siapkan untuk melakukan tutup buku. Pagi ini ia bangun kesiangan dan rencananya untuk menyiapkan beberapa hal (bekal dan hadiah kecil) untuk Raden menjadi hancur berantakan—tak sempat.
Bukannya Julian ingin bersikap sok romantis dengan menyiapkan beberapa hal untuk Raden, ia hanya merasa: ini pertama kali Julian akan menghabiskan waktu seharian dengan Raden—rencana mereka padat seharian, lelaki itu hanya ingin memberi kesan menyenangkan pada pujaan hati, tak salah 'kan?
Namun rencananya hancur karena satu hal sederhana: bangun kesiangan.
Dan pujian Raden seolah menyiram seluruh api sesal yang berkobar pada diri Julian.
Menenangkan.
“Aku juga mau bilang kamu kayak mahasiswa... tapi gimana ya? Kamu emang mahasiswa.” Ucap Julian sembari menoleh pada Raden.
Mendengar demikian, Raden tertawa, ia balas menoleh pada Julian, “makasih lho, tapi boleh kok kalo kamu mau bilang aku kayak dosen, biar keliatan pinter gitu.” Jawabnya sembari menepuk ringan lengan lawan bicara.
Ah, tawa ini.
Baru empat hari ia tak bertemu Raden, namun ada rasa lega luar biasa yang membuat seluruh rongga dada Julian terasa lapang, seolah rindu bertahun-tahun yang akhirnya terbayar lunas.
Lelaki yang tangannya baru saja ditepuk ringan itu mengamati Raden lamat-lamat. Hari ini—seperti biasa, Raden mengenakan warna cerah. Cocok dipadu dengan langit dan terik matahari yang menyapa lembut.
Selalu menjadi misteri, bagaimana Julian selalu jatuh tiap kali matanya menyalami Raden.
Bagaimana Raden selalu terlihat tenang dan matanya begitu teduh walau terhalang lensa.
Bagaimana Raden terlihat begitu terang dengan pakaian berwarna cerah dan terlihat bersinar saat mengenakan pakaian berwarna gelap—seperti sinar bintang di antara pekat malam.
Dan bagaimana Julian selalu memiliki alasan untuk tersenyum hanya dengan kehadiran Raden.
Seperti sekarang.
“Mas?”
“Iya?” Jawab Julian cepat.
“Kok kamu malah senyum-senyum sih? Ini mau berangkat nggak?” Tanya Raden, karena—jujur saja—sudah empat puluh detik keduanya terdiam di dalam mobil dan sepertinya Julian tak kunjung menekan gasnya.
“Eh—” Julian segera tersadar.
Mungkin ini menjadi pertanyaan ke-lima.
Bagaimana Julian selalu hanyut hanya dengan menatap Raden.
“Sorry.” Lelaki dengan jaket hoodie biru itu terkekeh, segera menjalankan mobil perlahan, “kamu sih, kayak dosen.”
Raden menyemburkan tawa, “apa hubungannya?”
“Bikin aku pengen merhatiin terus.”
Raden segera membuang muka menatap jendela, pipinya langsung naik menahan senyum sekaligus rasa geli yang bergejolak di perut. “Gombal muluuuu.” Serunya, berusaha terlihat santai walau jantungnya beradu cepat dengan mobil yang mulai membelah jalan.
Bibir Julian tertarik lebar, memerkan gigi dan lesung pipi, ia sempat melirik Raden begitu mendengar seruan lelaki itu yang jelas diucapkan sambil tersenyum. “Serius, bukan gombal. Aku beneran—”
“Maaaas, udah.” Potong Raden cepat sambil menoleh, terlihat jelas bibirnya menahan senyum, “fokus nyetir aja.” Tangannya naik, berusaha menutup mulut agar senyumnya yang mengembang tak terlihat.
Julian menggigit bibir, gemas sendiri dengan nada malu dan merajuk yang dikeluarkan Raden.
Aduh, nggak aman nih jantung.
Batinnya sembari mengatur pernapasan agar ritme jantungnya kembali normal.
“Ini mau nonton dulu apa makan dulu?” Raden membuka percakapan saat dirasa jalanan mulai lengang dan kecepatan mobil telah stabil.
“Makan dulu, kan filmnya mulai entar sore.”
Raden segera menepuk ringan jidatnya seolah baru tersadar sesuatu, “oh iya. Aku ingetnya mau nonton siang.”
“Atau kamu belum laper? kita bisa jalan-jalan dulu.” Julian melirik sekilas lalu tersenyum saat melihat wajah oh-iya Raden.
Yang dilirik segera menatap jam tangan, pukul setengah sebelas, “masih jam segini. Ngopi dulu aja gimana?”
Julian segera mengangguk setuju, “okey. Mau ngopi di tempat yang dulu pernah aku kirim itu nggak? Yang di pinggir pantai?”
Kepala Raden segera menoleh antusias, dua matanya membulat sempurna, “boleh! eh tapi—” eskpresinya berubah menjadi ragu, “kejauhan nggak, Mas?”
Julian menggeleng pelan, “nggaaak, paling setengah jam nyampe.”
“Kesana aja, Mas. Pasti enak ngopi sambil liatin pantai. Apalagi masih jam segini.”
Dan pernyataan Raden salah besar.
Mereka tak bisa menikmati pemandangan pantai jam segini.
Satu jam.
Satu setengah jam.
Dua jam.
Keduanya masih terduduk di mobil.
Raden tak seharusnya menyarankan ide nongkrong sebelum nonton.
Lihat sekarang, mereka terjebak macet.
Dua jari Raden saling usap, mendadak ia merasa resah.
Julian terdiam sejak tadi. Walau—memang—Raden dan Julian jarang menghabiskan waktu di jalan untuk berbincang. Namun diam yang sekarang terasa sesak. Entah karena kendaraan yang saling berdempetan atau rasa bersalah dan tak nyaman yang saling berhimpitan.
Bagaimanapun, ini pertama kalinya Raden dan Julian menghabiskan waktu bersama seharian.
Dan ini juga pertama kalinya mereka pergi berdua sejak...
sejak Raden mulai merasa sesuatu yang aneh memenuhi rongga dada tiap seluruh indranya menangkap keberadaan Julian di sekitar.
Rasa aneh itulah yang membuat Raden memiliki dorongan kuat untuk membuat Julian terkesan.
Seperti tadi, saat di kamar, Raden sibuk memilih berbagai paduan warna netral yang cocok untuknya.
Seperti tadi, sebelum berangkat, Raden menggunakan empat semprot parfum saat biasanya hanya dua.
Seperti tadi, saat Raden mengusulkan untuk mampir sebentar di kedai kopi. Ia bisa saja mengusulkan tempat makan atau kedai kopi lain di area mall, namun Raden merasa, suasana kedai kopi di pinggir pantai akan membuat perbincangan keduanya lebih syahdu.
Raden tak ingin mengelak bahwa berbincang dengan Julian menjadi salah satu kegiatan favoritnya. Bukan hanya feedback yang diberikan selalu melebihi ekspektasi, tapi juga cara membangun percakapan yang tak ada habisnya.
Raden tak pernah berbincang lama-lama dengan seseorang—kecuali Yoshi.
Alasannya sederhana. Ia merasa percakapan panjang adalah hal membosankan dan mempertahankan perbincangan untuk waktu lama memang cukup sulit.
Tapi Julian membuat segala hal terasa mudah untuk Raden.
Dan memikirkan itu semua membuat Raden mengesampingkan hal-hal lain yang harus ia pertimbangkan sebelum mengambil keputusan.
Seperti fakta bahwa kedai kopi ini memiliki akses jalan yang padat merayap. Atau fakta bahwa hari ini adalah hari Minggu. Atau fakta bahwa hari ini telah mendekati akhir tahun dan jalan ini adalah jalan provinsi.
Perpaduan yang sempurna untuk membuat seseorang dengan alat transportasi roda empat terjebak di jalan raya.
Aduh... seharusnya Raden menyarankan tempat makan di area mall.
Lelaki mungil itu melirik Julian sekilas.
“Mas.” Panggil Raden ragu-ragu.
Tak ada jawaban.
“Mas?” Panggilnya sekali lagi.
Julian segera menoleh, rasanya ia terlalu tenggelam pada pikiran sendiri hingga suara Raden tak menembus daun telinga, “eh iya—sorry, kenapa?”
“Kamu ngelamun ya?” Ucap Raden hati-hati, ia tak mau menghancurkan momen Julian memikirkan sesuatu—sebenarnya ia takut Julian terdiam karena menyesal telah mengikuti keinginan Raden. Tapi di satu sisi, ia merasa tercekat dicekik rasa bersalah yang mengudara.
“Ah—enggak—ini—” jawab Julian patah-patah, ia menggaruk ujung alis yang tak gatal, “ini—”
Suara klakson saling bersahutan.
Sedikit jalan terbuka di depan mobil. Julian segera menggerakkan mobilnya.
Sebuah helaan napas panjang terdengar dari mulut Julian.
“Harusnya tadi aku nggak usah ngajak ngopi aja ya? Kita jadi kena macet gini.” Raden menggigit bibir—makin merasa bersalah karena Julian mendapat klakson dari bebarapa kendaraan tepat setelah menjawab pertanyaannya.
Julian segera menoleh, “lho? nggak, nggak.” Ia menggeleng cepat, “ini karena aku—”
Aduh. Raden tak ingin mendengar Julian menyalahkan diri atas kesalahan yang ia lakukan.
“Ini udah jelas salahku, Mas.” Potong Raden cepat.
“Jadi kita mau saingan siapa yang lebih salah, nih?” Julian terkekeh pelan, matanya masih melekat pada kaca depan dan spion, berhati-hati menggerakkan mobil di jalanan yang mulai padat merayap.
“Bukan salahmu, Raden. Ini udah jelas karena—”
Ucapan Julian terhenti saat ia mendapati wajah Raden yang siap memprotes, “oke.” Ia tersenyum, “ini bukan salahmu. Bukan salahku juga. Gimana?”
Raden tak menjawab, ia hanya membenarkan posisi kaca mata lalu kembali terdiam. Takut menganggu Julian yang sedang fokus-fokusnya membawa mobil di jalanan padat.
Diam itu terus dilakukan hingga setengah jam kemudian.
Rasa bersalah Raden dipadu dengan diam di antara keduanya membuat rasa tak nyaman mengudara dua kali lipat.
Cafe yang menjadi tujuan Raden dan Julian tak terlalu ramai. Kebanyakan orang lebih memilih duduk di pinggir pantai daripada mengukung diri dalam tempat makan.
Kedua lelaki itu duduk di lantai tiga.
Ruangan di lantai tiga dikelilingi dengan meja kecil panjang yang langsung dihadapkan pada kaca besar yang menyuguhkan pemandangan pantai dari kejauhan. Meja paling menarik di antara seluruh meja. Tentunya, Raden dan Julian memilih duduk di sana.
“Kenapa kamu nggak mau aku traktir? Kan aku yang ngajakin?” Tanya Julian begitu Raden duduk di sampingnya membawa nampan berisi dua gelas es kopi dan nomor meja.
Nggak enak karena aku udah bikin kita kena macet kayak tadi.
Raden menggigit bibir. Ragu akan mengucap kalimatnya atau menggunakan alasan lain.
“Kan kamu udah traktir nonton, jadi aku yang traktir makan.” Jawab Raden akhirnya, tangannya sibuk mengoper gelas ke depan Julian.
Acara ngopi yang berubah menjadi makan siang itu berjalan biasa. Sedikit lebih lancar dari jalanan yang mereka lewati sebelumnya.
Raut lelah di wajah Julian mulai menguap. Ia membicarakan banyak hal. Pemandangan pantai, makanan yang terasa lebih enak, jaket jeans yang dikenakan Raden, jaket hoodie yang dikenakan Julian. Banyak.
Pembicaraan itu terbangun mulai dari sendok garpu yang masih beradu hingga piring saling bertumpuk—disisihkan.
Rasa bersalah dalam pikiran Raden perlahan menguar. Menyisakan percik tenang dalam ruang terang. Pikirannya telah sempurna teralihkan pada setiap kalimat yang diucapkan Julian.
“Aku tadi sempet mikir tempat ini bakal rame, lho.” Julian menoleh pada Raden, “tadi jalanan kan rame banget. Kirain orang-orang pada liburan, ternyata cuma lewat aja.” Ia terkekeh.
Membahas tentang jalanan yang ramai membuat Raden kembali teringat pada rasa bersalahnya, “maaf ya, Mas. Harusnya aku tadi ngusulin makan di tempat lain aja. Aku nggak tau—”
Ucapan Raden terhenti saat kekehan Julian terdengar, “kamu kenapa minta maaf terus sih?”
“Ya nggak enak, Mas. Seingetku kamu nggak terlalu suka kena macet kan....” Raden melirik takut-takut, “apalagi tadi kamu diem aja.”
“Ooooh!” Dua alis Julian terangkat, “jadi itu yang bikin kamu ngeliatin aku terus?”
Raden terperanjat, “hah?”
“Kalo gitu mulai sekarang aku diem aja kali ya? Biar kamu liatin terus.” Julian tertawa, menunjukkan lesung pipi yang dalam, tubuhnya sedikit condong pada lelaki di sampingnya.
“Apaan sih, Mas.” Ujar Raden kesal, namun semburat merah mulai memenuhi pipinya, “aku serius!” Ia sedikit memundurkan tubuh dan menghindari tatapan Julian.
Julian tertawa, ia mengusap wajah, “kenapa sih kamu cemberut aja lucu banget?” Walau wajahnya tertutup tangan, Raden dapat melihat telinga Julian yang memerah.
“Aku tadi diem aja bukan karena gimana-gimana,” setelah selesai meredamkan rasa ingin menggigit pipi Raden, Julian kembali menatap lelaki di sampingnya, “lagian, siapa sih orang yang suka kena macet? Aku tadi juga pengen minta maaf sama kamu.”
Dahi Raden mengernyit, “Kok gitu?”
“Aku ngerasa salah milih jalan. Sebenernya tadi kita bisa aja lewat jalan muter, nglewatin Danau Ungu—kamu inget danau itu 'kan?”
Raden mengangguk cepat, agak canggung mengingat lokasi itu.
“Nah, sebenernya bisa lewat situ. Tapi jadi lebih jauh.” Ucap Julian, jemarinya dari tadi sibuk menggambar rute jalan tak kasat mata di atas meja, “tapi kalo lewat sana nggak macet.” Lanjutnya, “makanya aku tadi minta maaf juga ke kamu.”
Raden terdiam.
Duh, bagaimana ya?
Penuturan Julian baru saja mengurangi hampir seluruh rasa bersalah yang dirasakan Raden. Seolah beban berat baru dicongkel dari tubuh.
“Lagian,” Julian kembali bersuara saat dirasa Raden tak kunjung menjawab, “kan yang ngusulin tempat ini aku?” Ia menopang dagu, menatap Raden lurus-lurus.
Raden menggigit bibir sebelum akhirnya sebuah simpul senyum tertarik, “iyasih.”
“Kita bagi dua ya rasa bersalahnya.” Julian tertawa, mengusap ujung kepala Raden singkat.
Hanya singkat.
Tak sampai dua detik.
Namun berhasil membuat pikiran Raden kosong selama empat detik dan senyumnya bertahan hingga seratus dua puluh detik berikutnya.
Seharusnya, Raden tau. Dari awal, ia tak perlu terlalu mencemaskan banyak hal saat bersama Julian.
Dan, seperti yang sudah-sudah. Julian selalu berhasil membuat Raden merasa kemudahan untuk menapaki berbagai jalan dan sejuta rasa.
Belum genap satu jam setelah Raden merasa tenang. Lagi-lagi, rasa bersalah kembali menyergap.
Mereka terlambat.
Film dimulai pukul tiga sore.
Jarum jam di pergelangan tangan Raden telah menunjukkan tiga lebih tiga puluh.
Tapi kali ini, murni salah Raden.
Lelaki itu secara tak sadar melepas kaca mata di kamar mandi, menyebabkan benda itu tetap tergeletak di wastafel cafe bahkan setelah Raden dan Julian mulai melakukan perjalanan ke bioskop.
Mau tak mau, mereka harus putar balik.
“Aku kok bisa lupa banget sih tadi?” Untuk ketiga kalinya, Raden merutuki diri sendiri.
“Raden, nggak apa-apaaaa.” Julian menoleh sekilas, mendapati Raden sedang mengusap wajah.
Mereka masih berjarak lima belas menit dari bioskop.
“Kita jadi telat, Mas. Duh—harusnya—aku—harusnya tadi—ck ah!” Lelaki mungil itu berdecak kesal.
“Raden, kita bisa nonton film lain, bisa juga jalan-jalan, atau kita bisa—”
“Mas, aku teledor. Udah jelas salah.” Potong Raden cepat.
“Nggak apa-apa. Kan nggak tiap hari kamu teledor. Namanya juga manusia.”
“Justru—” Raden kembali mengusap wajah.
Justru itu.
Raden cukup menghindari sifat teledor. Sebagai orang yang cukup tertata dan teliti, teledor menjadi sebuah corengan besar untuknya.
Dalam seluruh harinya yang selalu terorganisir, mengapa harus hari ini ia menjadi ceroboh?
Dalam seluruh hari di mana Raden selalu mengecek dua kali segala sesuatu, mengapa harus hari ini ia luput?
Mengapa harus hari ini? Saat ia pertama kali menghabiskan waktu seharian dengan Julian? Lelaki yang ingin ia buat terkesan?
Raden kecewa pada diri sendiri.
Sebuah helaan napas panjang terdengar dari mulut Raden.
“Raden.” Julian segera memelankan laju mobil, “kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri, cuma gitu aja. Jangan terlalu—”
“Mas, gini lho—”
“Nggak, Raden, kamu dengerin—”
Raden menoleh, “Mas, aku cuma—”
Hening.
Keduanya sama-sama terdiam saat melihat kerumunan beberapa meter di depan.
“Ini kenapa ya?” Julian menggumam. Matanya fokus mengamati lamat-lamat kerumunan manusia, menembus beberapa kendaraan yang berhenti.
Mobil keduanya sempurna (ikut) terhenti.
Julian menurunkan kaca jendela, segera menoleh pada salah satu warga yang mengatur laju kendaraan di pinggir jalan, “ada apa ini, Pak?” Serunya—agak keras agar terdengar.
“Kecelakaan, Mas!” Balas yang ditanya—sedikit berteriak karena satu motor baru melewatinya.
“Apa sama apa, Pak?” Tanya Julian sekali lagi.
“Mobil sama truk. Parah banget, Mas.”
Lalu Julian dan si bapak tadi sibuk bertukar informasi. Raden hanya sedikit menengok dari tempat duduknya, ikut menyimak.
Kerumunan mulai mereda.
Para korban telah dievakuasi sejak tadi. Warga yang berkerumun tengah sibuk menonton. Kelihatannya kecelakaan tadi cukup hebat hingga beberapa jurnalis ikut berkumpul mencari informasi.
“Nah, kan.” Ucap Julian saat keduanya mulai memasuki parkiran mall.
“Apa?” Raden menoleh cepat.
“Aku nggak maksud gimana-gimana.”
Dua alis Raden terangkat, “maksudnya?”
Mobil telah terparkir sempurna.
“Aku nggak maksud apa-apa. Tapi aku bersyukur kaca matamu ketinggalan.”
Raden mengernyit.
“Kamu denger omonganku sama Pak Oka tadi nggak?”
Dahi Raden semakin mengernyit, “Pak Oka?”
“Tadi yang ngobrol sama aku di deket tempat kecelakaan.”
“Kok kamu tau namanya?”
“Kenalan.”
Raden semakin mengernyit, tapi ia tak terlalu heran. Julian memang demikian, kemampuan sosialnya tak bisa diremehkan. Bisa saja ia telah mengetahui latar belakang Pak Oka saat Raden sibuk mengamati keramaian dari jendela.
Memang, Raden sempat mendengar perbincangan panjang keduanya tapi telinganya hanya dapat bertahan di beberapa menit awal, si Pak Oka ini mengoceh cukup panjang, Raden tak begitu memperhatikan setelah lewat dari tiga menit.
“Terus apa hubungannya kaca mataku yang ketinggalan sama Pak Oka?” Tanya Raden kemudian.
Julian melepas sabuk pengaman, “kamu percaya nggak sih, kalau di dunia ini, setiap peristiwa pasti terhubung satu sama lain?”
Raden terdiam, matanya mengamati wajah Julian untuk menebak kemana arah pembicaraan yang dituntun Julian, akhirnya ia mengangguk ragu-ragu, “maksudmu kayak sebab-akibat gitu?”
Julian mengangguk, “mirip.”
“Oke...” Jawab Raden pelan, masih berusaha menebak apa yang akan dikatakan lelaki di sampingnya.
“Everything happen for a reason.” Julian tersenyum, “semua hal emang harus terjadi di jam itu, detik itu, waktu itu. Nggak kelewat satu peristiwa atau kegeser satu detik pun.”
Raden terdiam, mencerna ucapan Julian.
“Kayak tadi. Coba kalau kaca matamu nggak ketinggalan, bisa aja—maaf banget—mobil kita yang gantiin mobil tadi.”
Raden menelan ludah.
“Kecelakaan tadi belum lama kejadian, lho. Belum sampe sejam. Bisa aja kita ada di sana pas kecelakaan.”
Yang lebih muda masih terdiam. Tak dapat mengucap satu kata pun. Pikirannya berputar keras. Apa sekarang Julian sedang bersyukur di atas penderitaan orang lain?
“Maksudku gini,” Julian membenarkan posisi duduk—siap memberi penjelasan lebih lanjut saat dirasa Raden masih tak membalas, “kamu jangan terlalu nyesel sama hal-hal yang udah kejadian dan nggak bisa kamu ubah. Bisa aja, kejadian itu sebenernya kunci yang bisa kamu pake buat buka pintu ke tempat yang lebih baik.”
Satu detik.
Dua detik.
Oh, gitu ya?
“Paham?” Julian menaikkan dua alis, menunggu respon dari lelaki berkaca mata di depannya.
Raden akhirnya mengangguk setelah kepalanya berhasil mencerna ucapan Julian.
Oh, mungkin begitu ya?
Mata Raden melirik lelaki di sampingnya yang langsung menceritakan apa yang dijelaskan Pak Oka tentang kecelakaan tadi.
Pikirannya berkelana, mendadak tiap kata dari mulut Julian tak lagi memasuki telinga.
Oh, gitu ya?
Seperti domino yang saling berkaitan dan menimpa satu sama lain agar terus bergerak maju. Sebuah peristiwa memang harus terjadi agar hidup tetap berlanjut.
Raden menatap Julian dalam-dalam.
Dan mungkin, mungkin, pertemuan dengan Helmi bukan lah peristiwa yang harus ia sesali,
karena pengalaman pahit itu, membawa Raden pada pintu kehidupan yang lebih baik,
bertemu Julian.