Dunia, Sebuah Meja Judi Raksasa

CW // Mentioning gambling TW // Regan and his low self esteem, Regan and his emotion to his mother, Naim and how he sees the world as the gambling table

Tidak ada kalah dan menang, hanya ada untung dan berkorban.

Apa yang Regan pikirkan dua hari belakangan?

Musa.

Tepatnya, hubungannya dan Musa.

Regan setuju pada gagasan kekasihnya, tak ada hubungan yang sempurna.

Tak ada hubungan yang sempurna, yang hanya terisi dengan tawa. Kadang sebuah hubungan membutuhkan tangis dan luka.

Ketika Musa bertanya, lebih banyak mana? seneng atau sedihnya?

Regan benar-benar mulai menghitung.

Dan ia sadar, manusia memang demikian. Lebih mudah melihat bayangan daripada cahaya mentari. Lebih mudah melihat kesedihan daripada tawa sendiri.


Kali ini Regan dan Naim sedang duduk di pinggir taman kota. Melihat anak-anak bermain dengan orang tuanya, melihat pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya, menikmati keramaian dari kejauhan.

“Naim.”

Panggilan Regan membuat Naim yang sedang menikmati kue lekernya menoleh, “Iya? kenapa, kenapa?”

“Gue boleh cerita, kan?”

Naim mengangguk antusias. Emang gitu rencananya!

“Gue dulu pernah nanya sama diri sendiri, apa yang salah di hubungan gue sama Kak Musa,”

Naim menunggu.

“Tapi gue nggak tau jawabannya apa.” Regan menurunkan kue lekernya.

“Akhirnya gue minta break, dan gue mulai mikir semuanya dari awal,”

Naim ikut menurunkan kue lekernya.

“Gue udah tau apa yang salah.” Regan menatap Naim mantab.

“Apa?”

“Lo inget pas gue ke kos lo pagi-pagi?”

Naim mengangguk.

“Gue yakin lo curiga sesuatu sama Kak Musa, ya kan?”

Naim kembali mengangguk.

“Kecurigaan lo itu bener.”

Naim berhenti mengunyah kue lekernya.

Regan tertawa, “Kenapa muka lo tegang banget? jangan pasang muka tegang gitu ah, gue jadi nggak enak mau cerita.”

Susah payah Naim meredam amarah karena mendengar tentang Musa dan gemuruh debar karena melihat tawa Regan, “Oke sorry, lanjut.”

Regan mulai menceritakan semuanya, apa yang menurutnya salah sejak ia bertamu di kos Naim pagi-pagi.

Semuanya,

semuanya,

semuanya.

Naim terdiam cukup lama. Kue leker di tangan kanan tak lagi menggugah selera. Ia ingin melempar kue leker ini sejauh mungkin, bersama seluruh nyeri yang dingin.

Ia sudah menduga Musa menyakiti Regan, namun mengapa saat mendengar langsung jantungnya bagai terpasung?

“Naim!”

Regan memanggil Naim untuk yang kesekian kali.

“Eh? iya? terus, terus?”

Regan mengunyah kue lekernya dengan santai, “Ya udah, abis itu break.”

“Oke, lo sekarang udah tau kalau itu salah, terus?”

“Terus apa? Ya p—uhuk!” Regan tersedak kue lekernya.

Putus?

Naim menggigit bibir bawahnya.

Udah?

Segini aja?

Rencana gue sama temen-temen udah selesai?

Susah payah Naim menahan senyum yang hendak terbit di ujung bibir.

“Tunggu bentar, gue beliin minum disana.” Naim berdiri, tangannya menepuk tengkuk Regan sebelum berlari ke penjual minum tak jauh dari tempat mereka duduk.

Regan mengangguk sambil berusaha mengurus kue leker yang tersangkut.

Naim berlari kecil di atas rerumputan taman.

Aneh. Semenit yang lalu ia ingin mencabik seluruh dunia—terutama Musa.

Namun sekarang rerumputan yang ia injak bagai karpet permadani yang memudahkan langkahnya. Ia ingin menyayangi seluruh dunia—kecuali Musa.

Tak butuh waktu lama, Naim kembali, senyumnya mengembang cerah, “Nih, minum dulu.”

Tangan Regan menerima botol air putih yang disodorkan Naim, meminumnya perlahan.

Naim mendudukkan dirinya, “Udah?”

Regan mengangguk, “Thanks.”

Naim berdeham, “Jadi udah tau apa yang salah, terus mau put—”

“Perbaikin.”

Keduanya terdiam.

“Mau apa?” Naim memastikan apa yang didengar telinganya.

“Mau gue perbaikin...”

Naim merasakan kepalanya berputar,

“Apa yang mau diperbaikin?”

“Semuanya. Gue yakin semuanya bisa diperbaikin. Ini semua cuma salah paham.”

Salah paham.

Paham mana yang salah?

Kata Regan, Paham bahwa ia kira, ia sudah mengerti Musa seluruhnya, paham bahwa Musa kira, ia sudah berjuang seutuhnya.

“Kalau gue sama Kak Musa ngobrolin ini, gue yakin hubungan kita bakal ketolong. Ini semua cuma salah paham.” Ucap Regan enteng.

“Tapi dia udah nyakitin lo?!” Naim nyaris meninggikan suaranya. Seluruh nadi di kepala berdenyut dan pikirnya hanyut.

“Lo liat, gue masih makan kue leker ini walaupun tadi gue keselek.” Regan menunjukkan kue leker sebelum memakannya.

“Lo nggak bisa nyamain Musa sama kue leker!”

Regan hanya membalas dengan tawa.

Tengkuk dan bagian belakang kepala Naim menegang. Amarahnya datang menerjang.

Bagaimana bisa Regan menceritakan semua kebejatan Musa kemudian dengan penuh tawa mengatakan bahwa hubungannya masih ada harapan?

Naim membuang pandang. Menatap barisan semut yang berjalan di ujung kaki kursi hendak masuk ke sarang.

Hancur sudah rencananya dan teman-teman. Kepalanya mulai menyuarakan berbagai kemungkinan.

“Tapi, Im.”

Suara Regan terdengar ragu.

“Kenapa?” Susah payah Naim mengusahakan intonasi suaranya terdengar normal.

“Mama...”

Oh!

Naim hampir lupa, masih ada satu harapan. Mama.

“Gue udah ambil keputusan mau mulai semuanya dari awal, tapi Mama ni... duh gimana ya?”

Regan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Ia menimang banyak hal.

Mengapa rasanya ia dan Mama sedang bersaing untuk saling menyakiti?

Atau hanya Regan yang merasa?

Saat matanya menangkap Mama berduka karena melihat lukanya mengintip dibalik tangan, Regan ingin Mama melihat semua luka dan terbakar sakitnya.

Api Regan membara untuk menyakiti Mama.

Hingga ia lupa,

dalam permainan saling menyakiti,

Mama selalu menang.

Kamu bisa tinggalin pacarmu, kan? Mama juga bakal ninggalin Papa, Mama bilang gitu, Im.”

Seluruh tali yang mengikat kepala Naim seperti terlepas. Ada beban yang terangkat.

Masih ada harapan.

“Gue beneran marah, Im. Kenapa Mama mau ngehancurin kebahagiaan gue dengan cara kayak gini?” Regan menghembuskan nafas kasar.

“Im, gue udah terlalu sering ngalah demi Mama. Masa iya sekarang gue harus relain Kak Musa juga demi Mama?”

Naim menelan ludahnya. Ia tak bisa menatap mata Regan.

“Ini nggak adil buat gue, Im. Mama nggak tahan liat gue bareng Kak Musa dan Mama seenaknya aja nyuruh gue putus dan bawa-bawa Papa karena—”

Regan menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan, “Karena Mama tau gue nggak tahan liat Mama bareng Papa.”

Ada kecewa pada tiap hela nafas Regan.

Ia kecewa pada Mama.

Kak Musa-nya, dianggap sebanding dengan Papa.

“Gue yakin Mama ngelakuin ini buat elo, Gan.”

Regan menatap Naim tak percaya, “Buat gue? Im, kalau emang buat gue, udah dari dulu Mama bakal ninggalin Papa!”

Suaranya ketus,

“Mama ngelakuin ini semua karena dia cuma peduli sama diri sendiri, Im!”

Naim menatap Regan dalam, “Regan, menurut gue lo harus nerima tawaran Mama.”

Regan menatap jengah, “Buat apa, Im? Mama udah berkali-kali bilang dia bakal ninggalin Papa, tapi apa? ini cuma bakal jadi janji palsu Mama, kayak janji-janji sebelumnya!”

“Regan, dengerin gue.” Naim menyentuh kedua pundak Regan, berusaha menenangkan emosi Regan yang meletup, “Kali ini ada Musa. Ini bukan janji, Gan. Ini barter.”

“Barter?” Regan memicingkan mata, “Ini cuma akal-akalan Mama! Kalau gue ninggalin Kak Musa, Mama bakal tetep ketemu Papa. Kalau gue nggak ninggalin Kak Musa, Papa bakal langsung pindah ke rumah!”

Kedua alis Naim terangkat, “Papa bakal langsung pindah ke rumah?”

Regan mengangguk, “Sebelum ini Mama udah minta ijin, tapi gue nggak mau. Kalau gue nggak ninggalin Kak Musa, gue yakin Mama pasti ngira gue ngasih ijin.”

Naim tak mampu berkata-kata, Regan, securiga itu sama Mamanya? Mamanya beneran sepicik itu di mata Regan?

Angin malam berhembus. Teriakan pedagang dan riuh mesin kendaraan terdengar samar.

Mata Regan tertuju pada cat kursi taman yang mulai pudar,

“Im...”

Suara Regan memanggil lemah,

“Gue nggak bisa ninggalin Kak Musa...” Ucapnya seiring helaan nafas panjang.

Naim terdiam.

Pikirannya berkelana, berhitung, dan menimbang untung.

. . .

Kamu tau, apa yang membedakan manusia dengan ciptaan lain?

Akal.

Manusia lebih menyeramkan dari seluruh pemangsa, karena akalnya.

Manusia tak perlu berubah warna untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Manusia tak perlu memiliki cakar yang tajam untuk perlindungan.

Manusia tak perlu taring yang lancip untuk tetap makan.

Manusia hanya perlu akal pikiran.

Katanya, dunia adalah meja judi raksasa dan akal adalah satu-satunya harta.

Di meja pertaruhan ini, kamu hanya akan bertemu peruntungan dan pengorbanan.

Di meja bulat ini, kartu terbaikmu harus disimpan rapat, disaat yang tepat, buat lawanmu terperanjat.

Di meja penuh keresahan ini, siapapun yang memiliki penawaran tertinggi adalah bandar keberuntungan.

Dan Naim,

memberikan penawaran tertinggi,

mengeluarkan kartu terbaiknya,

melihat apa yang bisa ia korbankan,

dan mengambil peruntungan.

“Regan, lo terima tawaran Mama,

dengan syarat,

Mama gugat cerai Papa.”