Kilas Balik di Atas Motor

CW// Harsh words , feeling unwanted and abandoned by their mother.

Matahari mengintip malu dibalik awan sore. Sinarnya menyapa pelan kulit-kulit yang berpayung di bawah langit biru.

Sorry lama, tadi abis dipanggil BK,” Musa menghentikan motornya tepat di depan Regan.

Lelaki mungil yang sedang berdiri terfokus pada pakaian yang dikenakan Musa hari ini. Kaos putih, celana jeans hitam dan jaket hitam—freestyle dan cocok menjadi sasaran empuk guru BK.

“Nih.” Musa menyodorkan helm pada Regan. Gerakannya pasti bahkan tanpa perlu memastikan lelaki yang ia sodori helm adalah Regan.

“Oh eh—iya, thanks.” Regan menerima uluran helm itu lalu mengenakannya.

Regan memperhatikan Musa yang sedang duduk di atas motor sport-nya.

Malam sebelumnya ia tak terlalu memperhatikan karena gelap dan matanya terlalu lelah, namun sekarang, dengan bantuan sinar matahari dan mata yang sehat, Regan baru menyadari warna motor Musa yang mencolok.

Jiwa estetikanya memberontak pada nyala hijau dari motor Musa. Jelek banget seleranya warna ijo.

“Kok nggak naik?”

“Sele—”

Jaga mulut lo jangan bikin Musa emosi! teriakan Hiro tiba-tiba terngiang di kepala Regan.

“Eh iya, ini naik.” Regan segera menaiki motor Musa.

Ini adalah kedua kalinya ia menaiki motor sport—yang pertama jelas saat Musa mengantarnya, saat itu ia tak bisa berpikir jernih. Namun sekarang akal sehatnya lebih dari mampu untuk mengkritik setiap gerakan yang perlu ia lakukan untuk menaiki motor ini.

Pertama, jok penumpang terlalu tinggi. Kedua, Regan bingung harus berpegang dimana. Ketiga, nungging banget shit gue benci motor sport.

“Pegangan.”

“Eh?”

“Pegangan. Di pundak aja kalau risih.”

Regan teringat wanti-wanti dari Chleo, Jangan pegang sembarangan!

“Bukannya—”

Musa terkekeh, sudah tau apa yang akan dikatakan Regan, “Santai aja. Taruh tangan lo di pundak gue,”

Regan masih terdiam.

“Atau peluk pinggang—”

Anjrit, Regan buru-buru meletakkan kedua tangannya di pundak Musa.

Kepala Regan penuh dengan kilasan-kilasan kejadian di taman bersama Musa. Ia memikirkan apa yang mungkin perlu dibicarakan olehnya.


Flashback, Malam itu.

Semilir angin malam berkelana bersama gugur daun di taman kota yang terbengkalai. Suara satu-dua kendaraan lewat beradu dengan suara isakan tangis yang muncul dari bangku taman.

Kedua lelaki sedang terduduk di atas tanah sambil bersandar pada bangku taman.

“Kenapa ya orang terdekat kita justru jadi orang yang nyakitin?”

Hiks...Hiks... Srotttt

Regan menangis hebat, tangannya mengeluarkan tisu dari sakunya. Diusapnya air mata dan ingus yang membasahi wajahnya.

Diulurkan satu lembar tisu pada Musa,

“Gue nggak nangis.”

“Itu ada air mata di ujung matamu!” Regan menjawab nyolot.

Musa masih enggan menerima uluran tisu itu.

“Cepet terima aja sih tanganku pegel! Aku mau lanjut nangis!”

Akhirnya Musa menerima uluran tisu itu.

“Kenapa ya semua orang di dunia ini bahagia kecuali kita?”

Regan kembali menangis.

Musa sudah hendak beranjak namun kalimat Regan berikutnya menahannya.

“Kenapa ya ada Ibu yang tega ngelakuin itu ke anaknya?”

Musa mematung.

Mendadak memar di tubuhnya terasa kebas dan pedas. Entah karena memar atau hatinya yang gusar, kedua mata Musa jauh lebih pedas.

Bulir air mata pertama jatuh. Kedua jatuh. Ketiga jatuh. Bulir demi bulir terus mengalir.

Malam itu, untuk setiap sesak yang tak bisa ia ungkap dan setiap luka yang tak bisa ia singkap, Musa menangisinya.

Musa sudah akrab dengan taman ini namun asing dengan lelaki di sampingnya.

Lelaki di sampingnya mungkin juga asing dengan seluruh hal tentang Musa.

Rasa asing ini justru menjadi asing yang nyaman untuk Musa.

Tisu sekali lagi diulurkan, namun Musa tak menolak, tangannya langsung menerima dengan sukacita.

Kedua insan itu menangis hebat. Sebab tangis memang berbeda namun perihnya sama mencabik dan membuat sekarat.

Regan mengelap ingusnya, ia bersiap untuk teriakan terakhirnya,

“Kenapa aku keliatan nggak berharga di mata Mama?!”

Pecah.

Tangis keduanya membuncah.

Semua pertanyaan itu hanya akan melayang menemani petang berguling hingga terang.

Regan tau, ia hanya ingin berteriak.

Tuhan memberinya terlalu banyak sesak, tak ada salahnya membuat seluruh ciptaan Tuhan di taman ini menanggung suaranya yang serak.

Tangan Regan mengais plastik tisunya,

kosong.

Tangisnya semakin kencang.

Musa yang tak merasa mendengar teriakan dari Regan namun tangisnya sudah mengencang menoleh heran.

Regan mengelap ingus dengan tangannya, “Ti—tisunya ab—abis...”

Musa yang merasa ikut berkontribusi dalam menghabiskan tisu kemudian menyondorkan lengan jaketnya.

Regan menggeleng, dengan nafas yang masih sesak dan tangis penuh isak, kedua tangannya terulur pada Musa.

“Pe—peluuk...”

Tanpa menunggu persetujuan dari Musa, Regan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Musa.

Ia menyerahkan seluruh beban tubuhnya pada lelaki di depannya. Kepalanya disandarkan pada dada Musa.

Musa membeku.

Ia benci dipegang siapapun—kecuali Bundanya. Ia benci merasakan sentuhan orang lain baik secara langsung maupun dari atas kain.

Namun kali ini, Musa sama sekali tak menolak, seluruh tubuhnya tak memberontak.

Ia menerima seluruh berat yang dibebankan padanya.

Ia... juga ingin memberati lelaki kecil ini, dengan bebannya.

Musa baru saja hendak menyandarkan dagunya di pucuk kepala Regan ketika tiba-tiba kepala itu bergerak,

“Siapa sih nge-chat gue mulu?!”

Flashback End


Mengingat sikapnya malam kemarin dan mengetahui bagaimana sosok Musa—semalam,dari teman-temannya. Regan mulai paham bahwa sebenarnya Musa memiliki banyak hal yang harus dibicarakan dengannya.

Pertama, mungkin untuk membungkamnya. Kedua, Regan terlalu annoying.

“Turun.”

Regan tersadar dari lamunannya.

“Eh iya.”