Hal Sederhana yang Terasa Luar Biasa

“Kok bisa pas lho tadi ada Iyan?” Ujar Eyang yang sedang duduk di samping Raden, ia baru selesai berbincang ringan dengan Julian mengenai pusat perbelanjaan yang baru dikunjungi.

“Bisa lah, Oma.” Walau tak menoleh, terdengar bahwa Julian menjawabnya sembari tersenyum. Ia tengah fokus mengamati jalanan yang diguyur hujan.

“Tadi Mas Iyan nawarin buat jemput, terus aku iyain.” Raden ikut menerangkan.

“Kok bisa?” Eyang kini menoleh pada Raden.

“Bisa, aku telepati sama Mas Iyan.” Jawab Raden dengan nada jahil. Ia suka menggoda Eyang dengan candaan-candaan tak masuk akal.

Julian terkekeh dari kursi kemudi.

Welha, Eyang takon tenan iki.” Tangan Eyang memukul lengan Raden ringan. (We lha, Eyang nanya beneran ini)

“Lewat SMS, Eyang.” Raden menjawab setelah dipukul beberapa kali di bagian lengan—masih tetap dengan tawa di wajah.


“Tunggu, tunggu. Biar aku keluar dulu.” Julian mencegah Raden yang siap membuka pintu mobil, “Aku anter Oma dulu, kamu tunggu.”

Raden menurut karena Julian tak memberinya kesempatan untuk menjawab. Lelaki berkaos hitam itu langsung keluar, membuka payung lalu mempersilakan Eyang keluar.

“Permisi, ya, Oma.” Julian melingkarkan tangan di sekitar pundak Eyang lalu menuntunnya hingga teras.

Tak lama, Julian kembali, “Mau aku bawain dulu barang belanjaannya atau...?”

“Sekalian aja, nggak banyak kok.” Raden segera meraih dua tas belanja di sampingnya lalu keluar melalui pintu mobil yang dibukakan Julian.

Hujan masih berjatuhan, tiap bulirnya berlomba membasahi tanah. Angin bergerak tak terlalu kencang namun rasa dingin segera menyergap saat Raden keluar dari mobil. Aroma tanah basah segera menyambut indra penciuman.

Kaki Raden baru menginjak tanah di ujung halaman ketika ia merasa hangat tubuh Julian melingkar di sekitar punggung.

“Permisi, ya.” Terdengar suara Julian di dekat telinga Raden, membuat tubuh lelaki berkaca mata itu sedikit meremang.

Berikutnya, lengan Raden merasa rengkuhan dari tangan kokoh Julian.

“Iya.” Tanpa sadar, Raden memberi jawaban, tak terlalu keras, namun Julian masih mendengarnya. Lelaki itu segera memamerkan lesung pipinya saat mendengar ucapan lirih Raden.

Langkah keduanya seiring membelah halaman depan. Pelan—perlahan karena keduanya tak ingin tas belanjaan yang dibawa terciprat air hujan.

Meski langit berkabut dan hujan semakin deras, sebuah senyum cerah segera terbit di wajah Raden.

Raden... amat terkesan.

Raden terkesan dengan bagaimana Julian mengucap permisi sebelum menyentuh orang lain. Juga bagaimana Julian membalutkan tangan dengan lembut di sekitar lengan, namun Raden tau, rengkuhan itu kuat—sekali saja ia terselip, sudah pasti tangan itu langsung menahannya.

Sebuah rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Raden, pelan—amat pelan, dari lengan kiri hingga lengan kanan, diteruskan dari lengan hingga ujung jari, terus berlanjut hingga memenuhi wajah Raden—membuat senyum yang lebih lebar terukir jelas.

“Nah, udah—awas, pelan-pelan.” Julian ikut berteduh di teras.

“Makasih, Mas.”

“Iyaaan! Masuk dulu! Ini ada teh!” Terdengar teriakan Eyang dari dalam rumah.

“Masuk dulu, Mas.” Raden mempersilakan Julian masuk.

“Eh, iya, makasih.” Setelah menyandarkan payung, Julian melangkahkan kaki memasuki rumah, mengikuti Raden di belakang.

Sembari menunggu Eyang yang tengah berganti pakaian, Raden menemani Julian di ruang makan.

Suara deras hujan terdengar hingga ruang makan. Aroma teh memenuhi ruangan.

“Eh, iya, Mas,” Raden meraih salah satu tas belanjaan, “Kamu kemarin bilang, 'kan, kalau kamu dulu nonton kartun kuda nil putih itu?”

Dua alis Julian terangkat, “Moomin?”

Raden mengangguk, tangannya segera merogoh tas belanjaan, “Aku tadi beliin ini buat kamu.”

Kedua mata Julian langsung terbuka lebar.

Moomin

“Kamu beliin ini buat aku?” Julian mengulang ucapan Raden, tangan yang sebelumnya melingkar di cangkir teh segera dialihkan untuk menerima gantungan kunci yang baru diberikan Raden.

Raden mengangguk, “Suka, nggak?”

Wajah sumringah Julian menjawab lebih dulu dari mulutnya, “Suka, lah.”

“Anggep aja nyicil ya, kemarin kan aku bilang mau nraktir kamu, tapi belum kesampean, jadi aku beliin ini dulu.”

Binar di mata Julian masih ada, ia membalas dengan tawa pelan, “Nggak usah ditraktir juga nggak apa-apa.”

Raden menggeleng, “Cowok harus bisa megang omongannya sendiri.”

“Iya, deh.” Julian masih tertawa memandang gantungan kunci barunya, “Kamu beli buat kamu sendiri, nggak?”

Raden mengangguk lalu tangannya kembali merogoh tas belanja, ia mengeluarkan gantungan kunci lain.

Moomin2

“Lucu.” Senyum Julian makin mengembang, matanya menyipit dan lesung pipi mendalam.

Julian menyukainya.

Bukan, bukan menyukai Raden.

Ia menyukai fakta bahwa Raden berada jauh darinya, namun lelaki cantik itu tetap mengingatnya.

Barang yang diberikan memang hanya biasa, hanya satu gantungan kunci yang mungkin bisa Julian beli sendiri saat ia ada urusan di luar kota.

Namun sebuah proses dibaliknya yang membuat senyum Julian tak kunjung sirna. Ia tersanjung karena Raden mengingat hal kecil yang ia ceritakan tempo hari, makin tersanjung saat akhirnya Raden memiliki dorongan untuk membawa pulang gantungan kunci itu.

Untuk apa?

Hanya untuk mengukir senyum di wajah Julian.

Dan Raden berhasil. Terlampau berhasil.