Hari Sial.

POV : BERMUDA.

Wanita sialan.

Kenapa Hoku baru mengatakan kalau aku dibuntuti? Bagaimana bisa dia tidak menyadari sejak tadi? Bukankah dia hanya duduk manis menyaksikanku?

“Kenapa baru bilang?” Desisku kesal. Benar-benar kesal.

Jalur yang kulewati adalah jalur yang penuh dengan tanah kosong dan kios. Sekarang sudah pukul enam sore. Sekitar satu jam lagi jalur ini akan ramai karena orang-orang yang pulang kerja dari kota sebrang akan melewati jalan ini.

Yak. Aku sedang berada di pinggir kota.

”Aku nggak bisa sembarangan curiga semua mobil yang ada di belakangmu ngikutin kamu. Aku harus cek dulu.”

Cih. Dia sedang membela diri, seharusnya dia langsung mengakui kerjanya tidak becus.

Aku menatap kaca spionku. Dan uh-oh, benar saja, sebuah mobil hitam terlihat semakin dekat. Walau masih kesal, aku segera memacu motorku dalam kecepatan nyaris maksimal. Mataku tajam menatap jalanan lengang di depan dan mobil tadi bergantian.

Sebentar lagi motorku akan mencapai perempatan. Jalur 116 yang dimaksud Hoku ada tepat di depan, sebelah kiri kanan adalah jalur 115 dan 117.

Jalan

“Gue mau masuk jalur 117.” Kalau tidak salah ingat, tujuanku berada di sebelah barat—yang artinya akan lebih cepat kalau aku belok kanan ke jalur 117.

”Jalur 117 ujungnya jalan kecil. Minim CCTV. Aku nggak bisa ngawasin kamu.” Suara tinggi Hoku terdengar di dalam telingaku. Menyebalkan.

Sudah tujuh bulan aku melakukan berbagai pekerjaan dengan perempuan ini tapi aku masih kesal tiap mendengar suaranya yang menyebalkan.

“Justru itu. Mereka bakal susah ngikutin gue di jalan kecil.” Sambarku cepat. Tanpa menunggu Hoku membalas, aku segera meliukkan motorku—memasuki jalur 117 yang dua kali lebih sepi dari jalan sebelumnya—minim penerangan dan kanan kirinya dipenuhi pohon rimbun.

Mobil itu ikut berbelok.

Yak. Dia benar-benar mengikutiku.

Aku semakin memacu motorku. 140km/jam. Tanganku mencengkeram kuat kemudi motor.

Jalanan di depanku mulai menyempit. Motorku melaju tanpa masalah—beberapa lubang dan polisi tidur berhasil kuhindari dengan liukan-liukan tajam.

Namun motorku jelas bukan tandingan mobil yang mengejarku.

Aku tidak tau mobil jenis apa yang sedang mereka tumpangi, tapi aku yakin mobil itu mahal dan memang memiliki tujuan mengejar kendaraan lain. Moncong mobilnya cukup panjang dan kokoh—sepertinya mereka tidak ragu menabrak motorku jika perlu.

“Berapa mobil yang ngejar gue?” Teriakku keras-keras.

”Dua—eh—satu—mungkin?”

Hoku sialan.

“Berapa orang di dalam mobil?”

”Mana aku tau?!”

“Kenapa mereka ngikutin gue?”

“Kamu pikir aku peramal?!”

Hoku benar-benar sialan.

“Terus apa yang lo tau?!”

”Cuma 1 mobil! Mending kamu puter balik terus langsung masuk ke jalur 116 biar aku bisa ikut ngawasin!”

Aku semakin memacu motorku. Tidak ada waktu memikirkan ucapan Hoku karena mobil itu—

Sial.

Mobil itu telah menyalipku. Hanya butuh waktu sepuluh detik hingga mobil itu berganti Haluan—moncongnya menungguku, seolah siap menabrakku.

Cepat-cepat aku mengerem motorku, membanting stang motorku ke kanan agar motorku tidak bertabrakan dengan mobil itu.

CKIIIIT.

Aku terhenti sepuluh meter di depan mobil itu—ternyata pengemudi mobil kokoh ini tidak berniat menabrakku—dia masih mengambil jarak aman. Untungnya aku terhenti dengan posisi keren walaupun sedikit menyamping. Setidaknya dua kakiku masih kokoh menyangga motor.

”Kamu kesalip?” Suara Hoku si menyebalkan kembali terdengar, ”makanya jangan lelet!”

Cih. “Elo sih ngajak ngobrol!”

Empat orang turun dari mobil, pakaian mereka hitam-hitam—sama sepertiku. Bedanya, tubuh mereka jauh lebih besar. Lebih mirip preman pasar.

“Heh!” Salah satu dari mereka membentak. Rambutnya gondrong dan kusut, ada satu anting perak menghias telinganya. “Turun sini kau!” Jarinya yang pendek dan besar menunjukku.

Tiga temannya yang lain ikut berkacak pinggang dan memasang tampang sok seram.

Mataku menajam. Inilah mengapa preman pasar memiliki citra buruk. Mereka terkenal memiliki otot besar dan otak kosong.

Mereka pikir aku akan turun dari motorku dan meladeni mereka?

Oh tentu tidak. Justru ini adalah kesempatanku untuk tancap gas dan putar balik. Apalagi mereka sudah turun dari mobil, mungkin butuh waktu dua puluh detik untuk mereka kembali ke mobil lalu mengejarku.

”Berapa orang?” Suara Hoku terdengar di telingaku.

“Empat.”

”Pukulin aja, deh.”

“Gue mau puter balik.”

”Eh, jangan! Gimana kalo mereka bawa pistol—“

Aku mengernyit saat suara Hoku tidak terdengar lagi.

“Kemana lo?”

Tidak ada jawaban.

Cih. Hoku sialan.

Mataku kembali fokus pada empat orang di depanku.

“Kalau kau takut, turunkan tas kau itu!” Salah satu dari mereka—seorang dengan kacamata hitam dan kepala botak, memajukan dagunya lalu tertawa meremehkan.

Uh-Oh? Tas? Tas punggung yang kukenakan sekarang?

Menarik.

Selama tujuh bulan bekerja menjadi kurir. Ini pertama kalinya kumpulan preman tertarik pada barang yang kubawa.

Pastilah aku pernah dibuntuti dan dihadang. Baik oleh preman maupun polisi. Namun mereka tidak mengincar barang yang kubawa. Para polisi biasanya mengejarku karena rambu-rambu sialan yang tidak terlihat di mataku. Sedangkan para preman biasanya menghadangku untuk meminta upah jalan—karena aku sering mengambil atau mengantar paket di area terpencil yang masih dikuasai preman.

Pantas. Aku sudah curiga sejak tadi. Aku tidak melanggar rambu lalu lintas atau melewati area terpencil yang dijaga preman. Kukira mereka adalah preman penguasa jalanan besar—atau lebih buruk, mungkin mereka ingin merampokku. Tapi jika ingin merampok, mereka sudah pasti akan mengambil motorku—yang terlihat lebih mahal daripada tas punggung kusam yang kupakai sekarang.

Apa yang ada di dalam tas ini?

”Hoku? Lo di mana? Mereka ngincer barang kita.” Laporku cepat. Kakiku perlahan bergerak mundur, membawa motorku ikut mundur—berusaha menjaga jarak.

Tidak ada jawaban.

“Kita bicara baik-baik sini!” Aku terkejut saat salah satu dari mereka—yang paling pendek, dengan rambut cepak—tiba-tiba mengeluarkan pemukul besi dari dalam mobil. Jelas dia tidak ingin bicara baik-baik.

“Kau boleh pergi kalau kau serahkan tas itu.” Dia memainkan pemukul besi di tangannya. Teman-temannya yang lain tertawa. Si rambut gondrong menimpali, “awas nanti dia ngompol!”

Cih.

Aku bisa menabrak dan melindas mereka semua dengan motorku. Kalau perlu, aku bisa merebut pemukul besi itu lalu meremukkan tengkorak-tengkorak sombong ini lalu membuangnya di hutan terdekat, atau aku bisa melindas badan mereka dengan mobil kokoh itu—walau aku tidak bisa mengendarai mobil, aku tau cara melindas orang.

”RED. Kamu di jalan nomor berapa?”

Suara tinggi Hoku kembali terdengar. Walau masih kesal, aku agak lega mendengar suara wanita sialan ini.

Mataku melirik sekitar jalan sepi ini untuk mengetahui nomor jalan. “87.”

”Ulur mereka dua menit. Abis itu puter balik, masuk ke jalur 116.”

Sial.Ulur mereka dua menit? Gila lo.”

Tapi aku tetap memikirkan cara untuk melakukannya.

Tujuh bulan bekerja dengan Hoku, aku yakin dia selalu memikirkan langkah terbaik agar pekerjaan kami selesai. Setidaknya, aku percaya pada otaknya.

Dua menit adalah waktu yang terlalu singkat namun juga terlalu lama kalau kami hanya saling ngobrol atau tertawa.

Untungnya, aku sudah sering dihadapkan pada situasi tidak terduga.

Akhirnya aku melakukan hal yang sudah kubayangkan sejak tadi. Aku menatap mereka berempat satu persatu dari balik kaca helm. Mereka berdiri dengan posisi pyramid di depan mobil dengan pose sok jagoan yang memuakkan. Si gondrong dan si rambut cepak ada di sebelah kanan, sementara si botak dan si perut buncit ada di sebelah kiriku.

Yak. Ini dia. Saatnya aku mengajarkan tentang rendah hati pada para pesombong ini.

BROOOM.

Desisan motorku terdengar. Kakiku yang satu masih menyentuh aspal sementara kakiku yang lain telah memasang posisi. Tanganku siap menarik gas.

“Wah, mau kabur dia, Bos.” Si perut buncit menunjukku. Dia tertawa puas.

Ujung bibirku naik. Kabur memang keahlianku.

Sepersekian detik kemudian, motorku telah melaju. Mereka terkesiap saat melihat motorku bergerak menerjang.

Untuk sekarang, bagi mereka, pilihannya hanya dua. Tetap diam dan membiarkan tubuhnya diterjang motorku atau menghindar dan membiarkanku pergi.

Apapun pilihannya, aku yakin dua pilihan itu tidak menguntungkan mereka.

Salah siapa mereka semua malah turun dari mobilnya. Dasar preman otak kosong.

Setelah jarak kami terpangkas setengah, aku meliukkan motorku, kakiku turun satu untuk mengatur keseimbangan. Tubuh besar motorku melewati celah di antara ujung jalan dan mobil yang diparkir melintang.

Sementara para preman itu menutup mata—tiga orang segera menyingkir jadi aku dapat leluasa melewati mereka, hanya si gondrong yang membuka mata dan melotot padaku.

Cih. Cemen.

Aku melesat membelah jalur 117 tanpa tau apa rencana Hoku, namun aku menurutinya. Motorku akan terus melaju selama tiga puluh detik di jalur 117 sebelum aku putar balik. Dengan begitu aku akan kembali lagi di perempatan dalam waktu kurang lebih dua menit—sesuai perintah Hoku. Mungkin mobil itu akan lima detik lebih lambat karena harus putar balik—atau dua detik kalau mereka pandai mengemudi.

Mobil para preman itu benar-benar mengejarku.

Sayangnya, mobil mereka tidak akan lagi mendahului motorku. Kini motorku sudah berada di kecepatan 160km/jam.

Lima belas detik sebelum putar balik, aku cepat-cepat menurunkan kecepatan—aku harus memutar motorku dengan mulus.

BROOOM.

Motorku kembali berderu kasar. Aku bisa merasakan gesekan aspal dan ban motorku.

Motorku putar balik dengan sempurna. Kecepatan dan rem yang kutarik cukup pas hingga aku tidak limbung atau terjatuh dari motor—pasti memalukan jika aku jatuh dan terlindas mobil para preman ini.

Saat aku telah memutar balik, sayangnya, mobil mereka masih berada di kecepatan tinggi—dan seperti yang kuduga, mereka adalah pengemudi yang payah. Alih-alih membanting stir dan melakukan manuver atau semacamnya, mobil itu berdecit keras karena direm mendadak.

Yak. Sepertinya mereka akan lebih lambat dua puluh detik di belakangku.

”Udah di mana?” Suara Hoku terdengar.

“Lo bisa mantau gue dari GPS.” Balasku kesal.

”Mataku cuma dua dan aku sibuk ngawasin CCTV!”

Aku mendecak. Dasar payah. “Semenit lagi nyampe perempatan.”

Tidak ada jawaban dari Hoku.

Mataku kembali fokus pada kaca spion. Mobil itu masih mengejarku.

Empat puluh detik sebelum perempatan.

Tiga puluh detik sebelum perempatan.

Dua puluh detik sebelum perempatan.

Hah?

Aku mendengar sirine mobil polisi meraung-raung.

“Lo manggil polisi?”

Motorku telah memasuki jalur 116 saat Hoku mengiyakan pertanyaanku.

Aku tersenyum. Semua serba tepat waktu. Aku telah sampai di jalur 116 saat mobil polisi memasuki jalur 117, para preman masih di sana.

“Pas banget. Preman-preman itu masih di jalur 117!” Aku berteriak girang.

”Yep. Walaupun kamu telat, mereka bakal tetap dikejar polisi. Aku tadi nyebutin plat mobil mereka.”

“Lo sempet liat plat mobil mereka? Emang keliatan dari CCTV?”

“Nggak lah! Aku harus usaha ekstra buat liat plat mobil mereka. Kamu harus bilang terima kasih ke aku dua puluh kali!”

Aku tersenyum lebar. Yak. Meskipun Hoku menyebalkan, setidaknya ia bisa kupercaya.

Dua puluh menit kemudian, setelah memutari rute yang seharusnya aku lewati, aku tiba di lokasi tujuan.

Sebuah jalan dengan kanan-kiri hutan.

”Parkir di bawah lampu jalan.” Perintah Hoku terdengar saat aku melambatkan motor.

“Kenapa?”

”Banyak orang berhenti di situ buat kencing. Biar nanti orang lain ngira kamu mau kencing, jadi nggak ada yang bakal ikut berhenti.”

Aku menjawab dengan gumaman seadanya. Pada saat biasa mungkin aku akan kesal, namun ada hal lain yang sedang mengganggu pikiranku.

Isi tas ini.

Mengapa preman tadi menginginkan tas ini?

Mengapa mereka mengikutiku padahal mereka bisa saja mengambil langsung tas ini dari kios?

Atau jangan-jangan mereka tau ada benda penting yang diletakkan di sekitar kios tadi tapi tidak tau benda apa?

Bagaimana jika aku mengintip isi tas ini?

Hoku tidak akan tau karena tas ini harus ditaruh di dekat akar pohon besar yang jauh dari jalanan. Aku memarkirkan motorku tepat di bawah lampu jalan lalu berjalan menyusuri hutan di pinggir jalan.

Gelap.

Hanya terlihat bayangan pohon-pohon besar di sekitar. Kata Hoku aku harus menaruh tas ini di pohon besar yang dililit kain kuning dengan coretan merah—cukup menyebalkan karena banyak pohon besar yang dililit kain kuning.

Ketemu.

Hanya saja, aku masih penasaran.

Mengintip sedikit saja tidak masalah, ‘kan?

Tanganku sudah lebih dulu menggapai tas itu, membuka perlahan… dan….

Kertas.

Uang?

Bukan.

Kertas dengan berbagai warna dan tulisan tangan.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena sedikitnya cahaya di sekitar.

Jadi, mau tidak mau, aku mengambil satu lembar kertas warna terang itu untuk kubawa pulang.