Hujan Tengah Malam

cw / tw // harsh words ; cheating ; violence ; wound ; blood ; major character death


Hadir

Pada faktanya, Hugo tak pernah benar-benar pergi.

Hugo selalu ada di sana, di samping Raib. Menunggunya mengumpat, marah-marah, atau menangis satu jam penuh.

Namun, energi Hugo nyaris terkuras habis. Wujudnya tak kasatmata, dan suaranya tak terdengar.

Instingnya menyala saat melihat Pak Juna menunggu Raib tepat di depan pintu, mengajaknya makan malam.

Dan apa yang bisa Hugo lakukan saat melihat tubuh Raib bergetar, muka pucat, dan tangan terkepal? Tak ada.

Hugo mengumpat berkali-kali. Ia yakin rencananya telah sempurna. Merasuki Raib hingga malam, menyiapkan jemputan di pagi buta. Hanya satu malam, hanya beberapa jam. Hugo yakin semua akan baik-baik saja.

Tapi kedatangan Pak Juna merusak segalanya.

Hugo bahkan menatap sangsi pada makanan dan minuman yang tersaji. Ingin meneriaki Raib untuk tak menyentuhnya.

Saat yakin Raib baik-baik saja setelah menyantap hidangan di meja, Hugo kembali dibuat sangsi dengan pernyataan Pak Juna. Jika Hugo mampu, ia ingin menutup telinga Raib atau membawa lelaki itu kabur sejauh mungkin dari sana. Ia tak dapat membayangkan seberapa hancur perasaan Raib saat mendengar omong kosong Pak Juna.

Dan instingnya langsung mengirim kode merah saat Pak Juna membawa tumpukan mangkok ke ujung meja—mendekati lorong-lorong—alih-alih membawanya ke wastafel.

Energi Hugo bahkan belum pulih, ia masih merasa kehampaan dalam tubuhnya. Namun, demi melihat mangkok yang teracung sempurna, energi Hugo membuncah. Naik. Cepat sekali.

Tapi semuanya terlambat. Perhitungannya salah. Serangan itu bukan hanya datang sekali, namun tiga kali—berturut-turut.

Hugo terkulai lemas saat serangan keempat dilancarkan pada Raib yang telah hilang kesadaran di lantai. . . .


. . .

Anak Bungsu

Raib membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa luar biasa berat. Belum sempurna ia membuka mata, sebuah tetes air jatuh tepat di matanya, membuatnya nyaris memejamkan mata lagi.

Setelah beberapa detik berusaha menyusun kesadaran, akhirnya seluruh pancaindra Raib mulai pulih. Ia mendengar suara hujaman benda keras saling bertemu dan bulir-bulir air yang berjatuhan—hujan. Rasa dingin mulai menyergap dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Ada rasa berat di kepala dan pipi Raib. Ia bisa merasakan rasa nyeri mendera bagian kanan kepalanya, berurutan dari belakang kepala hingga pelipis. Pipinya berdenyut dan tiap denyutnya menghantar rasa ngilu tak tertahankan.

Saat penglihatan Raib mulai pulih, yang pertama ia lihat adalah rerumputan dengan gundukan tanah yang cukup tinggi.

Raib melenguh pelan. Napasnya terasa berat.

“Raib.” Sebuah panggilan samar-samar terdengar di antara tetes hujan.

“Raib.”

“Raib!”

“RAIB!”

Mata Raib sempurna terbuka.

Ini di mana?

Ada rasa kaku yang menjalar di sekujur tubuh Raib, ia tak dapat menggerakkan tangan dan kaki. Seluruh bajunya basah ditimpa air hujan yang masih terus berjatuhan—menambah rasa kaku di sekujur tubuh.

Setelah susah payah berpikir. Akhirnya Raib sadar. Ia tengah tergeletak dengan posisi miring di sebuah halaman luas. Dengan pencahayaan yang luar biasa minim, mata Raib melirik pelan apa yang ada di depannya.

Pagar dinding...

Pohon...

Rumput...

Bunga kecil berwarna putih.... melati?

Raib terkesiap.

Halaman belakang?

Lalu mengapa ada gundukan tanah di depannya?

Raib memejamkan mata, meringis tertahan, kepalanya berdenging.

“Raib.”

Sesosok lelaki bertumpu pada satu kakinya di depan Raib.

“Raib, udah bangun?”

Raib kewalahan menggerakkan kepalanya, melirik wajah dari sosok itu. Pandangannya kabur karena derasnya air hujan yang tak henti mengenai, membuat rasa pedas di bola mata.

Hugo?

Kenapa Hugo ada di sini?

Tadi gue kenapa?

“Raib, dengerin,” Hugo mengangkat satu tangannya saat dirasa Raib akan membalas ucapannya, “Jangan bales ucapan gue. Cukup dengerin aja. Oke?”

Raib mengangguk lemah—sangat lemah, nyaris tak terlihat.

“Lo inget lo tadi kenapa?”

Raib terdiam. Kepalanya sekali lagi berdenging. Ia berusaha menaikkan tangannya, hendak memijat kepalanya terasa nyeri—namun tak bisa. Tangannya kaku menjadi satu di belakang tubuh.

Eh?

Raib berusaha menggerakkan tangannya sekali lagi. Pergelangan tangannya bergesekan dengan sesuatu yang kuat dan kasar, menimbulkan rasa perih.

“Raib, jangan banyak gerak dulu.” Sergah Hugo cepat, ia khawatir melihat tangan Raib yang bergerak penuh cemas, “Tangan sama kaki lo diiket sama Pak Juna.”

Pak Juna?

“Tadi lo dipukul pake mangkok—dua kali, sama Pak Juna, di pipi sama di kepala, kayaknya kepala lo luka parah. Apalagi tadi lo pingsan di atas pecahan kaca. Badan lo kacau banget—jangan kebanyakan gerak dulu.”

Hening.

Telinga Raib hanya mampu menangkap suara air hujan bertemu atap dan suara tumbukan dua buah benda—berkali-kali.

Derai hujan semakin deras. Suaranya menelan suara lain di sekitar.

Bayangan Pak Juna mengacungkan mangkok pada Raib terputar jelas di kepalanya bak potongan film.

Raib menghela napas pelan, memejamkan mata.

Sial, Pak Juna sialan.

“Raib.” Hugo kembali memanggil, ia takut Raib kembali hilang kesadaran.

Raib membuka mata—meringis tertahan, bahkan untuk menggerakkan mata, rasanya menyiksa. Bibirnya mulai terbuka, membuat beberapa tetes air hujan memasuki mulutnya.

Hugo menyipitkan mata, berusaha memahami apa yang hendak diucapkan Raib.

Pak Juna, mana? Susah payah bibir Raib bergerak tanpa suara.

Hugo terdiam sejenak. Ragu.

“Raib,” Hugo memandang Raib dalam-dalam, mengamati setiap luka di pelipis, lebam di pipi, dan gores-gores di lengan, “Abis gue bilang ini, tolong lo tetep tenang. Pastiin Pak Juna nggak tau lo udah bangun. Oke?”

Raib mengangguk lemah.

“Pak Juna lagi gali lubang di depan situ—nggak tau buat apa, tapi menurut gue, dia mau ngubur elo di situ.” Hugo menunjuk gundukan tanah di belakangnya.

Shit.

Napas Raib menderu. Mulutnya ingin mengucap sumpah serapah.

“Raib, gue nggak akan biarin Pak Juna ngelakuin itu. Oke?”

Raib tak menjawab, ia hanya memberi lirikan sekilas. Memang apa yang bisa dilakukan Hugo?

“Raib, ini rencana gue,” Hugo mendekatkan diri pada Raib, agar suaranya terdengar lebih jelas, “Pak Juna masih sibuk gali lubang. Mungkin butuh lima belas menit lagi. Selama waktu itu, gue mau lo tetep diem di sini. Gue bakal berusaha ngerahin energi gue buat nglepasin tali-tali ini. Abis itu lo pergi, telfon bantuan, Pak Juna biar gue yang urus. Oke?”

Raib tak menjawab. Dagunya digerakkan, meminta Hugo untuk lebih mendekatkan diri padanya.

“Hugo,” Bisik Raib lemah, suaranya kalah jauh dibanding derai hujan, namun Hugo masih dapat mendengar karena telinganya tepat di depan bibir Raib, “Lo terlalu ngeremehin gue, ya?” Lanjut Raib.

Hugo memundurkan wajah, mengernyitkan dahi, “Seriously? Lo susah-susah ngomong cuma buat protes?” Ia menundukkan wajah sekilas, “Raib, nggak ada waktu buat itu. Yang penting sekarang lo harus pergi jauh dari sini, paham?” Pandangan Hugo kembali tertuju pada luka-luka Raib, di sepanjang tangannya ada kurang lebih enam goresan, di bagian pelipisnya juga terdapat samar-samar luka robek.

Ini buruk. Hujan semakin deras dengan bulir-bulir yang besar. Luka Raib akan terasa makin sakit saat salah satu bulir itu mengenainya. Belum lagi luka di lengan satunya yang tertindih tubuh Raib.

Oh, tidak. Hugo kalang kabut. Tak ada waktu untuk berdebat.

“Raib, lo diem aja. Oke? Jangan sampe Pak Juna tau lo udah bangun, ya?” Hugo berpindah ke belakang tubuh Raib, “Biar gue buka talinya pelan-pelan.”

Raib terdiam. Membiarkan Hugo melakukan tugasnya di belakang sana.

Ada hal yang lebih penting.

Di mana Pak Juna menyembunyikan tubuh Hugo?

Untuk saat ini, Raib yakin lebih dari seratus persen, Pak Juna lah dalang dibalik ini semua.

Kata seseorang, sekali kita berani melukai orang lain, maka kali kedua dan seterusnya akan lebih mudah.

Lihat, ternyata gundukan tanah di depan Raib adalah tanah dari calon kuburannya yang repot-repot disiapkan Pak Juna. Tak pernah terpikirkan oleh Raib, makamnya akan seburuk ini.

Ujung bibir Raib sedikit terangkat.

Menggelikan.

Pak Juna ingin mengubur Raib padahal lukanya tak seberapa? Ayolah, harusnya Pak Juna menghancurkan kepalanya sekalian.

Raib mulai merasa sedikit longgar di pergelangan tangan, hawa dingin mulai menusuk lewat sana. Talinya belum sempurna terlepas. Raib menggerakkan sendiri tangannya. Mencengkeram tali tambang ukuran sedang yang—mungkin—bisa berguna nantinya.

Hugo berpindah menuju kaki Raib yang terikat. Sekuat tenaga melonggarkan ikatannya. Peluh mulai menetes di pelipis Hugo. Ia merasa badannya luar biasa ringan, mungkin setelah ini, Raib tak mampu lagi melihat wujudnya.

“Raib, masih bisa denger gue, kan?”

Raib mengangguk.

“Bagian kaki, bisa lo lepasin sendiri? Energi gue udah mau abis, takutnya entar lo nggak bisa denger suara gue juga.”

Raib kembali memberi anggukan.

Selesai.

Hugo berdiri. Ia mengintip Pak Juna.

Lelaki itu masih sibuk menggali lubang dengan sekop, bajunya sudah basah kuyup. Wajahnya mengeras, mungkin menahan dingin dan lelah yang datang bersamaan. Sepertinya, perkiraan waktu Hugo meleset. Pak Juna mungkin membutuhkan waktu lebih lama. Setelah ini, Hugo dan Raib harus berterima kasih pada hujan lebat yang turun malam ini.

“Raib, pintu belakang ada dua meter di atas kepala lo. Cara terbaik buat kesana, tiarap. Tapi lihat dari kondisi tangan lo, kayaknya nggak bisa,” Hugo menatap pergelangan kaki Raib yang luka dan membekas merah karena diikat, “Jalan aja pelan-pelan, bisa kan?”

Raib melotot. Mengapa harus jalan pelan-pelan? Ia bisa langsung lari dan meninggalkan rumah ini.

“Nggak, Raib. Gue tau lo mikir mau lari secepet mungkin dari sini.” Hugo menggeleng, “Itu jalan terakhir. Sekarang lebih bagus kalau lo pergi diem-diem, oke?”

Raib tak bisa banyak berpikir. Kepalanya berdenging. Ia hanya memberi anggukan lemah.

“Raib, gue bakal ngawasin Pak Juna. Lo tinggal lakuin aja apa yang gue suruh. Apapun yang terjadi, jangan nengok, clear?”

Raib mengangguk. Ia mulai menggerakkan kakinya, melepaskan diri dari ikatan tali. Tangannya masih setia mencengkeram tali tambang yang tadi mengikat pergelangan tangan. Perlahan ia mulai tengkurap, siap-siap berdiri.

Oh my God.

Sejak tadi, Raib sudah merasa ngilu di sekujur tubuh. Namun sekarang, Raib dapat merasakan rasa perih mulai menjalar dari kanan-kiri lengan. Kepalanya terasa berputar dan berat.

Raib sempat melirik gundukan tanah di sampingnya. Bagian belakang kepala Pak Juna terlihat saat ia membuang tanah ke atas.

Raib menelan ludah. Jantungnya mulai berpacu. Derai hujan masih mengujam tubuh. Tubuhnya menjadi dua kali lipat lebih dingin. Bibirnya menggigil.

“Raib, jalan sekarang.”

Komando itu menjadi pertanda untuk Raib.

Ia mulai berjalan mengendap. Setenang mungkin. Matanya terfokus pada pintu belakang yang sedikit terbuka.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tig—

Terdengar suara debuman dari belakang.

“RAIB! LARI!”

Hugo berteriak.

“MAU KEMANA KAMU?!”

Pak Juna ikut berteriak.

Raib semakin menggigil. Ia tak menoleh—seperti kata Hugo. Kakinya langsung dipaksa berlari. Sial, halaman belakang luar biasa licin. Terlebih, Raib tak memakai alas kaki sama sekali.

Tangan Raib cepat meraih pintu belakang. Membantingnya sembarang lalu berlari menyusuri lorong kamar. Entah mendapat kekuatan dari mana, kaki Raib mendadak terasa lebih ringan.

Raib telah mencapai pintu depan. Tangannya bergetar hebat, berusaha keras membuka pintu itu.

Tak bisa.

Pintunya terkunci.

BRAK!

Raib melirik sekilas. Mendapati Hugo tengah menahan pintu belakang. Arwahnya berkedip, hilang—timbul.

Tangan Raib merogoh saku celana.

Sial. Ponselnya di mana?

Raib menggigit bibir bawah. Situasinya genting. Pintu terkunci. Ponselnya tak ada.

BRAK!

Pintu belakang terbuka.

Tak ada waktu.

Raib berlari ke lorong kamarnya.

Sial.

Lelaki mungil itu lupa sempat ada keributan di dekat lorong kamarnya. Serpihan mangkok dan vas bunga berserakan. Kakinya tak sengaja menginjak serpih-serpih kecil yang luput dari pandangannya.

Perih.

Raib meringis tertahan. Tetap berlari dengan kaki pincang.

Tangan Raib yang satu meremas tali di genggaman—menahan sakit, tangan yang lain meraih pintu kamar. Suara serpih-serpih kaca terinjak terdengar jelas di telinga Raib.

GREB!

Belum sempat tangan Raib mendorong pintu kamar. Ia merasa dua tangan melingkar di pinggangnya.

BRAK!

Tubuh Raib melayang begitu saja, punggungnya menabrak pintu halaman samping. Pak Juna baru saja melempar tubuhnya.

“RAIB!!” Teriakan Hugo terdengar—entah dari mana asalnya.

Raib terkulai lemas di lantai. Seluruh tubuhnya—terutama punggung dan kakinya, terasa luar biasa ngilu. Punggungnya terutama, terasa kaku. Tulang-tulangnya seperti dipatahkan satu per satu.

Raib memejamkan mata. Shit, sakit banget.

Pak Juna berjongkok di depan Raib.

“Saya nggak mau menyakiti kamu seperti ini, Raib.” Pak Juna mengusap ujung kepala Raib, meninggalkan jejak-jejak tanah basah di sana, “Maaf.”

Bangsat.

Raib masih memejamkan mata. Tangannya bergerak perlahan ke belakang tubuh. Menyembunyikan tali tambang. Untuk sekarang, Raib akan pura-pura tak sadarkan diri.

“Permisi, Raib.”

Perut Raib terasa mual. Apakah lelaki yang membantingnya ini baru saja mengucapkan permisi?

Raib hanya terdiam saat tubuhnya dipikul Pak Juna.

“Raib! Raib! Bangun!” Suara Hugo terdengar samar-samar.

Suara derai hujan semakin terdengar jelas. Pak Juna baru saja membuka kembali pintu belakang. Hawa dingin menusuk perlahan.

Raib membuka mata. Tangannya mulai menguraikan tali tambang yang sedari tadi di pegangnya. Mencengkeramnya kuat-kuat dengan dua tangan.

“Raib? Lo sadar?” Suara Hugo kembali terdengar, namun sosoknya sama sekali tak kelihatan. Teriakan Hugo terus terdengar hingga perlahan menghilang.

Shit, nggak ada waktu buat nyari Hugo ngomong dari mana.

Raib sedikit mengangkat kepala saat punggungnya kembali di derai air hujan. Mengecek situasi. Mereka sudah tiba di halaman belakang.

Malang bagi Pak Juna, Raib adalah anak bungsu di keluarganya dan yang paling muda di seluruh keluarga besarnya. Untuk jurus bela diri, Raib memang tak bisa. Namun kalau benar-benar disuruh membela diri? Raib juaranya. Jangankan digendong seperti ini, Raib pernah digotong ramai-ramai oleh kakak-kakaknya untuk dilempar ke bibir pantai, dan masih bisa meloloskan diri.

Kaki Raib dimundurkan lalu sedetik kemudian,

DUG!

Lututnya menendang dada Pak Juna. Membuat lelaki dewasa itu limbung seketika.

Keduanya terjatuh, terkapar di tanah. Tanpa menunggu lama, Raib segera berbalik lalu mengalungkan tali di leher Pak Juna, mencekiknya kuat-kuat dari belakang. Ia bertumpu pada satu lutut sedang kaki yang lain direntangkan, untuk menjaga keseimbangan. Luka-luka di telapak kaki semakin terbuka—namun Raib tak peduli, kuda-kudanya dikencangkan.

“EGH—” Pak Juna yang masih terkapar mulai menepuk-nepuk tangan Raib. Tangan yang lain mencengkeream kuat pergelangan tangan Raib, mencakarnya.

Raib meringis, menahan perih. Telapak tangannya juga mulai terluka, tali tambang ini terlalu kasar untuk dipegang kuat-kuat, belum lagi tangan Pak Juna yang berusaha menarik tangannya. Gesekannya terasa menyakitkan di telapak tangan.

Namun, tenaga Pak Juna jauh lebih besar dari Raib.

Raib terkejut saat Pak Juna justru bangkit dari posisi terkapar. Lelaki dewasa itu terbatuk karena Raib menarik kuat-kuat talinya, menahan Pak Juna agar tetap terkapar di tanah.

Fuck kuat banget!

Raib ikut tertarik ke depan. Tangannya dicengkeram erat oleh Pak Juna. Dalam sekejap, Pak Juna telah berdiri. Membuat Raib ikut berdiri.

Dan berikutnya, Raib melotot saat ia merasa tubuhnya melayang.

Semuanya terjadi begitu cepat dan lambat. Raib dapat melihat tanah dan rerumputan, tak lama ia melihat langit malam dan bulir-bulir hujan yang menghujam.

BRUK!

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raib merasakan rasanya dibanting. Benar-benar dibanting hingga tubuhnya berputar nyaris 360 derajat.

Punggung Raib terasa remuk untuk kedua kalinya. Napasnya tersengal. Ia merebahkan diri di tanah. Tak melawan. Tenaganya habis. Rasa perih menjalar dari ujung kaki hingga ujung tangan. Kondisinya payah.

“Tenaga kamu cukup kuat untuk badan kamu yang kecil, Raib.” Seru Pak Juna, berusaha mengalahkan suara hujan. Napasnya juga terengah.

Jantung Raib berdegup kencang saat Pak Juna—yang sebelumnya berada di atas kepalanya—sudah bangkit, berdiri tepat di sampingnya.

“Raib, saya nggak mau nyakitin kamu.” Ucap Pak Juna. Raib tak dapat membaca ekspresinya. Antara datar, kecewa, marah, lelah? Raib tak tau.

“Bunuh aja gue sekalian.” Desis Raib tajam.

Pak Juna berjongkok di samping Raib, “Saya bukan pembunuh, Raib.”

CUIH!

Raib meludah setinggi mungkin. Tak perduli apakah air liurnya mengenai Pak Juna atau justru kembali ke pipinya. Raib sudah masa bodoh, bahkan jika ia harus mati malam ini dan tak seorang pun dapat menolongnya, setidaknya ia akan merendahkan lelaki di depannya habis-habisan.

Hujan mulai reda. Angin makin berhembus. Suara gemuruh kembali terdengar.

Pak Juna mengusap wajah, terkekeh pelan, “Kamu pikir saya pembunuh?”

“Lo gali kubur gue dan masih bisa ketawa kayak gini. Menurut lo?” Raib melirik tajam. Walaupun terlihat tenang, namun seluruh tubuhnya bergetar. Ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

“Oh,” Raib kembali berucap sebelum Pak Juna membalas, “Udah mulai terbiasa ya karena ini udah kedua kalinya bunuh orang?” Matanya melirik. Nyalinya menciut saat melihat tatapan tajam Pak Juna.

“Kedua?” Pak Juna menggeram.

“Hugo yang pertama, kan?” Mata Raib menantang, “Atau sebelum Hugo udah ada orang lain? Terus Hugo ke berapa, dong?” Raib menyeringai.

Pak Juna mematung.

Dari bawah sini, Raib dapat melihat bekas merah di leher Pak Juna, bekas cekikan. Mata Pak Juna memandang dingin.

Raib menahan napas. Menggertakkan gigi. Ia takut. Sangat takut.

Namun, jika malam ini ia benar-benar akan menemui ajal. Maka Raib harus mengetahui satu hal, di mana tubuh Hugo?

“Saya nggak bunuh Hugo.” Ujar Pak Juna dingin. Lebih mirip bisikan rendah.

Angin malam kembali berhembus. Menelusuri setiap luka di kulit Raib. Menyelimutinya dengan rasa perih.

“Nggak berani ngaku?” Raib tersenyum miring—berusaha terlihat tenang dan menahan rasa sakit di saat yang bersamaan, “Gimana perasaan Aika pas tau Papanya—”

“JANGAN BAWA-BAWA KELUARGA SAYA!”

Raib terkejut saat Pak Juna meraih kaosnya. Membuat Raib sontak terduduk. Ia sempat mendengar gertak tulang punggungnya.

“Kamu liat di situ!” Pak Juna menunjuk lubang yang berada tepat beberapa langkah dari kaki Raib, “Kalau saya boleh kasih saran, besok lagi, kamu jaga mulut kamu!” Desisnya, suara Pak Juna bergetar, matanya melotot tajam.

Raib menelan ludah. Wajah Pak Juna terlalu dekat, ia dapat melihat bekas-bekas tanah dan urat-urat mata Pak Juna.

“Lo masih inget keluarga?” Ucap Raib, bergetar, napasnya tersengal, “Setelah selingkuh sama Hugo? Masih inget punya anak-istri?” Mata Raib balas menatap tajam. Ia nyaris tercekat karena cengkeraman Pak Juna di lehernya cukup kuat.

Raib menahan napas saat Pak Juna bangkit—dengan tangan masih mencengkeram kerah Raib—menyeret kasar tubuh mungil itu mendekati lubang galian.

“Hati-hati, Raib.” Pak Juna sedikit mendorong tubuh Raib ke belakang, lelaki penuh luka itu melirik sekilas ke bawahnya, lubang yang dibuat Pak Juna cukup dalam—sekitar dua meter . Bunga-bunga di sekitarnya hancur berantakan, beberapa terbenam dalam lubang.

“Kalau saya lepas cengkeraman ini,” Pak Juna mencondongkan wajahnya, cengekeramannya makin kuat, membuat Raib nyaris terbatuk, “Kamu yang tamat.”

Raib menelan ludah. Bibirnya menggigil hebat. Rasa takut dan sakit memenuhi rongga dada, membuatnya merasa sesak. Ia tak pernah sedekat ini dengan kematian.

Sekilas, Raib memikirkan seluruh keluarganya di rumah. Apa yang akan mereka lakukan saat Raib akhirnya menghilang? Ia takut Mami atau seluruh keluarganya bernasib sama dengan keluarga Hugo.

Untuk sekarang, Raib hanya mampu menatap jerih, ia ingin memohon dan menciumi kaki Pak Juna agar mengampuninya. Tapi di sisi lain, sisi di mana Hugo ada di dalamnya, Raib ingin terus menantang Pak Juna—dengan cara apapun—agar ia mengetahui keberadaan Hugo.

Katanya, saat berada di titik terendah, kekuatan dapat datang dari mana saja. Kali ini, Raib mendapatkan secercah kekuatan hanya dengan mengingat Hugo.

Otaknya berputar cepat. Melawan denging dan pening.

“Gimana—” Geram Raib, suaranya tercekat, napasnya sesak, “Gimana kalau nanti—” Ia meraup udara sebanyak-banyaknya, “Semuanya kebongkar, dan Aika dicap jadi anak pembunuh?” Mata Raib menatap lurus-lurus kedua mata Pak Juna.

DUG!

Pak Juna mendorong tubuh Raib, melepas cengkeramannya.

Raib mematung. Merasakan tubuhnya perlahan terhuyung ke belakang, merasakan kekosongan mendera punggungnya.

BRUK!

Sesuatu baru saja menubruk Raib dari depan. Menerjang kuat.

Tubuh Raib terpental jauh ke belakang—melewati liang di bawahnya—hingga punggungnya nyaris—sekali lagi—menabrak pagar dinding di ujung halaman. Namun, sesuatu menghentikannya. Ia berhenti tepat beberapa jengkal sebelum punggungnya menyentuh dinding.

Ada dua tangan melingkar di pinggang Raib. Memeluknya erat.

Wajah Raib terbenam dalam lengan seseorang di depannya.

Seluruh tubuh Raib menggigil. Udara di halaman belakang sudah cukup dingin, namun siapapun yang sedang memeluknya, jauh lebih dingin.

“Hugo?” Ucap Raib lemah. Entah mengapa, ia tau. Lengan tempatnya bersandar, tangan yang merengkuh, rasa dingin yang menyergap—semuanya, hanya dimiliki oleh Hugo.

Orang itu—Hugo—mengangguk. Tangannya naik perlahan, mengusap lembut rambut Raib, “Bertahan ya? Dikit lagi.” Bisik Hugo pelan.

Tak pernah Raib merasa selega ini. Ia memejamkan mata. Buliran panas meleleh di pelupuk mata, “Gue udah mati?”

Hugo tersenyum, menggeleng, “Belum. Jangan sekarang.”

Raib hendak melepas pelukannya, ia ingin melihat Hugo, walau hanya dalam cahaya remang, walau hanya dalam wujud arwah, Raib ingin melihat Hugo.

Namun, Hugo menahan Raib, mengeratkan pelukannya, “Jangan liat.”

“Kenapa...?” Balas Raib lirih.

“Pokoknya jangan.”

Dan saat itu, Raib mencium bau besi memenuhi hidungnya.

Ini... bau darah?

. . .


. . .

Hujan

Di seberang dua sejoli yang tengah asyik berpelukan. Seseorang baru saja terduduk lemas di tanah.

Apa yang baru saja ia lihat?

Raib ditabrak bayangan hitam?

Dan bayangan hitam itu...

“Hugo?”

Panggil Pak Juna pelan.

Hugo menoleh—cepat, hingga Raib nyaris terhuyung karena ia mengistirahatkan seluruh beratnya di lengan Hugo.

Pak Juna terbelalak. Seluruh tubuhnya bergetar. Mendadak ia lupa cara bernapas.

“H—Hugo?”

Apa yang terjadi?

Sedari tadi, Hugo berjaga di sekitar Raib—sambil menunggu energinya kembali pulih. Melihat Raib mencekik Pak Juna, melihatnya dibanting, melihatnya diseret paksa. Hugo tersiksa.

Hingga puncaknya, Pak Juna mendorong Raib.

Hugo berteriak keras saat itu juga.

Tak ada satupun telinga yang mendengarnya.

Tapi mungkin, alam mendengarnya.

Tepat saat Hugo berteriak, angin berhembus kencang. Tepat saat energinya meningkat, Pak Juna sedikit terselip, ia menembus tubuh Hugo di belakangnya.

Mendadak, tubuh Hugo terasa berat. Perlahan, ia bisa merasakan hembusan angin dan basahnya rerumputan.

Tanpa menunggu lama, Hugo segera berlari, melompat, menangkap tubuh Raib hingga melewati liang itu.

Ada rasa luar biasa lega saat Raib sudah berada dalam dekapnya. Hugo mengeratkan dekapan, tak membiarkan satupun angin berhembus mengenai luka Raib.

Saat Raib membalas peluknya, Hugo mengepalkan tangan—setelah ini, setelah ini semua berlalu, Hugo berjanji, tak ada lagi yang menyakiti Raib. Ia akan memastikannya.

Sambil merasakan Raib dalam dekapannya. Hugo juga merasakan cairan berbau anyir menuruni kepalanya—perlahan. Hugo sadar, kondisinya sekarang terlihat sama buruknya dengan Raib.

Mungkin itulah, yang membuat Pak Juna menatap Hugo ngeri. Di remangnya halaman belakang, wajah pucat pasi Hugo terlihat jelas, belum lagi darah yang terus bercucuran.

Hugo mengeratkan kepalannya. Ia ingin melompati liang di depannya dan menghantamkan puluhan tinju pada lelaki di depannya. Menghancurk—

“Kamu udah mati...”

Hening.

Apa?

Perlahan suara gemuruh terdengar sebelum angin berhembus.

Raib yang berdiri di belakang Hugo mematung. Ia mendengarnya. Genggamannya di lengan Hugo mengendur.

Rahang Hugo mengeras. Ia menggertakkan gigi.

Siapa yang sudah mati?

Belum sempat informasi itu diproses di kepala Hugo, suara teriakan mulai terdengar,

“Nggak!” Pak Juna menggeleng cepat, “Kamu udah mati!” Wajahnya pias menatap Hugo, tangannya mengepal di atas rerumputan.

Dua tangan Hugo terkepal kuat. Matanya menatap dalam-dalam dua mata Pak Juna yang bergetar.

“Aku liat sendiri kamu udah mati...” Pak Juna mengangkat tangan, menggosok matanya berkali-kali, “Nggak. Kamu bukan Hugo.” Bibirnya menggigil.

Kepalan tangan Hugo menguat. Seluruh badannya bergetar hebat. Hanya tinggal menghitung detik, Hugo mungkin akan melayangkan puluhan tinju pada lelaki di depannya.

Tiba-tiba jemari kecil menelusup di tangan kiri Hugo. Membuka kepalan tangan, “Te—” Raib tercekat, “Tenang...” Bisiknya pelan.

Hugo memejamkan mata. Merasakan jemari dingin Raib di antara sela-sela jarinya.

“Maaf,” Ucap Raib lirih. Hugo dapat merasakan Raib menggigil di belakangnya, “Harusnya gue nurut sama lo. Abis ini—” Terdengar isakan Raib, “Abis ini ayo kita pulang. Kita tinggalin tempat ini.” Raib menyandarkan kepalanya di bahu Hugo.

Mata Hugo terbuka. Ia mau. Ia lebih dari mau. Kalau bisa, ia akan membawa pergi Raib dari tempat ini, sekarang juga. Susah payah ia menelan sesaknya agar tak menyeruak.

“Sayang...” Suara Pak Juna kembali terdengar.

Perlahan, bulir-bulir air kembali turun. Rintiknya turun sedikit demi sedikit. Gerimis.

“Maaf... aku nggak sengaja...”

Senyap menyergap.

Isakan Raib diganti isakan Pak Juna.

Hugo dan Raib mematung di tempat. Pegangan Raib menguat pada jemari Hugo.

Rintik gerimis lewat begitu saja, dibawa angin.

“Maaf, aku—” Isakan Pak Juna makin menjadi, “Aku nggak bisa nyelametin kamu.”

Cengkeraman Raib menguat pada jemari Hugo, tangannya yang lain ikut mencengkeram lengan arwah itu. Wajahnya dibenamkan makin dalam pada punggung. Tubuhnya bergetar.

Hugo dapat merasakan rasa panas mengenai punggungnya.

Raib jelas sedang menangis hebat di belakang sana. Tanpa suara.

Satu tetes air mata turun dari pelupuk mata Hugo.

“Maaf, Sayang—” Bulir air mata Pak Juna terus turun, bercampur dengan rintik hujan, “Aku sayang kamu. Sayang banget.”

Cukup sudah.

Hugo tak mampu lagi menahan seluruh bendungan dalam diri.

Untuk sekejap, Hugo teringat Malik.

Sekarang ia paham, mengapa Malik lupa diri. Ingin menghabisi siapapun yang merenggut nyawanya.

Ketika seseorang terbunuh. Bukan hanya nyawa yang terenggut. Hidupnya, mimpi-mimpinya, rencananya, kesempatannya, semua dibabat habis. Belum lagi saat rasa muak menyeruak, melihat wajah penuh penyesalan yang tak berguna dari si pembunuh.

Hugo memahami, mengapa Malik sangat yakin saat mengucap nyawa dibalas nyawa. Karena seseorang, tak akan pernah tau rasanya kehilangan sebelum ia mencicipinya sendiri.

Sekarang,

Bagaimana.... bila Pak Juna mencicipi langsung rasanya kehilangan nyawa?

Hugo menghempaskan tangan Raib.

Saat Raib hendak meraihnya kembali, Hugo telah merangsek maju. Cepat sekali. Hanya butuh hitungan detik, Hugo telah meraih kerah Pak Juna.

“BRENGSEK!”

Teriakan Hugo menggema. Suaranya berat dan memekakkan telinga.

Pak Juna mengerjapkan mata berkali-kali. Matanya menatap jerih wajah Hugo yang hanya berjarak sejengkal darinya. Wajah pucat pasi, mata coklat menyala dan separuh kepalanya dipenuhi darah segar.

“H—Hugo—” Pak Juna mulai merasa sesak di tenggorokan, ia memukul tangan Hugo yang mencekik kuat kerahnya.

Hugo tak peduli, ia terus menyerang maju hingga punggung Pak Juna menabrak dinding. Tangannya terus diangkat, membuat kaki Pak Juna menggantung di udara.

Gerimis bergulir menjadi hujan deras. Suara gemuruh menyambar. Diikuti kilatan-kilatan yang menyilaukan mata.

BUGH!

Hugo melempar satu tinju di pipi Pak Juna saat lelaki itu mulai memejamkan mata, “Rasain...” Desisinya dingin, “Rasanya mati.”

Pak Juna mulai lemas. Kakinya tak lagi menendang-nendang angin,

“Hugo,” Ucapnya pelan, namun masih dapat didengar Hugo,

I love you...

BRAK!

Hugo membanting tubuh Pak Juna ke tanah.

TERUS KENAPA LO BUNUH GUE?!

Suara Hugo sekali lagi menggema, menusuk telinga siapapun yang mendengarnya.

Saat Hugo sudah bersiap mendatangi Pak Juna yang masih terbatuk di tanah, dua tangan melingkar di pinggangnya.

“Hugo...” Suara Raib luar biasa bergetar, isakannya lebih mirip raungan, “Jangan gini...”

“Raib, lepasin.” Jawab Hugo dingin. Ia menurunkan tangan Raib yang melingkar padanya.

Jujur, Raib lebih ingin menghabisi Pak Juna. Membuangnya ke liang yang dibuatnya sendiri. Mengurungnya di sana bersama ribuan tikus. Namun, dengan sedikit kewarasan yang tersisa, ia menelan seluruh pahit dan sakitnya, memilih untuk mengutamakan kelancaran Hugo kembali ke langit.

“Hugo, jangan jadi arwah terbuang,” Ucap Raib parau, “Jangan lupain gue...”

Hugo terdiam.

Pesan Malik kembali menghinggapi kepala Hugo.

Benar, Hugo harus menerima kenyataan. Ia telah mati.

Sekarang pilihannya hanya dua. Menuntaskan sakit hatinya lalu menjadi arwah terbuang yang perlahan melupakan seluruh kenangan. Atau menahan dendam untuk sementara, memeluk erat semua kenangannya.

Tak lama, Hugo terjatuh di tanah. Tak pernah ia merasa seputus asa ini. Tangannya mencengkeram erat rerumputan di depannya. Ia menunduk, membiarkan tubuhnya merasakan tiap derai hujan yang jatuh pada kepalanya, mengalir perlahan mengikuti garis wajahnya, lalu jatuh dari dagu.

Gue udah mati.

Cengkeraman Hugo pada rerumputan makin kuat.

Mama-Papa gimana...

Jibran gimana...

Yahya...

Raib...

Kepala Hugo berputar. Tangannya lemas, bergetar menumpu tubuhnya.

Gimana Raib...

Gimana janji gue sama Raib...

Patah. Hancur. Remuk.

Hugo hanya bisa mengaduh dalam hati.

Dalam benaknya, Hugo bersumpah.

Pada tiap rintik yang menghujani,

Pada tiap hembusan angin,

Pada tanah yang dipijak,

dan pada langit yang menyaksikan.

Untuk kali ini, Hugo akan memaafkan Pak Juna. Hugo akan mengalah.

Tapi sebagai gantinya,

Seluruh alam, harus menjaga Raib.

Jika Raib menitikkan satu air mata, entah nanti Hugo sedang tertawa di Taman Firdaus atau terpanggang di Lautan Api, ia tak segan untuk merangkak kembali ke dunia ini.

Angin berhembus kencang.

Suara gemuruh terdengar. Tak lama, petir menyambar.

“INI SEMUA SALAH LO!” Teriak Hugo lantang pada Pak Juna, membuat Raib langsung menahan lengan Hugo, takut arwah itu akan kembali menyerang.

Sementara Pak Juna sedang menggigil menatap Hugo. Antara percaya dan tak percaya dengan yang dialaminya.

“Hugo...” Pak Juna tampak tersengal, ia mengusap leher dan melonggarkan kerahnya,

“Aku nggak mungkin bisa nolongin kamu. Kalau aku nolongin kamu, hubungan kita bakal kebongkar!” Serunya keras, berusaha mengalahkan suara hujan.

Air mata Raib telah kering. Setiap kata dari Pak Juna memukul kasar rongga dadanya. Bagai sebuah gong yang dipukul berkali-kali.

“Aku masih punya keluarga yang harus aku lindungin, Sayang...” Pak Juna kembali terbatuk, ia merasa sesak sendiri, tak percaya dengan keberadaan Hugo di depannya, “Aku masih harus mertahanin keluarga kecilku.” Banyak. Banyak yang ingin dijelaskan Pak Juna.

Raib merangkak ke samping Hugo—sempat terkejut melihat darah yang mengucur deras. Gemetaran tangannya meraih kepala Hugo, menariknya dalam pelukan, “Jangan didengerin...please...” Ia memejamkan mata, mengusap lembut helaian rambut Hugo.

“Aku nggak bisa biarin keluargaku hancur gitu aja....” Pak Juna terbatuk, menatap kosong rumput-rumput yang diterpa tetes-tetes hujan.

Air mata Raib mengalir kembali, berbaur dengan air hujan yang membanjiri wajah, “Hugo...I love you, i really do.” Bisik Raib pelan.

“Aku minta maaf. Harusnya hubungan kita nggak pernah ada!” Teriakan Pak Juna kembali terdengar.

Raib terus mengusap bagian kepala dan punggung Hugo bergantian, “Hugo, You'll always have special place, in my life.

“Raib,” Hugo membenamkan wajahnya lebih dalam di ceruk leher Raib, “Maaf...” Mengistirahatkan kepalanya di sana. Ia merasa badannya semakin lemas.

Raib mengambil napas cepat-cepat. Mengisi rongga dadanya yang terasa kosong. Sepertinya, seseorang baru saja meremas jantungnya dan dilempar jauh-jauh. Tak pernah ia melihat Hugo sekalut ini.

Petir kembali menyambar. Kilatannya memberi cahaya yang luar biasa terang—walau hanya sekejap.

Namun dalam kurun waktu sekejap itu, Pak Juna mampu melihatnya. Tubuh Hugo, yang tertutupi punggung Raib, separuhnya mulai tak terlihat.

Ia menelan ludah.

Hantu?

Selama ini, Raib ditemani hantu Hugo?

Sosok yang tadi menyerangnya... adalah hantu?

Pak Juna mematung.

Di depannya, terdapat tali tambang yang sebelumnya digunakan oleh Raib untuk mencekiknya.

Petir kembali menyambar.

Sesaat ia ragu. Namun, demi melihat tubuh Hugo yang perlahan mulai samar. Pak Juna membulatkan tekadnya.

Ada keluarga yang harus dipertahankan.

Diraihnya tali itu, dililitkan perlahan pada kedua telapak tangannya.

Tepat saat tubuh Hugo menghilang.

Pak Juna menerjang.

“Maaf Raib, kamu tau terlalu banyak.”

Ia mengalungkan tali itu di leher Raib, mencekik kuat-kuat dari belakang.

Raib melotot. Seketika pasokan udaranya hilang. Kepalanya terasa luar biasa kebas. Wajahnya yang telah dingin terkena air hujan menjadi dua kali lebih dingin. Tangannya berusaha menggapai tangan Pak Juna.

Keadaan berbalik kacau.

Energi Hugo telah melemah. Raib juga tak menyadari serangan yang tiba-tiba datang padanya.

Hugo mulai panik. Tangannya berkali-kali berusaha menggapai tubuh Raib yang menjejak tanah berkali-kali.

Rasa kalut. Sesal. Semua bergabung menjadi satu.

Ribuan kata andai menghujam kepala Hugo seiring jeritan Raib yang mulai tak bersuara.

Hugo memutar otaknya cepat.

Panik. Kalut. Takut.

Waktu terus berputar saat Hugo mulai kehabisan cara.

Namun, siapa sangka?

Saat itulah. Saat Hugo dan Raib merasa cahayanya telah hilang. Tak ada lagi harapan. Putus asa. Menyerah.

Bantuan terakhir, akhirnya datang.

Sesosok lelaki dengan rambut gondrong melesak dari pintu belakang.

BUGH!

Sebuah tinju telak mengenai pipi Pak Juna. Membuatnya terpental beberapa langkah. Tak hanya sekali, tinjunya diarahkan berkali-kali.

“BANGSAT!” Teriaknya keras-keras, tinjunya dilancarkan kanan-kiri.

BUGH! BUGH!

“LO UDAH NGERUSAK IDUP ORANG!”

BUGH!

“NGERUSAK BUNGA GUE JUGA!!!”

Yudha.

Ia datang karena memiliki firasat buruk tentang bunganya dan justru menjadi saksi kebejatan Pak Juna.

Tinjunya kembali diloloskan.

BUGH! BUGH!

Pak Juna terkapar.

Setelah memastikan Pak Juna tak lagi bangun, Yudha berjalan ke arah Raib yang sedang terbatuk, mengusap punggungnya pelan,

“Raib, lo nggak apa-apa?” Ia mengusap kedua lengan Raib, “Tenang ya, gue udah telfon polisi.”

Raib terjatuh dalam pelukan Yudha. Menarik napas rakus sebelum meraung keras-keras di sana. Mengalahkan suara hujan yang semakin deras maupun suara petir yang menggelegar.

Yudha terdiam. Tak menanggapi apapun. Ia tak ada di sana dari awal, namun ia sempat melihat Raib memeluk Hugo erat-erat.

Tak perlu bertanya lebih jauh. Yudha hanya memberi tepukan menenangkan di punggung Raib.