If it's Not Getting Worse, It's Getting Better
Hugo nyaris tersentak saat sengatan panas menyentuh kulitnya.
Anjir ini dia ngimpi siksa kubur?
Hugo membuka mata. Mulutnya langsung ternganga.
Ia sedang berdiri di tengah padang pasir.
Kosong.
Hanya ada pasir, langit biru, dan cahaya mentari yang menyengat kulit.
Kakinya mulai dilangkahkan, matanya sesekali melihat sekitar, mencari keberadaan Raib.
“Aduh!”
Hugo terlonjak, ada teriakan Raib dari—entah dari mana.
“Raib?” Kepalanya segera menoleh di sekitar, mencari sumber suara yang baru ia dengar.
Tak ada. Tetap kosong.
“Hugo? ngapain di sini?”
Mendadak Raib muncul dari...
Astaga.
Raib muncul dari bawah gundukan pasir.
“Lo... dari... mana?” Hugo menutup mulutnya yang ternganga.
“Gue nungguin lo dari tadi. Sini masuk.”
Mendadak gundukan pasir di samping Raib terbuka, menunjukkan sebuah ruang terang di bawah pasir.
Hugo terdiam. Oh... ini bukan mimpi buruk, ini mimpi nggak normal...
“Kok ngelamun? sini cepet, panas tau.” Raib menghampiri Hugo, jemarinya melingkar di pergelangan tangan lelaki yang lebih tinggi, menariknya menuju ruang bawah pasir.
Hugo sedang duduk di ruang yang lebih mirip ruang baca, dengan bantal duduk besar di tengah ruang dan rak buku yang menjulang mengelilingi ruang.
Ia mendudukkan diri di salah satu bantal duduk, “Ini rumah lo?”
Raib mengangguk, “Baru jadi.”
Lelaki kecil itu ikut duduk pada bantal duduk di depan Hugo, “Oke ayo kita bahas semuanya.”
Hugo menaikkan dua alisnya, “Lo inget kejadian sebelum lo... tidur?”
Raib mengangguk, “Gue tau kita lagi di alam mimpi.”
Wow, lucid dream.
“Oke... emang kita mau ngomongin apa ya?” Hugo menatap ragu.
“Banyak,” Raib memicingkan matanya, “Terutama tentang omongan lo di chat tadi. Gue beneran nggak terima lo bilang ini semua sia-sia.”
Hugo terdiam.
Hembusan nafas panjang keluar dari mulut Raib, “Ini semua nggak sia-sia. Kita mulai tau lo siapa, lo mulai inget siapa aja orang yang lo kenal. Semuanya butuh proses, nggak bisa langsung sekali jadi. Bertahap, we are progressing.”
Lengang.
Hugo terdiam cukup lama, mencerna setiap kalimat Raib sebelum akhirnya memancarkan tatapan frustasi. Apa yang ber-progress? Makin banyak fakta yang terungkap membuat Hugo semakin kalap. Kepalanya selalu siap meledak tiap mendapat serpihan ingatan yang tak lengkap.
Ia tak tau bagaimana cara merangkai dan memilih kata yang tepat.
Jujur, Hugo merasa kepalanya lebih tenang saat ia tak mengingat apapun. Saat kepalanya dibiarkan lapang.
Mata Hugo dilempar sembarang, menghindari Raib yang menatapnya penuh tuntut. Ia pandangi barisan buku yang berjajar rapi.
Lihat, tak seperti rak-rak itu yang diisi buku, ingatan Hugo sebelumnya melompong. Bagai rak kosong.
Kehilangan memori seperti kehilangan buku yang paling disayangi, dan tak ada lagi orang di luar sana yang memiliki. Hanya tersisa debu dan rak tanpa isi.
Lalu, bagaimana jika beberapa memori kembali? seperti yang Hugo alami saat ini?
Perih.
Ia mendapati lembaran-lembaran buku yang ia agungkan tergeletak, berdebu, terpotong, hilang dan tak lengkap.
Semuanya menyiksa. Mencabiknya tanpa sisa.
“We are not progressing, we are regressing.” Ucap Hugo akhirnya.
“Hugo, lo mulai inget beberapa hal. Jangan nyerah dul—” Ucapan Raib terhenti saat mendapati Hugo menyangga kepalanya dengan dua tangan, mengusap wajah dengan penuh tekanan.
“E—eh, kenapa?” Raib segera berlutut di depan Hugo, berusaha menilik wajah Hugo yang tertunduk.
Hugo hanya diam, ia tenggelam dalam lengang di kepalanya. Ia benci dengan serpih-serpih memori yang kembali padanya.
“Hugo, semuanya nggak perlu sempurna. Progress-nya nggak harus keliatan, if it's not getting worse, then it's getting better. Okay?” Jemari Raib mengusap lutut Hugo perlahan.
“It IS getting worse!” Hugo mengangkat kepalanya cepat, menunjukkan wajah lelahnya pada Raib.
Raib tersentak, ia sedikit mencondongkan badannya ke belakang, “A—apanya?”
“Me. My feelings!” Hugo berseru tertahan, ia mengatur nafasnya, berusaha untuk tak meluapkannya pada Raib.
Hugo masih tak bisa mengutarakan maupun mengibaratkan rasanya. Ia hanya menatap Raib dengan tatapan lelah.
Ia tak tau bagaimana menjelaskan rasa dengki yang mendadak muncul di ujung hati hanya karena melihat keluarganya terlihat baik-baik saja atas ketiadaannya.
Ia tak tau bagaimana menunjukkan luka yang tertoreh pada jantungnya yang tak berdetak saat melihat teman karibnya menangis di depan mata.
Ia tak tau bagaimana menjabarkan gusar yang menyeruak tiap kali Raib menunjuk orang di sekitarnya sebagai dalang untuk menyingkirkannya.
Rasa tak berguna. Tak diinginkan. Dilupakan. Dibenci. Disingkirkan.
Semua resahnya, terjadi dan terasa dengan serpih-serpih memori yang menancap di ulu hati, perih.
“Mending gue nggak tau apa-apa, Ib, beneran...” Hugo kembali menunduk, mengusap wajahnya kasar.
Raib menggigit bibir bawahnya, ia tak tau apa yang ada di pikiran lelaki di depannya. Namun ia paham, mungkin selama ini ia terlalu tergesa, terlalu fokus pada semua hal, terlalu takut ada hal kecil yang terlewat, hingga ia melewatkan perasaan Hugo.
“Hugo...” Raib memajukan badan, merentangkan kedua tangan untuk merengkuh tubuh Hugo yang lebih lebar dari badannya sendiri.
Tangannya mengusap punggung Hugo perlahan. Sesekali memberikan tepukan ringan. Peluknya makin erat saat ia merasa wajah Hugo dibenamkan pada pundaknya.
“Kalau lo capek, istirahat aja nggak apa-apa, tapi jangan nyerah... ya?” Ucap Raib perlahan, “Demi orang-orang yang lo sayang, demi mereka yang nungguin lo, demi diri lo sendiri...”
Hugo masih terdiam, ia merebahkan kepala di pundak Raib.
“Hugo...jangan benci gue ya?” Raib masih mengusap punggung Hugo pelan, “Apapun yang lo pikirin tentang gue, jangan benci gue, we're on the same team. Please, please, please, trust me... ya?”
Hugo tak menjawab.
Raib semakin mengeratkan peluk, membawa Hugo lebih dekat padanya. Dipejamkan matanya, jemarinya menyisir rambut Hugo lembut.
Hanya ada suara hening dan lapang di seluruh ruang.
Raib membuka mata, mendapati ia tergeletak di kasur kamar, dengan guling di dekap.
Ia hembuskan nafas penuh pekat dan sesak, “Anjir.”