Ikan Hiu Makan Tomat, Bodoamat!
A short story of two beautiful souls chatting and...bickering.
“Sumpah ya lo nyebelin banget.”
Belum ada dua menit setelah Naim tiba di Cafe XXX, Regan sudah mulai memanyunkan bibirnya.
Terdengar gelak tawa Naim,
“Kan gue nggak bilang pake Bahasa Indo?”
“Ya harusnya lo bilang kalau pake Bahasa Inggris! makasih lo udah mikir gue sepinter itu tapi maaf banget gue nggak sepinter itu!”
Regan menutup buku Campbell Biology edisi 11 milik Naim dengan kasar.
“Heh mahal!” Naim segera mengusap buku malangnya.
Regan tak peduli, ia lebih memilih fokus pada lemon smoothie-nya.
“Btw, kenapa deh lo pindah ke Neo?”
“Kan gue udah bilang kemarin di rumah Hiro,” Naim meraih cangkir kopinya, “Gue pengen fokus belajar, di SMA 7 tu susah fokus. Masa udah lupa?”
“Bukan, maksudnya, kenapa lo udah pindah ke Neo padahal lo belum pindah sekolah?”
“Oh itu,” Naim menyesap cappuccino-nya, “Ya biar bisa fokus belajar, ngekos kan lebih tenang, lebih enak buat belajar.”
“Apaan alesan lo daritadi buat fokus belajar terus, padahal lo tiap hari ngajakin main mulu.” Regan mendengus kesal.
Naim terkekeh.
Pembicaraan mereka terus bergulir tentang Naim dan cita-cita kebanggaannya, dokter.
“Belum tau mau jadi dokter apa, pokoknya pengen kuliah kedokteran.” Ucap Naim dengan penuh keyakinan saat Regan mulai bertanya lebih jauh.
Regan tak ambil pusing, toh itu bukan cita-citanya.
Mereka melanjutkan perbincangan dengan berbicara sedikit tentang Hiro, bagaimana pertemanan Naim dan Hiro saat SD juga bagaimana pertemanan Regan dan Hiro sekarang.
Hingga mereka membicarakan pertemuan pertama mereka di rumah Hiro yang membuat Regan kesal bukan kepalang dengan Naim.
“Lo dilarang malah kayak orang disuruh! ngeselin banget asli.” Ucap Regan sambil mengaduk minumnya.
“Abis muka lo lucu banget pas marah-marah gitu.” Naim tertawa jahil.
“Bukan salah gue ya muka gue lucu pas ketawa, harusnya lo yang muhasabah diri!”
Naim kembali tertawa, sesekali ia menjahili Regan dengan sengaja membunyikan sendok dan garpunya sebelum mereka membicarakan gaple yang mereka mainkan di rumah Hiro.
“Gue pinter kan main gaplenya?” Naim berujar bangga mengingat kemenangannya saat mereka bertiga bermain gaple di rumah Hiro.
“Pinter apanya? lo mikirnya kelamaan, tiap mau nurunin kartu mikir dulu dua menit.” cibir Regan tak terima.
Obrolan ringan itu terus berlanjut dengan beberapa topik ringan lain seperti kepindahan Regan dan materi favorit di pelajaran biologi.
Hingga akhirnya keduanya tenggelam dalam buku masing-masing. Sesekali mereka saling lempar pertanyaan tentang hal yang baru saja mereka baca.
“Regan, disini ada laut nggak sih?” Tanya Naim di tengah kegiatannya membaca buku.
“Laut?” entah mengapa yang pertama kali Regan ingat justru teman Musa, “Pantai ya? gue nggak suka main ke pantai, tapi ada sih seinget gue, agak pinggir tapi.”
“Gue pengen kesana deh, pengen main air.”
“Main air mah di rumah juga bisa, ngapain jauh-jauh ke pantai? entar kalau digigit hiu gimana?”
Naim mengernyitkan dahinya, “Ngapain takut digigit hiu? emang ada hiunya?”
“Ya nggak tau, tapi lo sering liat nggak sih di film-film gitu orang lagi main air di pantai tiba-tiba digigit hiu? serem banget asli.”
Naim terdiam beberapa saat, tak lama kemudian gelak tawa terdengar dari bibirnya,
“Regan lo takut digigit hiu?”
“Ya...iya...”
“Lo nggak mau ke pantai beneran karena takut sama hiu?”
Regan mengangguk, masih tak mengerti mengapa Naim tertawa. Memang apa yang lucu dari ketakutannya?
“Lo beneran suka biologi? lo tau kan hiu nggak makan daging manusia?”
“Tau!” Regan mendecak kesal, harga dirinya terluka karena kecintaannya pada biologi dipertanyakan, “Gue tau hiu udah ada lebih dulu dari manusia, tapi yang gue takutin kan bukan dimakan hiu, gue bilang takut digigit!”
“Tetep nggak masuk akal! ngapain lo takut digigit hiu sampe nggak mau main ke pantai?”
“Hiu itu predator!”
“Kucing juga predator, lo takut nggak?”
Regan menghembuskan nafas jengah, “Nih ya, kalau lo digigit kucing lo harus diem karena dia cuma kepo, entar kalau keponya udah selesai, dia bakal ngelepasin,” tangannya ikut aktif menjelaskan,
“Tapi kalau hiu? lo harus ngelawan sampe mampus baru bakal dilepasin.” Lanjutnya.
Naim tertawa, bukan karena penjelasan Regan namun karena raut wajah kesal yang ditunjukkan lelaki kecil didepannya terlalu menggelitik untuknya.
Lucu banget ini kayaknya harus gue bantah sampe mencak-mencak.
“Hiu kayak gitu karena lo renang di habitat dia, habitatnya di tengah laut lho? dia suka nongkrong di area yang banyak ikan-ikan kecil!” balas Naim sambil tertawa,
“Coba gue tanya, ngapain lo main air sampe situ? nongkrong bareng ikan?” Lanjutnya.
Tawa Naim semakin keras saat Regan yang awalnya membuka mulut untuk membantah justru kembali diam.
Regan tampak mulai menyadari sesuatu, matanya bergerak perlahan,
“Iya ya?” ucapnya setelah terdiam beberapa saat.
Aduh bagaimana menjelaskannya ya? beberapa saat yang lalu mata Regan berapi-api dan penuh keyakinan namun sekarang sorotnya berubah seperti anak kecil yang baru mengetahui bahwa Bika Ambon adalah makanan khas Medan.
Regan tak menggubris tawa Naim yang semakin keras, ia justru sibuk membawa topik-topik baru.
Acara belajar bersama mereka justru berubah menjadi ajang diskusi.
Makanan yang udah 5 detik jatuh masih bisa dimakan nggak?
Micin beneran bisa bikin bego?
Tikus suka makan keju kayak Jerry gitu?
Pembicaraan masih terus berlanjut dan Naim masih dengan sengaja membuat Regan kesal.
“Eh iya, lo inget nggak pas di rumah Hiro lo nyari-nyari HP ternyata ada di tas?” Tanya Naim di sela-sela diskusi asyik mereka.
“Inget!” Regan berseru penuh semangat.
“Sumpah ya itu kita nyari sampe sejam ada kan ya? padahal gue lagi janjian sama temen, ngeselin banget!” Gerutu Regan.
Ia kesal mengingat bagaimana ponselnya tiba-tiba hilang saat mereka ada di rumah Hiro lalu tiba-tiba ponselnya ada di dalam tasnya sendiri.
Naim tertawa.
“Kenapa sih ketawa mulu? nggak lucu...”
“Lucu! lo tau nggak apa yang lucu?”
“Apa?”
“Itu gue yang nyembunyiin.”
Sepersekian detik berikutnya, buku Campbell edisi 11 yang awalnya berada di atas meja berpindah ke kepala Naim.