I'm Taking One Step Closer to You

Matamu mengisahkan padaku. Katanya, aku harus mengasihimu.

Sudah lebih dari sepuluh detik ujung bibir Musa naik dan tak ada pertanda akan turun kembali.

Matanya mengikuti seluruh gerakan jemari Regan yang sibuk menyiapkan buku, pensil, dan pena abu-abu.

Seluruh panca indranya seperti tahanan yang baru keluar dari jeruji-jeruji yang terkunci. Matanya hanya ingin mengagumi dan lidahnya hanya ingin memuji.

Kini tangannya menopang dagu, memandang balik sorot mata yang memberinya tatapan ragu.

Regan menghentikan aktivitasnya, tangannya yang hendak membuka komputer lipat terjeda.

“Kenapa sih, Kak? Marah ya gue dateng telat?”

Musa menggeleng, mana bisa ia marah pada Regan?

“Nggak apa-apa. Lanjutin aja.”

Regan sibuk menggores kertas-kertasnya dengan pena abu-abu sementara Musa sibuk melayang dalam kalbu.

Seluruh tubuh Musa terdiam namun pikirnya sibuk menyelam.

Hari ini, adalah hari pertama Musa menyadari ia telah jatuh cukup jauh.

Banyak yang harus ia siapkan, salah satunya sebuah ruangan.

Kepalanya sibuk membangun ruang lapang untuk Regan-nya berpulang.

Ia mengabsen setiap hal yang ia ingat tentang Regan, ia selipkan satu per satu menjadi dinding agar Regan-nya tak masuk angin.

Setiap kata yang diucapkan Regan saat berbicara, marah, bahkan menangis kencang ia jadikan lantunan untuk meramaikan ruangnya yang lengang.

Sorot mata Regan diabadikan dalam perapian, ia biarkan binarnya menyala disana untuk mengusir dingin malam.

Seluruh angannya ia sulam satu per satu menjadi tirai lalu ia gantung tinggi di atas jendela berteralis besi, kelak ia akan melindungi Regan dari terik pagi.

Hangat peluk Regan akan menjadi selimut di atas ranjang yang menghadap jendela, beradu dengan cahaya mentari yang menyerbu kaca.

Selesai.

Ruang istirahat untuk Regan-nya telah selesai dibangun.

Sayangnya, ruangan itu terlalu luas untuk kenangnya yang sempit.

Ia ingin tetes kenangnya meluas hingga mereka saling impit.

Musa harus mengisinya. Keharusan ini mengantarnya pada sebuah tiba-tiba,

Tiba-tiba Musa ingin bersama Regan untuk waktu yang tak ditentukan, mengisi ruang dengan mencetak ribuan kenang,

Tiba-tiba Musa ingin melempar ribuan tanya, mengetahui sedikit lebih banyak tentang Regan untuk penuhi ruang,

Makanan dan minuman terenak di kantin,

Barang yang sedang dalam ingin,

Udara mana yang lebih disukai,

Impian yang ingin digapai,

Kaki mana yang lebih dulu Regan langkahkan saat memasuki rumah,

Apa yang Regan lakukan untuk mengusir gundah,

banyak.

Mendadak Musa memiliki banyak tanya untuk Regan.

“Kak, denger gak?”

Musa tersadar,

“Apa?”

“Gue bilang, makasih ya udah mau nemenin gue belajar, biasanya temen-temen pada males nemenin gue, bosenin katanya.”

Mungkin bulan akan malu pada senyum Regan yang menawan, hingga Musa dengan sukarela menyerahkan diri tenggelam menjadi tawanan.

“Kenapa? padahal gue seneng liat lo belajar.”

“Kok bisa sih, Kak? pasti lo tipe orang yang suka liat orang lain produktif? kayak temen gue di SMA yang lama, dia suka nonton youtuber yang suka bikin konten belajar gitu sambil rebahan, katanya dia suka liat orang produktif, ada-ada aja ya?”

Regan tertawa.

Tawanya renyah seperti daun kering yang digenggam erat setelah riang berlari dengan angin lalu serpihnya mengecup relung telinga,

menggelitik,

Musa ikut tertawa.

Ia mengangguk walau ia bukan tipe orang yang disebut. Ia hanya ingin mengangguk demi mendengar suara riang dan tawa nyaring Regan.

“Gue temenin belajar terus, mau?”

Regan kembali tertawa, “Gue belajar dari malem sampe pagi lho, Kak, mungkin lo dan jutaan orang lain lagi tidur.”

“Gue sering insom.”

“Oh, pas banget dong?”

Tidak. Musa sangat mudah tertidur. Setelah pukul dua belas malam, seluruh tubuhnya sudah tak berfungsi lagi seperti upik abu kehilangan mantra ibu peri.


Pukul sebelas malam,

Regan masih memandang buku-bukunya dan tenggelam disana.

Di luar mendung menggumpal seperti buncah rasa Musa yang tak mampu lagi dibendung.

Hujan.

“Duh Kak, kok tiba-tiba hujan deres banget sih?”

Regan terlihat kecewa.

Musa hanya bisa menahan tawa.

Ia mulai memahami hujan yang turun tiba-tiba. Mana bisa rasa yang begitu pekat digantung sebegitu tingginya?

Seperti langit yang akhirnya mencumbu tanah dengan ribuan hujan, Musa juga ingin menumpahkan seluruh rasanya tanpa ada yang ditahan.

“Regan.”

“Hm?”

“Kenapa lo suka banget belajar?”

“Asyik, Kak.”

Lengang.

“Lo jarang main ya?”

“Sering kok.”

“Sama siapa?”

“Hiro, Chleo, Jufferi... udah.”

Musa mengangguk paham.

“Regan.”

“Iya?”

“Gue pengen deketin lo,”

“Deketin?”

“Iya, as a lover.”

Diam.

“Regan, I'm taking one step closer,

to you.