Kan Udah Gue Bilang...
TW // Ghost pict, harsh words.
Raib berjalan perlahan ke area kampus NEO. Kakinya dilangkahkan melewati gapura raksasa bertuliskan nama kampusnya.
Kampus ini memang salah satu kampus tertua di kotanya, namun Raib tak pernah memperhatikan bahwa kampusnya... setua ini.
Raib menurunkan ponselnya yang dimainkan sejak tadi. Ia merasa suasana ganjil yang entah mengapa membuat bulu kuduknya merinding. Ada angin dingin yang menelusup di sela-sela jaket jeans yang ia kenakan.
Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul 10. Lima belas menit lagi kelas sesi dua akan dimulai. Namun kondisi sekitarnya sepi.
Aneh.
Waktu mendekati pergantian sesi adalah jam-jam padat kampus. Banyak mahasiswa yang baru keluar atau baru akan memasuki kelas.
Namun kali ini, benar-benar sepi.
Sepi yang ganjil.
Sejauh mata memandang Raib hanya dapat melihat gedung-gedung tinggi, pohon-pohon besar di kanan-kiri jalan utama kampus dan dedaunan yang berterbangan dibawa angin.
Kampusnya juga terlalu hening.
Hening yang asing.
Hanya ada suara hembusan angin dan dedaunan yang saling berbenturan satu sama lain.
Raib mulai menengok sekitar. Kampusnya kosong melompong, bahkan pos satpam yang biasanya diisi minimal dua orang satpam juga tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Ada rasa asing yang mengganjal di rongga dadanya.
GLUDUK.GLUDUK.
Raib terjingkat, ia terkejut mendengar suara gemuruh yang datang tiba-tiba.
Aneh.
Sepanjang ingatnya, hari ini cukup cerah. Matahari menyapanya lembut saat ia keluar kos dan semakin tersenyum saat ia berada di jalanan.
Raib mempercepat langkahnya melewati jalan utama kampus, menghindari rintik-rintik air yang mulai turun perlahan.
Kepalanya mulai membuat skenario-skenario menenangkan, oh mungkin karena mendung kali ya jadi sepi?
Langkah Raib melambat saat ujung matanya menangkap seseorang berdiri di samping pohon besar yang baru saja ia lewati.
Mungkin dalam keadaan biasa, Raib tak akan peduli pada siapapun yang ditangkap ujung matanya. Namun dalam kondisi seasing ini, sosok ini menarik perhatiannya.
Langkah Raib terhenti, ia menoleh cepat.
Nihil.
Kampus masih sepi. Lagi-lagi ia hanya menangkap gerakan dedaunan yang saling menyapa satu sama lain.
Raib segera berbalik, hendak melanjutkan perjalanannya memasuki gedung kampus.
Namun langkahnya terhenti.
Tepat beberapa meter di depannya, berdiri sosok yang sangat... ganjil.
Sesosok wanita dengan gaun pengantin lusuh. Lengkap dengan veil yang menutupi wajahnya. Rambut pirang keemasannya dibiarkan terurai. Tangannya memegang... lampu minyak?
Raib menyipitkan matanya, wajah wanita itu gelap, tak terlihat.
Siapa?
Hawa dingin kembali menyergap seluruh tubuh Raib.
Wanita itu... melayang? mendekat...
Raib menahan napas. Matanya melotot melihat bagaimana wanita itu secara perlahan mendekatinya seolah ia menaiki eskalator datar.
Wanita itu semakin mendekat.
Wajahnya semakin terlihat saat jarak mereka tinggal beberapa langkah.
Raib menelan ludahnya.
Tubuhnya bergetar melihat wajah wanita itu. Putih pucat dengan daerah sekitar mata yang hitam.
Raib dapat merasakan gumpalan kekecewaan dan amarah yang tersorot dari bola matanya yang kelam.
Seluruh tubuh Raib terasa kaku. Kakinya bergetar seperti tak mau beranjak. Hawa dingin semakin menyergap. Seolah tubuhnya dibuat membeku.
Keringat dingin mulai menetes di pelipis Raib. Ia menggigit bibir bawahnya resah, sungguh ia tak tau makhluk apa yang ada di depannya, tapi satu yang jelas...
...ia harus lari.
Wanita itu mencondongkan wajah. Kepalanya bergerak perlahan mengikuti lirikan mata Raib yang gelisah.
Susah payah Raib berusaha mengangkat satu kakinya. Entah karena rasa gelisah yang menyeruak atau memang kakinya lemah, Raib tersandung kakinya sendiri.
Ia terjatuh.
Rasa perih menjalar telapak tangan yang ia gunakan untuk menyangga tubuhnya.
Raib kembali menoleh cepat, memastikan dimana sosok asing tadi.
Oh, sial, sosoknya semakin dekat, tak lebih dari lima jengkal.
Bibir Raib menggigil. Telinganya mendadak terasa geli, geli yang aneh. Ia mendengar bisikan-bisikan dengan suara rendah yang serak.
Ayooo...
Ikut...
Ayoo...
Leher Raib menegang.
Napasnya mulai tercekat saat jari-jari panjang dan kurus milik wanita itu hendak menggapai wajahnya.
Raib menutup matanya,
Anjrit sial banget gue mau mati dan hal terakhir yang gue lakuin malah ngewe.
Seluruh pikirannya sibuk merapalkan berbagai doa yang ia hafal, dari agama yang diakui Undang-Undang hingga mantra-mantra yang pernah ia baca di buku sembarang.
Ia menggigit bibirnya saat merasakan kuku tajam wanita itu mulai menyentuh bagian rahangnya. Jari itu bergeser perlahan, membuat Raib merasa sedikit perih karena goresannya.
Tiba-tiba Raib merasa panas membakar di bagian pipinya.
Fak gue mau dibakar?
Raib nyaris berteriak kencang saat tubuhnya yang lain mulai merasakan sensasi terbakar yang luar biasa panas. Seolah ada kobaran api yang membara di hadapannya.
“Kan udah gue bilang...”
Raib membuka matanya, terkejut dengan suara familier yang ia dengar di tempat asing ini.
“Lo butuh gue.”
Bola mata Raib terasa akan melompat dari rongga matanya.
Hugo?
Raib menoleh cepat pada sosok wanita yang tadi ada di depannya, hilang. Sosok itu telah hilang, hanya ada asap hitam yang mengepul di depannya.
Hugo berlutut di depan Raib yang masih terduduk di tanah, tangannya menyentuh pundak Raib pelan, “Napas dulu.”
Raib baru ingat ia menahan napasnya entah berapa lama, mendadak dadanya terasa sesak. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghela napas panjang.
“Tadi ada—” Raib masih berusaha mengatur napasnya, “Tadi ada cewek—” Tangannya mulai menunjuk-nunjuk ke arah yang tak jelas.
Kini kedua tangan Hugo ditempatkan di kedua pundak Raib, “Raib... tarik napas... tahan... keluarin,” Ia menunggu beberapa saat, “Sekali lagi, tarik... tahan... keluarin.”
Napas Raib mulai teratur. Suhu tubuhnya mulai meningkat perlahan seiring dengan ketegangannya yang mencair.
Ada hening panjang diantara keduanya.
Raib menatap mata Hugo, “Bangsat.”