Kan Udah Saya Bilang...

cw / tw // mention of ghost ; violence ; blood ; harsh words

Raib sedang berjalan santai di jalanan yang sepi. Tangannya menenteng kantong plastik berisi nasi bebek bakar. Warung Bebek Bakar Bu Ning berjarak sekitar dua puluh menit jalan kaki dari apartemen Raib.

Mata Raib mengamati kios-kios di kanan kiri jalan yang mulai tertutup. Pencahayaan di jalan ini hanyalah lampu jalan yang berjarak tiga puluh meter satu sama lain.

Yang membuat Raib tak terlalu takut sendirian di jalan sepi ini adalah, Raib tak benar-benar sendiri.

Di kanan kiri jalan banyak arwah-arwah berkeliaran, ada yang hanya berdiri, duduk, tiduran, bahkan ada yang berjalan kesana kemari.

Dunia Raib tak sesepi jalanan ini.

Ketika sedang memikirkan minuman apa yang akan ia beli di minimarket ujung jalan, Raib mendengar beberapa derap langkah. Tak terlalu terdengar, namun di antara jalanan yang sepi, telinga Raib masih mampu menangkapnya.

Ayunan kaki Raib terhenti.

Suara derap langkah itu menghilang.

Raib kembali berjalan.

Suara derap langkah kembali terdengar.

Raib berhenti.

Suara itu ikut hilang.

Raib berjalan.

Lalu segera menoleh.

Gotcha!

Terdapat tiga orang dengan pakaian hitam-hitam yang sedang berusaha menepi—bersembunyi di balik dinding-dinding kios.

Satu alis Raib terangkat, “Siapa?!” Serunya agak keras.

Ketiga orang itu keluar dari persembunyian.

Mata Raib memicing. Berusaha menatap lebih tajam. Wajah ketiga orang itu tertutupi masker, ketiganya juga mengenakan topi. Walau demikian, Raib masih dapat melihat jelas bentuk wajah ketiganya karena mereka berdiri tepat di bawah lampu jalan.

Yang jelas, tak ada satupun dari mereka yang memiliki perawakan mirip dengan pelaku pembunuhan Jaksa Juki.

“Siapa yang nyuruh kalian?!” Tanya Raib penuh selidik.

Raib tak berbohong saat ia bilang ia tak takut dengan orang lain karena kemampuan bela diri yang dimiliki.

Raib hidup bersama arwah suami-istri di apartemen. Dulu, pasutri itu merupakan arwah yang tinggal di pedalaman, pemilik padepokan silat tersohor pada zamannya.

Belum lagi sang suami memiliki hobi berburu di hutan.

Mau tak mau, Raib ikut mempelajari teknik bela diri dari pasutri itu. Kadang sang suami—Bang Aron—mengajari Raib menggunakan beberapa senjata berburu seperti pisau, tombak, dan panah (tentunya Raib belajar tanpa menggunakan peralatan tersebut—sebatas diajari ilmunya).

Belum lagi Pak Jo yang (dulu) rutin mengajak Raib mengunjungi klub tinju miliknya—semua anak asuh Pak Jo diwajibkan masuk klub tinju.

Belum lagi Bara yang bersikeras agar Raib masuk di klub Hapkido.

Walau Raib mengikuti semua kegiatan itu dengan setengah hati, ilmu bela diri yang dimiliki sudah cukup untuk... menyelamatkan diri dari situasi seperti sekarang.

Lengang.

Tak ada jawaban dari ketiga lelaki itu.

Biar Raib tebak.

Mungkin, ketiga orang ini adalah orang suruhan dari kubu yang tak ingin kasus Jaksa Juki diselesaikan.

Bukan rahasia umum, banyak yang mengira kematian Jaksa Juki disebabkan oleh sumpah pocong-nya. Apalagi, tiga tahun belakangan, kubu-kubu yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik mulai bermunculan, termasuk organisasi milik terdakwa dari kasus yang sedang ditangani Jaksa Juki.

Kematian Jaksa Juki tentunya memperkuat kepercayaan masyarakat pada organisasi agama itu.

Bisa jadi, tiga orang ini adalah orang suruhan organisasi itu. Mungkin, untuk menyingkirkan Raib karena keberadaan saksi kunci di kasus ini cukup mengkhawatirkan.

Saat Raib masih berusaha menganalisis siapa tiga orang ini, sebuah tangan tiba-tiba sudah berada di depan perut Raib, membuat lelaki mungil itu segera menghindar, meliuk ke samping.

Terdengar suara percikan listrik.

Raib menatap tajam tangan di sampingnya.

Stun gun?!

Raib gesit bergerak, berdiri di belakang lelaki yang menyerangnya, kakinya memasang kuda-kuda cepat, memberi tendangan lurus.

BUGH!

Lelaki itu tersungkur beberapa langkah. Raib tak memberi jeda, ia mengejar lelaki itu, sedikit melompat lalu memberi pukulan siku di tengkuk.

BUGH!

Hanya butuh sepuluh detik.

Satu lawan telah runtuh.

Tapi Raib belum bisa bernapas lega.

BUGH!

Sebuah pukulan mengenai punggung Raib.

Tubuh Raib terhuyung ke depan—nyaris tersandung lelaki yang baru saja pingsan, namun satu kaki Raib segera maju—mengambil langkah lebar, menahan dan bermanuver untuk berbalik menatap lawannya.

Kedua lelaki yang tersisa mulai memasang posisi.

Aksi saling pukul dua lawan satu tak terelakkan. Setiap pukulan yang Raib lempar, akan dibalas dua kali lipat.

Raib gesit menghindar dan melempar tendangan. Kakinya cukup kuat. Walau lawan Raib memiliki tubuh yang lebih tinggi, namun—sepertinya—mereka hanyalah preman jalanan. Pukulan dan tendangannya tak terarah. Raib mampu menghindar dengan mudah.

Raib sempat melempar nasi bebeknya, mengenai wajah lawan.

Sial, gue harus ngorbanin nasi bebek gue!!


Butuh setidaknya tiga menit untuk Raib merobohkan dua orang di depannya.

Napas Raib tersengal. Ia kelelahan.

Dua preman itu tak bisa diremehkan. Walau banyak tendangan dan pukulan yang meleset, stamina keduanya luar biasa. Raib nyaris roboh karena kelelahan.

Raib menghela napas. Menyeka darah di ujung bibir. Ia sempat terkena tinju dari salah satu preman itu—cukup kuat.

Diraihnya ponsel yang sempat terjatuh di jalan. Tak rusak, hanya sedikit retak.

“Gue bakal laporin kalian semua ke polisi. Abis lo semua!” Gerutunya kesal. Bukan hanya karena nasi bebek dan luka yang didapat, Raib juga kesal karena harus mengeluarkan banyak tenaga malam ini.

Baru saja Raib hendak meghubungi Halim. Suara derap langkah kembali terdengar.

Raib menoleh.

Matanya terbelalak.

Tujuh orang sedang berjalan ke arahnya. Dengan pakaian hitam-hitam, persis seperti tiga orang yang baru saja roboh.

Oh, Shit.

Sepandai-pandainya Raib melakukan bela diri. Ia tak akan mampu melawan tujuh orang berbadan tinggi dan berkondisi prima seperti mereka.

Ditambah, tiga dari tujuh orang itu membawa pemukul besi, dua orang membawa stun gun, dan dua orang sisanya membawa pisau.

Raib menggigit bibir bawah. Cemas.

Pertama, ia lelah.

Kedua, ia lapar.

Ketiga, jalanan sudah luar biasa sepi.

Keempat, Raib terancam harus lari tunggang langgang.

Jarak tujuh orang itu hanya tinggal sepuluh meter dari tempat Raib berdiri.

Raib melirik sekitar. Mencari benda apa yang bisa ia gunakan untuk senjata.

Stun gun?

Atau gue lar—

Samar-samar, suara deru motor terdengar.

Lalu semakin jelas.

Makin jelas.

Dan sangat jelas.

Suaranya memekakkan telinga, siapapun pemiliknya, ia pasti telah memodifikasi habis-habisan knalpot motor itu.

Raib terbelalak saat tujuh orang di depannya menoleh dengan panik, berusaha membuka jalan untuk pengendara motor yang lebih mirip peserta balap liar.

Motor yang digunakan berwarna hitam putih—lebih mirip motor track yang telah dimodifikasi sana sini, si pengendara memakai celana jeans hitam dan jaket kulit hitam, juga helm full face berwarna hitam.

Bak kesetanan, pembalap liar itu mengerem mendadak, melakukan drift sesaat sebelum mencapai tujuh orang yang sedang berusaha menghindar, membuat badan motornya menabrak dua orang yang tak sempat menghindar.

BRUK! BRUK!

Dua tubuh tersungkur ke depan.

Pembalap liar ini meliuk-liuk, menghindari tiga tubuh yang bergelimpungan karena dihajar Raib.

Ckiiitt.

Motor itu berhenti tepat di samping Raib.

“Naik.” Lelaki itu menyodorkan helm.

Raib terdiam.

“Naik!” Ucapnya sekali lagi, helmnya didorong hingga mengenai tangan Raib.

Raib menerima uluran helm itu, “Lo siapa? Mau nyulik gue juga?!” Tangannya bersiap menggunakan helm di tangan sebagai senjata.

Lelaki itu membuka kaca helm. Menunjukkan dua mata sayu (dan menyebalkan) yang dikenal Raib.

Hug—

Halim?!

Raib merasa seluruh tegangnya luruh. Ada rasa lega yang menyelimuti tubuh.

“Ayo naik. Cepet.”

Tak perlu berpikir dua kali, Raib segera menggunakan helm lalu meloncat di kursi penumpang—yang lumayan tinggi.

“Pegangan.”

Raib mencengkeram kuat pinggang Halim.

Motor itu melesat cepat. Meninggalkan sepuluh orang tadi jauh-jauh.

Halim berteriak kencang.

“APA?!” Raib tak dapat mendengar, suara Halim ditelan deru motor dan angin malam yang saling bergesekan.

Halim sedikit menoleh,

“KAN UDAH SAYA BILANG—”

Raib mematung.

“KALAU MAU KEMANA-MANA, KABARIN SAYA DULU!”