Keberanian Untuk Melangkah
Perasaan Raden campur aduk.
Tangannya yang satu menenteng tas bekal dan tangan yang lain merapikan kaos putih yang dikenakan.
Raden menggigit bibir memandang pantulan diri di kaca jendela teras.
Mengapa tiba-tiba pertanyaan 'ini tak berlebihan, 'kan?' menjadi trending topic di kepalanya?
Pakaiannya tak berlebih, 'kan?
Padahal lelaki itu mengenakan kaos putih dan celana kain krem. Warna dan model basic.
Membawa bekal makan siang tak berlebihan, 'kan?
Padahal Raden sendiri yang meminta bertemu di jam makan siang. Memang pilihannya hanya dua: mentraktir atau membuatkan makan siang.
Raden menggelengkan kepala.
Bener, kok.
Ini memang pakaian yang ia kenakan sehari-hari.
Bekal ini juga...biasa? Dari segi makanan dan niat, memang biasa.
Meski lelaki berkacamata itu penuh khawatir, namun kakinya tetap dilangkahkan. Kepalanya menyusun kalimat yang akan disampaikan.
Raden menarik napas dalam lalu membuangnya pelan.
Semua akan baik-baik saja.
Julian orang baik—secara tutur dan sikap. Raden yakin semua akan baik-baik saja, selama niatnya juga baik.
Julian telah duduk di gazebo yang berada tepat di depan tokonya saat matanya menangkap sosok Raden yang berjalan mendekati.
Masih jauh, sebenarnya. Tapi Julian terlalu yakin lelaki yang berjalan pelan sembari memandang jalanan yang dilewati itu memang Raden.
Sepertinya benar adanya, saat kehadiran seseorang terasa istimewa di hati, maka mata-hidung-dan telingamu akan mengamini. Aura, aroma, suara—semuanya begitu mudah dikenali.
Keabsenan Raden tak membuat Julian melupakan seperti apa siluet tubuh lelaki itu atau bagaimana aroma tubuhnya saat ia berada di sekitar.
Ketiadaan Raden justru membuat Julian semakin merasa ia mengenal Raden. Bagaimana tidak? Lelaki kecil itu selalu bertamu di pikiran.
Kadang, saat Julian bosan—atau saat ia terlalu sibuk hingga harus menghela napas sejenak—atau sebelum tidur—atau saat ia memiliki sedikit waktu untuk terdiam—atau saat tangannya sibuk bergerak—atau lebih tepatnya, setiap saat, Julian akan memutar kembali ingatnya tentang Raden dan percakapan singkat mereka di aplikasi pesan.
Sekarang? Jantung Julian berdegup tak karuan.
Ada rasa geli dan canggung saat melihat seseorang yang biasanya hanya ada di pikiran tiba-tiba muncul di depan mata.
Julian tak sempat memikirkan kalimat apa saja yang akan ia ucap saat membangun percakapan dengan Raden.
Tadi malam ia sibuk memikirkan apa jawaban yang akan diterima,
tadi pagi ia sibuk memilih pakaian (berakhir dengan kemeja hitam lengan pendek dan celana jeans biru, baju yang biasa ia kenakan sehari-hari),
siang ini ia sibuk memilih apa saja yang akan ia gunakan untuk menjamu Raden (berakhir dengan pilihan sederhana, air putih).
“Minum dulu.” Julian menyodorkan air putih botolan yang telah disiapkan sebelumnya begitu Raden duduk di seberangnya, senyum lebar menghiasi wajah.
“Makasih, Mas.” Raden balas tersenyum, ia menaruh tas bekal di atas meja—yang langsung membuat mata Julian melebar.
“Ini apa?” Sebenarnya, Julian telah melihat sejak tadi tas yang dibawa Raden, namun—sebelumya—ia kira Raden hanya membawa tas biasa, saat melihatnya dari dekat seperti sekarang, Julian merasa tas itu adalah tas bekal.
Setelah meminum air putihnya, Raden membuka tas bekal yang dibawa, “makan siang.” Jawabnya sembari mengeluarkan dua kotak bekal. Lelaki berkacamata itu menelan ludah, gugup akan menghadapi reaksi Julian tentang bekalnya.
Dua alis Julian naik, ia terkejut sekaligus antusias, “buat aku?”
Raden mengangguk, “Simple aja sih…” tangannya mendorong kotak bekal berisi omurice pada Julian.
Lesung pipi Julian tercetak sempurna, “makasih.”
Mata Raden menatap cemas. Ia mengamati ekspresi wajah Julian yang masih sumringah. Mulutnya telah siap mengucap berbagai alasan bila Julian merespon 'padahal kamu nggak perlu repot-repot' atau sejenisnya.
Namun Julian masih terdiam, sibuk membuka bekal dari Raden—mengamati setiap sudut kotak itu.
“Beneran makasih, Raden.” Akhirnya Julian memberikan respon, “aku tadi sempet bingung kita mau makan siang di mana, untung kamu bawa ini.”
Ujung bibir Raden tertarik, ia menurunkan bahu—merasa ketegangannya hilang.
Raden senang dengan pilihan kata Julian yang tak mengharuskannya untuk menjelaskan. Ucapan itu seolah mengusap punggung Raden dan menyampaikan, keputusanmu buat bawain ini tepat banget!
“Ini omelette?”
Raden menggeleng, “omurice. Mirip omelette sih, tapi ini dalemnya nasi goreng.” Ia ikut membuka kotak bekal milik sendiri.
Julian mengangguk paham. Ia mulai menyendok makan siangnya, tersenyum dengan mata berbinar lalu memandang Raden, “enak banget. Kamu bikin sendiri?”
“Iya.” Raden ikut menyendok omurice-nya.
Hm… biasa aja…
“Kadang aku heran gimana bisa kamu pinter masak, tapi aku langsung inget, Oma aja pinter masak—kamu dulu tinggal sama Oma, ‘kan?”
Satu alis Raden terangkat, “iya. Kok kamu tau?”
“Kamu pernah cerita.” Mata Julian tak lepas dari Raden walau tangannya berusaha menyendok makan siang.
Mulut Raden membulat sebagai ganti kata ohh..
Makan siang itu berlangsung tak sampai sepuluh menit. Julian membawa berbagai topik ringan; tentang pemeriksaan kesehatan kemarin, sayur kesukaan (karena Raden dan Julian sama-sama mendapat saran untuk lebih banyak mengonsumsi sayur), dan hal-hal sepele seperti cuaca yang tak menentu.
Ketakutan Raden akan rasa canggung menguap seketika.
Mungkin dari awal, ia tak perlu khawatir tentang kecanggungan saat bersama Julian.
Lelaki itu jelas tau bagaimana cara membawa diri. Ia tak akan menempatkan Raden di posisi canggung dan Raden juga tak ingin demikian—maka ia menanggapi dengan hati-hati, memastikan pembicaraan tak akan padam begitu saja.
Dalam sekejap, Raden tak lagi memikirkan tentang rasa cemasnya. Ia tak lagi merasa harus hati-hati menjawab untuk menjaga nyala percakapan—semuanya berjalan natural.
Julian? Jangan ditanya.
Seluruh tubuhnya sibuk.
Tangan sibuk menyendok—kadang otomatis bergerak saat bercakap.
Mulut sibuk mengunyah dan berbicara.
Mata sibuk memandangi.
Pikiran sibuk memuji, dan jantung sibuk berdegup.
Aduh, bagaimana ya?
Julian terlalu terbawa suasana.
Ia lupa tujuan utama Raden menemuinya adalah memberi jawaban, ia lupa beberapa hari ini Raden sengaja menjaga jarak dengannya, ia lupa setengah jam lagi ia harus kembali menyelesaikan pekerjaannya yang ditinggal sebelum waktunya.
Tapi siapa sih yang tak lupa diri saat rongga dadanya dipenuhi buncah bunga bermekaran?
Semua hal yang dilupakan Julian tak sebanding dengan tawa Raden dan gerakan tangan kecil yang berusaha membantu mulut menjelaskan.
Suara lembut dengan intonasi menenangkan. Mata teduh yang berbinar di balik lensa. Tawa renyah. Aroma segar dengan sedikit manis.
Betapa Julian merindukan lelaki di depannya.
Matahari tak terlalu terik saat Raden mulai merapikan kotak bekal, ia menolak saat Julian menawarkan diri untuk mencucinya di toko.
“Oh, iya, Mas,” Raden merapikan anak rambut yang tertiup angin, “aku mau ngomong sesuatu sebelum—” ia menggigit bibir, mendadak jantungnya melompat kesana kemari karena teringat tujuan utamanya kemari adalah memberi jawaban atas hal yang menyangkut perasaan, “sebelum ngomongin… yang mau aku sebutin tadi malem.”
Dan jantung Julian berdebar tak kalah cepat. Walau ia berusaha keras untuk terlihat biasa, air muka tegang di wajah tak bisa disembunyikan begitu saja.
Mobil yang baru lewat dengan kecepatan 60km/jam seolah berpacu dengan degup jantung keduanya.
Raden mengulum bibir sebelum berucap, “aku mau minta maaf.”
Satu kalimat itu berhasil membuat wajah Julian kaku dan membeku.
Minta maaf? Apa ini ada kaitannya dengan jawaban yang akan diberikan?
“Buat..?” Julian tetap memastikan.
“Omonganku kemarin…”
Julian menelan ludah.
“Pas di danau.” Lanjut Raden yang langsung membuat lelaki di hadapannya membuang napas panjang, “aku banyak ngomong kasar sama kamu.”
“Aku awalnya nggak mau minta maaf,” lanjut Raden sebelum Julian sempat menjawab, “kamu juga nyinggung aku jadi kayaknya kita impas. Tapi aku pikir lagi, aku ngerasa nggak enak karena udah ngomong gitu ke kamu.”
Sebenarnya, Julian tak tau kalimat mana yang dimaksud Raden, namun demi mendengar penuturan Raden bahwa lelaki itu sempat merasa tersinggung, Julian segera menjawab,
“aku juga harusnya minta maaf. Aku juga nyinggung kamu,” Julian menggaruk ujung telinga yang tak gatal, “tapi aku boleh tau nggak kalimatku yang mana yang nyinggung kamu?”
Raden terdiam.
“Aku tetep minta maaf karena udah nyinggung kamu. Aku cuma—” Julian menggigit bibir, menyadari ia terlihat tak tau diri karena meminta maaf untuk kesalahan yang tak ia ketahui,
“maaf aku nggak nyadar udah nyinggung kamu. Tapi aku pengen tau kalimat mana yang nyinggung biar besok lagi aku nggak kayak gitu.”
Oooh…
Raden mengerjap beberapa kali. Perubahan suasana ini terlalu mendadak, beberapa saat yang lalu mereka membicarakan hal-hal ringan, namun sekarang seolah sebuah beban ditimpa pada keduanya. Ia merasa menyesal harus membicarakannya.
Mungkin Julian juga tak menyadari kalimat Raden yang menyinggungnya.
“Overall kita saling nyinggung nggak sih, Mas? Maksudku—” Raden berusaha mengingat kembali percakapan keduanya tempo hari, “Maksudku, topik yang diomongin aja sensitif—tentang mantanku, sifatku yang pengen kamu ubah, mantan istri kamu….”
Ah….
Sekarang Julian mulai paham.
“Aku minta maaf, aku pasti kebawa emosi waktu itu—”
“Nggak apa-apa, Mas. Aku duluan yang nyinggung kamu.” Potong Raden cepat.
Julian mengangguk pelan.
Jujur, ia tak terlalu mempermasalahkan ucapan Raden saat itu.
Lebih jujur lagi, Julian sempat lupa—atau mungkin ia telah memaafkan Raden saat itu juga. Namun mendengar permintaan maaf dari Raden membuat seluruh rongga dadanya terasa nyaman. Ada rasa hangat yang mengisi setiap sudut kosong tubuhnya.
Julian kira, memaafkan seseorang sebelum orang tersebut meminta maaf akan memberinya ketenangan. Nyatanya, mendapat permintaan maaf jauh lebih menenangkan. Seolah ada goresan tak kasat mata di tubuhnya yang diberi obat merah lalu ditutup plester.
Sebuah senyum kembali merekah di wajah Julian.
Satu lagi alasan untuk terus bersama Raden, lelaki itu membuat Julian tersadar,
Setiap luka—besar atau kecil, berhak mendapat pengobatan yang layak.
“Makas—”
“Nah, aku—”
Keduanya terdiam.
“Kamu duluan, Mas.” Raden mempersilakan.
Dan Julian menerima kesempatan yang diberikan—ia hanya akan menyampaikan hal singkat, “Makasih, Raden.”
Dahi Raden berkerut, “Makasih? Buat?”
“Udah minta maaf dan maafin aku.” Julian memandang mata Raden lurus-lurus. Membuat yang dipandang segera membenarkan posisi duduk.
“Eh, sama-sama, Mas.” Raden mengalihkan pandangan, menoleh pada beberapa pelanggan yang melewati keduanya—hendak berbelanja di toko.
“Aku tadi minta maaf—selain karena nggak enak sama kamu, juga karena ini ada hubungannya sama apa yang mau aku omongin abis ini.”
Julian sedikit mencondongkan tubuh, sikunya bertumpu di meja gazebo, “apa?”
Wajah Raden memerah, pipinya terasa panas walau cahaya matahari terhalang payung besar di atasnya. Ibu jari dan telunjuknya saling mengusap, mendadak ia gugup. Lidahnya tak tau kata apa yang harus diucapkan.
Raden berdeham, “aku mau minta maaf biar hubungan kit—” kalimat itu menggantung di ujung lidah.
Hubungan kita?
HUBUNGAN?
KITA?!
Perut Raden seolah diaduk saat menyadari pemilihan katanya yang payah.
“Maksudnya…” Raden berusaha mengusap singkat perut yang mendadak terasa perih,
“aku minta maaf biar ke depannya nggak ada salah paham… maksudnya—” Raden melirik kotak bekal dan botol minuman di meja. “Maksudnya… aku pengen nyelesaiin hal-hal yang kira-kira bakal ngaruh ke—” hubungan baru kita.
Wajah Raden merah padam.
Situasi ini sulit dijelaskan dan dicerna untuk Raden. Ia kira semuanya akan berjalan lancar karena rasa canggungnya telah hilang sejak tadi. Namun lidahnya terasa luar biasa kelu. Seolah apa yang akan ia ucapkan adalah hal paling tabu.
“Raden.” Julian sedikit mengintip wajah Raden yang menunduk. Ia dapat menangkap aroma gugup dari lelaki di depannya, “kamu nggak perlu jelasin kenapa kamu minta maaf. Aku cuma nanya hal apa yang tadi kamu bilang: mau diomongin abis ini.”
Oh, iya ya?
“Iya, ya?” Raden menyuarakan pikiran, “minta maaf ya minta maaf aja—ngapain aku bingung mikir alesannya?” ia menggaruk rahang yang tak gatal,
masalahnya… adalah… menghubungkan alasan ia meminta maaf dan hal yang akan dibicarakan setelah ini.
“Yang mau aku omongin abis ini—” Raden memberi jeda sejenak, “itu… yang mau aku omongin tadi malem…”
Julian nyaris menahan napas.
Ah, iya tadi Raden sudah menyebutkannya.
Julian merutuki diri sendiri, mengapa ia menanyakan hal yang telah diucapkan Raden?
Tapi, sepertinya, Raden juga lupa bahwa ia telah menyebutkan yang dimaksud dari 'hal yang mau aku omongin abis ini'.
Sepertinya, rasa gugup mampu melahap memori.
Sekarang lelaki berlesung pipi itu dapat lebih memahami gelagat resah dari Raden.
Bahkan Julian sendiri merasa disergap dingin saat menyadari ia akan mendengar jawaban Raden yang telah ia nantikan beberapa hari belakangan.
Jawaban ini akan menjadi penentu apakah esok ia akan duduk bersama Raden—mengobrol seperti tadi—atau hanya mengamati dari jauh—seperti akhir-akhir ini.
“Aku bingung mau mulai dari mana…” Raden mengusap tengkuknya.
Julian menatap wajah Raden yang redup dan resah, lelaki itu sedikit menunduk. Julian sedikit menimang sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan, “besok aku masih bisa ngobrol-ngobrol sama kamu nggak?”
Raden akhirnya mengangkat wajah, menatap Julian yang sedang menatapnya teduh.
Sejenak, lelaki berkaos putih itu berusaha menelaah apa yang membuatnya takut berucap hingga gugup—seperti sekarang.
Maksudnya, jika Raden memang benar-benar ingin membuka diri untuk menerima orang baru—garis miring Julian, setidaknya ia harus memiliki keberanian, ‘kan?
Contohnya, keberanian untuk percaya bahwa keputusannya akan disambut dengan tangan terbuka oleh Julian.
“Bisa, kok.” Ucap Raden akhirnya.
Dan keberanian untuk mengungkapkan bahwa ia sungguh-sungguh dengan keputusannya.
“Kayaknya kita bisa mulai nyoba buat saling kenal lebih jauh.” Lanjutnya.
Langit masih biru, mentari masih terik. Namun Julian dapat melihat ribuan bintang saling bersaing untuk menghiasi wajah Raden dan telinganya menangkap letupan kembang api yang meledak di jantungnya.