Kejutan!
“Mas, kamu udah liat SW-nya Ibuk?” Raden menoleh cepat pada Julian begitu melihat status Whatsapp yang dibuat Ibunya kemarin.
“Udah.” Julian menoleh sekilas, matanya lebih difokuskan pada jalanan yang ramai lancar—jam pagi, “yang Ibuk kondangan sama Bapak, 'kan? Kenapa?”
“Ini kan anaknya temen Ibuk yang nikah, kayaknya bentar lagi aku bakal ditelponin terus ditanyain, kapan nyusul?” Raden mendengus kesal. Ia sudah terlalu sering mendengar pertanyaan itu, terutama ketika orangtuanya baru saja menghadiri pernikahan anak dari teman-temannya.
Julian tertawa, “jawab aja, tahun depan.”
“Udah pernah.” Jawab Raden cepat, “tahun lalu aku bilang tahun depan, tahun kemarinnya lagi juga aku bilang, tahun depan.”
Sebuah kekehan lolos dari mulut Julian, “ya nggak apa-apa, biar konsisten.”
Raden ikut tertawa, “biar entar Ibuk capek sendiri ya?”
Lima belas menit berlalu. Keduanya masih asyik berbincang ditemani alunan lembut lagu-lagu yang selalu diputar Julian ketika bersama Raden.
Beberapa kali Julian tak menjawab ucapan Raden karena ia harus fokus mengemudi. Jalanan pagi adalah medan perang berbahaya.
“Sayang,” Panggil Julian pelan, ia menoleh saat jalanan di depannya cukup lengang, “nanti mampir dulu ya beli sarapan. Aku laper.”
Raden menoleh cepat, dahinya mengernyit, “kok nggak bilang dari tadi? Kan bisa aku bawain sarap—oh atau ini,” badannya melongok ke kursi belakang, hendak mengambil tas ranselnya, “bekal makan siangku aja buat kamu.”
“Eh, nggak usah,” Julian segera menghadang Raden dengan satu tangannya, “entar kamu makan apa?”
“Gampang, sih.” Raden kembali duduk di tempatnya, “lagian... kok bisa kamu laper, sih, Mas? Belum sarapan? Bukannya tadi kamu pamit mau sarapan ya?”
Ujung bibir Julian naik—kini ia makin terbiasa dengan pertanyaan beruntun yang selalu diberikan Raden, “cuma sarapan roti tadi, ternyata Mama nggak masak.”
“Nggak masak? Kenapa? Sakit? Bulan ini udah check up belum?”
Julian melirik ke arah Raden, ia ingin melihat wajah kekasihnya yang selalu terlihat dua kali menggemaskan saat membombardirnya dengan berbagai pertanyaan, “udah. Nggak apa-apa, kok. Cuma lagi males masak aja.”
“Kan kamu bisa masak, Mas.” Raden memiringkan kepalanya, menatap Julian heran, “kenapa nggak kamu aja yang masak?”
“Eh—itu...” Julian menggigit bibir, “udah nggak sempet tadi waktunya.”
“Oh ya udah, mampir aja deh ke—lho?” Mata Raden membulat saat mobil Julian memelan dan menepi di sebuah toko dengan halaman parkir yang luas. “Mau sarapan apa, Mas?”
Setelah berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna, Julian menoleh pada kekasihnya, “roti.”
“Roti?!” Raden mengulangi apa yang dikatakan Julian—takut ia salah dengar. “Kamu tadi nggak kenyang makan roti tapi mau makan roti lagi?”
“Astagaaaa.” Julian tak kuasa untuk tak menangkup pipi Raden dengan kedua tangannya, “pacarku makin hari makin bawel aja.” Ia mengguncang-guncang pipi Raden gemas. “Kamu lucu deh kalo ngomel-ngomel gitu.” Ia mencubit dua pipi Raden sebelum menarik tangannya.
Namun, diperlakukan demikian tak membuat kekesalan Raden hilang, ia mengusap kedua pipinya yang dicubit Julian, “aku tuh nanya beneran, Mas.” Ia melirik sinis pada kekasihnya, “kamu nih tiap aku udah marah, bilangnya lucu-lucu terus.”
“Ya emang lucu?” Julian terkekeh. “Coba besok kamu marah-marah sambil ngaca, pasti kamu ketawa sendiri.”
“Masss, serius ini.” Raden mendecak, tangannya nyaris menepuk lengan Julian—namun diurungkan karena kekasihnya terlihat telah siap untuk keluar dari mobil, “kamu beneran mau sarapan roti?”
“Ya entar liat dulu di dalem ada apa.” Julian melepas sabuk pengaman, “mau ikut turun?”
Tentu Raden mengangguk. Ia harus memastikan Julian tak mengulangi kesalahan dua kali—alias memakan roti lagi.
Sinar terik matahari pagi langsung menyambut Raden begitu ia melangkah keluar dari mobil. Ia menyipitkan mata dan mengerjap beberapa kali untuk membiasakan matanya pada cahaya yang terlalu terang.
Oh...
Dua alis Raden terangkat saat ia sudah berhasil melihat keadaan sekitar.
Raden ingat sekarang. Setahun yang lalu, tempat ini masih lahan kosong yang terbengkalai. Ia tau ada pembangunan di area ini namun tak tau sejak kapan pembangunan itu selesai—Raden tak terlalu memperhatikan kanan-kiri jalan saat mengemudi.
Jadi pembangunan kemarin untuk membangun swalayan?
Boleh juga. Swalayan ini berjarak tak sampai sepuluh menit dari kantor Raden, mungkin ia bisa sering mampir kemari.
Tapi... tunggu...
Tempat ini, toko ini—semuanya, memang asing.
Namun ada satu hal yang terasa familier untuk Raden. Sebuah signboard yang langsung menyambut matanya saat ia mendongak.
“Ini...” Ia bergumam pelan.
“Mas...” Kepala Raden segera ditolehkan pada Julian yang sedang berjalan menghampirinya, “ini... logo... tokomu... 'kan?”
Julian hanya membalas dengan senyuman, menunjukkan lesung pipinya.
Mata Raden kontan membulat, “kamu bangun toko di sini?”
Julian mengangguk—masih mempertahankan senyumnya.
Wah.
“Selama ini pembangunan di sini tuh...” Raden bahkan tak mampu lagi bertanya, ia merasa ditipu—tapi ia tak sedang ditipu, “jadi.. pembangunan kemarin tuh... buat bangun... tokomu?”
Sekali lagi Julian mengangguk. Senyumnya kian melebar saat melihat wajah Raden yang terbasuh sinar mentari tampak begitu terkejut.
Mata Raden mengerjap beberapa kali. “Kok aku nggak tau?”
“Kan rahasia.” Julian terkekeh, ia mengusap ujung kepala Raden pelan.
“Oh iya, ada lagi.”
Jantung Raden melompat saat mendengar penuturan Julian. “Masih ada lagi?! Bukan ini doang toko yang kamu bangun?!”
Tawa Julian menyembur, rasanya ia ingin mengiyakan pertanyaan Raden agar mata bulat dan mulut terbuka itu dapat terus dilihatnya. Namun mengingat waktu yang terbatas, Julian menggeleng—dengan sisa tawa di bibirnya, “bukan.”
Tanpa menunggu reaksi Raden, Julian menarik pergelangan tangan kekasihnya, membawanya menuju jalan raya, “sini, deh.”
Julian membawa Raden—yang masih terdiam karena rasa terkejutnya tak kunjung padam—menyebrangi jalan raya.
Keduanya berjalan selama beberapa meter menyusuri trotoar lalu melewati sebuah pos satpam—tentu Julian menyapa para satpam yang sedang bertugas.
Raden—yang sedang memikirkan tentang bagaimana cara Julian menyembunyikan pembangunan toko tadi—segera mengerjap beberapa kali. Berusaha fokus pada keadaan di sekitarnya.
Mata Raden menyipit melihat kanan-kirinya.
Laundry.
Restoran.
Cafe.
“Kamu bangun toko di sini, Mas?” Ia memandang punggung Julian yang berjalan setengah meter di depannya.
Julian menggeleng.
Setelah berjalan selama satu menit dan berusaha menajamkan matanya, Raden baru menyadari...
Ini... perumahan?
“Sini.” Julian melambatkan langkahnya agar kekasihnya dapat berjalan sejajar dengannya, “aku beli rumah di sini.”
DEG.
Jantung Raden nyaris menggelinding. Rongga dadanya terasa kosong.
“Rumah?!” Seru Raden, matanya mengerjap tak percaya, “pake duit siapa?”
Julian terbahak. Ia sampai harus menyeka air mata di ujung matanya. Langkahnya terhenti—Raden juga. “Duitku, lah. Punya siapa lagi?”
Belum sempat Raden menjawab, Julian telah mengajak Raden untuk menepi, “sini. Masuk, deh.”
Sebuah rumah minimalis dengan halaman yang... minimalis pula. Seluruh rumah di perumahan ini berwarna putih-abu, termasuk rumah yang ada di depan Raden dan Julian.
“Transaksinya belum lama.” Julian merogoh saku celananya, mengambil kunci lalu membuka pintu rumah tersebut, “masuk sini.”
Kosong.
Rumah dua lantai itu kosong.
Ruang tamu, ruang tengah, dan dapur langsung terhubung. Ada dua kamar di lantai satu dengan satu kamar mandi luar. Ada dua kamar lagi di lantai dua.
Julian mengajak Raden memasuki salah satu kamar.
Mata Raden makin membulat saat melihat sofa, meja, dan rak yang memenuhi kamar, “kamu udah beli perabotan?”
Julian mengangguk, “belum semua, sih.” Ia mengajak Raden untuk menduduki salah satu sofa yang masih tertutup kain putih panjang.
“Kamu mau pindah kesini, Mas?”
Julian hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyum lebar. Ia mengeluarkan sesuatu dari bawah meja, “Aku minta tolong, deh. Coba kamu cek kelengkapan dokumennya.”
Kepala Raden yang sedari tadi menelusuri ruangan segera menoleh pada Julian, “dokumen apa?”
“Dokumen transaksinya.”
Raden melirik tumpukan kertas dengan tulisan hitam kecil-kecil yang membuatnya jengah, “dokumen itu?”
Julian mengangguk.
Masalahnya... Raden juga tak tau kelengkapan dokumen transaksi pembelian rumah.
Namun ada hal yang lebih menarik perhatian Raden daripada ketidaktahuannya, “kamu ninggalin dokumen sepenting itu di sini?” Ia menunjuk tumpukan berkas di depannya.
Julian tertawa, ia ingin memeluk Raden kuat-kuat—tak tahan melihat mata penuh selidik yang dipancarkan kekasihnya, “kan rumahnya dikunci, kamarnya juga dikunci, lacinya juga dikunci.”
Raden tak menjawab, ia kembali teringat tentang tugas yang baru saja diberikan padanya, “ini kamu minta aku ngecek dokumen... ini?”
“Iya.” Kepala Julian mengangguk mantab.
“Tapi aku belum pernah beli rumah, Mas....” Raden mengais seluruh memori di kepalanya—barangkali ia pernah mempelajari tentang jual beli properti, “mungkin kalo udah ada akta jual-beli sama sertifikat tanah sama...” Ia terhenti, tak tau lagi harus menyebutkan apa.
“Oh?” Dua alis Julian terangkat, “aku juga kurang paham, sih. Coba kita cek dulu. Kalo ada dokumen yang kurang lengkap biar bisa langsung aku mintain, mumpung transaksinya belum lama.”
“Tapi bukannya kamu—” Dahi Raden mengernyit.
Bukankah Julian lebih paham segala hal tentang properti?
Namun Raden berusaha memahami kekasihnya. Mungkin Julian sudah lupa atau mungkin ia hanya ingin crosscheck pada Raden, “ya udah mending kita searching aja. Atau aku tanyain Ibuk dulu?”
“Searching aja.”
“Oke.” Raden segera merogoh ponselnya di saku celana. Tangannya sibuk mencari segala sesuatu tentang dokumen kelengkapan pembelian rumah di perumahan.
“Ini udah lunas belum, Mas?” Tanya Raden—memastikan, karena akta jual beli hanya bisa didapatkan saat telah lunas.
“Udah.” Jawab Julian cepat.
Napas Raden tertahan, mulutnya terbuka, “hard cash?!”
“Enggak,” Julian menggeleng, “installment. Baru bulan kemarin lunas.”
“Oh... oke.” Raden mengambil tumpukan dokumen itu, memindahkan ke atas pangkuannya. “Berarti udah ada Akta Jual Beli-nya ya?”
Mata Raden terus berpindah dari layar ponsel dan kertas-kertas di pangkuannya, “oke, AJB ada...” Ia siap memindahkan kertas AJB itu ke sofa—menandakan dokumen itu telah ia cek, “kayaknya cuma AJB aja nggak sih, Mas? Atau ada—”
Jantung Raden nyaris lepas (lagi), saat melihat kertas kosong yang menyambutnya setelah kertas AJB.
Tangannya panik mengecek kertas-kertas berikutnya, “mas, ini kok—”
Dan sepertinya, jantung Raden benar-benar lepas dari rongga dadanya.
. . . . .