Keluarga Sadewa

cw // harsh words.

Selama menjadi hantu, Hugo tak pernah segugup ini. Bahkan saat ia memasuki tubuh Jerri dan melakukan itu dengan Raib, rasanya tak segugup ini.

Ia masih setia mengikuti Raib, naik bus beberapa kali hingga kurang lebih satu jam kemudian mereka memasuki perumahan yang... luar biasa besar.

Raib tak berbohong ketika ia mengatakan gapura masuk Perumahan Red Hills dapat menaungi banyak orang—tak sampai sejuta tentunya.

Perumahan ini dikelilingi oleh bukit-bukit yang berjajar. Ada banyak pohon-pohon hijau besar yang mengelilingi seluruh area perumahan yang membuat perumahan ini lebih cocok dinamai green hills.

Saat Raib mengatakan akan bertamu di rumah nomor satu, para satpam langsung siaga, menghubungi beberapa orang, lalu menyuruh Raib menunggu.

Hugo ikut terkejut saat sebuah mobil sport berwarna hitam datang untuk menjemput Raib.

Hugo ikut masuk ke mobil, ia langsung dalam mode hemat energi karena mobil mahal ini hanya memiliki kapasitas dua orang.

Sopir Bugatti Chiron ini lelaki paruh baya yang cukup banyak bicara. Perjalanan mereka hanya lima menit namun Raib dan Hugo sudah mengetahui banyak hal tentang perumahan ini.

Semua rumah di perumahan ini bergaya modern glass house, hanya rumah nomor satu yang bergaya the victorian—rumah ala kerajaan dengan desain super rumit dan mewah—seolah ingin menunjukkan siapa penguasa di perumahan elit ini.

Setelah memasuki pagar tinggi berwarna hitam, mobil mereka masih terus meliuk di jalanan dengan kanan kiri dihiasi pohon rindang selama dua menit. Raib enggan melihat sekeliling, salah-salah ia malah melihat makhluk tak kasat mata.

Sampailah mereka di rumah ala kerajaan yang luar biasa mewah. Rumah ini berwarna cokelat dengan menara di ujung kanan-kiri. Ada dua pilar besar yang menyangga bagian tengah rumah. Sepertinya rumah ini merupakan campuran gaya The Victorian , Colonial dan sedikit sentuhan modern.

Raib dan Hugo turun tepat di depan tangga menuju pintu masuk rumah.

Mereka disambut seorang wanita paruh baya dengan jas hitam. Setelah saling mengucap salam, keduanya memasuki rumah.

Seperti yang sudah ditebak, rumah ini memiliki foyer—ruang penghubung pintu masuk dan ruang tamu—yang luas.

Ruang tamunya tak kalah luas dengan nuansa krem-emas dan lampu gantung di tengah. Sofa wingchair panjang saling berhadap-hadap berwarna emas juga menambah kesan elegan di ruang ini. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan kreatur hewan buas, seolah memberi peringatan pada siapapun tamu asing yang duduk di ruangan ini untuk tak macam-macam.

Raib duduk di pinggir sofa panjang.

“Lo kenapa duduknya minggir banget? ke tengah dikit lah.” Bisik Hugo.

“Diem.” Raib balas dengan berbisik ketus. Untuk saat ini ia tak mau dikritik oleh orang kaya.

Nafas Raib tertahan saat seorang wanita memasuki ruang tamu, mengenakan setelan merah tua dengan kemeja hitam di dalamnya dan rok pendek, rambut lurusnya dibiarkan terurai. Lipstiknya senada dengan setelan yang dikenakan.

Bahkan Hugo membeku di tempatnya.

Oh My God, dia ibu gue?

“Siang, Raib.” Wanita itu duduk di kursi single yang berada di samping Raib.

Benar kata Hugo, Raib seharusnya duduk lebih ke tengah lagi. Sekarang ia berada terlalu dekat dengan wanita ini. Ia merasa terintimidasi. Mendadak Raib takut kebohongan kecilnya terbongkar.

“Siang, Tante...?”

“Kania.” Kania mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Raib.

“Raib, Tan—”

“Panggil aja Kania.”

Raib tertegun, sepertinya ia baru saja terkena culture shock.

“Jadi,” Kania menyilangkan kakinya, “Apa yang mau kamu tanyakan?”

Tatapan Kania membuat Raib kikuk, namun ia mulai mengingat kembali prinsipnya: Ngomong sama orang asing lebih gampang dari pada sama kenalan.

Ia menarik nafas, memposisikan diri sebagai volunteer yang tak mengenal Hugo dengan tujuan utama menemukannya.

“Kemarin saya udah ke kantor polisi. Mereka bilang Hugo mulai dinyatakan hilang tanggal 8 Juni,” Raib mengeluarkan jurnalnya, “Dia terakhir keliatan di gang samping Toko Alat Tulis Neo, jalan itu emang biasa dipakai orang-orang buat ke jalanan simpang lima Neo, yang kebetulan nggak punya CCTV.”

Hugo yang duduk di seberang Raib menatap dengan tatapan penuh cibir, Lancar banget ngomongnya, beneran kayak dia nggak tau gue dimana.

“Iya, kemarin polisi sudah menelusuri kelima jalanan itu tapi nihil.” Entah bagaimana Kania dapat tetap mengangkat dagunya tinggi-tinggi, Ibu pada umumnya mungkin sudah menundukkan kepala saat membahas tentang hilangnya anak mereka.

Raib mengangguk paham, “Bisa tolong diceritakan kronologi hilangnya Hugo?”

Kania mengangguk singkat sebelum membenarkan posisi duduknya, “Tanggal 5 Juni dia keluar rumah, bilang mau nginep di rumah teman. Cuma bawa HP, dompet, buku kecil, pulpen, dan charger. Dia anak yang teliti, ulet dan suka nyatet, jadi selalu bawa buku kecil kemana-mana,

dia janji, tanggal 6 pagi sudah sampai rumah, tapi sampai malam dia nggak pulang. Saya telfon polisi tanggal 7, dia dicari seharian, tapi...”

Kania menggelengkan kepalanya, “Nggak ketemu. Akhirnya tanggal 8 Juni ditetapkan hilang.”

Raib sempat terkejut saat tiba-tiba arwah Hugo semakin transparan lalu menghilang. Ia hendak mencari kemana perginya namun matanya tak mau mengalihkan pandangan dari Kania.

Kania menatap Raib, “Kamu kenal Hugo?”

Raib menggeleng cepat, “Enggak, saya baru tau kalau saya sekampus sama dia.”

“Dia seumuran sama kamu,” Entah hanya perasaan Raib atau tatapan Kania baru saja melembut.

Kania berdiri dari duduknya, “Karena kamu mau nyariin anak saya, ada baiknya kamu kenalan dulu sama dia.”

Bulu kuduk Raib berdiri, “Ke—kenalan?”

Kania mengangguk, “Ayo ke kamar Hugo.”


Raib mual.

Mual yang... benar-benar mual.

Seluruh perutnya bergejolak.

Ada dua almari kaca bening yang menyambutnya saat memasuki kamar Hugo.

Isinya adalah penghargaan milik Hugo. Dari piala, medali, piagam, hingga sertifikat. Semuanya lengkap.

“Hugo ini, suka banget ikut lomba.” Kania menatap almari kaca dengan penuh takjub.

Raib merasakan kepalanya berputar, Hantu rese itu? prestasinya segini?

“Dia tipe orang yang anti banget gabut, paling benci nganggur, dia selalu pengen punya kegiatan, selalu pengen nyoba hal-hal baru.” Lanjut Kania.

Raib mengangguk setuju, emang ya watak orang tu dibawa mati, sampe sekarang Hugo juga berisik banget selalu ngajakin gue ini itu, beneran nggak bisa diem.

“Terutama lomba jurnalis. Dia suka banget ikut lomba jurnalistik. Nggak tau kenapa, padahal dia anak IPA.”

“Anak IPA?” Raib menoleh cepat, “Bukannya Hugo mahasiswa Akuntansi?”

Kania mengangguk, “Iya, dia IPC.”

The fuck????

Tawa lembut Kania terdengar saat ia melihat ekspresi terkejut Raib, “Saya dulu juga kaget, kenapa susah-susah IPC kalau pilihan satu-nya jurusan di soshum?”

“Kenapa Hugo pilih jurusan akuntansi?”

Kania menoleh, “Ya kan? awalnya saya juga heran. Prestasinya kebanyakan di bidang jurnalistik dan penelitian, kenapa tiba-tiba akuntansi?”

Dihembuskan nafasnya perlahan, “Dia bilang, Ma, aku ngerasa semua ilmu bisa aku pelajari secara otodidak, kecuali akuntansi, saya cuma bisa ketawa.”

Mulut Raib menganga, ni anak masuk akuntansi beneran buat belajar akuntansi? freak, gue ketemu akuntansi waktu SMA aja langsung muntah-muntah, lah dia malah pengen masuk akuntansi karena pengen belajar.

“Dia kemarin habis ikut ujian beasiswa, padahal uang saya cukup buat biayain dia sekolah dimana pun, tapi dia lebih milih ambil beasiswa. Katanya dia nggak ngincar uang beasiswa-nya, dia ngincar pertukaran mahasiswa-nya. Beasiswa Golda Group, kamu tau?”

Raib mengangguk, tentu saja ia tau. Itu adalah beasiswa paling bergengsi di kota—ah bukan, di negara ini. Setiap kota hanya akan diambil tiga orang.

Gila, Hugo juga ikut beasiswa itu?

“Tapi saya bukan tipe orang tua yang maksain kehendak ke anak-anak, mereka mau ngelakuin apa saja terserah, yang penting mereka tanggung jawab sama apa yang mereka lakuin. Apapun yang mereka mulai, harus diselesaikan.” Kania tersenyum.

Raib menatap heran, “Anak-anak?”

Kania mengangguk, “Anak saya ada dua.Satunya, Hugo. Satunya lagi...” Ia menoleh, “Kayaknya kamu kenal, anak kampus Neo juga.”

“Siapa?”

Baru saja Kania membuka mulut, ada suara yang menginterupsi dari pintu kamar,

“Sayang—oh ada tamu?”

Kania mengangguk, “Raib, kenalkan, itu Papanya Hugo. Pa, kenalin, ini Raib, volunteer yang mau bantu cari Hugo.”

“Oh, halo, Papanya Hugo.” Papa Hugo maju beberapa langkah, menyalami Raib.

“Halo, Om.”

Papa Hugo hanya membalas dengan anggukan sekilas, “Sayang, Laporan Kelayakan Bisnis Perumahan Delima kamu taruh mana? aku mau baca, kata Bu Emi kamu yang terakhir pegang.”

Kania menaikkan dua alisnya, “Ada di foyer, di depan kaca.”

Papa Hugo menggeleng, “Nggak ada.”

“Masa sih? cari lagi.”

“Udah dicari, nggak ada, makanya aku tanya.”

“Hm,” Kania menoleh pada Raib, “Raib, tunggu di sini ya? saya mau cari berkas dulu, silakan kalau mau liat-liat kamar Hugo.”

Raib mengacungkan jempolnya, “Siap!”

Kania dan Papa Hugo berlalu, menyisakan Raib di ruang luas itu sendirian.

Raib menyusuri kamar Hugo, memotret beberapa hal yang mungkin akan berguna. Bahkan ia melihat tempat sampah Hugo yang hanya berisi kertas. Ia berusaha menggali hal-hal yang mungkin akan berguna.

Matanya dipicingkan berkali-kali saat melihat dokumen-dokumen asing yang tak ia pahami.

Namun dia abai, memilih untuk mengambil gambar dan menganalisisnya nanti di kamar kos.

Ia berhenti pada bingkai foto yang sengaja ditutup di samping ranjang. Untuk pertama kalinya, Raib melihat bingkai foto di rumah ini.

Dibaliknya bingkai foto itu,

Anjrit.