Kita Akan Jatuh dan Saling Menangkap

Katanya, saat memulai hubungan, kepalamu akan dipenuhi awan-awan. Suatu saat mereka akan turun sebagai hujan di mata, tapi cerahnya senyummu akan membuatmu tak takut kehujanan.

Kamu tak lagi takut basah saat ujung bibirmu terangkat.

Setidaknya itu yang dirasakan Raden sekarang. Senyumnya memerangi mentari yang pelan-pelan menukik ke barat.

Tak ada takut dan resah. Hanya senang dan cerah.

Hijaunya rerumputan dan birunya kolam seketika menguning, menjelma dalam bulan sabit yang melengkung di bibir Raden.

“Awalnya aku takut mau ngobrol sama kamu.” Julian kembali melempar percakapan.

Sudah satu jam keduanya duduk di taman, ditemani selembar kain besar sebagai alas, beberapa camilan, dan bunga yang sengaja mereka petik diam-diam.

“Kok gitu?” Mata Raden memicing, merasa tak ingat melihat ketakutan di mata Julian saat awal pertemuan mereka.

“Kamu bilang lagi belajar S2. Aku khawatir obrolan kita nggak nyambung dan kamu bakal pake bahasa yang tinggi-tinggi.” Julian terkekeh.

Raden ikut terkekeh, “kamu pikir aku bakal ngobrolin materi yang aku pelajarin di kampus?”

“Kan orang kuliah biasanya bahas isu-isu yang lagi in banget terus diulik pake teori yang udah dipelajari.” Julian membela diri.

Tawa Raden terdengar, “kamu pikir aku bakal bahas hal-hal kayak gitu ke kamu?”

“Bukan itu aja,” Julian membenarkan posisi duduk, “takut juga kamu ngerasa obrolan kita nggak selevel.”

Raden kembali tertawa, “tapi nyatanya kamu bisa diajak ngobrolin banyak hal.”

Julian tersenyum, lesung pipinya tercetak sempurna di kanan-kiri, “dulu aku takut, tapi sekarang nggak lagi, kamu boleh bahas hal-hal kayak gitu ke aku, pake bahasa tinggi-tinggi juga nggak apa-apa.”

Mata Raden membulat, “kamu belajar ekonomi?”

Julian tertawa, menggeleng, “nggak lah.” Tangannya otomatis mencubit pelan pipi Raden, “entar kalo nggak paham aku tinggal minta kamu jelasin. Makin rumit malah makin bagus, artinya aku bisa ngobrol lama sama kamu.”

Raden menggigit bibir, menahan rasa geli yang terus berputar di perutnya. Pipinya merona saat merasakan ujung jari Julian.

Julian menggeser duduknya, mendekati Raden. “Kok pipinya merah gitu? Aku serius, bukan nge-gombal.” Ia mengusap pipi Raden pelan sebelum menarik tangan.

Lelaki berkaos putih itu menoleh sekilas, “kamu juga bisa ngomongin semua hal yang pengen kamu bahas, Mas.”

“Materi kuliahku dulu boleh nggak?” Julian tersenyum jahil, tubuhnya dicondongkan.

Pipi Raden meninggi, “emang kamu masih inget?”

Julian menggeleng.

Raden tertawa.

Tuh, kan.

Bahkan hal-hal kecil dapat membuat tawa Raden melebar.

Setelah asyik membahas berbagai topik—sedikit mengingat momen awal pertemuan dan membahas kegiatan hari ini—keduanya terdiam.

Julian mengamati orang-orang yang berlalu lalang—beberapa asyik bercakap; sisanya asyik mengabadikan gambar.

Sedangkan Raden memandangi warna jingga yang terhampar di langit sore. Matanya terus bergeser hingga jatuh pada lelaki dengan sweater hijau di sampingnya.

“Kamu nervous nggak?” Tanya Julian tiba-tiba—membuat pandangannya dan Raden saling tabrak.

Raden mengerjap beberapa kali, “nervous?”

Julian mengangguk, “aku tadi nervous banget pas jemput kamu.”

Mata Raden melebar—tertarik, “kenapa?” Ia tak menyangka Julian akan merasa gugup hanya karena menjemputnya.

“Aku takut bakal ditanyain sama Oma, bayanginnya aja udah bikin aku bingung mau jawab apa.” Julian menunduk sejenak, “takut juga aku salah pake baju, takut bikin kamu ilfil atau bikin salah dan kamu nyesel udah pacaran sama aku.”

Penjelasan itu membuat lengan Julian mendapat tepukan pelan dari Raden, “Mas!” Serunya—setengah terkejut mendengar ucapan kekasihnya, “kita baru tadi pagi jadian, lho! Masa udah mikir sampe situ.”

“Ya gimana namanya juga nervous, mikirnya sampe mana-mana.”

Raden terkekeh pelan.

Iya juga.

Mungkin tadi Raden tak terlalu memikirkannya. Namun karena mendengar Julian membahasnya langsung, sebuah ketakutan ikut terbesit di benak Raden.

Bagaimana jika hubungan mereka hanya sementara?

Bagaimana jika hubungan mereka tak bisa berlabuh di akhir yang ia inginkan?

Bagaimana jika jalan yang dipijaknya sekarang hanya akan menjadi jalan yang pernah ia lewati untuk membawanya ke jalan lain?

“Kok bengong?”

Raden tersadar dari lamunan.

“Mikirin apa?”

Sebuah gelengan dan gumaman, “nggak,” menjadi jawaban Raden.

“Lho?” Satu alis Julian terangkat, “ngomong aja kalo ada yang mau diomongin.”

Raden menggigit bibir, pikirannya barusan hanya akan merusak suasana, 'kan?

“Bilang, dong.” Raden terkejut saat Julian meraih tangannya lalu mengusapnya pelan, “katamu aku bisa diajak ngomongin banyak hal.”

Dibujuk demikian membuat pipi Raden sontak memerah dan ketakutannya runtuh. Ia menjadi dua kali lebih tenang, seolah seluruh takut telah diusap dari tubuh.

“Nggak apa-apa, Mas.” Raden menatap punggung tangannya yang masih terbalut tangan Julian, “aku tadi kepikiran, gimana kalo hubungan kita nggak langgeng—kalo akhirnya kita nanti putus?”

Ah....

Julian memahami ketakutan Raden. Terlampau paham. Ia juga sempat memikirkannya. Ia juga sempat takut—apalagi berkaca dari hubungannya yang telah lalu.

“Aku tadi juga mikir gitu.” Julian ikut menatap tangan kecil Raden dalam genggamannya.

Dua alis Raden terangkat, oh?

Alih-alih menjawab rasa penasaran Raden, Julian justru melepas genggamannya lalu beralih mengusap rambut Raden pelan.

Matahari makin menukik dan cahayanya berlomba dengan dedaunan untuk menyentuh rerumputan.

Tangan Julian yang membentang di samping Raden membuat cahaya matahari sukses terhalang.

Wajah Julian terasa begitu dekat. Raden mengamati mata Julian yang menatapnya lembut dan bibirnya yang menyungging senyum.

Rasa-rasanya, Raden tak pernah sedekat ini menatap wajah Julian.

“Menurutku nggak apa-apa kalo kita putus.”

Raden tersentak, tak menyangka akan mendengar ucapan itu dari mulut Julian, “kok?”

“Eh, maksudnya gini,” Julian segera memutar posisi duduknya agar seutuhnya menghadap Raden, “maksudnya, aku mikir, nggak apa-apa kalo ternyata kita emang harus putus.”

“Kok gitu?” Raden menggigit bibir. Mengapa Julian terlihat tak ragu melepasnya?

“Aku tau aku nggak akan gampang nyerah buat kamu, aku juga tau kamu nggak akan sembarangan ngajak putus.”

Raden terdiam.

“Kalo emang jalannya putus, berarti itu emang keputusan paling baik yang bisa kita ambil.”

“Kamu sepercaya itu?”

Julian mengangguk, “kamu nggak percaya sama hubungan kita?”

Raden tak dapat menjawab.

Mungkin ini sebabnya orang-orang mengatakan 'nikmatin aja' saat suatu hal menyenangkan terjadi. Momen menyenangkan yang dinikmati akan menjadi kebahagiaan sementara momen menyenangkan yang dipikir dalam akan menjadi beban.

“Raden, aku selalu serius sama apapun yang aku lakuin.”

Dan kalimat itu tak membuat kabut di kepala Raden berhambur. Batinnya berkali-kali mengamini ucapan Julian.

Iya, Raden tau, Raden sudah tau. Julian memang serius, Julian selalu serius. Itu sebabnya dua kali Julian pacaran, dua kali pula ia menikah, dua kali pula ia berc—

“Raden.”

Lelaki yang dipanggil segera melirik, “iya?”

“Aku nggak bisa janji bakal terus ada di samping kamu, tapi aku bisa pastiin kamu nggak akan pernah ngerasa sendirian.”

Raden menggigit bibirnya.

“Seberat apapun hal yang kita adepin besok—percaya sama aku—aku nggak akan biarin kamu ngadepin semuanya sendiri.”

Julian kembali menggenggam tangan Raden, “seberat apapun keputusan yang harus kita ambil, at the end, I'll choose you.

Dan mungkin inilah yang membuat Raden kembali jatuh pada Julian.

Lagi, lagi, dan lagi.

Raden menyukai bagaimana Julian menangkapnya sebelum ia limbung pada lubang penuh cemas.

Raden menyukai bagaimana Julian menggenggam tangannya dengan kuat dan lembut.

Raden menyukai bagaimana Julian menyunggingkan senyum seolah ia sedang berada di muara bahagianya.

Bahkan tatap mata Julian seolah memeluk seluruh tubuh Raden—teduh dan hangatnya begitu mendekap dan dekat.

Dan tentunya,

bagaimana kehadiran Julian selalu membuat Raden bertanya puluhan kali pada diri,

kalau jatuh cinta semenyenangkan ini, mengapa tak dari dulu?