Kopi dan Beberapa yang Tersembunyi

cw / tw // harsh words , violence , blood

Tok! Tok! Tok!

Daffa membuka pintu sambil menggerutu pada siapa pun yang menganggunya selarut ini.

“Raib?” Ia menaikkan satu alis.

“Mas Daffa, mau ngopi? Gue tadi beli satu gratis satu.” Jawab Malik—yang berada di dalam tubuh Raib.

Arwah Raib dan Hugo mengekor di belakang.

Daffa mengamati kedua tangan Malik yang kosong, “Boleh, mana?” Tangan Daffa terulur.

Raib dan Hugo saling lirik, “Padahal ditawarinnya ngopi bareng, bukan kopi gratis.” Bisik Raib.

Hugo mengangguk setuju.

Malik tersenyum, “Ada di teras, Mas. Yuk?” Tangannya memberi gestur mempersilakan Daffa untuk melangkah ke teras.

Daffa tak beranjak dari tempatnya, “Ajakin yang lain aja.” Ia siap berbalik untuk menutup pintu.

“Eh, Mas,” Malik menahan pintu, membuat Raib memegang lengan Hugo kuat, “Aduh ngeri banget ngalangin Mas Daffa masuk kamar is not a good option.”

“Yang lain udah tidur. Mas Yudha juga belum pulang. Mending kita ngopi di teras, sekalian cari udara segar,” Lanjut Malik, “Nggak suntuk di kamar terus?”

Daffa terdiam selama beberapa saat, menoleh pada tumpukan kertas di meja dan laptop yang sudah menyala seharian,

“Iya deh, gue matiin laptop dulu.”


Daffa dan Malik tengah duduk di teras. Ada dua cup kopi—yang tentunya memang sengaja membeli dua, bukan satu gratis satu. Selain ditemani angin malam dan bising kendaraan, mereka juga ditemani dua arwah yang duduk tak jauh dari keduanya.

Raib dan Hugo duduk di lantai teras, bersandar pada dinding, mendongak menatap Malik dan Daffa yang duduk berseberangan.

“Mas Daffa suka kopinya?” Malik membuka percakapan.

Daffa mengangguk perlahan, “Lumayan. Tapi kemanisan, buat gue.”

“Biasanya minum kopi apa?”

“Gue prefer americano.”

Jawaban Daffa membuat Malik terdiam selama beberapa saat.

“Mas Daffa sukanya americano,” Bisik Raib dari bawah, “Americano tuh mirip lah sama kopi item dikasih air putih.”

“Nggak ada ampasnya.” Hugo menimpali.

Malik mengangguk paham, “Pasti sering minum kopi ya, Mas?”

Daffa mengangguk, “Hampir tiap hari. Awalnya karena gue pengen begadang buat ngerjain skripsi, lama-lama jadi kebiasaan.”

Malik meraih cup kopi, menyisipnya, sedikit terkejut dengan rasa manis dan sedikit pahit yang menyapa lidahnya, setelah bertahun-tahun menjadi arwah, untuk pertama kalinya ia merasakan kembali rasa-rasa ini.

Pembicaraan terus berlanjut hingga sepuluh menit kemudian. Daffa menceritakan tentang skripsinya yang sudah direvisi dua kali. Malik menceritakan kehidupan kuliah Raib (dengan sedikit bumbu-bumbu agar sisi pemalas Raib tak terlihat), sambil sesekali melempar pertanyaan tentang kegiatan kuliah.

Raib mengamati di bawah dengan mulut ternganga, “Mereka kayak temen akrab.” Bisiknya pada Hugo.

Hugo mengamini, “Nggak keliatan kalau Mas Daffa tiap hari marahin lo.”

Dari percakapan Malik dan Daffa. Raib baru tau bahwa Daffa termasuk mahasiswa yang... teladan. Daffa sudah siap menyusun skripsi sejak semester 6. Ia susun setiap kerangka perlahan. Hingga untuk semester 7 ini semua yang dilakukan Daffa sudah jelas dan terarah. Bahkan dosen pembimbingnya sudah siap menerbitkan skripsi Daffa di salah satu website jurnal ternama.

Raib dan Hugo saling memukul lengan satu sama lain saat Daffa mulai bercerita sedikit tentang Yudha dan sangkut paut lelaki itu dengan skripsinya.

“Gue pengen cepet selesaiin skripsi, pengen cepet lulus, biar bisa cepet nyari kerja yang layak,” Sebuah senyum terukir dari ujung bibir Daffa, “Yah, lo tau lah, Warung Bakso Yudha lumayan sukses, gue nggak enak kalau cuma diem aja liat dia kerja keras.”

Pembicaraan bergulir seputar kuliah. Daffa mulai menceritakan skripsinya lebih rinci. Tema yang diangkat Daffa adalah sesuatu tentang vaksin kanker mulut rahim dan uji komputer—well, mungkin hanya Hugo yang paham apa yang dibicarakan Daffa.

Malik menaruh kembali cup-nya, “Mas Daffa, gue lagi bingung akhir-akhir ini.”

“Masalah kampus?” Daffa ikut menaruh cup-nya.

Malik mengangguk.

“Kenapa?”

“Lo ingat gue ikut kegiatan sukarela untuk cari orang hilang?”

Daffa mengangguk, “Nyari Hugo, kan?”

Malik mengiyakan, “Gue udah coba menelusuri kemana aja Hugo seminggu sebelum hilang, gue udah nanyain semua orang yang ketemu Hugo—Jibran, Yahya, orang rumahnya, Jerri—”

“Jerri?”

“Iya, Jerri sempat ketemu Hugo.”

Daffa mengangguk ringan, tak menanyakan lebih lanjut.

Malik membenarkan posisi duduknya, “Jadi, Mas. Gue udah tanya ke semua orang. Keberadaan Hugo dari tanggal 30 Mei sampai 4 Juni udah jelas, kecuali satu hari, tanggal 1 Juni.”

Daffa terdiam.

“Menurut Yahya dan orang rumah, Hugo pergi makan siang bersama temannya,” Malik menatap Daffa hati-hati, “Tapi gue nggak tahu siapa teman yang dimaksud.”

Daffa melirikkan mata beberapa kali, tampar berpikir, “Susah sih, kalau emang petunjuknya cuma itu. Udah coba tanya temen kampusnya?”

Raib berbisik pada Hugo, “Belom. Ngapain juga orang makan siangnya barang dia, ya nggak?”

“Belum tentu.” Jawab Hugo.

Malik mengangguk, “Udah, Mas. Nggak ada kenalan Hugo yang pergi makan bersama Hugo di hari itu. Tapi,” Ia memberi jeda sesaat, “Ada temannya yang bersaksi lihat Hugo di restoran pizza.”

“Restoran pizza?” Daffa mengulang apa yang didengarnya.

Malik mengangguk.

“Informasi ini penting, Mas. Gue harus tahu kemana Hugo seminggu belakangan—apa aja urusannya. Supaya penyelidikan ini makin lengkap.” Malik menatap Daffa dengan tatapan—sedikit—memelas.

Daffa mengalihkan pandangnya, melihat ujung meja lalu beralih ke pintu depan yang tertutup, “Menurut lo orang yang ketemu sama dia tanggal satu itu pelakunya?”

Malik menggeleng, “Belum tentu,” Ia sedikit mencondongkan badan, “Hugo hilang tanggal 5, selisih empat hari sama makan siang itu. Gue hanya ingin semuanya lebih jelas.”

Ada hening yang cukup panjang. Menyisakan suara kendaraaan di jalanan yang masih lalu lalang dan sedikit klakson dari yang tak sabaran.

Pandangan Daffa masih lurus pada ujung meja.

“Apa susahnya tinggal ngaku aja?” Cibir Raib pelan, “Entar kalau masih nggak ngaku langsung aja ngarang Yahya dikabarin Hugo kalau mereka makan bareng atau ngarang apa kek.” Tangannya meremas lengan Hugo kesal.

“Aduh—ih sabar dulu,” Hugo meraih tangan Raib di lengan lalu menggenggamnya dengan kedua tangan, “Mungkin lagi mikir.”

Cukup lama hingga akhirnya Daffa mengalihkan pandangnya, kembali menatap Malik,

“Dia makan bareng gue.”

“Tuh kan!” Raib menarik tangannya, memukul lengan Hugo sekali lagi.

Malik terdiam, berusaha untuk tak terburu-buru, memberi senyum sebelum kembali bertanya, “Berdua aja?”

Daffa mengangguk.

“Bo'ong banget. Jelas dia makan bertiga bareng Mas Yudha.” Bisik Raib kesal.

“Dengerin dulu.” Hugo balas berbisik.

Malik meraih cup-nya, “Ngomongin apa, Mas, kalau boleh tahu?” Menyesap kopinya yang mulai dingin.

“Ngobrol biasa. Nanya kabar, catch up beberapa hal.” Daffa ikut meraih cup-nya.

Raib mendongak pada Malik, “Utang! Utang! Utang!” Bisiknya kasar dan terburu.

“Nggak ada ngomongin tentang utang?” Malik bertanya dengan nada pelan dan ringan.

Gerakan tangan Daffa terhenti, “Utang?”

Malik mengangguk, “Menurut catatan di rumah Hugo, ada orang yang punya utang sama dia,” Ia menaruh kembali cup-nya di meja, “Nggak heran lah, Hugo sekaya itu, pasti banyak orang yang utang sama dia.”

Malik kembali bersuara ketika Daffa memutuskan untuk meminum kopinya, “Dia pasti sudah terbiasa memberi utang ke teman-temannya,” Mengendikkan bahu seolah utang adalah hal yang remeh, “Apa lagi dia kaya raya, pasti dia nggak peduli uangnya lari kemana.”

Daffa menurunkan cup-nya, “Nggak peduli?”

“Kayaknya dia nggak terima.” Bisik Hugo pada Raib yang hanya dibalas anggukan kuat.

“Iya,” Malik mengangguk, “Orang kaya biasanya seperti itu. Mudah merelakan hartanya.”

Ujung bibir Daffa tertarik, “Hugo nggak kayak gitu,” Ia letakkan cup di meja, “Dia selalu nagih utangnya, minimal seminggu dua kali.”

“Hugo cerita ke Mas Daffa?” Malik langsung memberi tembakan pertama.

“Eh—” Daffa terdiam, tampak membeku untuk beberapa saat, “Iya, waktu itu dia cerita gitu.” Lanjutnya.

Pukul setengah sebelas. Angin malam bertiup dari balik punggung Daffa, lurus-lurus hingga menerpa wajah Malik. Memberi rasa sejuk dan dingin di saat bersamaan.

Raib sempat menoleh ke arah jalanan dan langsung membulatkan mata, ia memukul lengan Hugo pelan dan menunjuk ke area jalanan.

Hugo ikut menoleh, ikut membulatkan mata. Ia segera berdiri, berbisik di telinga Malik, “Malik, ada Mas Yudha. Dipercepat atau kita lanjut besok aja.” Lalu kembali duduk di samping Raib.

“Ngobrol bertiga aja!” Usul Raib yang langsung mendapat kibasan tangan tak setuju dari Hugo.

Malik mengangkat wajah, melihat lamat-lama di balik punggung Daffa.

Sesosok lelaki dengan rambut dikuncir bawah sedang berjalan di trotoar, hendak memasuki area halaman kos yang gerbangnya belum ditutup. Tangannya yang satu sibuk memainkan ponsel, tangannya yang lain dimasukkan ke dalam saku celana.

Malik cepat-cepat mengalihkan pandangnya pada Daffa, “Hugo cerita apa aja, Mas? Boleh tahu?”

“Makan siang itu cuma bentar, Hugo cerita—”

Suara langkah Yudha memasuki halaman mulai terdengar jelas, tak butuh waktu lama hingga suaranya ikut terdengar, “Ay? Lagi ngapain?”

Daffa menoleh, “Udah pulang?” Tangannya melirik ponsel, menyalakan sebentar untuk melihat jam, “Tumben?”

“Iya, tadi warung lagi rame banget. Jadi abisnya cepet.”

“Pesugihannya manjur.” Bisik Raib pada Hugo yang langsung membuat Hugo menepuk pelan lengan Raib, “Jangan bilang gitu.”

Yudha menatap Daffa dan Malik (atau tepatnya, tubuh Raib) bergantian, “Kalian lagi ngapain?”

“Oh ini, Raib tadi beli kopi buy one get one free, jadi kita ngopi bareng. Kamu mau? Eh jangan deh, kamu harus istirahat.” Daffa mengusap lengan Yudha yang berdiri di sampingnya.

“Kenapa tadi aku denger tentang Hugo?” Yudha masih tak ada niatan untuk beranjak.

“Ah,” Kali ini Malik bersuara, “Mas Daffa, apa Mas Yudha udah tahu tentang makan siang itu?”

Daffa menoleh cepat, menelan ludah, “Udah.”

“Makan siang apa?” Kini Yudha kebingungan.

“Makan siang bareng Hugo.” Jawab Malik cepat.

Yudha segera menoleh pada Daffa, keduanya bertatapan selama beberapa saat, “Kamu cerita tentang makan siang itu ke Raib?”

“Nah!” Raib berseru, “Liat tuh, matanya Mas Daffa gerak-gerak, pasti dia bingung mau jawab apa.”

“Kenapa bingung?” Tanya Hugo heran, toh Daffa tinggal bilang iya? bukankah sudah jelas kalau Malik—atau Raib—mengetahui tentang makan siang itu?

“Gue yakin mereka makan bertiga,” Raib berbisik pada Hugo, “Kalau Mas Daffa bilang iya, dia takut Mas Yudha ngira Mas Daffa beneran cerita semuanya, padahal dia bilang ke gue kalau dia cuma makan berdua sama Hugo. Kalau Mas Daffa bilang nggak, dia takut dikira bo'ong sama gue.”

Hugo mengangguk paham, “Malik udah tau kalau lo curiga mereka makan bertiga?”

“Nggak ada sedikit pun cerita yang gue lewatin. Malik tau semuanya.”

Setelah acara saling lirik yang cukup panjang, Daffa bersuara, “Aku cerita ke Raib.”

Yudha mengangguk paham, ia berjalan ke ujung teras, mengambil kursi yang memang sengaja ditaruh sana lalu memindahnya ke dekat Daffa, “Kalau gitu, aku ikut ngobrol.”

Daffa tampak gusar, hendak mencegah Yudha, “Ngapain, Ay? Mandi aja deh, kamu nggak capek?”

Yudha menaruh tas selempangnya di meja, “Nggak, aku pengen ngopi juga.”

“Kopinya hanya ada dua, nggak apa-apa?” Malik menimpali.

Yudha mengangguk, “Nggak masalah.” Ia mengambil cup Daffa yang masih sisa setengah, menyesapnya pelan.

“Ay, kita cuma ngobrol-ngobrol santai. Kamu masuk aja.” Ucap Daffa pelan.

Yudha tak membalas, ia masih menegak kopi.

“Betul, nggak apa-apa kalau Mas Yudha mau istirahat, kita cuma ngobrol santai.” Malik menimpali.

Kopi milik Daffa habis ditenggak Yudha, ia menurunkan cup kosong itu.

“Ay, masuk aja, mending kamu istirahat.” Daffa menyentuh lengan Yudha pelan.

Entah karena malam sudah larut atau lelah yang bergelayut, tatap mata Yudha mulai berkilat, ada percikan amarah yang terpancar.

“Emang kenapa sih?!” Yudha meremas cup kosong di tangan hingga tak berbentuk, beberapa tetes kopi mengenai jemarinya, “Kan kita makan bertiga?! Kalau ada yang mau dia tanyain, tanyain sekalian ke aku!”

Ouch.

“Tuh!!” Raib berseru sambil menunjuk Yudha, “Kalian beneran makan bertiga!!” Tangan Raib menepuk lengan Hugo yang langsung ditangkap dan digenggam oleh kedua tangan Hugo, “Dengerin dulu.”

“Ay...” Daffa meremas lengan Yudha lebih kuat dari sebelumnya.

“Makan bertiga?” Malik menaikkan dua alis, ia memajukan badan, menaruh kedua siku di meja, “Tadi Mas Daffa bersaksi dia hanya makan berdua dengan Hugo.”

Yudha menoleh cepat pada Daffa, sedikit melotot.

Daffa melepas pegangannya pada lengan Yudha, bersandar pada kursi lalu menghembuskan napas panjang.

Cengkeraman tangan Yudha pada cup semakin menguat, “Lo juga!” Ia menoleh pada Malik, menaruh gumpalan cup di meja, “Kenapa sih tanya-tanya tentang Hugo ke Daffa? Dia nggak tau apa-apa! Mereka cuma pernah pacaran sekali! Udah lama banget! Kenapa masih diungkit-ungkit?!” Serunya, kali ini emosi telah membakarnya.

“Ini kalau gue di posisi Malik pasti udah minta maaf terus pamit tidur.” Raib bergeser, merapatkan diri pada Hugo.

“Kayaknya Mas Yudha nggak tau kalau Daffa punya utang ke gue ya?” Hugo balas berbisik.

Raib mengangguk, “Kayaknya sih enggak.”

Malik tersenyum, “Mas, gue hanya sedikit nanya. Jibran, Yahya, Jerri, juga gue ajak bicara gini. Nggak bermaksud apa-apa.”

“Nggak bermaksud apa-apa gimana?!” Yudha menyalak. “Oh?” Tiba-tiba dua alisnya terangkat, “Jibran teriak-teriak kayak orang stress waktu itu karena lo tanyain tentang Hugo?” Ujung bibirnya terangkat, “Lo mojokkin dia?”

“Ay!”

Malik mengerutkan dua alis, tak paham dengan ucapan Yudha.

“Jibran, adiknya Hugo, yang gue ceritain siang tadi, kejadian yang bikin dia dicoret dari daftar tersangka.” Raib mendongak, memberi bisikan cepat dan keras pada Malik.

Malik mengangguk pelan, nyaris tak terlihat, “Gue nggak menyudutkan Jibran—”

Yudha berdiri, “Ay, kopimu udah abis. Kita masuk sekarang.” Ia mengambil gumpalan cup milik Daffa, memberi sinyal pada pacarnya untuk ikut berdiri.

Daffa menggigit bibir, ia tampak ragu.

“Malik, tahan Mas Daffa, kayaknya dia ada niatan ngaku!” Raib bangkit dari duduknya.

“Ayo.” Yudha berjalan lebih dulu setelah memakai kembali tas selempangnya.

Daffa bangkit, “Duluan, Raib. Thanks kopinya.”

Raib mendecak saat Yudha dan Daffa berlalu di depannya.

Malik ikut bangkit dari tempatnya, menatap punggung Daffa, tatapannya menajam namun seluruh tubuhnya tenang,

“Gue punya alasan buat curiga ke Mas Daffa.”

Yudha dan Daffa menoleh.

“Maksud lo apa?” Yudha lebih dulu menimpali sebelum Daffa sempat bersuara.

Malik merogoh kertas dari saku celana, tangannya terulur untuk menunjukkan kertas utang yang dulu ditemukan di tempat sampah Daffa.

Daffa tampak terkejut sementara Yudha berjalan kembali dari pintu depan, mendekati Malik.

“Mas Daffa punya utang banyak ke Hugo, sampai sekarang masih sisa dua puluh lima juta.”

Yudha menutup mulutnya yang ternganga, ia menoleh cepat pada Daffa, “Ayang?!”

Daffa mengusap wajahnya kasar, tak mengeluarkan satu kata pun. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, “Ay, maaf aku nggak bilang tentang ini—”

“Sejak kapan?!” Yudha melotot, wajahnya yang lelah terlihat lebih menyala dari sebelumnya, ia hembuskan nafas kasar sebelum menatap Daffa dengan tatapan menuntut.

“Ay—”

“Duitku selama ini...” Ia melangkah perlahan mendekati Daffa, “Hasil kerja kerasku selama ini...” Matanya menatap Daffa nyalang, “Kamu kasih ke Hugo?”

“Ay,” Daffa berjalan mendekati Yudha, “Nggak gitu.” Tangannya meraih lengan Yudha yang langsung ditepis.

Yudha terdiam di tempatnya. Sementara Daffa terlihat jelas sedang malu, ekspresi wajah Yudha tak dapat ditebak—terlihat malu, marah, kecewa, kalut, ragu—sedetik kemudian semuanya tersapu wajah datar dan gigi yang menggertak.

Yudha kembali berbalik pada Malik, “Terus kenapa kalau Daffa punya utang?!”

Raib dan Hugo terkejut saat gumpalan cup yang dipegang Yudha sudah melayang, mengenai wajah Malik.

“Aduh!” Raib menyentuh bagian pipi yang mendadak terasa perih dan panas.

Malik sempat melirik sekilas pada Raib, ia merasa bersalah tak sempat menghindari lemparan cup itu.

“Daffa make duit gue buat ngelunasin utangnya ke Hugo!” Yudha melangkah mendekati Malik. Sosoknya yang lebih tinggi mengintimidasi tubuh yang lebih pendek.

Namun Malik tetap memberi tatapan tenang, “Utangnya lebih mudah lunas kalau Hugo nggak ada.”

Hugo ikut bangkit dari duduknya saat Yudha mendorong leher Malik dengan lengan bawahnya. Arwah itu cepat-cepat menghampiri Raib, merengkuh arwah Raib untuk masuk dalam dekapnya.

DUG!

Malik dibenturkan pada tiang di teras.

“Aduh!” Raib menyentuh belakang kepalanya yang terasa nyeri, Hugo ikut mengusap bagian belakang kepala Raib, “Aduh, sakit ya?”

“Ay!” Daffa segera menghampiri ujung teras.

“Diem di situ!” Yudha menoleh sekilas pada Daffa lalu kembali menatap Malik, ada sedikit heran dalam matanya saat mendapati wajah Malik yang terlihat tenang, seolah kepalanya tak terbentur apa-apa, “Dan, lo, Raib. Jangan ngomong sembarangan.” Desisnya tajam.

Tangan Yudha terus menekan leher Malik, “Ngerti?”

Raib menepuk-nepuk dada Hugo saat merasakan lehernya sesak, “Ahg—anj—”

Hugo baru saja akan mengerahkan energi untuk menahan tangan Yudha, saat tiba-tiba, Malik—dengan tubuh kecil Raib—mencekal tangan Yudha, memberi dorongan kuat lalu memanuver tubuhnya hingga suara benturan kembali terdengar, namun kini Yudha yang terbentur.

Malik juga menekan leher Yudha, karena perbedaan tinggi badan, tekanan dari Malik membuat Yudha mendongakkan kepalanya.

“Ay!” Daffa kini berjalan mendekati Malik, tangannya diulurkan hendak menarik pundak Malik namun lelaki itu lebih dulu menaikkan sikunya lalu memutar tubuh—sekilas, cepat, dan akurat—sikunya menghantam hidung Daffa.

Krek!

Suara retakan terdengar.

“Anjiiiiir!” Justru Raib yang berteriak, terkejut dengan langkah kekerasan yang diambil Malik, “Besok gue dikeroyok balik kayaknya.”

“Mau lo apa, anjing?!” Yudha berseru, tangannya memukuli tangan Malik yang menekannya, berusaha melepaskan diri namun tekanan dari Malik lebih kuat.

“Kau dulu yang pakai kekerasan!” Malik berseru balik, “Sekarang kau pilih! Kita selesaikan pembicaraan ini dengan baku pukul atau dengan mulut?!”

Yudha melirik Daffa yang sibuk menekan hidung karena mimisan.

“Anjir logatnya keluar!” Bisik Raib keras.

“Malik, kalem!” Hugo ikut berseru.

Daffa mendekatkan diri pada Malik, “Raib, lepasin Yudha, kita ngomong di sini.” Tangannya yang satu sibuk menahan darah dari hidung sedang tangan yang lain meraih pundak Raib.

“Sekarang kita tumpahkan semua di meja!” Malik kembali berseru, seiring dengan tekanannya yang makin kuat pada leher Yudha, “Daffa, kau tahu bagaimana pacarmu ini hasilkan rupiahnya?!”

Yudha melotot.

Daffa mengernyitkan dahi, “Hah?”

“Logatnya ditahan dulu!” Raib berseru dari belakang.

“Malik, jangan lupa pakai Mas!” Hugo ikut menimpali.

Malik mendekatkan wajahnya pada Yudha, “Orang ini, penganut ilmu hitam.”

BUGH!

Kaki Yudha menerjang, memukul mundur tulang kering Malik.

“Anjriiiiit!” Raib yang berseru, ia nyaris terjatuh namun Hugo menahan tubuhnya, “Malik, lo pura-pura sakit lah anjrit. Aduh sakit banget.” Ia mengusap tulang keringnya.

“Malik, hari ini kita cuma mau tanya-tanya ke Mas Daffa, jangan nanyain Mas Yudha dulu!” Hugo berseru sambil ikut mengusap tulang kering Raib.

Akhirnya Malik mundur, melepas cekalannya pada leher Yudha, membuat lelaki itu terbatuk.

“Ilmu hitam... maksudnya apa?” Suara Daffa terdengar dari balik punggung Malik.


Ketiganya terduduk di kursi teras.

Setidaknya membutuhkan waktu sepuluh menit hingga ketiganya sudah tak saling serang. Kopi Malik sudah tumpah membasahi meja. Masih ada bekas merah di leher Yudha dan Daffa masih merasakan nyeri menjalar di hidungnya.

Hugo dan Raib berdiri di samping Malik. Berjaga-jaga, untuk komunikasi yang lebih mudah—dan untuk menahan agar Malik tak lagi menggunakan jalan kekerasan.

“Ilmu hitam tadi, maksudnya apa?” Daffa yang membuka percakapan.

“Tanya Mas Yudha.” Malik menunjuk Yudha dengan dagunya.

“Ay?” Daffa menoleh.

“Takutnya,” Malik menyela, “Mas Yudha menjadikan Hugo sebagai tumbal.”

“Mulut lo!” Yudha melotot, tangannya siap melempar tas selempang di pangkuan.

“Ay?” Daffa sekali lagi meminta konfirmasi, “Coba jelasin?”

Yudha tak kunjung membuka mulut, ia membuang muka dari Daffa.

“Dia pasang pesugihan.” Ucap Malik akhirnya.

“Malik, sabar!” Hugo berdesis gemas yang langsung mendapat balasan dari Raib, “Malik udah bener tau! Kalau nggak dipancing Mas Yudha nggak bakal buka mulut!”

“Ay?!?!” Tangan Daffa meraih lengan Yudha, wajahnya mengintip wajah kekasihnya yang masih berpaling, “Ay coba—”

“Oke!” Yudha akhirnya menoleh, “Iya! Aku emang pakai penglaris buat baksoku!”

Raib dan Hugo secara bersamaan menutup mulut masing-masing yang ternganga.

“Anjrit, gue nggak akan makan bakso lagi seumur hidup.” Caci Raib di tengah rasa terkejutnya.

Daffa mematung di tempatnya. Malik masih menunggu penjelasan Yudha.

Setelahnya hanya ada sepi di sekitar dan suara jangkrik dari kejauhan, suara Yudha kembali menyeruak,

“Tapi gue nggak numbalin siapa pun!” Ucap Yudha dengan nada rendah.

“Bo'ong banget, mana ada pesugihan tanpa tumbal?” Cibiran Raib kembali terdengar.

“Bunga di halaman belakang,” Yudha tampak ragu sebelum melanjutkan kalimatnya, “Itu syarat penglarisnya, tiap seminggu sekali harus disiram pakai darah ayam jago.”

Hening.