Lain di Mulut, Lain di Hati

“Kegalapan mengingatkanmu pada apa?” Raden—dengan kemeja biru dongker dan kaos putih, menyandarkan satu bahu di rak buku. Tangannya memegang buku persegi yang cukup tebal.

“Hmm...” Julian—berdiri setengah meter dari Raden, menggumam pelan, ia sempat membuang pandang pada rak di kanan kiri.

“Jangan lama-lama jawabnya!” Seru Raden, “Sebutin aja apa yang lewat di pikiran kamu.”

“Malam.” Akhirnya Julian mengemukakan jawaban yang sudah sejak tadi mengitari pikiran.

“Kenapa jawab gitu aja lama?” Kekeh Raden pelan, ia menyerahkan buku tebal itu pada Julian.

“Aku nggak mau ngasih jawaban yang klise.” Jawab Julian jujur. Tangannya sigap meraba buku berisi pertanyaan itu, terus bergeser hingga ke sisi buku, lalu membuka sembarang halaman di tengah buku.

“Pelangi mengingatkanmu pada apa?” Lelaki dengan kemeja merah muda itu membacakan pertanyaan yang didapat.

“Wah, pertanyaaannya mirip,” Komentar Raden sebelum menjawab, “Pelangi ya... aku keinget cerita itu... yang katanya di ujung pelangi ada emas.”

“Oh!” Dua alis Julian terangkat, “Aku tau mitos itu.”

Keduanya terus melanjutkan permainan yang telah mereka lakukan dua puluh menit belakangan.

Raden dan Julian tak menemukan buku yang diinginkan Eyang setelah mengelilingi toko buku dari ujung ke ujung. Akhirnya mereka memutuskan berjalan santai sambil melihat koleksi buku-buku di rak.

Awalnya, Raden hanya iseng menunjuk buku yang sampulnya mirip dengan buku yang dulu menjadi hadiah pernikahan untuk temannya. Namun, kini keduanya justru tertarik untuk memainkan buku tersebut.

Buku berisi ratusan pertanyaan. Isinya benar-benar hanya pertanyaan. Raden dan Julian bergantian memilihkan pertanyaan untuk satu sama lain.

Toko buku siang itu tak terlalu ramai. Raden dan Julian berdiri di salah satu lorong rak buku. Beberapa pengunjung sempat lewat di samping keduanya.

“Apakah umur panjang penting buatmu?” Satu tangan Raden naik, membenarkan posisi kaca mata.

“Penting.”

“Kenapa?”

“Kok pertanyaannya jadi beranak gitu?” Julian memandang Raden jahil.

Raden tertawa, “Masa iya jawabnya cuma gitu doang?”

“Oke...” Julian menggaruk ujung dagu, bergumam pelan, “Karena masih banyak hal yang pengen aku lakuin.”

Tubuh Raden ditegakkan, ia cukup penasaran dengan jawaban Julian, “Contohnya?”

“Contohnya...” Mata Julian melirik puluhan buku yang tersusun rapi di rak dengan berbagai judul. Ia menelusuri dari buku yang tepat berada di sampingnya hingga buku yang berada tepat di samping Raden.

Sebuah buku menarik mata lelaki berlesung pipi itu,

Love Looks Pretty on You

Lalu pandangnya jatuh pada mata Raden.

Lihatlah, lelaki di hadapan Julian sekarang, wajahnya cerah dibasuh terang lampu toko buku. Dua tulang pipi meninggi akibat ujung bibir yang naik. Lalu matanya, berbinar penuh tanya.

Jika Julian boleh jujur, beberapa hari belakangan cukup berat untuknya. Beberapa pesaing mulai muncul hingga ia harus memutar otak untuk mempertahankan eksistensi tokonya. Belum lagi harga barang yang mulai tak stabil, otaknya seperti diperas, ia bagai terjun di medan perang sendirian.

Tapi, hari yang berat itu, seolah tertinggal di belakang.

Keberadaan Raden sekarang benar-benar meringankan pundaknya.

Kenapa ya?

Mungkin karena tawa renyah yang memasuki telinga dengan permisi?

Atau karena binar mata yang tak padam?

Oh, atau karena tutur kata lembut yang selalu diiringi senyum hangat?

Julian mengulum bibir, berusaha menahan senyum lebar yang tiba-tiba ingin berkibar di wajahnya.

“Contohnya?” Tanya Raden saat dirasa Julian tak kunjung melanjutkan kalimat.

“Jangan ketawa.” Lesung pipi Julian lebih dulu menyapa, membuat senyum yang berusaha disembunyikan justru terlihat jelas.

Di sisi lain, Raden makin penasaran, “Emang apa?”

“Pacaran.”

Raden tertawa.

“Kan udah dibilang jangan ketawa.” Bukannya kesal salah satu impiannya ditertawakan, Julian justru ikut tersenyum.

Sorry, Mas,” Satu tangan Raden terangkat, menelusup di balik kaca mata untuk mengusap air mata yang muncul karena tawanya, “Aku kira kamu bakal ngomong sesuatu yang wah. Taunya...” Ia terkekeh pelan.

Semburat merah terbit dari pipi Julian, “Pacaran juga wah, tau.” Ia membela diri.

“Iya.” Senyum Raden masih bertahan di wajah.

“Abis pacaran terus nikah.”

“Iyaa.”

“Aku bakal nikah terus bahagiain banyak orang.” Entah mengapa, Julian merasa harus membuat pembelaan saat melihat Raden yang mulai terpingkal mendengar ucapannya.

“Emang kamu mau nikah sama berapa orang?” Wajah Raden memerah karena menahan tawa.

“Enggak nikah sama banyak orang,” Dua alis Julian terangkat, ia tak terima, “Maksudnya aku bakal bahagian pacarku, keluarganya pacarku, temennya pacarku, Mama, kan pasti banyak yang ikut seneng kalau aku nikah, kalau perlu tetangganya pacark—”

“Iya, iya.” Tawa Raden makin kencang, tangannya yang lain meraih lengan Julian untuk membuatnya berhenti membela diri, “Aku paham kok.”

Seluruh tubuh Julian membeku.

Alun nada dari pengeras suara sayup-sayup terdengar. Namun dua telinga Julian hanya dapat mendengar tawa Raden yang menyapu telinganya bagai debur ombak menyapa bibir pantai.

Kemeja yang ia kenakan memang berlengan panjang, namun bahannya cukup tipis. Ia masih dapat merasakan jemari Raden melingkari lengan.

Suhu ruang di sekitar keduanya dua puluh empat derajat celcius. Namun rasa hangat menjalar dari lengan Julian yang disentuh telapak tangan Raden, perlahan kehangatan itu mengalir, melewati pembuluh darah, melawan arus hingga mengetuk jantung.

Deg.Deg.Deg.Deg.Deg.

Julian dapat mendengar detaknya sendiri.

Tak berhenti sampai di situ, hangat yang menyentuh Julian terus menelusuri seluruh tubuh. Rasa kesal yang memang hanya seujung kuku segera terusir diganti rasa aneh yang membuat ribuan kupu-kupu seolah berterbangan di perut.

Lalu, sedetik kemudian, seluruh kupu-kupu itu terbang, mengudara hingga wajah. Lelaki itu dapat merasakan panas yang menyebar hingga kedua telinga.

Ah...

Satu tangan Julian refleks naik, menutup wajah sendiri. Ia sadar wajahnya sedang memerah.

“Malu ya sama omongan sendiri?” Raden menebak saat melihat dua telinga Julian tak kalah merah dari wajah. Ia menarik tangannya.

Oh, no.

Julian dapat merasakan kekosongan di lengan.

Seolah seseorang baru saja merenggut paksa kehangatan yang dirasa. Seolah menarik tangan adalah tindakan yang salah. Seolah ia ingin tangan mungil itu kembali diletakkan di sana.

Julian menggelengkan kepala. Mengusir keinginan untuk meraih tangan yang perlahan menjauh darinya.

“Gantian kamu.” Raden menyerahkan buku hitam yang digenggam sebelumnya pada Julian.

Tangan Julian terulur—menerima buku itu, dan...

Bzzzzt.

Julian dapat merasakan sengatan listrik di ujung jari saat ia tak sengaja menyentuh jemari Raden.

Oh, my good God.

Julian menelan ludah.

Baru kena jari doang, Julian.

Lelaki itu berkali-kali menenangkan seluruh organ tubuh yang bekerja tak semestinya.

Julian berdeham, tangannya membuka buku sembarang, “Bagaimana hari yang menyenangkan versi kamu?”

Oh, pertanyaan yang tepat.

Julian juga ingin tau.

“Hari yang menyenangkan?” Raden mengulang pertanyaan yang diajukan padanya dengan nada yang lebih rendah.

Hari di mana gue nggak kepikiran Helmi. Jawab Raden dalam hati.

Tapi tak mungkin ia menjawab demikian.

Kalau dipikir-pikir, kapan terakhir ia merasa harinya menyenangkan ya?

Seluruh hari terasa sama untuknya.

“Hari yang banyak senengnya.” Jawab Raden akhirnya, setengah asal-setengah serius.

“Hari ini?” Tanya Julian.

Raden terdiam. Sebenarnya, kalau menurut apa yang dikatakan hatinya, hari ini tak menyenangkan (efek dari semalam). Sedang menurut apa yang dikatakan mulut, hari ini (berpotensi) menyenangkan.

Raden membalas dengan anggukan singkat.

Hanya sebuah anggukan.

Namun senyum Julian melebar, amat lebar hingga lesung pipinya mendalam.

“Gantian.” Raden meminta buku dari tangan Julian.

Tangan Raden menerima buku hitam itu, lalu membukanya asal, “Apa yang membuatmu khawatir akhir-akhir ini?”

Julian menggigit bibir, menahan lidahnya agar tak mengucap kamu.

Bagaimana Julian tak khawatir? Lelaki di depannya baru saja membuatnya ketar-ketir.

Seluruh gerak yang mendebarkan.

Seluruh tatap yang menghanyutkan.

Seluruh ucap yang melumpuhkan.

Julian khawatir, lelaki di hadapannya akan mengitari kepalanya sampai waktu yang tak ditentukan.

Mengkhawatirkan.

“Mas? Kok malah senyum-senyum?”

Eh?

Ujung bibir Julian segera diturunkan, ia berdeham, “Yang bikin aku khawatir akhir-akhir ini, ya?”

Raden mengangguk, “Ada nggak?” Ia menunggu dengan seksama, ingin tau apakah lelaki seperti Julian memiliki kekhawatiran tertentu.

“Ada.” Jawab Julian mantab.

“Apa?”

“Harga minyak goreng akhir-akhir ini naik drastis.” Jawab Julian. Sebenarnya jawaban ini bukan jawaban asal, hanya saja kekhawatiran ini ada di urutan sekian.

Sementara Raden terdiam selama beberapa saat sebelum menjawab, “Cemas banget ya?”

“I—iya.” Jawab Julian kikuk.

“Aku kasih pertanyaan lain ya?” Tanya Raden yang sebenarnya tak butuh jawaban karena ia langsung menutup kembali buku yang dipegang lalu dibuka asal.

“Kok gitu?” Julian terkekeh.

“Nggak salah sih kamu khawatir sama harga minyak,” Raden menggaruk tengkuk yang tak gatal, “Tapi itu... kekhawatiran yang terlalu luas,” Ia tampak canggung menjelaskan—takut terdengar meremehkan kekhawatiran Julian, “Maksudnya... ada puluhan menteri yang khawatirin hal ini juga, bahkan—mungkin mereka lagi rapat bareng dewan rakyat buat ngatasin kekhawatiran kamu...”

Julian mau tak mau tertawa, “Terus harusnya aku jawab gimana?”

“Yang lebih personal gitu, kekhawatiran yang cuma bisa kamu atasin sendiri.”

Sayangnya, Julian tak dapat memikirkan kekhawatiran lain selain cemas yang ada dalam benaknya, Raden.

Bukankah Julian merasa seluruh bebannya terangkat saat ada Raden?

Lalu apa yang tersisa?

Jawabannya hanya satu, kamu.

Namun lidah Julian tak akan mampu mengucapnya.

“Ya udah, ganti pertanyaan lain aja.” Jawab Julian akhirnya.

“Apa yang kamu lakukan untuk mengobati lelah?” Raden membaca kalimat yang tercetak di buku.

Astaga...

Bagaimana kalau setelah ini semua pertanyaan yang diajukan jawabannya adalah Raden?

Raden benar-benar mengkhawatirkan.

“Ngobrol sama orang.” Jawab Julian, kali ini ia 80% jujur. Hanya tak menyebutkan nama.

“Sembarang orang?” Tanya Raden lebih jauh, “Atau orang tertentu?”

Kamu.

“Temen,” Jawab Julian, pandangnya dilempar ke buku di samping, “Keluarga, tetangga, temen kantor dulu, banyak.” Ia mengangguk perlahan, seolah yakin dengan jawaban sendiri.

“Oh, iya juga sih, kamu emang sering ngobrol sama banyak orang.” Raden ikut mengangguk pelan.

“Giliranku.” Julian meminta buku dari tangan Raden lalu dibuka sembarang.

Oh, tidak.

“Apa Mas pertanyaannya?” Raden lebih dulu bertanya saat dirasa Julian justru terdiam.

“Mengapa...” Julian menggigit bibir, menimang haruskah ia membaca pertanyaan ini atau menggantinya.

“Mengapa?”

Tapi, Julian juga ingin tau, “Mengapa kamu masih memikirkan dia?”

Hening menyertai keduanya.

Toko buku semakin ramai, Julian sempat memiringkan tubuh karena beberapa orang mulai berjalan melewati lorong tempatnya berdiri.

“Dia...” Raden ragu menjawab, “Siapa?”

Julian juga ragu menjawab, ia harap dia yang dimaksud adalah dirinya sendiri, tapi tak mungkin 'kan? Masih ada nama lain yang mengisi posisi itu.

“Yang ada di pikiranmu pas denger kata dia, siapa?”

“Helmi?”

Lengang.

“Kamu udah tau jawabannya, sini langsung gantian aja.” Tangan Raden terulur, hendak mengambil buku hitam dari tangan Julian.

“Bentar,” Julian menahan buku yang dipegang, “Kamu...” Ia menatap lurus-lurus mata Raden, “Masih sayang sama dia?”

Raden mengerjap beberapa kali. Jantungnya berdentum hanya karena mendengar pertanyaan empat kata itu.

“Enggak.” Jawabnya kemudian, suaranya tegas.

Julian mengulum senyum, ia menyerahkan buku hitam yang dipegang pada Raden.

“Wah, menarik,” Komentar Raden setelah membaca sekilas pertanyaan yang akan diajukan, “Bagaimana cinta pertamamu berakhir?”

“Dia nikah sama orang lain.” Jawab Julian tanpa ragu—seolah ia telah sering membawa cerita ini bersamanya.

Hah?

“Serius?” Dua mata Raden membulat, “Kamu ditinggal nikah?”

Julian mengangguk, “Aku naksir dia dari SMA, tapi nggak berani bilang.”

“Mas...” Raden menutup mulutnya yang ternganga, “Jangan-jangan...”

Dahi Julian mengernyit, jangan-jangan?

“Pas kamu bilang kamu dateng ke tunangan orang pagi-pagi itu...”

Julian menggeleng, terkekeh, “Bukan, bukan. Dia nikahnya pas aku masih kuliah.”

“Kamu nyesel nggak, Mas?”

“Dulu? banget,” Julian mengistirahatkan satu tangan di rak, “Sebelum nikah dia confess duluan ke aku.”

Dua mata Raden makin membulat, ia menutup mulutnya yang ternganga dengan buku di tangan, “Terus? Kamu bilang nggak kalau kamu juga—”

“Nggak.” Julian menggeleng mantab, “Bisa ancur pernikahannya kalau sampai aku confess juga.”

“Sekarang dia udah bahagia, kok.” Lanjut Julian dengan senyum simpul di wajah, “Udah punya istri sama anak lucu-lucu. Aku juga udah lupain dari lama.”

Oh... wow.

Sekarang semua kalimat Julian saat itu terdengar lebih masuk akal untuk Raden.

Katanya, kita hanya sanggup disembuhkan oleh yang pernah terluka dan diperbaiki oleh yang pernah patah, karena mustahil ia mengerti tanpa pernah merasa.

Benar.

Julian memiliki masa hidup enam tahun di atas Raden, tentu ada banyak hal yang telah dilalui.

Disakiti dan menyakiti.

Dilupakan dan melupakan.

Mungkin ada lebih banyak hal yang terjadi di balik jernih pikir di kepala Julian.

Benar.

Bahkan gelas sebening apa pun tak pernah mengira; air yang ditampung pernah direbus hingga mendidih.

“Kok bengong?” Tangan Julian terulur, ia nyaris—amat nyaris—menusuk pipi bulat Raden dengan telunjuknya.

Namun tangannya terhenti.

Entar kalau jadi canggung gimana?

Sedetik kemudian Julian mengibaskan tangan di depan wajah Raden, seolah sedang melambaikan tangan untuk menyadarkan lelaki berkemeja dongker itu dari lamunannya.

“Aku nggak bisa bayangin kamu senyesel apa.” Mata Raden menatap Julian penuh bela sungkawa.

“Udah lewat. Nggak apa-apa,” Julian mengambil buku hitam dari genggaman Raden, “Nggak usah dibayangin.” Ia terkekeh.

Mata Julian terfokus pada buku di tangan.

Oh, pertanyaan yang tepat.

Julian tersenyum sekilas sebelum membacakan pertanyaan di buku, “Siapa yang membuatmu ingin menikah?”

Namun Julian tak menyadari sepenggal tanya itu membuat pikiran Raden teraniaya.

Dulu, Raden membayangkan jalan hidupnya dengan sederhana.

Kuliah, kerja, lalu membangun rumah tangga,

bersama Helmi.

Namun kepergian Helmi memunculkan kompleksitas baru di perjalanan. Seolah satu pilar besar baru diloloskan, membuatnya tak seimbang dan jatuh perlahan.

Raden tak mampu lagi membayangkan masa depan.

Yang penting masih hidup.

Adalah satu-satunya bekal yang ia bawa hingga sekarang.

“Siapa ya,” Raden membasahi bibir yang terasa kering, “Nggak ada.”

“Mungkin liat temenmu yang udah nikah, terus kepengen?”

Raden menggaruk dahi yang tak gatal.

Siapa yang udah nikah? Helmi? Yoshi?

Ia tak menginginkan dunia pernikahan hanya karena melihat orang lain menikah. Raden paham betul kerumitan sebuah rumah tangga.

Seolah dua orang menaiki satu sampan di tengah lautan. Tak ada yang tau kemana arus akan membawa.

“Aku nggak ada pikiran buat nikah, Mas.” Ucap Raden setelah menimang beberapa jawaban.

Nggak ada atau belum?” Tanya Julian hati-hati.

“Itu...” Raden juga tak tau, ia tak tau apakah keputusannya akan terus seperti ini atau berubah di kemudian hari, “Belum, mungkin?—eh nggak tau juga, Mas.”

“Bisa jadi emang belum,” Julian mengangguk menyetujui, “Kadang gitu, ada beberapa hal yang harus dicoba dulu baru kita suka.”

Dua alis Raden bertaut, mencoba memahami arah pembicaraan Julian.

“Yuk.”

Hah?!

“Ke bioskop, filmnya udah mau mulai.”