Lapangan
TW // Fight, blood, violence, harsh words, mentioning post trauma.
“Gue benci liat muka lo.” Menjadi kalimat sambutan saat Naim sampai di lahan kosong di belakang Hotel Neo.
Separuh lahan sudah digunakan untuk konstruksi bangunan baru namun proyek ini sudah mangkrak lebih dari satu tahun.
Satu-satunya jalan masuk menuju lahan ini adalah jalan kecil yang belum diaspal. Motor Musa terpakir di dekat jalanan, sedangkan motor Naim berada di dekat bangunan setengah jadi.
“Lo pikir gue suka?” Naim berjalan mendekat. Ia masih mengenakan kaos putih dan celana training hitam, ia hanya sempat mengambil sandal slipper yang selalu ada di depan kamar kosnya.
“Mana Regan?” Musa yang mengenakan kaos hitam dan celana training menatap tajam Naim.
Jarak mereka empat meter.
“Di kos. Aman.”
Musa yang awalnya bersandar pada motornya mulai maju perlahan,
“Lo ngapain pindah ke Neo? nyari mati?”
Naim memicingkan matanya, “Gue mau sekolah disini. Nggak ada urusan sama lo atau siapapun.”
Musa menyeruak dan menarik bagian leher kaos Naim, “Oh ya? terus kenapa pacar gue ada di kos lo?” Matanya melekat pada Naim, kilatan emosi menyambar dari kedua matanya.
Naim terkejut, rasa sesak melingkari lehernya, “Bukannya gue yang harusnya nanya? apa yang udah lo lakuin ke pacar lo?”
Musa mengeratkan tarikannya pada kaos Naim, “Bukan urusan lo.”
“Jelas urusan gue!” Naim mendorong Musa kuat-kuat, membuat lelaki berkaos hitam itu mundur, nyaris kehilangan keseimbangan.
“Dia ijin mau nginep di rumah lo!”
Naim mengambil langkah maju.
“Tiba-tiba dia dateng ke kos gue dengan keadaan—”
Langkahnya terhenti,
“Sekacau itu.” Desisnya tajam.
Tangannya meloloskan satu tinju pada pipi Musa, membuat Musa terhuyung ke belakang.
Naim tak memberi jeda, ia menarik bagian leher kaos Musa dan tangan lainnya melayangkan tinju bertubi-tubi.
“Hiro bilang gue nggak tau apa-apa tentang Regan!”
Satu tinju dilayangkan.
“Lo yang nggak tau apa-apa!”
Tinju berikutnya dilayangkan.
Emosinya meletup-letup saat mengingat bagaimana keadaan Regan saat menunggunya di ruang tamu dan bagaimana Regan meneteskan air mata di depannya.
Tangan Musa mencekal tangan Naim yang mencekiknya, kakinya menjejak bagian perut Naim hingga membuatnya terdorong ke belakang.
Musa mengusap darah segar yang mengalir dari ujung bibirnya.
Diludahkan darah segar yang bercampur dengan air liurnya.
“Maksud lo apa?”
Naim mengusap perutnya yang terasa nyeri, “Lo tau Regan nggak bisa liat orang berantem karena Mamanya sering dipukulin Papanya?”
Musa terdiam.
Naim terkekeh, “Liat! lo nggak tau!”
Kakinya dilangkahkan mendekat, ia mendorong Musa hingga punggung Musa bersentuhan dengan tanah.
Naim bersimpuh di atas Musa, tangannya mencengkeram kaos Musa sekali lagi,
“Lo apain Regan?! dasar bangsat! lo apain dia sampe luka-luka gitu?!”
Tinjunya kembali dilayangkan. Kali ini lebih keras hingga tangannya sendiri terasa nyeri.
Darah segar kembali mengucur dari ujung bibir Musa.
Gue sayang sama Regan, “Brengsek!”
Tinjunya menghantam pipi Musa.
Regan sayang banget sama lo, “Bangsat!”
Satu tinju lain dikenakan.
Gue relain Regan buat lo, “Bedebah!”
Tinju berikutnya diloloskan.
Gue kira Regan bakal bahagia sama lo, “Bajingan!”
Satu tinju keras kembali dilayangkan.
Musa hanya terdiam. Ia membiarkan pipi kanan kirinya dihajar Naim. Pipinya terasa nyeri, satu-dua gigi mungkin patah di dalam sana.
Pikirannya dipenuhi Regan.
Kenapa Regan nggak pernah bilang apa-apa sama gue?
Naim menghentikan serangan tinjunya. Kedua tangannya mencengkeram bagian leher kaos Musa,
“Regan bilang, lo juga gitu? dipukulin nyokap lo sampe lo nggak suka dipegang orang lain?!”
Musa memandang Naim tajam saat mendengarnya membahas Bunda.
“Regan cerita sama lo?” Musa mendesis.
Naim tak menggubrisnya, “Jadi itu alesan lo dulu mukulin temen gue? karena lo nggak suka dipegang? karena dia nyenggol lo di arena?”
Musa tak menjawab, ia hanya menatap tajam mata Naim yang terpaut beberapa senti di depannya.
“Lo nggak suka dipegang tapi lo suka mukulin orang lain? Lo bahkan mukulin Regan?” Naim mengeratkan cengkeramannya, membuat Musa nyaris kehabisan napas.
Angin pagi berhembus mengitari keduanya. Suara kendaraan dari jalan raya mulai terdengar. Dunia sudah bergerak, pagi sudah dimulai.
“Musa, lo sama aja sama nyokap lo,” Naim menatap lurus-lurus mata Musa, “Lo juga sama sakitnya sama nyokap lo.” Nadanya rendah, matanya memamancarkan sorot jijik pada Musa.
DUGH!
Musa membenturkan kepalanya pada Naim, membuat Naim limbung dan terjatuh.
Kini Musa yang bersimpuh di atas Naim.
“Jangan bawa-bawa nyokap gue!” Tinjunya menyerang Naim dengan membabi buta, tangannya yang lain mencekik leher Naim.
Ujung bibir Naim robek.
“Lo naksir Regan?” Musa menyeringai, “Lo naksir dia, tapi gimana ya? dia pacar gue.” Ia melepaskan cekikannya pada Naim dan meraih kaosnya.
Naim terbatuk, mengambil udara sebanyak mungkin di sekitarnya.
Musa mencondongkan wajahnya pada Naim, “Lo pikir lo lebih pantes buat Regan?”
Kaki Naim yang baru saja akan menjejak Musa diturunkan, ia memilih mendengar omong kosong Musa, “Jelas.” jawabnya mantab, dagunya diangkat.
Musa terkekeh, “Lo pernah bikin Regan pingsan, lo lupa?”
Naim menaikkan satu alisnya.
“Lo inget pas lo sama temen-temen lo nyariin gue di warung depan sekolah? ada Regan disana.” Musa menyeringai.
Naim terbelalak.
“Dia pingsan. Lo nggak tau?” Musa semakin mengeratkan cengkeramannya pada kaos Naim.
Naim menggertakkan giginya, “Gue nggak mukulin Regan, nggak kayak lo.”
“Gue nggak mukul Regan!” Teriak Musa penuh amarah. Cengkeramannya kembali dieratkan.
“Terus itu apa di pipinya Regan? Lo pikir gue nggak liat?!” Naim mencekal pergelangan tangan Musa, meremasnya kuat.
“Itu—”
Musa tak mampu menjawab.
Naim memanuver tubuhnya, membuat Musa beralih di bawahnya.
Tinjunya lebih dulu sampai di pipi Musa daripada sumpah serapahnya.
Ia marah, pada fakta bahwa Musa menyakiti Regan, pada fakta bahwa ia juga tak pantas untuk Regan.