Life Goes On (With or Without You)

CW // Harsh words

Wow.

Aku sedang duduk di sofa ruang tamu ketika membaca surat dari Regan.

Pertama, suratnya terlalu ganjil.

Apa yang akan Regan lakukan?

Apa yang ingin dianggap sebagai uluran tangan?

Mengapa Regan berjanji?

Mengapa Regan menyebut Bunda seolah ia sedang meggunakan titik kelemahanku?

I have too many questions.

Tiga puluh menit berlalu, pertanyaanku mulai terjawab satu per satu.

Suara ketuk pintu beberapa kali menjadi pembuka jawaban panjang ini.

Aku menghela nafas panjang.

Regan,

ini keterlaluan.


Sebelum menceritakan apa yang Regan lakukan, aku akan menceritakan kehidupanku tiga bulan belakangan.

Aku baik-baik saja.

Semua masih sama, hanya saja tak ada Regan.

Agak sepi karena tak ada pesan selamat pagi/siang/sore/malam. Agak hambar karena tak ada yang membuatku berdebar.

Kadang ia berjalan di pikiranku dan mengajakku berlari di alam mimpi. Kadang aku melihatnya diantara jaketku yang terlipat di atas kursi. Kadang aku mendengar suaranya diantara senandung Tinashe yang menggema di ruangan. Kadang aku membayangkannya meneriakiku di tengah lagu Somebody that I Used to Know. Kadang bisikannya terdengar di film tengah malam yang kutonton sendirian.

Hmmm...

Anyway, semuanya baik-baik saja, hanya tak ada Regan.

Bunda masih pulang seminggu sekali, hanya sekarang waktunya tak pasti. Kadang Senin siang, kadang Sabtu malam, kadang Kamis sore. Aku tak bisa lagi menyesuaikan jadwal mainku dengan jadwal pulang Bunda, jadi aku lebih banyak di rumah.

Sebenarnya, aku cukup tergiur dengan janji Regan.

Katanya, nanti aku bisa memeluk dan tertawa dengan Bunda.

Kalau dipikir lagi, kapan ya terakhir aku memeluk Bunda?

Well... harus kuakui, Regan cukup hebat. Ia menggunakan Bunda dan memberi umpan dengan hal yang paling kudambakan.

Saat membacanya, aku berpikir keras seberapa besar aku akan menolak 'uluran tangan'-nya hingga ia membawa Bunda untuk membujukku.

Dan berikutnya, apa uluran tangan ini ada hubungannya dengan berita perceraian Mama Regan?

Untuk perceraian Mama... aku tak mau banyak komentar. Aku menghargai keputusannya walau sepertinya Mama berurai air mata.

Regan terlihat dingin pada perasaan Mama, mungkin karena perceraian ini adalah garis finish yang telah ia kejar sejak lama.

Aku akan ikut tersenyum jika Regan tersenyum.

Ehm....

Well... now that we discussed about this letter, we should talk about his diction...his phrasing...

Kalian juga merasa janggal dengan kata i miss you too, always love always will? tidak? hanya aku? okay...

Aku menghabiskan sepuluh menit hanya untuk memastikan kalimat itu... memang tertulis begitu.

Jika surat ini memang sebuah bujukan, sekali lagi, Regan memang hebat.

Ia menggunakan dirinya sendiri dan bermain kata denganku. Seolah tau dirinya adalah salah satu kelemahanku.

Oh, aku baru saja bilang Regan adalah kelemahanku? Well, shit, he is.

Hmm... Sebenarnya, tiga bulan belakangan aku kelimpungan.

Oke, to be frankly honest, aku masih menyayangi Regan. Tak kurang bahkan sedikit pun. Menatapnya masih membuat jantungku berdebar keras. Mendengar tawanya membuat aliran darahku lebih deras.

Kalian bayangkan, saat aku melihat siluetnya, jantungku berdegup dan seluruh tubuhku gugup. Saat jarak kami mulai terkikis, adrenalinku terpacu. Aku akan langsung membuang muka—jika aku tetap bersikeras menatap Regan, aku bisa sesak nafas, bet.

Setiap aku memasuki missing and soft hours di malam hari, aku langsung menghubungi Laut. Ia akan memberiku buanyak kalimat, mulai dari kalimat penenang hingga kalimat menampar.

Mulai dari:

Laut : if you truly love him, the only thing that matter is him. You love it when you see him happy. His laugh will be the most beautiful song in your ears. Laut : Let him go, it will be alright.

Sampai:

Laut : lo boleh ngerasa sayang banget, kangen banget, atau gimana-gimana. Tapi jangan berharap apa-apa. Laut: Man, lo sendiri yang ngehancurin hubungan lo, deal with it!

Hingga aku sampai pada keputusan bahwa pilihannya hanya ada dua: aku menarik diri dari Regan, atau aku menghapus Regan dari hidupku.

Keduanya terdengar sulit.

Tapi kulakukan semua.

Aku mulai menghilangkan jejak Regan dari hidupku. Aku menghapus nomor dan memblokir twitter-nya.

Aku juga menarik diri dari Regan. Menghindari berpapasan dan selalu membuang muka.

Klise.

Lebay.

Kekanakan.

Kata beberapa orang.

Tapi kata Laut, Nggak apa-apa! biarin orang lain bilang lo lebay, lo belum berdamai sama masa lalu, atau apa kek, persetan lah ini kan hidup lo, yang ngejalanin elo, yang nyesek malem-malem juga elo. Screw 'em!


Lalu apa yang terjadi dengan ketukan pintu?

Aku membukanya dan melihat sorot mata yang sering membayang tiap aku menutup mata.

Betul, ada Regan.

Situasinya terlalu canggung.

Melihat seseorang yang sering berlarian di pikiranku tiba-tiba sedekat ini. Menatap mata seseorang yang matanya selalu kuhindari.

Bahkan oksigen di sekitarku sepertinya menghindari situasi ini. Nafasku tertahan untuk beberapa saat. Aku lupa cara bernafas.

Aku merasa asing dengan hadirnya di rumahku.

Aku terdiam. Tidak menyapa atau menanyakan kenapa.

“Kak...”

Telingaku akan pecah. Aku mendengar suara yang hanya ada di pikiranku. Memanggilku dengan panggilan yang sudah lama kutanggalkan.

Aku harus membalas apa? dulu aku memanggilnya baby, saat break aku memanggilnya Regan, setelah itu aku tak pernah memanggilnya lagi.

“Oh—eh... Re—Regan?”

Sosok lain berjalan dari halaman, lelaki dengan kaos hitam dan celana jeans belel berdiri di samping Regan.

“Ini nggak disuruh masuk? lo mau bikin gue sama Regan berdiri disini?” Matanya menatapku, menuntut jawaban.

Naim.


Semuanya berlalu dengan cepat. Regan dan Naim hanya datang untuk memberi warning.

Mereka langsung pergi setelah selesai bicara—tepatnya, Naim yang bicara. Ia menjelaskan panjang lebar tentang rentetan peristiwa yang akan terjadi setelah ini.

Konselor, harus rutin per minggu, polisi, bla, bla, bla.

Semua pertanyaanku terjawab. Yang jelas, penawaran ini—sesuatu tentang konseling dan konselor—jelas sesuatu yang akan langsung kutolak. Mungkin itu sebabnya mereka membawa rencana cadangan, menyebut polisi.

Aku memberi tugas pada telingaku untuk mendengarkan sedang mataku sibuk menatap Regan yang lebih sering menunduk di samping.

Regan terlihat agak kurus namun pipinya masih bulat. Aku ingat dulu tanganku sering mendarat di pipinya dan memberi sedikit usapan, atau bibirku memberi sedikit kecupan.

Ia mengenakan kaos putih yang dulu sering ia padukan dengan jaket denim. Sekarang ia tak mengenakan jaketnya, kenapa ya? apa cuaca di luar terlalu panas?

Aku ingat ia dulu selalu mengeluh pada cuaca panas. Aku hanya bisa tersenyum dan menutup wajahnya yang cemberut dengan punggung tangan. Setelah aku pegal baru ia akan berhenti mengeluh dan memijat ringan lenganku sambil tertawa.

Kenangan lain tentang Regan terus menghantuiku seperti angin yang terus mengetuk kaca jendela di belakangku.

Sofa panjang ruang tamu terasa luas karena hanya ada aku yang menduduki. Sedang Regan dan Naim duduk pada sofa single di sebrangku, entah mengapa posisi ini membuatku merasa mereka ada dalam satu tim untuk menjatuhkanku.

“Inget ya, kalau lo atau emak lo nggak dateng, bakal ada polisi yang jemput.” Suara (sok) diktator Naim memasuki telingaku, ingin kuusir namun informasi yang diberikan terlalu menyebalkan untuk dilewatkan.

Aku melirik sekilas pada Naim yang sepertinya jengah karena aku terus menatap Regan. Aku tak pernah melupakan fakta bahwa manusia ini menyukai mantanku dan sepertinya kelewat girang saat kami akhirnya putus—lihat, dia bahkan ikut dengan Regan untuk menemuiku dan sukarela menjadi jubir.

“Apa hubungannya sama polisi?” Tanyaku sangsi.

Sebelum Naim menjawab, aku menambahkan lagi, “Lo nggak bisa seenaknya maksa orang lain do something against their will.”

Naim memutar matanya malas, “Cuy kita hidup di masyarakat ada aturannya, ada sistemnya. Dan sistem ini nggak akan ngebiarin lo jadi samsak emak lo.”

Bukan hanya aku yang memberi tatapan tajam, Regan ikut menoleh dengan mata terbelalak.

Aku mengutuk Naim dengan berbagai bahasa yang kuketahui. Kalimatnya terlalu memojokkan Bunda. Ia tak tau penderitaan macam apa yang dilalui Bunda. Ia tak punya hak mencemooh Bunda di depanku—terutama di depan Regan.

Aku ingin membantah dan melempar setidaknya satu pukulan untuk membungkam mulutnya. Namun ada sisi lain dari diriku yang mengatakan aku harus mengantar Regan keluar sebelum melakukannya pada Naim.

Sial.

Aku meremas ujung sofa untuk menyalurkan emosiku.

“Lagian ya,” Naim kembali membuka mulutnya. Dari kilatan matanya aku yakin dia akan mengucapkan hal bodoh lain.

“Gue bukan bikin orang lain ngelakuin sesuatu against their will, emak lo yang against the law. Jangan kebalik.”

Remasanku pada ujung sofa melemah.