Luka di Atas Luka

TW // Domestic Violence, Post Trauma, Gaslighting Behavior

Disinilah Musa dan Regan sekarang, kamar Musa yang cahayanya hanya berasal dari lampu belajar.

Regan bergetar, ia duduk di pinggir ranjang namun rasanya ia duduk di atas gusar.

By, are you okay?”

Regan menggigit bibir bawahnya.

Ia lebih dari ngeri memandang seluruh luka yang berjajar di wajah Musa. Lebam di ujung mata, darah di ujung bibir, memar di ujung pipi, dan luka lain yang hanya mampu Regan lirik.

“Nggak apa-apa, sini aku obatin.”

Tangannya dimajukan walau nyalinya makin mundur.

Ceklek.

Kapas belum sempat menyapa luka Musa namun terdengar suara pintu terbuka dari ruang depan.

“Siapa?” Regan bergumam,

“Bunda? ini hari apa?”

“Seni—”

BRAK!

Pintu depan terbanting keras.

“Musa?! kamu di rumah? kenapa rak sepatu berantakan gini? Astaga punya anak satu nggak bisa diandelin, cuma disuruh jaga kerapian rumah aja susah banget.”

Teriakan Bunda sayup-sayup terdengar, nadanya lelah dan marah.

“Musa?! sepatu kamu ada di rumah lho ini! kamu di rumah kan? Bundanya pulang kok didiemin aja!”

Musa memandang Regan, tatapnya yang kalang kabut seketika melembut, “Kamu tunggu disini ya, nanti aku panggil.” Tangannya mengusap pipi Regan pelan.

Déjà vu.

Pintu ditutup perlahan.

Ingatnya terus memutar kilas balik saat Mama menutup pintu kamarnya untuk menemui Papa,

persis,

keduanya tersenyum lemah dan ingin terlihat meyakinkan.

Pintu tertutup. Menyisakan Regan yang duduk di tepi ranjang ruang remang.

Jantungnya berdebar keras. Ia menajamkan telinganya.

“Musa kamu dari mana aja? Bun—Musa?! muka kamu kenapa? siapa yang bikin anak Bunda luka-luka gini?”

Dan entah mengapa resah Bunda membuat Regan lega.

Gue mikir apa sih, Bundanya Kak Musa pasti marah lah kalau liat rumah berantakan, pasti marah kalau liat anaknya bonyok, pasti—

PRANG!

Suara kaca pecah, entah vas atau gelas.

“Kamu berantem?!!”

PLAK!

Suara kulit dan kulit saling beradu.

“Kamu mau bikin Bunda malu?! kamu sekongkol ya sama Ayahmu buat bikin malu Bunda?!”

BRUK!

Terdengar suara dua benda berat saling beradu,

berikutnya suara Musa dan Bunda saling memanggil.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

Regan tak lagi menghitung berapa banyak tampar yang ia dengar.

Ia terduduk di lantai, seluruh berat tubuhnya disandarkan pada tepi ranjang.

Kepalanya kini menjadi ruang dansa. Teriakan Papa dan Mama saling menari dan berputar di lantai utama. Debam pukulan dan teriakan di luar ruang beradu dengan lantai dansanya.

“Bunda udah tau pas Ayahmu ninggalin Bunda buat wanita bajingan itu, kamu juga bakal gitu! kenapa Ayahmu nggak sekalian bawa kamu?!”

Kedua tangan Regan menutup telinganya, berharap tak ada lagi suara saling saing di kepalanya yang sudah bising.

Bukan, ini bukan salah Kak Musa...

“Cuma Bunda yang nerima kamu! cuma Bunda yang mau ngerawat kamu! ini balasan kamu buat Bunda?!”

BUGH!

Seluruh tubuh Regan seperti tak berpijak lagi.

Tangannya diturunkan, meraba lantai lalu digerakkan hati-hati, kakinya mengikuti.

“Bu—bukan... ini bukan salah Kak Musa...” cicit Regan parau.

Tubuhnya merangkak perlahan menuju pintu kamar.

Belum sempat tangannya mengetuk papan kayu kaku itu, Bunda meraung,

“KENAPA KAMU SELALU BIKIN BUNDA MARAH?! BUN—” suara Bunda terhenti, terselip isakan pilu yang palsu di telinga Regan,

“BUNDA SALAH APA SAMA KAMU?!”

Terdengar raungan panjang yang membuat seluruh tubuh merinding dan meradang.

Jendela tertutup rapat namun Regan merasa tubuhnya diselimuti angin hingga menggigil.

Setengah mati Regan menahan tangis dan setengah hidup ia menahap gugup.

Kak Musa, jangan—

“Bunda, ini salah Musa, maafin Musa, Musa—” suaranya tercekat dan nafasnya tersengal, “Musa janji akan selalu baik sama Bunda.”

Air mata Regan menetes.

Tubuhnya lemas terkulai pada pintu kayu yang tak lebih dingin dari tatapan Papa saat Mama memutuskan pergi dari rumah,

Suara tangis Bunda dan tangis Regan yang tak bersuara menyatu dalam rumah yang lampunya hanya nyala separuh.

Jika ditelisik lebih dalam, ada harap yang padam dan sesal yang berisik dalam isak tangis ruang kamar.

Regan menyesalkan seluruh tanda yang abai ia gapai.

Pertemuan pertama di taman, luka di tangan, lebam di badan.

Regan mungkin terlalu tenggelam pada hampar harapan di mata Musa hingga abai pada rona lain di tubuhnya.

Dalam setiap maaf yang ia dengar, jantungnya diremas cemas hingga bertabur debar.

Pada gumpalan pedih yang memekat, nafasnya bagai dijerat. Mati-matian Regan berusaha berteriak namun ia ditikam ragu hingga ia tercekat.

Suara langkah menjauh dan pintu ditutup. Regan perlahan keluar dengan nyala debar dan senyum redup.

“Kak—”

Kacau.

Lampu ruang tengah tak menyala seluruhnya dan Musa meracau.

Lelaki itu sedang menatap kosong pintu depan yang tertutup. Ia terduduk di lantai dan bersandar pada meja yang sudah memalingkan diri.

Serpihan vas bunga dan gelas kaca tersebar bagai bunga mawar di atas makam.

Musa menoleh, dan Regan bersumpah ia tak melihat ruam merah di pipi Musa sebelumnya. Ia bersumpah tak melihat goresan-goresan di tangan Musa sebelumnya.

Regan bersumpah ia dengan jelas menghitung berapa luka yang harus ia obati dan kini angkanya melebihi standar deviasi.

“Kak...”

Kaki Regan melangkah lalu bersimpuh, ia hanya mampu menawarkan dekap dengan kedua tangan merentang.

Musa tenggelam dalam pelukan Regan. Tangannya dilingkarkan pada pinggang lelakinya dan ia benamkan kepalanya pada pundak nyaman tempatnya pulang.

“Maaf ya,” Musa mengeratkan pelukannya, “Aku nggak sempet ngenalin kamu ke Bunda.”

Regan menggeleng cepat, “Nggak—” nafasnya tercekat,

“Nggak apa-apa...”

tangisnya pecah,

ia hanya mampu memperdalam peluknya.

Tangannya yang bergetar mengusap punggung Musa perlahan,

“Kak, kalau Bunda jahat—”

“Regan,”

Musa melepas peluknya. Tangannya mengusap pipi lelakinya yang basah, menghapus air mata yang berjatuhan.

“Bundaku nggak jahat, Bunda—”

Musa menarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan,

“Aku sayang Bunda, Regan. Lebih dari apapun.”

Musa tersenyum.

Dan untuk kedua kali dalam hidupnya, Regan bertanya,

Bagaimana ujung bibir yang dipenuhi luka masih sudi menerbitkan senyum di atas duka?