Luput

cw / tw / cheating ; violence ; harsh words

Raib sedang duduk di kursi makan. Pak Juna—yang duduk di seberangnya—baru saja menyiapkan makan malam. Sederhana, sup krim jagung.

“Silakan dimakan, Raib.” Pak Juna mendorong mangkok berisi sup pada Raib.

“Makasih, Pak.” Raib menerima mangkok itu, menyendoknya.

Di tengah mereka ada dua cangkir teh panas. Pak Juna yang membuatnya. Bukan perpaduan yang pas untuk sup krim jagung, namun kata Pak Juna, teh panas adalah pilihan yang tepat di malam mendung.

Pak Juna membuka percakapan dengan topik ringan. Membicarakan tentang beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini, dan sedikit tentang jendela kaca yang pecah.

Raib hanya membalas dengan anggukan dan gelengan. Masih terlalu aneh untuknya memproses semua yang terjadi. Matanya masih agak sembab. Ia hanya terdiam mendengar setiap kalimat yang diucapkan Pak Juna.

“Kamu baik-baik saja, Raib? Lagi sakit ya?” Pak Juna sedikit memajukan wajahnya, matanya menyipit.

Raib segera mengalihkan wajah, memandang supnya, berdeham, “Kurang enak badan dikit, Pak.”

Pak Juna mengangguk, “Saya ada beberapa obat, kalau kamu mau.”

Raib menggeleng, “Cuma butuh istirahat aja.”

Pak Juna membalas dengan senyuman.

Raib terdiam. Selama ini ia tak pernah memperhatikan Pak Juna. Lihat bapak anak satu ini, senyumnya membentuk lengkung sempurna—dihias lesung pipi di tiap ujung. Belum lagi tuturnya yang lembut dan suara baritonnya. Well, wajar Hugo tergila-gila pada lelaki ini.

Raib tak ada apa-apanya.

Eh?

Raib menggeleng cepat.

Sial. Kenapa ia jadi membandingkan dirinya dengan Pak Juna?

Raib mulai menata pikirannya satu per satu. Di saat seperti ini, ada hal lebih penting yang harus dipikirkan.

Misal, kapan terakhir Pak Juna bertemu Hugo?

Atau, apa hal terakhir yang dibicarakan Hugo pada Pak Juna?

Atau, di mana Pak Juna saat Hugo menghilang?

Atau—

“Raib.”

Lamunan Raib terbuyar. Ia mengangkat wajah, menatap Pak Juna, “Eh—iya, Pak?”

“Dihabiskan supnya.” Pak Juna melirik mangkok sup Raib yang masih separuh.

Raib mengangguk, tangannya kembali sibuk menyendok sup. Well, atau tak usah bertanya sama sekali. Toh, Hugo sudah pergi meninggalkannya? Untuk apa menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Hugo?

Setelah supnya habis, Raib meraih cangkir teh, meminumnya. Pak Juna menumpuk mangkok keduanya di tengah, ikut menyisip teh.

Suara gerimis berjatuhan mulai terdengar. Jendela di dapur beberapa kali diketuk angin. Sungguh cuaca yang buruk.

“Raib.”

Yang dipanggil menoleh.

“Kamu tau kan saya seharusnya sedang liburan dengan keluarga saya?” Pak Juna mengusap cangkir tehnya, meminta kehangatan dari sana.

Keluarga saya. Cih. Raib nyaris memberi decakan meremehkan saat mendengarnya.

Raib menjawab pertanyaan Pak Juna dengan mengangguk.

“Tapi saya ada di sini. Di depan kamu.”

Bulu kuduk Raib meremang. Bukan hanya karena kalimat yang baru diucapkan Pak Juna, tapi juga tatapan lelaki itu yang menatapnya lurus-lurus.

“Raib, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.”

Anjrit.

Suasana ini... familier untuk Raib. Rasanya ia tau kemana arah percakapan ini.

Suasana ini persis seperti saat ia melakukan wawancara selama ini. Bedanya, sekarang Raib menjadi pihak yang ditanya.

Oh, Shit.

Raib menggigit bibir bawah. Apakah Pak Juna mengetahui Raib menggeledah lantai dua? Jangan-jangan di lantai dua ada CCTV? Jangan-jangan Raib ceroboh saat mengembalikan kertas-kertas itu ke tempatnya? Jangan-jangan Raib lupa menutup laci? Jangan—

“Raib,” Pak Juna menegakkan posisi duduknya, “Ada beberapa hal yang menganggu pikiran saya.”

Raib menelan ludah. Tak menyela setiap ucapan Pak Juna.

“Saya bukan nuduh kamu atau gimana, saya cuma pengen tau dari sudut pandang kamu,” Pak Juna sedikit menarik ujung bibir, memberi senyum simpul, “Kemarin kamu di kos seharian, kan?”

Raib susah payah mengangguk. Suasana sekarang terlalu tegang hingga seluruh tulang belakangnya terasa kaku.

“Selain Yahya, siapa lagi yang ada di kos?”

Raib menggeleng, “Nggak ada lagi, Pak.”

“Jerri?”

Oh, iya. Kemana Jerri?

Dua alis Raib terangkat. Jangan bilang, Jerri udah hengkang dari kos ini?

Raib kembali menggeleng, “Saya nggak lihat Jerri, Pak.”

Pak Juna mengangguk pelan, “Jerri pernah bilang mau keluar kos mulai minggu ini, apa dia pergi mulai kemarin, ya?”

Oh, shit.

Raib baru saja kehilangan momen.

Eh?

Raib baru tersadar. Untuk apa ia memusingkan Jerri? Toh, dia sudah tak melakukan penyelidikan apapun, kan? Hugo sudah meninggalkannya.

“Oh iya, sebelum saya lanjut,” Pak Juna kembali menyisip tehnya, “Raib, kamu sempat tanya-tanya tentang keluarga Sadewa.”

Hening.

“Iya.” Jawab Raib lirih.

“Tentang anak pertama mereka yang hilang.”

Raib kembali mengangguk.

“Kalau boleh tau, kenapa kamu mencari anak pertama mereka?”

Hugo. Batin Raib meraung. Cih, jangan pura-pura nggak kenal. Nama anak pertama itu, Hugo.

“Saya ikut relawan pencarian Hugo Sadewa.” Jawab Raib, menggunakan jawaban pamungkasnya.

Pak Juna mengangguk, “Klub Relawan yang mana?”

Anjrit.

Mengapa Pak Juna bertanya sedetail ini?

Raib berusaha tenang walau isi kepalanya jungkir balik. Ia sedang memikirkan nama klub relawan yang mungkin ada, namun tak diketahui oleh Pak Juna, agar lelaki ini tak menanyainya lebih jauh.

“Yang dibuat Pak Jo.” Jawab Raib. Asal. Sangat asal.

Pak Juna terdiam, “Yang dibuat Pak Jo?” Ia menoleh sekilas ke arah jendela, petir baru saja menyambar, “Pak Jonathan?” Tanyanya, kembali menatap Raib.

Waduh. Jangan bilang Pak Jo ini famous?

Raib mengangguk.

Pak Juna menggumam pelan.

Mata Raib menyipit, Udah? Gini aja?

Pak Juna kembali meminum tehnya, ia juga mempersilakan Raib untuk menikmati tehnya.

Raib mengangguk, menyisip tehnya yang mulai dingin.

Hujan di luar semakin deras. Petirnya mulai menyambar, suara gemuruh menggertak jendela dapur.

“Raib.”

Lirikan Raib mulai jatuh pada yang memanggil.

“Sejauh apa yang kamu tau?”

Suara gemuruh sekali lagi terdengar.

Raib mencengkeram erat cangkirnya. Kepalanya kembali menganalisis, kemana arah pembicaraan ini? apa yang harus dijawab Raib? jawaban apa yang diinginkan Pak Juna?

Pak Juna mengusap rambut, mencondongkan tubuh, “Begini Raib,” Kedua siku bertumpu di atas meja, “Sekali lagi, saya bukan nuduh kamu. Tapi, saya rasa, ada orang yang masuk tanpa ijin ke kamar saya, melihat barang-barang pribadi saya.”

Petir kembali menyambar.

Jantung Raib berdegup kencang.

Tentunya, jika Raib tak tau hubungan Hugo dan Pak Juna, ia akan bertanya-tanya, mengapa lelaki ini menanyakan lebih dulu tentang Hugo baru menanyakan tentang 'pembobol' kamar.

Namun, semua tersambung dengan sempurna di kepala Raib.

Jelas sudah.

Pak Juna sengaja meninggalkan acara liburan keluarganya karena ia takut seseorang membobol kamarnya lalu melihat kotak itu.

“Kalau kamu tau orangnya, Raib, atau kamu tau tentang ini,” Pak Juna sedikit berdeham, “Tolong kabari saya.”

Tangan Raib mengepal di bawah meja. Sial.

“Raib?” Pak Juna mulai memanggil lelaki di depannya saat tak ada jawaban yang kunjung terdengar.

Dingin menyergap tubuh Raib. Satu peluh menetes dari pelipis. Tenggorokannya tercekat.

“Raib?” Panggil Pak Juna sekali lagi.

Sial. Raib bahkan tak mampu berbohong. Otaknya macet.

“Pak Juna,” Ucap Raib pelan, “Ada hubungan apa sama Hugo?” Bibirnya bergetar, ia mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa.

Hening.

“Hubungan?” Pak Juna menaikkan dua alis lalu terkekeh, “Hubungan apa yang kamu maksud?”

“Pacaran?” Tembak Raib langsung. Ia luar biasa kesal melihat Pak Juna tak mengakui Hugo.

Pak Juna tertawa, “Raib—”

“Saya, Pak.”

“Apa—”

“Saya yang masuk ke kamar Pak Juna.” Tukas Raib cepat. Dua tangannya saling menggenggam di bawah meja, bergetar.

“Terus,” Pak Juna mengusap dagunya, “Kamu menemukan apa yang kamu cari?”

Dua mata Raib membulat, apa yang gue cari? Maksudnya... badan Hugo?

“Pas kamu masuk ke kamar saya, pasti kamu udah ada gambaran apa yang akan kamu temukan, kan?” Pak Juna menaikkan satu alisnya.

Tunggu...

Ujung bibir Raib terangkat. Bukankah dalam posisi ini, harusnya Pak Juna yang bergetar ketakutan?

Raib menegakkan posisi duduknya, berdeham, “Saya kagum,” Ucapnya yang membuat Pak Juna melirik—tertarik dengan ucapan Raib, “Permainan kalian, rapi banget.”

Pak Juna mendengus pelan, “Permainan saya?”

Raib mengangguk, “Gimana bisa Pak Juna nyembunyiin itu semua selama setahun lebih?”

Pak Juna menggeleng, “Saya nggak paham, Raib.”

“Tapi kalau Bapak bisa nyembunyiin itu semua selama satu setengah tahun,” Raib mencondongkan tubuh, sikunya bertumpu di meja, “Pasti gampang nggak sih, kalau cuma nyembunyiin satu mayat?”

Suara hujan semakin keras. Airnya bak ditumpahkan begitu saja.

Pak Juna termangu. Tak menjawab.

“Kalau—”

“Raib,” Pak Juna menatap lurus-lurus kedua mata Raib, “Kamu... baru aja nuduh saya?”

Raib mengendikkan bahu, “Siapa yang paling untung kalau Hugo nggak ada?”

Tangan Pak Juna terkepal kuat hingga bergetar, “Saya?”

Raib mengangguk, “Kalian punya hubungan gelap—”

BRAK!

Tangan Pak Juna menghantam meja, membuat mangkok dan cangkir ikut bergetar.

Raib memundurkan tubuh, menatap ngeri lelaki di depannya.

“Raib,” Desis Pak Juna, wajahnya mengeras, “Saya juga pengen tau Hugo ada dimana.” Matanya menatap Raib tajam.

Raib menelan ludah.

Pertama, Pak Juna akhirnya mengonfirmasi hubungan gelapnya dengan Hugo.

Kedua, Pak Juna tak terlibat dengan hilangnya Hugo?

Pak Juna menarik napas dalam-dalam, tangannya naik mengusap wajah seiring dengan helaan napas panjang, “Saya tau saya salah, Raib,” Matanya menatap Raib sendu, “Saya punya hubungan terlarang dengan Hugo,”

Raib terdiam.

“Tapi, hubungan terlarang kami, luar biasa indah.”

Raib menelan ludah. Oh, tidak. Ia melupakan satu hal. Satu kemungkinan yang terus ia lewatkan.

Persis seperti Jibran dan Yahya, Pak Juna juga terikat secara emosional dengan Hugo.

Astaga, bagaimana bisa Raib melupakan fakta bahwa orang-orang yang dicurigainya mungkin yang merasa paling kehilangan?

Lihat, Raib baru ditinggal Hugo tak sampai satu hari, sudah menangis tersedu satu jam penuh. Pikiran dan jantungnya berpacu sama cepatnya. Pastilah, orang-orang yang ditinggalkan Hugo dalam kurun waktu dua bulan ini, lebih merasakan kehilangan.

Raib ingin menutup telinganya. Tak siap dengan apapun yang akan diucapkan Pak Juna.

“Raib, saya dan Hugo saling menyayangi.”

Raib menggigit bibir bawahnya kuat. Shit.

Pak Juna kembali menarik napas, “Saya tau ini nggak masuk akal buat kamu,” Ia memiringkan kepala, “Tapi Raib, saya tulus menyayangi Hugo. Bahkan kami sudah punya banyak rencana ke depan.” Sebuah senyum simpul tersungging.

Kalimat itu menjejal paksa memasuki telinga Raib, lelaki mungil itu tak mau mendengar setiap kata yang diucap Pak Juna. Kalimat itu bagai bilah pisau yang diasah tajam, sengaja menguliti setiap rasa yang dimiliki Raib.

Dan, apa katanya? Rencana ke depan? Konyol. Hubungan mereka bahkan tak memiliki masa depan, tapi apa? rencana ke depan?

Raib menahan tawa yang hendak menyembur.

Pak Juna mengerutkan dahinya, “Apa yang lucu?”

Raib akhirnya tertawa. Gelak tawa yang keras. Ada rasa geli dan gumpal pekat yang harus ia lepaskan dari perut.

Sebuah tawa yang lebih mirip ratapan, memenuhi ruangan.

“Aduhhh,” Raib menyeka ujung matanya yang berair, “Rencana ke depan? Aduh Pak, mau direncakan gimana lagi padahal hubungan kalian udah hancur dari awal?”

Pak Juna balas tersenyum, sangat tenang, “Tau apa kamu tentang hubungan saya, Raib?” Namun matanya menatap tajam, menusuk.

Benar. Tau apa Raib tentang hubungan Hugo dan Pak Juna? Mungkin saja kedua orang terkutuk ini adalah pemeran utama yang tak terduga.

“Saya dan Hugo akan menikah.”

GLUDUG! GLUDUG!

Gemuruh kembali terdengar. Setelahnya, petir menyambar. Suaranya memekakkan telinga. Menusuk hingga ulu hati Raib. Ia mematung.

Apa?

Kepala Raib bagai diikat tali. Darahnya menolak untuk mengalir. Membuat seluruh wajah terasa kebas.

Siapa yang mau menikah?

Belum selesai rasa terkejut Raib. Pak Juna kembali menghujamnya dengan kalimat yang luar biasa runcing.

“Saya yakin, Hugo baik-baik saja di luar sana. Besok, saat badannya ditemukan, saya akan mengurus perceraian dan menikahi Hugo.”

Seluruh tubuh Raib menggigil.

Mengapa... ucapan Pak Juna tak asing di telinganya?

Bukankah Hugo pernah mengatakan hal yang sama? Sesuatu tentang perandaian saat badannya ditemukan?

Sesak.

Dalam pertanyaan,

Siapa yang lebih pantas dengan Hugo setelah lelaki itu sadar?

Raib kalah telak.

Tak ada lagi menghancurkan hubungan. Ada penawaran lebih menarik dari Pak Juna.

Di meja ini, Raib dan Pak Juna bukan hanya saling melempar kata. Untuk Raib, meja ini bagai medan perang. Dan bodohnya, ia mendatangi meja ini tanpa satupun amunisi.

Apa yang mau diadukan?

Jangka waktu kebersamaan Raib dan Hugo jelas lebih singkat dibanding dengan Pak Juna. Kenangan? Juga lebih sedikit.

Rencana? Jangan ditanya. Rencana Raib jelas kalah jauh dari rencana Pak Juna.

Rasa? entah. Hanya itu yang Raib tak tau. Tapi apalah seorang Raib dibanding lelaki di hadapannya?

Shit.

Raib menyadari posisinya. Ia lebih mirip tawanan yang menyerahkan diri, pasrah pada kekalahan. Atau mungkin, sejak awal, ia telah kalah.

Sial.

Senjata apa yang digunakan Pak Juna hingga jantung Raib terasa seperti diremas hingga kering?

Raib hanya mampu mematung. Seluruh tubuhnya membeku. Rasa dingin menyelimuti kulit, hanya matanya yang terasa panas.

Sudah. Ia tak mampu lagi melanjutkan percakapan ini.

Hugo benar. Semua sudah selesai.

Kisah mereka, dimulai di sini, dan diakhiri di sini.

“Raib,” Suara Pak Juna menarik Raib kembali ke dapur.

Mata Raib melirik lemah, Apa lagi?

“Urusan hubungan ini, biar jadi urusan saya.”

Raib memejamkan mata. Brengsek. Maksudnya, Raib tak boleh ikut campur?

Belum sembuh lukanya, Pak Juna sudah melempar satu pukulan yang menghantam harapannya.

Raib membuka mata.

Betul.

Dari awal, Raib memang bukan siapa-siapa. Tak berhak ikut campur.

Akhirnya, dengan seluruh tenaga yang tersisa, Raib memberi anggukan lemah.

Pak Juna tersenyum.

Suara hujan dan gemuruh petir kembali terdengar di telinga Raib. Matanya mengikuti gerakan tangan Pak Juna yang mulai membereskan meja makan.

“Kamu masuk aja, Raib. Biar saya yang bereskan.”

Tak perlu disuruh dua kali. Raib segera berdiri.

Tepat setelah ia membalikkan badan. Satu tetes air mata lolos.

Fuck.

Makinya dalam hati.

Raib menelan ludah dan seluruh rasa sakitnya. Sejak kapan menyayangi seseorang terasa sesakit ini?

Tangan Raib cepat-cepat mengusap air mata yang berjatuhan. Ia bersumpah, setelah ini—bersamaan dengan air mata yang terhapus, nama Hugo juga akan terhapus.

Fuck.

Jantungnya berdetak tak karuan. Setiap debarnya membawa rasa nyeri yang menyumbat tenggorokan.

Raib mulai melangkah. Ia akan kembali ke kamar, lanjut menangis, mengadu pada malam hingga pagi hari.

Baru saja kakinya akan melangkah. Di ujung lorong—tepat di depan pintu menuju halaman samping.

Lihat, siapa yang berdiri di sana?

Hugo.

Air mata Raib semakin membendung.

Belum sempat air matanya menetes, Raib menyadari sesuatu.

Hugo sedang mengibaskan tangannya.

Berkali-kali.

Kini Hugo memiringkan kepalanya.

Raib tak paham. Ia ikut memiringkan kepalanya.

DUG!

Sesuatu menyenggol pipinya.

PRANG!

Sebuah mangkok baru saja melayang tepat di samping pipinya—menyenggolnya sedikit, lalu jatuh, mengenai lantai di depannya. Serpihnya berserakan.

Seluruh pancaindra Raib mendadak siaga. Hawa dingin menembus pori-pori. Semua suara berjejalan masuk ke telinga.

Derai hujan. Petir. Engahan napas. Derap langkah.

Dan teriakan Hugo,

“LARI! JANGAN NOLEH!”

Terlambat.

Raib lebih dulu menoleh.

Mendapati vas bunga yang sebelumnya di meja sedang melayang ke arahnya.

Raib tiarap di lantai.

PRANG!

Vas bunga itu jatuh begitu saja di belakangnya. Airnya merembas hingga mengenai celana Raib.

Seluruh tubuh Raib bergetar.

Saat ia mendongak, Pak Juna sudah berada di depannya, tangan kanan mencengkeram mangkok kuat-kuat, diarahkan pada Raib,

BUGH!

Sebelum Raib menyadari apa yang terjadi,

gelap menyergap.