Malam, Malik.

cw // smoking

“Malik!”

Raib menyapa Malik yang sedang menggunakan tubuhnya untuk duduk di teras sambil... merokok.

Hal yang membuat Hugo marah setengah mati (atau setengah hidup?) pada Raib.

Malik yang sedang menyesap rokok di antara dua jari, menoleh, “Raib? Mana Hugo?” Ia hembuskan kepulan asap agak tebal, memenuhi area teras dengan sedikit rasa sesak dan aroma manis.

“Lagi nonton HP, biasa,” Raib baru saja akan duduk di kursi kosong, namun saat menyadari kursi itu berhadapan langsung dengan Malik, ia tampak ragu,

“Hmmm... Malik, bisa minta tolong kursi ini dipindahin ke samping lo, nggak? Ngadep jalanan juga.”

“Ah, bisa.” Malik segera memindahkan kursi sesuai permintaan Raib, “Pasti tak nyaman ya melihat wajahmu sendiri?”

“Makasih,” Raib tersenyum menunjukkan gigi-giginya, “Iya, aneh banget liat muka gue, apalagi sambil ngerokok.” Ia mendudukkan diri.

Malik terkekeh, “Tadi susah sekali mencari penjual tembakau dan kertas rokok yang kumau. Aku harus berjalan nyaris hingga ujung pasar.” Ia sekali lagi menyesap rokok. Merasakan kecapan manis dari kertas rokok, sedikit pahit dari tembakau dan sensasi terbakar di rongga mulut, semuanya dalam satu tarikan.

“Padahal banyak yang jual kertas rokok sama tembakau, ada juga yang jual satu paket lengkap sekalian alat gulungnya, ya kan?”

Gumpalan asap sekali lagi muncul dari mulut Malik, “Oh ya? Aku tak tau. Aku cari tembakau dan kertas rokok yang ada di pikiranku, tapi tak ada di pasar.”

Raib mengerjap tak paham, “Oh, jadi, apa yang lo cari nggak ada?”

Malik mengangguk.

Raib sedikit paham bahwa tiap perokok memiliki seleranya masing-masing. Ia tak merokok namun kakeknya merokok, rokok kretek, seperti yang dihisap Malik. Dulu kakeknya rela melakukan perjalanan yang cukup jauh hanya untuk menjemput tembakau idaman.

Mata Raib menelisik meja di depannya, “Kenapa isinya cuma tembakau? Dulu kakek gue pakai cengkeh juga.”

“Begini sudah enak.”

Raib tak menanyakan lebih jauh. Ia lebih memilih untuk menanyakan sisa-sisa ingatan yang dimiliki Malik.

Sebagai seorang penyendiri, Raib bukan pendengar dan pembicara yang baik. Namun ia suka mendengar cerita Malik. Seolah ia sedang mendengar seseorang membacakan buku, atau seperti kakeknya yang memberi dongeng pengantar tidur.

Raib suka bagaimana Malik menceritakan kisah-kisah luar biasa dengan cara yang luar biasa pula.

“Pencarian mayatku semakin mudah ketika aku menemukan keluargaku,” Malik menurunkan rokoknya, membiarkan angin malam ikut membakar tembakaunya, “Tapi keluargaku pula yang membuatku menghabisi si perut buncit itu.”

“Marah ya karena dia bikin lo kepisah dari keluarga?” Tanya Raib sambil mengamati kepulan asap yang samar-samar menghilang.

Malik menggeleng, “Lebih dari itu, Raib. Aku menangisi keluarga dari rekan-rekan lain yang ia habisi,” Bibirnya kembali dijejali rokok yang tinggal separuh, menyesap lalu mendorong lembut kepulan asap dari mulut,

“Ketika ia membunuh satu orang. Bukan hanya satu jiwa yang mati, puluhan jiwa dari keluarga;rekan;tetangga dan siapa pun yang mengasihinya—ikut mati,”

Malik terkekeh sebelum melanjutkan kalimatnya,

“Melihatnya berusaha melindungi ribuan jiwa dan bersumpah akan menjadi wakil rakyat setelah puluhan jiwa yang ia matikan—” Ia menggelengkan kepala, memberi sedikit tawa seolah baru saja membaca humor klasik, “Percayalah, Raib, aku ingin membunuhnya berkali-kali.”

Raib menelan ludah. Agak ngeri dengan ucapan Malik, “Oh gitu..” Ia menggaruk rahangnya yang tak gatal,

Btw,” Cepat-cepat ia melompat ke topik lain, “Sebagai arwah yang udah pengalaman nyelidikin selama empat tahun nih, lo kepikiran nggak jasadnya Hugo ada di mana?”

Malik menoleh sekilas, “Raib, kau tahu kan Hugo beranggapan tubuhnya ada di suatu tempat—baik-baik saja?”

Raib ragu-ragu mengangguk, “Iya sih, tapi—” Ia menoleh pada Malik, menopang tangan di pegangan kursi, “Coba deh elo jujur, menurut lo badannya Hugo gimana? Udah meninggal atau masih hidup?”

“Aku tak berhak menentukan, Raib,” Malik menggeleng pelan, “Hugo percaya tubuhnya baik-baik saja di suatu tempat. Sebagai rekan satu tim, kalian harusnya memiliki tujuan yang sama, bukan?”

“Iya sih...” Raib kembali memandang jalanan yang memadat, beberapa motor gesit menyelip di antara mobil-mobil.

“Gue takut Hugo terlalu berharap.”

Malik menoleh sepenuhnya, memandang wajah Raib dari samping, “Apa yang kau takutkan, Raib?”

“Ya...” Raib kikuk sendiri, tak tau apa yang harus diucapkan, “Terlalu berharap itu...”

“Lalu?”

Lalu... apa ya?

Raib menggumam sebelum akhirnya membalas, “Sedih—mungkin? Kecewa? Kalau ternyata badannya udah meninggal.”

Malik tersenyum, “Siapa yang sedih? Hugo?” Ia menjetikkan abu rokoknya di asbak, “Atau kau?”

Raib nyaris tersedak ludahnya sendiri. Mendadak ucapan Malik menusuknya lebih dalam terlepas dari kalimatnya yang pendek.

Siapa yang sedih?

Hugo?

Mengapa kesedihan Hugo membuat Raib takut?

Atau... ternyata, ia sendiri yang sedih?

Tapi... kenapa?

Bukankah tujuan Raib adalah menemukan tubuh Hugo? Hidup-matinya tubuh itu... seharusnya tak mempengaruhi perasaannya...

...kan?

“Raib.”

Panggilan singkat Malik membuat Raib mengangkat wajahnya, “Ha?”

“Tak ada salahnya berharap. Tak perlu kau pikirkan hal-hal yang belum pasti adanya,” Ia kembali menarik asap-asap dari tembakau sebelum mengepulnya,

“Kalau senang-sedihnya Hugo memang penting untukmu, maka kau harusnya tahu seberapa sedih hati Hugo saat kau mematahkan harapannya, bukan?”

Raib mengangguk pelan, tak memberi balasan lebih. Matanya bergantian menyusuri abu rokok yang merangkak dari ujung asbak, melayang rendah sebelum hancur diterjang angin.

Dalam kepalanya ada satu-dua-tiga-puluhan pertanyaan yang mungkin harus ia jawab sendiri.

Bising di kepala selalu membisukan sekitar. Puluhan tanya di kepala membuat mulutnya terkunci sempurna.

Tapi mungkin, kepalanya harus dibungkan dengan satu kesimpulan.

“Gue cuma mau bantuin Hugo nemuin badannya,” Ucap Raib mantab, “Dia yang bikin gue terhubung sama dunia arwah, kalau dia ilang, penglihatan gue juga pasti ilang.”

Malik tersenyum. Rokok pertamanya telah habis. Ia meraih kertas rokok di meja, meraciknya dengan sedikit tembakau.

“Raib,” Malik melinting rokok lalu menekannya berkali-kali, membuang sisa tembakau yang keluar dari ujung kertas, “Selagi kita membahas ini, aku ingin menyampaikan sesuatu.”

Takut-takut Raib menoleh, “Apaan?”

Malik mengapit ujung rokoknya di mulut, manis kertas rokok mengecap di bibir, tangannya yang lain mulai menyalakan korek api.

Raib menunggu, mengamati ujung rokok yang memerah karena sentuhan api korek lalu makin menyala saat dihisap Malik. Matanya mengikuti gumpalan asap yang dihembuskan, tak lama hilang bersama udara malam.

Malik kembali bersuara, “Mata batin, bukan sesuatu yang bisa sembarang kau buka-tutup seperti pintu kamarmu, Raib.”

Raib menggigit bibir bawah. Maksudnya?

“Mata batinmu, tak akan tertutup hanya karena tubuh Hugo ditemukan.”

Raib menelan ludah. Agak ngeri dengan ucapan Malik, “Jadi gue bakal kayak gini terus?”

Malik memberi anggukan ringan.

Raib menunduk, kepalanya kembali menemui jalan buntu.

“Jadi bagaimana?” Ujung bibir Malik terangkat.

“Apanya?”

“Kau akan tetap membantu Hugo?”

Raib terdiam.

“Kau tak masalah jika tujuanmu tak tergapai?”

Raib masih tak menjawab.

“Hati-hati, Raib,” Malik menjentikkan rokoknya di ujung asbak, “Mungkin kau tak sadar, kepentingan Hugo mulai melampaui kepentinganmu sendiri.”

Raib hanya membalas dengan gumam pelan. Seolah ucapan Malik hanya angin lalu yang akan menghilang bersama kepulan asap di sekitarnya.

Walau pada faktanya, kalimat itu terus menyelimuti pikiran Raib. Ia ulang berkali-kali seiring matanya yang mengamati putaran roda dari lalu lalang kendaraan. Pikirannya makin bercabang saat pandangnya beralih pada daun-daun yang tertiup angin malam.

Raib takut.

Jika mungkin—seperti kata Malik—senang-sedihnya Hugo, penting untuknya.

Dan, jika mungkin—seperti kata Malik—sedikit demi sedikit, Hugo menjadi pemeran utama di hidupnya.

Maka mungkin,

rekan satu tim,

bukan lagi hubungan yang tepat.