Mata Pisau

POV: MAHAMERU cw /tw // harsh words ; mention of murder ; crime ; mention of violence act ; mention of drug ; mention of suicide ; mention of death ; family death

Just to come clean, aku memang pernah tinggal di Panti Asuhan Kasih Abadi.

Untuk menceritakan tentang panti asuhan itu, mungkin aku harus sedikit mengintip di tahun 1998.

Ibu meninggal setelah melahirkanku. Sejauh yang kuingat, aku tinggal bersama Bapak.

Bapak adalah seorang buruh pabrik di siang hari dan seorang petarung jalanan di malam hari. Namanya cukup tersohor. Setiap Bapak muncul, orang-orang langsung memasang taruhannya untuk Bapak.

Sayangnya, uang Bapak banyak terkuras untuk membayar biaya persalinan dan pemakaman Ibu. Masalah berikutnya muncul karena aku masih bayi. Bapak harus bekerja lebih keras tapi juga harus menjagaku. Masalah berikutnya (lagi), adalah adanya krisis keuangan yang menyebabkan Bapak diberhentikan dari pabrik.

Namun yang mengejutkan, di tengah krisis keuangan yang mencaruk-marukkan beberapa negara, klub tempat Bapak bertarung justru semakin ramai.

Ternyata, klub itu ramai bukan hanya karena pertarungan ecek-ecek yang sering dilaksanakan di sana. Ada transaksi gelap yang dilakukan tiap malam. Pada masa itulah Bapak bertemu dengan salah seorang pengedar yang sedang melakukan transaksi sabu-sabu.

Bapak tertarik, apalagi setelah berbincang dengan si pengedar, keuntungan yang didapat cukup menggiurkan.

Waktu berlalu, Bapak menjadi seorang pengedar. Awalnya hanya ditawarkan pada teman atau saudara dekat, hanya butuh dua tahun pengalaman memberanikan Bapak untuk menawarkan sabu pada pengunjung klub.

Keuntungannya? Luar biasa. Apalagi semenjak pihak kepolisian galak memberantas peredaran obat-obatan terlarang di tahun 2005. Sabu yang awalnya seharga paling mahal ratusan ribu, menjadi jutaan per gram. 1,5 juta di tahun itu setara dua kali lipat upah minimum ibu kota.

Mudah bagi Bapak untuk mencari pelanggan di klub-nya karena Bapak adalah petarung tersohor. Reputasinya bagus. Lama-kelamaan, semua pengunjung klub akhirnya membeli sabu di Bapak.

Pengedar sebelumnya—yang ternyata berasal dari organisasiku sekarang—merasa pasarnya direbut. Bapak diberi peringatan keras. Tapi Bapak adalah seorang petarung juara bertahan, apa yang Bapak takutkan? Tidak ada.

Akhirnya, Bapak mengabaikan peringatan itu. Peringatan kedua, ketiga, dan keempat datang. Bapak tetap abai. Peringatan kelima akhirnya datang. Bergerombol dan bersenjata. Bapak dibunuh.

Usiaku 8 tahun.

Warga menemukan mayat Bapak di pinggir sungai. Kabar tentang Bapak yang dibunuh oleh pengedar dari organisasiku menyebar. Keadaan makin kacau karena pengedar itu dinilai membangkang dari organisasi, dia tidak melapor atau meminta persetujuan untuk membunuh, membawa pasukan pula. Agen itu dicampakkan oleh organisasi, mendekam di penjara. Kasus ditutup.

Tapi masih ada aku.

Entah bagaimana, organisasi itu mendengar tentangku. Aku ingat saat itu seorang lelaki tinggi besar dengan jas hitam datang ke rumah. Dia menjelaskan bahwa mulai sekarang, aku akan diasuh oleh mereka.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar nama organisasi itu.

Manggala.

Aku mulai tinggal di panti asuhan. Nah, aku tidak bohong, kan?

Bedanya, aku mendapat perlakuan istimewa. Tugasku adalah mengawasi anak asuh lain, memastikan mereka melaksanakan pekerjaannya dan melaporkan pada penjaga jika ada yang berusaha kabur.

Meskipun ingatanku sudah agak kabur, tapi aku tahu semua hal yang terjadi di panti. Penyiksaan, pemukulan, pemaksaan. Semuanya.

In my defense, I was a child.

Aku tidak tahu di pihak mana aku harus berada. Di pikiranku, Manggala adalah pihak yang telah menolongku saat Bapak meninggal.

Di satu sisi, aku mual tiap melihat anak-anak itu memakan makanan basi dan dipukuli. Aku selalu berpapasan dengan anak-anak itu di lorong. Tubuh penuh lebam, kaos compang-camping, bibir kering, kuku hitam, wajah kusam, tulang menonjol. Saking mualnya, aku lebih suka mengawasi mereka dari jauh.

Don't get me wrong.

Rasa mual itu untuk diriku sendiri. Semuanya terasa lebih memuakkan karena aku bisa tetap makan enak dan dibiarkan melakukan apapun sesukaku—yang penting pekerjaanku mengawasi mereka beres.

Dua tahun kemudian, aku mendapat uluran tangan untuk kedua kalinya. Dari Sejati, yang kemudian aku panggil Bang Jati. Kami bertemu saat dia mengunjungi panti, saat itu dia belum lama bergabung dengan Manggala.

Bang Jati membawaku pergi. Aku meninggalkan semua kenangan buruk di panti.

But that was just the beginning.

Sejati merawat, menyekolahkan, dan melatihku. Tugasku saat itu hanya dua, sekolah dan berlatih. Hariku dimulai pukul empat pagi. Berlatih. Sekolah. Berlatih. Mengerjakan PR. Tidur.

Latihanku dibagi dua sesi. Pagi dan sore. Pagi digunakan untuk melatih stamina—kebanyakan dilakukan dengan berlari. Sedangkan sore digunakan untuk melatih keterampilan bela diri. Ada beberapa teknik bela diri yang diajarkan oleh Sejati, tapi aku pribadi lebih menyukai wing chun. Gerakannya tangkas, cepat, sederhana, sekaligus kompleks.

Lambat laun aku mulai beradaptasi dan menyukai rutinitasku bersama Bang Jati.

Kami tinggal di rumah dua lantai yang terletak di pinggiran kota. Rumah kami menghadap rel kereta api, di seberangnya lagi adalah sawah milik warga sekitar. Pada waktu tertentu, bising kereta menembus telingaku. Pada waktu tertentu juga, aku dan Bang Jati menikmati kebisingan dan ketenangan di rumah itu.

Tiap pagi kami akan berlari bersama lalu menikmati teh di balkon rumah. Bang Jati adalah orang yang berpengetahuan luas, dia mengetahui banyak hal—termasuk tentang kisah Bapak. Aku bisa menceritakan kisah itu dengan lancar karena mendengarnya langsung dari Bang Jati—padahal saat insiden Bapak terjadi, Bang Jati belum bergabung dengan Manggala.

Sore, saat pulang sekolah, dia akan menanyakan hariku, memastikan pekerjaan rumah apa yang harus kukerjakan dan mengestimasi berapa lama waktu yang tersisa untuk berlatih.

Kadang, saat malam, aku harus berlatih sendiri. Bang Jati sering bepergian, bagaimanapun, dia adalah anggota Manggala. Ketika pulang, Bang Jati akan membawa berbagai oleh-oleh—entah itu makanan, baju, buku, mainan, atau pulpen. Dia membelikan apapun yang dikiranya tidak ada di kampung kami.

Bang Jati adalah orang yang cukup religius. Dia selalu mengajarkanku untuk berdoa dan bersyukur. Setiap napas yang kami hirup, darah yang mengalir, jantung yang berdetak, angin yang berhembus, makanan yang kami telan—setiap hal yang kami lihat dan kami alami adalah karunia Tuhan.

Menjadi yatim piatu dan tidak punya keluarga adalah sebuah ruang gelap tidak berujung. Kemanapun aku pergi, tidak ada lagi cahaya yang dapat menerangi jalanku. Aku menyadarinya karena sering mencuri dengar teman-temanku yang bercerita tentang keluarganya. Anak seusiaku, tidak seharusnya tumbuh tanpa keluarga.

Tapi Bang Jati berhasil mengisi semua kekosongan itu.

Aku merasa cukup. Aku berseyukur.

Namun, mungkin aku terlalu naif—manusia tidak boleh mudah merasa cukup,mengira kehidupanku akan terus berjalan senormal itu. Aku bahkan tidak menyadari latihanku setiap hari dilakukan bukan untuk bersenang-senang. Ada sesuatu yang menantiku di ujung jalan.

Sesuatu itu datang empat tahun kemudian, saat usiaku 14 tahun. Aku baru lulus SMP.

Sesosok lelaki berbadan tegap dan gempal menjemputku, aku hanya ingat Bang Jati mengatakan padanya bahwa aku telah siap.

Setelahnya, aku dibawa pergi. Perpisahan itu singkat dan menyedihkan. Bang Jati meremas pundakku. Senyum hangatnya melepasku pergi.

Tanpa Bang Jati, aku teringat bahwa aku hanyalah anak sebatang kara tanpa siapapun. Aku teringat posisiku. Aku disadarkan oleh keberadaanku.

Tapi sebagai anak usia belasan yang tidak punya banyak pilihan, aku tetap menjalani apa yang telah digariskan padaku.

Pelatihan kedua dimulai. Kali ini, aku dilatih langsung oleh eksekutor Manggala.

Mata Pisau.

Itulah yang menungguku di ujung jalan. Aku dibentuk sejak kecil untuk menjadi Mata Pisau Manggala—boleh jadi karena reputasi Bapak yang bagus, mungkin mereka berpikir bahwa darah petarung mengalir di tubuhku.

Aku tidak langsung dijelaskan secara mendetail tugas Mata Pisau. Mereka memberiku tempat tidur dan makan seadanya.

Eksekutor (slash Mata Pisau) ini tinggal di tengah hutan besar. Uniknya, jika dilihat secara sekilas, markas Mata Pisau tidak terlihat karena bangunannya berada di bawah tanah.

Dari luar, siapapun yang lewat hanya akan melihat sebuah lahan kosong membentang di tengah rimbunnya hutan. Namun saat ditelusuri, terdapat tangga tersembunyi di samping lahan, tangga turun, membawa pada sebuah pintu untuk memasuki basemen. Di situlah tempat tinggal Mata Pisau.

Basemen Mata Pisau dibagi menjadi empat bagian. Bagian tempat tidur, bagian ruang rapat, bagian kamar mandi, dan bagian dapur.

Mata Pisau lebih banyak melakukan pekerjaannya di malam hari. Aku bersekolah saat siang di salah satu sekolah terdekat yang jaraknya 15km.

Saat malam, Mata Pisau akan berkumpul di satu ruangan yang lebih mirip penjara basemen—alias ruang rapat. Terdapat meja besar di tengah dan bilik telepon di ujung ruangan. Setiap malam ada satu orang yang berjaga di samping telepon.

Sisanya yang berkumpul di tengah akan dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok akan membahas pekerjaan yang sebelumnya diberikan pada mereka, satu kelompok adalah kelompok yang tidak sedang bertugas—berjaga menerima perintah dari si penjaga telepon.

Beberapa hari mengamati, aku menyadari bahwa telepon itu adalah alat komunikasi yang digunakan untuk menerima pekerjaan singkat—pekerjaan yang harus dilakukan malam itu juga. Biasanya pekerjaan yang diberikan melalui telepon adalah hal sederhana seperti membuntuti, menggertak, atau menjadi pengawal tambahan. Target untuk pekerjaan singkat ini adalah orang biasa, jadi tidak perlu strategi khusus untuk menanganinya.

Sementara kelompok lain yang berada di meja tengah biasanya membahas tentang pekerjaan jangka panjang. Tugas itulah yang—menurutku—cukup berat. Membunuh, merampok, dan menggertak. Bedanya, kelompok ini memerlukan strategi khusus karena target mereka berasal dari kalangan atas atau memiliki keamanan yang sulit ditembus.

Sama seperti namanya, tugas Mata Pisau hanya dua. Menyerang dan melindungi. Yang paling penting, seorang Mata Pisau harus selalu siap diarahkan pada siapapun.

Selain mengamati cara kerja Mata Pisau, di pelatihan kedua aku menerima pelatihan menggunakan senjata. Ada berbagai senjata yang diberikan, mulai dari senjata tajam, senjata peledak, senjata pembakar hingga senjata api.

Latihan dasar yang harus diikuti adalah penggunaan senjata api. Kami berlatih di lahan kosong yang terletak di atas basemen.

Setiap orang harus berbekal senjata api dan satu senjata tajam. Kebanyakan orang-orang di Mata Pisau lebih memilih senjata yang kecil dan mematikan, praktis—seperti belati.

Aku menyukai dua senjata di sana. Balisong (atau dikenal dengan butterfly knife) dan kerambit (pisau dua sisi berbentuk bulan sabit). Membutuhkan banyak waktu untuk mempelajari dua senjata itu, tapi aku menikmati prosesnya. Tapi hanya soal waktu, aku akan mengetahui mengapa Mata Pisau yang lain menyukai belati.

Setahun berlatih, mereka mengijinkanku (dan peserta baru lain) untuk mengamati eksekusi.

Di sinilah semua kengerian dan mimpi buruk dalam hidupku dimulai.

Aku telah sering mendengar mereka berdiskusi dan membahas tentang pembunuhan, penggertakan, penyiksaan dan sejenisnya. Tapi melihatnya langsung tetap tidak mudah. Aku mual. Pusing. Bahkan demam saat pertama kali menyaksikan seorang mata pisau menembuskan pelurunya tepat di kepala seorang wanita berusia 60-an.

Dan ternyata itulah pelatihan ketigaku.

Berlatih membunuh.

Semakin aku mual saat mereka melaksanakan eksekusi, aku akan semakin diikutkan. Setiap ekskusi, aku diharuskan melihat semuanya, tanpa berbalik badan atau menutup mata.

Ada tiga orang lain yang sedang dilatih saat itu dan aku adalah urutan terakhir di pelatihan membunuh ini. Setelah berhasil mengontrol mental, kami diharuskan melatih tangan kami karena—ternyata—mengacungkan senjata pada seseorang (with intention to kill) bukanlah hal yang mudah.

Meskipun aku menyukai balisong dan kerambit, tapi dua senjata itu tidak efisien untuk membunuh orang—terutama karena kemampuanku yang belum seberapa. Akhirnya, aku memilih belati sebagai senjata tajam pribadiku.

Seperti sebelum-sebelumnya, fase pelatihanku berjalan lambat. Tapi karena sistem pelatihan mandiri di Mata Pisau, tidak ada yang mengeluh atau memprotesku.

Tidak ada guru. Tidak ada murid. Semuanya berlatih bersama, bertanggung jawab atas progres masing-masing. Mengutip kata bos kami saat itu, yang penting kerjaan beres.

Dua tahun kemudian, setelah lulus SMA, aku mendapat pekerjaan pertamaku.

Pekerjaan singkat. Membunuh.

Satu hal tentang para Mata Pisau di sini, kami tidak pernah tahu alasan target kami menjadi target kami. Yang jelas, jika Manggala menganggap orang itu harus mati, maka dia harus mati. Dan Mata Pisau-lah yang mewujudkannya.

Target pertamaku adalah lelaki biasa usia 40-an. Di pesan deksripsi pekerjaanku hanya tertulis bahwa dia harus mati, maka aku menyelinap ke rumahnya dan membunuhnya. Karena itu adalah pekerjaan singkat yang dilakukan sendiri, maka aku juga harus membereskannya sendiri. Kematiannya aku palsukan sebagai bunuh diri.

Sejak pekerjaan pertamaku selesai. Pekerjaan singkat lain terus berdatangan.

Target keduaku adalah seorang lelaki paruh baya. Di pesan deskripsi pekerjaanku tertulis bahwa dia harus mati dalam kebakaran rumahnya, maka tugasku adalah membunuh lalu membakar rumahnya.

Target ketigaku adalah seorang wanita usia 20-an. Di pesan deskripsi pekerjaanku tertulis bahwa dia harus menghilang, maka tugasku adalah membunuh lalu melenyapkan tubuhnya.

Selama tiga tahun, aku terus melakukannya. Berulang. Beberapa kali aku melakukan pekerjaan jangka panjang, tapi aku lebih sering melakukan pekerjaan singkat—sendiri. Konon, pekerjaan singkat hanya diberikan pada urutan terbawah. Aku tidak masalah.

Sejak pergantian presiden terbaru di tahun 2018, pekerjaan Mata Pisau mulai kabur. Kami tidak lagi membunuh orang. Cara itu ditinggalkan. Membunuh lebih kompleks. Perkembangan berita di media sosial cepat. Pengawasan masyarakat ketat. Melenyapkan tubuh tidak semudah dulu.

Mata Pisau mulai berganti haluan. Kami lebih fokus melakukan pengintaian dan penggertakan. Pekerjaanku menjadi lebih longgar.

Saat itu hari Sabtu yang terik, aku sedang duduk di luar basemen, menunggu jam latihan dimulai.

Sudah enam tahun aku tinggal di basemen.

Mataku mengamati daun-daun kecoklatan yang jatuh dari pepohonan.

“Mahameru.”

Aku menoleh.

“Bang Jati!”

Kami bertemu lagi. “Kirain gue nggak bakal ketemu lo lagi, Bang.”

Well, here I am.” Dia tersenyum, khas senyum hangatnya.

Kerutan di samping mata Bang Jatu menyadarkanku bahwa tidak ada yang bisa melawan waktu saat ia hanya ingin bergerak maju. Bang Jati tergulung penuaan.

“You grew well, Man.” Bang Jati menepuk punggungku.

I know.

Sama sepertinya, aku juga tidak bisa melawan waktu. Banyak hal yang terjadi tujuh tahun belakangan, aku bukan lagi anak belasan tahun yang mengerjakan PR tiap malam di rumahnya.

Aku membalas senyumnya. Kami berbincang selama dua jam. Bang Jati bercerita tentang kepindahannya ke wilayah Selatan. Responku tidak banyak.

Kami tinggal di tengah hutan tanpa alat komunikasi selain pager (penyeranta) yang kami gunakan selama menjalankan pekerjaan dan telepon rumah yang berada di ruang rapat.

Hidupku hanya seputar hutan-basemen-mobil-lokasi target. Aku juga bersekolah di desa yang paling dekat dengan hutan, jumlah siswa di sana tidak lebih dari dua puluh. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk memberi respon selain anggukan dan ucapan selamat, Bang.

Bang Jati memahami maksud ucapanku. Mungkin dia juga tidak paham wilayah Selatan yang dimaksudnya. Dia terkekeh pelan. “Gimana rasanya jadi Mata Pisau?”

Lagi-lagi, responku tidak banyak. Aku justru terpikir untuk menanyakan hal lain—selagi kami membahas tentang organisasi.

“Bang, sebenernya kita ini ngapain?”

Dia terdiam selama beberapa saat. Mungkin khawatir karena pertanyaanku terlalu dalam atau memang jawabannya sudah hanyut tenggelam.

Alih-alih memberiku jawaban, Bang Jati justru memberiku uluran tangan berupa pertanyaan, “mau ikut gue ke Selatan?”

Tentu aku menerima uluran tangannya, dulu dia juga yang memberiku uluran tangan dan membebaskan-ku dari panti asuhan. Mungkin kali ini dia juga akan membawaku ke tempat yang lebih baik.

Seperti uluran tangan, ucapan Bang Jati dapat kupegang.

Aku pindah ke wilayah Selatan. Wilayah asing yang bahkan saat itu tidak kuketahui apakah namanya benar-benar Selatan atau letaknya ada di selatan.

Bang Jati tinggal di apartemen mewah. Untuk pertama kalinya, aku melihat dunia luar yang gemerlap. Manusia yang pekerjaanya tidak saling membunuh dan tidak tinggal di bawah tanah.

Saat itu Bang Jati menjelaskan sedikit banyak tentang Manggala.

Organisasi ini dibagi menjadi empat wilayah yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.

Utara. Selatan. Timur. Barat.

Setiap wilayah memiliki eksekutor yang bertugas menjaga perusahaan-perusahaan Mandala Group. Aku tidak terlalu paham tapi setiap perusahaan di Mandala Group memiliki dua sisi.

Sisi pertama adalah sisi yang ditampilkan untuk publik, sisi Mandala. Sementara sisi yang lain adalah sisi terbatas yang hanya dapat dilihat oleh orang tertentu, sisi Manggala.

Wilayah Selatan mencakup Neo Central yang bergerak di bidang keuangan, Neo Nusantara Utama yang bergerak di bidang pendidikan, dan Citra Neo Pratama yang bergerak di bidang properti. Di sisi Manggala, ketiganya bertugas mengelola dan membersihkan uang.

Tugasku selama menjadi Mata Pisau di wilayah Selatan masih tetap sama—menerima dan melaksanakan perintah. Hanya saja, berbeda dengan wilayah sebelumnya—yang kemudian kuketahui sebagai wilayah Utara—wilayah ini tidak terlalu sibuk dan tugas yang diberikan lebih transparan. Kami tidak menerima telepon untuk mendapat pekerjaan.

Semuanya satu komando. Dari Bang Jati.

Bang Jati juga menjelaskan peran masing-masing wilayah untuk Manggala. (Aku tidak terlalu ingat semuanya, tapi aku selalu bisa bertanya pada Bang Jati).

Wilayah Selatan adalah wilayah yang paling bersih. Mungkin karena wilayah ini mencakup pulau-pulau populasi padat, jadi semua pihak di sini harus lebih berhati-hati. Tidak banyak sisi Manggala yang harus kami lindungi di sini. Hanya saja, tugas kami tetap penting karena semua aliran dana yang masuk dibersihkan di wilayah Selatan.

Pemimpin Manggala disebut sebagai Kepala. Ketua eksekutor disebut sebagai leher.

Kemungkinan, sebutan leher ini muncul karena tugas utama ketua eksekutor adalah melakukan segala cara untuk menyangga, melindungi, dan menjunjung Kepala. Ketua eksekutor adalah ketua para eksekutor—atau Mata Pisau. Para leher ini tidak menjalankan pekerjaan seperti mata pisau lain, mereka hanya perlu memastikan Mandala Group yang berada di bawah wilayah mereka baik-baik saja.

Pada tahun pertama aku mengikuti Bang Jati, dia memintaku mendaftar ke Universitas Neo Pratama. Kampus di bawah yayasan kami. Bang Jati menjabat sebagai dosen di sana. Itulah caranya melindungi Neo Nusantara.

Aku tidak keberatan. Selama ini tidak ada masalah dengan pendidikanku, sekolah bukan tantangan besar. Yang menjadi tantangan adalah ucapan Bang Jati setelahnya, “abis lulus lo bakal disiapin buat jadi leher Manggala.”

Holy Moly.

“Oh, jadi itu yang bikin lo nggak lulus-lulus?”

Tanggapan Haya menjeda sesi kilas balik-ku.

Yeah. Tidak salah, sih. Aku memang sengaja menunda kelulusanku karena aku tidak mau disiapkan menjadi leher Manggala. Jangankan disiapkan menjadi leher, kembali ke tugasku sebagai Mata Pisau saja aku enggan. (Plus, skripsi memang susah).

“Terus,” Erde yang sejak tadi diam kini mulai bersuara, dari raut wajahnya, aku dapat menyimpulkan dia terkejut dan bingung—tapi mati-matian menahan kerutan di dahinya agar terlihat tenang, “siapa yang ngejar gue sama Fuji?”

“Yang ngejar anak panti yang kabur?” Tanyaku, memastikan.

Erde mengangguk.

“Kalo lo masih di wilayah panti, lo dikejar sama penjaga panti. Kalo udah di luar wilayah panti, lo dikejar sama Mata Pisau.” Terangku.

Tidak ada jawaban.

Aku duduk bersebrangan dengan Haya, Erde, dan Fuji. Suara kipas angin yang berputar mengisi sunyi ruangan. Walaupun angin kipasnya mengenaiku, bagian kerahku tetap terasa panas.

Sebuah helaan napas keluar dari mulutku.

“Lo dulu di panti wilayah mana?” Tanyaku akhirnya.

Sekali lagi, hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaanku.

Sebenarnya, wajar jika mereka tidak tahu mereka berasal dari panti mana. Aku tinggal di wilayah Utara selama beberapa tahun dan baru baru tahu kalau tempat itu adalah wilayah Utara setelah dijelaskan oleh Bang Jati.

“Timur.” Fuji angkat suara.

Semua mata mengarah pada Fuji.

“Tau dari mana?” Sambar Erde cepat.

Fuji menoleh pada Erde. “Kita lari ke barat.”

Aku mengangguk pelan. Sepertinya Fuji memiliki kecerdasan praktis. Tidak semua orang tahu kemana arah mereka berlari. Apalagi saat sedang dikejar.

Kalau tidak salah ingat, wilayah timur hanya memiliki tiga sektor sisi Manggala: panti asuhan; gudang dan penjualan obat-obatan terlarang.

Siapa leher dari Timur?

Dahiku mengernyit, berusaha mengais ingatan yang sudah hampir lima tahun kupendam—Yeah, sudah lima tahun aku menjadi mahasiswa dan mengulur waktu kelulusan untuk menghindari persiapan menjadi leher Manggala.

Aku tidak terlalu ingat siapa leher dari Timur, mungkin nanti akan aku tanyakan pada Bang Jati.

“Oke, anggep cerita lo bener.” Erde memajukan tubuhnya, kedua sikunya diistirahatkan pada lutut, “terus lo mau kita ngapain? Bantuin lo kabur dari Mata Pisau di sini? Dengan kondisi gue juga dikejar Mata Pisau dari Timur? Lo pikir kita bisa?” Dua alisnya terangkat, seolah permintaanku adalah hal paling konyol di dunia.

Padahal, permintaanku adalah permintaan paling masuk akal yang pernah kubuat seumur hidupku.

Aku tidak tahu di sebelah mana penjelasanku sulit dipahami. Aku bahkan memberikan detail pelatihan tiga tahap Mata Pisau dan dia masih merasa kabur dari Mata Pisau bukanlah hal yang luar biasa?

“Nggak gampang kabur dari Mata Pisau!” Seruku tidak terima. “Asal lo tau, ngejar orang yang kabur dari panti—kayak lo—bukan cuma pekerjaan jangka panjang buat eksekutor—kayak gue, it's a fucking permanent project.”

Tidak ada jawaban.

Suasana menjadi lebih hening dari sebelumnya. Bahkan aku bisa mendengar hembusan angin yang bertebaran di seluruh rumah.

Aku mencondongkan tubuhku. “Semua anak yang kabur cuma punya dua pilihan.” Mataku menatap lurus mata Erde yang duduk bersebrangan denganku, “balik atau mati.”

Sorot mata Erde menajam. Pekat bola matanya menghitam, memantulkan wajahku dengan sempurna. “Heh.” Satu ujung bibirnya naik, ia terkekeh—kontras dengan matanya yang berkilat, kini tubuhnya lebih dicondongkan lagi padakau. “Jaga mulut lo. Ini bukan wilayah lo, ini rumah gue.”

Hening.

Dingin.

Bulu kudukku meremang.

Damn Right.

Ini adalah rumah Erde. Aku hanyalah tamu.

Wow...” Tangan Haya memutus pandanganku dan Erde, “santai, santai.” Ia mengibaskan tangannya. Aku menelan ludah, memundurkan tubuhku. Begitupun Erde.

Sorry.” Ucapku, “what I wanna say is, nggak semua anak panti bisa kayak lo.” Aku berdeham. “Kabur dari panti nggak gampang, apalagi dari Mata Pisau.”

Erde menghela napas. Terlihat jelas aku sudah membuatnya kesal.

“Sampe sekarang nggak ada yang tau lo kabur dari panti.” Aku berusaha menjelaskan. “Gue nggak pernah denger orang dari Timur ngomongin apapun tentang kalian. They really had no idea you guys are here.

Terdengar suara ketukan dari jemari Fuji dan pegangan kursi. “Kalo ada orang-orang lo di wilayah sini yang tau kalo kita kabur dari panti,” Ia menoleh ke arahku, “mereka bakal ngelaporin kita? Balikin kita ke panti Timur?”

Aku terdiam.

Secara logika (sebagai sebuah organisasi) wilayah Selatan harus menyerahkan Fuji dan Erde pada wilayah Timur. Tapi kenyatannya, para eksekutor antar wilayah tidak pernah bekerja sama. Kami saling menjatuhkan. Keberadaan eksekutor bukan berdasar kepercayaan dan kesetiaan, tapi uang dan kekuasaan.

Saat Bang Jati mengambilku dari wilayah Utara, mereka dengan senang hati menyerahkanku karena aku diremehkan di sana. Mereka bilang aku terlalu lambat untuk berada di Utara—karena utara adalah wilayah pusat. Itu sebabnya aku selalu diberi pekerjaan singkat setiap harinya—karena dianggap sebagai pekerjaan receh.

Di wilayah lain, eksekutor biasa mungkin akan menangkap sendiri Erde dan Fuji—entah Leher mereka mengijinkan atau tidak— lalu menyerahkannya pada wilayah Timur melalui wilayah Utara—agar Kepala mengetahui wilayah mana yang menangkap mereka, hal ini sengaja dilakukan untuk menjatuhkan reputasi wilayah Timur, jika Kepala tahu, maka kemungkinan besar tubuh Erde dan Fuji akan diserahkan kepada wilayah yang menemukannya.

Siapa yang menemukannya, dia yang dapat.

Namun eksekutor di wilayah Selatan amat segan pada Bang Jati, jika Bang Jati berkata tidak maka tidak ada satupun eksekutor di wilayah Selatan yang akan menangkap Erde dan Fuji. Dan setahuku, Bang Jati tidak suka mencampuri urusan wilayah lain.

Risiko lain akan muncul jika wilayah lain tahu Erde dan Fuji adalah anak asuh yang kabur dari panti asuhan wilayah Timur dan bersembunyi selama beberapa tahun di wilayah Selatan. Reputasi wilayah Selatan akan hancur jika kabar ini sampai di telinga Kepala—telinga adalah julukan untuk agen tersembunyi pribadi milik Kepala yang bertugas mengumpulkan informasi penting untuk dilaporkan tiap minggu.

Mengabaikan risiko kedua—karena menurutku peluang risiko ini terjadi amat kecil—Erde dan Fuji tidak akan dikembalikan ke wilayah Timur dan tidak akan dilaporkan.

Aku menggeleng. “Nggak. Wilayah Timur, Barat, Selatan, Utara semuanya berdiri sendiri-sendiri. Mereka nggak bakal kerja sama.”

Lengang.

“Lo yakin?” Fuji memastikan.

Aku mengangguk.

“Apa untungnya buat kita?” Tanya Fuji.

Aku menggigit bibir.

“Gue bisa bantu apa aja.” Jawabku mantab. “Apapun yang kalian butuhin, bisa gue sediain.”

Lagi-lagi, lengang.

Jemari Erde saling mengusap, ia gusar. Fuji melirik Erde, ia menggigir bibir—lelaki itu juga tengah gusar.

“Kita mau kabur ke luar negeri.” Fuji memecahkan kelengangan di ruang tamu, “kalo lo—”

Ctik!

Suara itu memotong ucapan Fuji, berasal dari jentikan jari Haya. “Gue punya ide!” Serunya.

Satu alisku naik. Tell us.

Telunjuknya menunjukku, “lo bisa nyediain apapun yang kita butuhin.” Telunjuknya berpindah pada Erde, “lo bisa lakuin apapun yang mau kita lakuin.” Kemudian bergeser pada Fuji, “lo bisa cari tau apapun yang pengen kita tau.” Terakhir telunjuk Haya mengarah pada dirinya sendiri, “gue...” Ia terdiam sejenak, “gue paling advanced di sini.”

Aku mengernyit.

“We're a perfect team!” Haya berseru penuh semangat. “Kita sempurna. Kita semua punya pengalaman di kemampuan masing-masing.” Matanya berbinar, “jadi daripada lo semua kabur dan kejar-kejaran gini, mending kita jatohin orang-orang Timur itu.”

Crazy.

Ide itu ditolak mentah-mentah oleh Erde dan Fuji, terlihat jelas dari raut jengah dari keduanya.

“Lo nggak usah ikut-ikutan.” Ucap Erde ketus.

“Gue harus ikut dong.” Jawab Haya tidak terima.

“Kenapa? Ceknya udah tinggal dicairin Maru, dia bisa nyediain keperluan gue sama Fuji buat ke luar negeri. Ngapain balik ke Timur? Lo pikir—”

“Dengerin gue dulu.” Tangan Haya menyentuh lengan Erde—yang anehnya membuat Erde benar-benar diam, aku mengira Erde akan menangkis tangan Haya atau semacamnya. “Kak Maru, lo tau Makmur Pangan di mana?”

Makmur Pangan...

“Makmur Pangan pusat?”

Haya mengendikkan bahu, “Makmur Pangan yang jualan beras?”

Beras...

Karena pernah menjadi Mata Pisau Utara, aku tahu terdapat gudang beras raksasa di wilayah Utara.

“Utara...?” Jawabku—agak ragu. “Kenapa?”

“Bokap gue diabisin sama orang-orang Makmur Pangan.”

Oh. Fuck.

Aku menelan ludah. “Tahun berapa?”

“2007.”

Mungkin lega adalah perasaan yang salah untuk situasi sekarang. Tapi, aku benar-benar lega karena bapak dari Haya dieksekusi tahun 2007—Tunggu. Kenapa aku langsung mempercayai Haya?

“Tau dari mana orang Makmur Pangan yang bunuh bokap lo?”

“Bokap gue hakim di kasus beras plastik Makmur Pangan, semua yang nyelidikin kasus itu mati nggak wajar, termasuk bokap gue.” Jawabnya enteng, “Makmur Pangan bagian dari Mandala juga, kalo yang lo omongin tentang eksekutor tadi emang bener, berarti orang-orang yang ngelindungin Makmur Pangan yang bunuh bokap gue.”

“Emang bokap lo mati gimana?”

“Mobilnya terjun ke jurang. Katanya, sih, bunuh diri.” Haya terdiam sejenak,ia melirik ujung meja lalu kembali menatapku—wajahnya masih datar, “abis beliau meninggal, muncul kabar kalo beliau korup dan hakim yang... nggak bener gitu lah.”

Sebagai orang yang pernah menjadi Mata Pisau di wilayah Utara, membuang sesuatu ke jurang adalah cara paling basic yang dilakukan oleh para Mata Pisau Utara untuk melenyapkan apapun—tubuh, kendaraan, sekaligus bukti-bukti.

Aku mengangguk. “Bisa jadi Mata Pisau Utara yang nerjunin mobil bokap lo ke jurang.” Ucapku—berusaha biasa saja walaupun rasanya canggung, aneh, takut, tidak nyaman, berdebar—bagaimanapun ini adalah bapak Haya, “tapi bikin berita-berita kayak gitu bukan kerjaan Mata Pisau.”

Haya mengangguk perlahan. Seolah kami tidak sedang membicarakan mendiang Bapaknya yang meninggal dengan tragis.

Tangan Haya naik, mengusap dagunya, “abis itu, Bunda gue bunuh diri.” Ia menatapku. “Gue awalnya mikir beliau bunuh diri. Udah. Selesai. Tapi abis dengerin apa yang lo omongin, gue jadi mikir,” Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, “apa Makmur Pangan juga bunuh nyokap dan bikin nyokap gue jadi kayak orang bunuh diri?”

Mulutku tidak mampu menjawab. Hal yang disebut Haya lebih dari mampu untuk dilakukan oleh eksekutor di Mata Pisau.

Aku menggigit bibir, “maaf.” Ujarku—lebih mirip gumaman.

Dua alis Haya naik, “lo yang dorong bokap gue ke jurang?”

“No.” Aku menggeleng cepat. “I swear.”

“Lo yang bikin berita palsu soal bokap gue?”

Aku menggeleng lagi. Jelas bukan.

“Lo bunuh nyokap gue?”

Aku kembali menggeleng kuat.

Haya memicingkan matanya. “Then don't take the blame.”

Sepuluh detik berjalan dengan lambat.

Kepalaku menunduk. Menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar.

Aku mengangkat kepalaku, hendak menanggapi usul Haya sebelumnya. Tapi Oh My God, aku terkejut saat menyadari wajah pucat pasi Fuji dan dua mata Erde yang menatap kosong.

“Kenapa lo nggak pernah bilang ke kita?!” Erde menoleh pada Haya yang duduk di sampingnya.

Mata Haya tertuju pada lantai, “gue juga baru tau tadi.”

Dan, kini mata Erde juga ikut menghujani lantai. Hanya saja, pupil Erde terus bergerak—kepalanya sedang sibuk.

Sejenak kami semua terdiam.

Tidak ada suara apapun kecuali baling-baling kipas di atas kami dan suara motor di jalanan.

Mata Fuji mengerjap beberapa kali. “Mereka ngancurin hidup kita...” Gumamnya pelan.

Aku mengamininya.

Yeah, they did.

“Gue setuju sama Haya.” Seruan Erde memecah hening ruangan. Ia mengangkat wajahnya. “Kita bisa saling bantu.” Kepalanya ditolehkan pada Haya, “lo mau apa? Nemu yang bunuh bokap lo? Bunuh yang bunuh bokap lo?”

Entah mataku yang salah lihat atau memang mata Haya terlihat berair saat menatap Erde. Dan.. Oh, God... Mataku juga ikut berair. Perasaan bersalah itu muncul lagi, tatapan mata orang-orang yang rela mencium kakiku agar aku mengampuni nyawa mereka. Pandangan penuh penyesalan mereka saat menyadari napas yang mereka hirup adalah napas terakhir.

Aku pembunuh.

Dan di hadapanku, duduk seorang anak yang bapaknya dibunuh oleh orang-orang yang mendidikku menjadi pembunuh.

Oh, Dear Lord,

Aku menunduk.

Will You forgive me?

Mataku terpejam.

Every time I choose sin over you, I revert to the ways of my old self before I knew you. Help me to return to the paths of righteousness, to turn away from my wrongdoing.

Aku membuka mata, menatap tiga orang di hadapanku.

Dear Merciful Lord, please provide me with guidance in the future. Please give me strength to go on Your direction.

Tanpa kusadari, mulutku terbuka, “gue bisa bantu kalian...”

I will try, Lord...

“Kita bakal bebas.” Lanjutku.

...to change.