Memberi Jeda

“Kenapa? Ada kerjaan?” Julian otomatis menoleh pada kekasihnya saat mendengar helaan napas panjang dari mulut Raden.

“Eh? Nggak apa-apa, Mas.” Raden memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, “kita mau minum tehnya di mana? Di situ mau?” Telunjuk Raden menunjuk kursi kosong di sebrang trotoar.

“Boleh.” Julian menggenggam tangan Raden yang tak memegang cup teh lalu menarik lelaki itu perlahan untuk menyebrangi jalan.

“Aku udah cerita belum kalo dulu pas SMA aku sering mampir ke sini?” Tanya Julian begitu keduanya duduk di kursi panjang yang menghadap pada jejeran toko.

“Di sini?” Raden menoleh, cup-nya ia letakkan di samping tubuhnya.

Julian mengangguk, “iya. Tapi dulu nggak sebesar ini, kanan-kirinya cuma warung-warung kecil gitu.”

Raden ikut mengangguk, matanya diedarkan pada area pertokoan, banyak orang lalu lalang. Area ini memang khusus pejalan kaki, kendaraan hanya boleh melewati jalan berukuran sedang di tengah—tak boleh berhenti atau parkir. “Bener, sih, Mas. Dulu Mas Cahyo pernah bilang.”

Tangan Julian merogoh ponsel di saku celananya. “Aku dulu pernah liat tweet yang nunjukkin foto tempat ini pas aku masih SMA, mau liat?”

Raden tersenyum. “Boleh.”

Sambil menunggu Julian mencari cuitan yang dimaksud di aplikasi twitter, Raden mengamati beberapa orang yang lewat. Banyak hal sudah berubah di area ini. Jangankan dibanding saat Julian masih SMA, dibandingkan dengan—dulu—saat Raden masih mengejar gelar sarjana pun tempat ini telah berubah banyak.

Area ini khusus digunakan oleh pejalan kaki yang ingin menikmati berbagai macam kuliner atau sekadar window shopping. Dulu tak ada tempat duduk di trotoar seperti sekarang, pejalan kaki akan lebih banyak duduk di emperan toko. Namun semenjak tiga tahun lalu—saat pergantian pemimpin—banyak tempat duduk yang ditambahkan, seiring dengan pelebaran trotoar yang memakan jalan raya, ada kursi panjang dari kayu yang diduduki Raden sekarang, ada juga kursi tanpa sandaran yang dibuat dari batu.

“Ini.”

Kepala Raden segera ditolehkan saat Julian menyodorkan layar ponsel padanya. Sebuah foto yang sepertinya hasil scan dari lembaran foto usang. Terlihat jalanan aspal lebar dengan warung-warung kecil di sana. Beberapa mobil jadul dan sepeda terlihat menghiasi jalanan itu.

“Oh iya!” Dua alis Raden terangkat—mendadak ia teringat sesuatu, “aku dulu juga pernah lewat pas masih kayak gini, dulu Ibuk sering ngajak aku ke toko alat tulis di pojok deket bank, pasti lewat perempatan itu.” Ia menunjuk perempatan di ujung jalan.

“Iya!” Julian mengangguk setuju, “dulu di deket bank sana ada toko alat tulis. Rumahku dulu nggak jauh dari situ, deket SMA 1. Tapi sekarang udah dibangun toko di sana, lahanku udah dibeli.”

Keduanya lanjut meramaikan malam itu dengan cerita-cerita ringan tentang kisah Julian keci. Tempat ini banyak menyumbang kenangan untuk masa muda Julian. Sesekali keduanya berhenti untuk menikmati teh yang perlahan mulai dingin dan angin malam yang makin menusuk tulang. Beberapa kali Raden berhenti bicara karena denging klakson yang mengalahkan suaranya.

“Oh iya, by the way,” Julian memasukkan ponselnya ke dalam saku, “tadi aku sempet liat notif kamu ngetag aku di tweet-mu. Kok aku cek nggak ada ya?”

“Oh... itu...” Raden mengerjap beberapa kali, “aku hapus.”

Dua mata Julian melebar, “kenapa?”

“Itu...” Raden menggigit bibir, menatap mata Julian yang masih tertuju padanya—ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikan apapun dari Julian, “aku baru inget tadi aku nolak ajakan temen-temenku buat ngopi karena baru pulang dari kantor, nggak enak kalo sekarang mereka liat aku lagi pergi-pergi.”

Untuk beberapa saat, tak ada tanggapan dari Julian hingga akhirnya lelaki itu mengangguk paham, “oh...” ucapnya pelan, “hubunganmu sama temen-temenmu itu gimana sebenernya?”

“Baik...” Raden nyaris tak dapat melanjutkan ucapannya, ia berhenti sejenak, “aku nggak tau sih, Mas. Kita udah jarang ngobrol, kayaknya emang udah jauh aja.”

“Tapi dulu pas sempro mereka ikut ngerayain bareng kamu, 'kan? Pas wisuda juga mereka dateng nggak, sih?”

“Iya.” Raden mengangguk mantab, “kita masih saling ngasih ucapan sama hadiah kalo ulang tahun, tapi kayaknya kita udah nggak sedeket dulu. Tiap ketemu juga yang diomongin cuma kerjaan masing-masing atau nginget-nginget dulu pas masih sekolah.”

“Masih baik ya berarti?” Julian kembali memastikan.

Raden mengangguk-angguk pelan, “baik sih...”

“Tapi?” Pancing Julian saat Raden masih menggantung kalimatnya.

“Tapi aku nggak nyaman.”

“Nggak nyaman pas bareng mereka?”

“Iya.” Raden menolehkan tubuhnya menghadap Julian, “sebenernya aku pengen out dari grup, aku nggak enak tiap mereka bikin rencana buat pergi-pergi, pasti aku nggak ikut. Aku juga jarang bales chat mereka di grup.”

“Karena udah nggak nyaman ya?”

“Iya.”

Hening. Tak terdengar jawaban dari Julian atau cerita tambahan dari Raden. Lelaki berkacamata itu memilih untuk menghabiskan tehnya yang tinggal seperempat lalu tangannya meremas cup itu.

Saat suara klakson panjang terdengar, Julian menengadahkan tangannya pada Raden—meminta cup yang baru diremas. Lalu Julian beranjak membuang dua remasan cup di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya duduk.

“Sayang.” Panggil Julian saat ia telah kembali menduduki kursi panjang.

“Iya?”

“Kamu udah gede, pasti tau mana yang terbaik buat kamu.”

Ujung bibir Raden tertarik, ia menunduk, bergumam pelan—pura-pura berpikir, “hmmm... yang terbaik buat aku ya?” Ia kembali bergumam, “kamu?”

Julian tertawa, tak kuasa untuk tak mencubit pipi Raden. “Bener!” Serunya.

Lalu keduanya menghabiskan tawa yang tersisa. Mata Raden melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul 10.

Bersamaan dengan suara ribut pejalan kaki yang sedang menunggu taksi online dan beberapa pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya, Raden memecah keheningan di antara dirinya dan Julian, “aku nggak bisa temenan sama mereka lagi, Mas.”

“Temen-temenmu yang dari SMP itu? Yang tadi kamu omongin?”

Raden mengangguk. Ia menoleh pada Julian, “kita udah beda banget. Topik pembicaraan, cara kita mandang sesuatu—semuanya beda. Tapi aku ngerasa yang beda cuma aku, mereka masih aja sama. Aku kayak nggak bisa lagi ngikutin ritme mereka.”

“Aku nggak masalah buat tetep temenan sama mereka, Mas.” Raden melanjutkan setelah ia menarik napas sekilas, “aku nggak masalah buat jadi sebatas temen sama Naresh, Leo, Aji, Hel—” Ia terhenti sejenak, tak yakin dengan ucapannya sendiri—apakah ia bisa berteman dengan Helmi? Raden kembali berdeham sebelum meneruskan ucapannya, “tapi buat jadi satu grup tuh kayak... nggak bisa lagi.”

Julian terdiam, tangannya disilangkan di depan dada, mengangguk pelan dua kali, “terus apa yang bikin kamu nggak keluar dari grup itu?”

“Nggak enak, Mas.” Terdapat raut tak nyaman dari wajah Raden—seolah ia baru saja mencicipi kopi pahit, “mereka juga masih peduli sama aku.”

Julian mengangguk pelan.

Angin malam kembali berhembus di antara keduanya.

“Raden...”

“Iya?”

People come and go, right?”

Raden mengangguk, “aku udah sering denger itu.”

“Temen-temenmu juga pasti udah sering denger itu.”

Tak ada jawaban dari Raden.

“Aku bakal dukung kamu—apapun keputusanmu.” Kini Julian menolehkan tubuhnya pada Raden, “aku nggak bisa ngasih saran khusus karena aku nggak kenal temen-temenmu dan aku nggak tau situasinya gimana. Tapi kamu kenal mereka, kamu bisa ngomong baik-baik sama mereka, apalagi kamu bilang temen-temenmu masih peduli sama kamu, 'kan?”

Raden menggaruk rahangnya yang tak gatal, “iya, sih...”

“Mereka bakal berusaha ngertiin kamu, okay?” Julian memajukan wajahnya, memberi senyum simpul pada Raden.

“Kalo enggak gimana?”

Terdengar gumaman pelan dari Julian, “kamu bakal kehilangan temen-temen yang nggak bisa ngertiin kamu. Menurutmu gimana?”

“Aku bersyukur karena udah jauhin mereka?” Dahi Raden berkerut.

“Mungkin?”

“Itu...” Mata Raden memicing, “egois banget, Mas.”

“Apanya?”

“Kalo aku bersyukur udah jauhin mereka karena mereka nggak bisa ngertiin aku.”

Julian sedikit memiringkan kepalanya—tertarik dengan jawaban Raden, “kenapa?”

“Menurutku wajar banget kalo mereka nggak bisa ngertiin aku.” Raden membenarkan posisi duduknya, “dulu mereka yang nerima aku jadi temen pas aku baru awal pindah kesini. Kita kemana-mana selalu bareng pas SMA. Mereka tetep jaga komunikasi pas udah kuliah. Mereka tetep berusaha reach out aku pas aku lagi down, mereka tetep berusaha ngehubungin aku padahal aku jarang respon mereka.”

“Mereka baik banget ya?”

Raden mengangguk. Mendadak ada rasa berat di rongga dadanya.

Dan rasa berat itu menjelma dalam pertanyaan Julian, “kamu yakin mau jauhin temen sebaik itu?”

Benar. Apa salah teman-temannya hingga Raden memutuskan untuk memisahkan diri dari mereka? Bukankah teman-temannya selalu berusaha mendekatkan diri pada Raden?

Raden melirik Julian, “aku jahat banget ya?”

Gelengan Julian segera merespon dengan mantab, “nggak lah,” ia mengusap sekilas ujung kepala Raden, “emang apa yang bikin kamu nggak nyaman di sekitar mereka, Sayang?”

Helmi.

Batin Raden menyahut cepat namun mulutnya hanya mampu berdalih, “aku nggak bisa jelasin.”

“Kenapa?”

Karena itu tentang Helmi.

“Nggak bisa...”

“Tapi kamu tau apa yang bikin kamu nggak nyaman?”

Helmi.

Raden mengangguk, “tau...”

“Apa alesan itu bikin kamu ngerasa jahat?”

Raden terdiam. Iya. Ia merasa begitu egois jika ia mengucapkan apa yang ada di pikirannya. Ia akan terlihat jahat jika ia mengatakan rasa tak nyaman itu muncul dari Helmi. Dari satu orang—dan Raden harus menjauhi empat orang sekaligus. Ia merasa berlaku tak adil pada teman-temannya.

Sebuah helaan napas terdengar dari Raden, “iya.”

“Sini peluk.” Julian merentangkan dua tangannya.

Raden hanya membalas dengan lirikan, cepat-cepat ia menurunkan tangan Julian, “nggak ah, Mas. Malu.”

Julian tertawa, “yaudah, sini tangannya.” Ia menengadahkan tangan.

Jemari Raden segera memenuhi ruang kosong di telapak tangan Julian. Ada rasa hangat karena sebelumnya tangan Julian lebih banyak dimsukkan ke saku hoodie.

Julian mengeratkan jemarinya pada Raden, “setiap manusia itu punya ego masing-masing, Raden. Pas aku bilang aku sayang sama kamu, aku beneran sayang kamu—semua tentang kamu. Sejahat apapun kamu di matamu, sekejam apapun kamu di kepalamu—aku sayang kamu. Semua hal-hal jelek yang kamu pikirin sekarang, nggak akan ngurangin rasa sayangku ke kamu.”

Rahang Raden nyaris jatuh mendengarnya. Ia membeku. Seolah seluruh pejalan kaki berhenti bergerak dan dunia berhenti berputar. Dunianya juga membeku.

Jantung Raden berdetak lambat namun ia bisa mendengar setiap detaknya.

Jadi seperti ini rasanya menjadi pusat dunia?

Ia menatap lelaki yang telah membuatnya merasa menjadi pusat dunia. Seolah tak ada hal penting lain di dunia ini selain dirinya sendiri.

Panas. Rongga dada Raden memanas. Ucapan Julian membara dan menghidupkan keberanian di sana. Kobaran api itu seolah memberi isyarat, tak apa jika seluruh dunia berpaling dari Raden—asal bukan Julian. Rasanya Raden mampu melakukan apapun—asal ada Julian di sampingnya.

Aneh.

Raden segera mengerjapkan matanya, berusaha mengembalikan pikirannya agar fokus pada ucapan Julian.

“Jadi, nggak apa-apa kalo kamu mau cerita sama aku. Aku selalu siap dengerin semua ceritamu. Aku juga selalu siap nunggu kamu cerita.”

Oh.

Ujaran Julian seolah menjadi pengaman untuk Raden—ia bisa bebas mengobarkan apinya di depan Julian.

“Aku cuma capek, Mas.” Beber Raden akhirnya, “aku nggak nyaman di sekitar temen-temenku karena mereka temen Helmi juga.” Ia melirik wajah Julian untuk memastikan respon kekasihnya—tak ada, hanya raut yang khusuk menyimak.

“Aku nggak mau ketemu Helmi lagi, Mas.” Lanjut Raden, “aku capek karena dia terus-terusan pengen aku tetep di grup itu. Aku pengen marah tapi aku nggak tau harus marah sama siapa. Temen-temenku nggak salah, Helmi juga nggak salah—mungkin dia nggak mau aku menjauh karena kita udah nggak pacaran lagi.” Ia menghela napas, “rasanya egois banget kalo aku jauhin mereka cuma karena aku nggak mau liat Helmi lagi.”

“Kamu nggak mau liat Helmi lagi?”

“Iya...” Sedetik kemudian, Raden tersadar ucapannya mungkin membuat Julian salah paham, “ta—tapi bukan karena aku belum mov—

“Iya, iya...” Julian tersenyum, mengusap tangan Raden di genggamannya, “aku paham.”

“Kalo aku jujur tentang alasanku ke temen-temen, aku takut mereka bakal ngira aku belum move on. Aku takut kalo aku nolak ajakan temenan dari Helmi, dia bakal ngira aku masih dendam atau punya rasa sama dia—padahal enggak.” Ada sedikit gurat kesal di wajah Raden.

“Dulu pernah, Mas. Yoshi ngira aku belum move on karena aku gelagapan pas ditelpon Helmi, padahal enggak—aku cuma bingung dan nggak siap—gimanapun Helmi pernah bikin aku sakit hati, Mas, aku nggak mungkin biasa aja sama dia.” Ia kembali menghela napas.

Julian menarik napas perlahan lalu menghembuskannya kuat-kuat, ia menangkup punggung tangan Raden dengan tangannya yang lain, memberi usapan pelan. “Nggak adil ya? Orang lain boleh nggak suka dan nggak mau ke rumah sakit manapun karena mereka takut sama rumah sakit, tapi kamu nggak boleh sembarangan ngehindarin orang padahal orang itu pernah bikin kamu sakit hati.”

Raden terkekeh—perbandingan yang menarik, “iya. Kalo kata Yoshi, hubungan manusia emang rumit banget, Mas.”

“Aku dulu juga pernah mikir gitu.” Julian tersenyum.

“Gimana?”

“Shelin nggak mau ketemu aku lagi abis kita cerai. Tapi aku masih berusaha ngehubungin dia. Aku mikir dia nggak mau ketemu aku lagi karena masih marah atau dendam sama aku.”

Raden menarik napas sekilas—tak menyangka akan mendengar nama mantan istri Julian tiba-tiba, “terus?”

“Tapi Shelin emang orangnya vokal, dia bilang ke aku, dia butuh waktu buat nenangin diri dan dia nggak mau aku ngehubungin dia sebelum dia ngehubungin aku dulu.”

Ah... pasti menyenangkan jika Raden dapat bebas mengungkapkan isi kepalanya seperti Shelin.

“Raden,” Julian kembali mengusap punggung tangan Raden, “kamu juga harus gitu.”

Kayak gitu? Bilang kalo aku butuh waktu buat nenangin diri?” Dua alis Raden terangkat, “tapi kejadiannya udah 5 tahun yang lalu, Mas. Bakal aneh kalo aku bilang sekarang.”

“Nah. Itu dia, Sayang. Dari dulu kamu nggak pernah bilang sama temen-temenmu kalo kamu sakit hati karena Helmi, iya 'kan?”

Pertanyaan Julian berhasil menusuk Raden.

Astaga...

Mengapa Raden terus melupakan fakta bahwa ia memang sengaja terlihat baik-baik saja di depan teman-temannya?

Jadi bukan salah teman-temannya jika Raden merasa mereka tak memberi ruang untuk Raden berkabung—karena memang Raden tak menunjukkan bahwa ia membutuhkannya.

Raden menggigit bibir, “iya, sih...”

“Sayang, aku pernah baca, the first step of healing is acknowledgment.” Julian menyelipkan jemarinya di antara jemari Raden, “kamu nge-skip langkah itu dan langsung berusaha ngelupain kalo kamu pernah sakit hati. Nggak gitu, Sayang. Kamu harus berani jujur ke diri sendiri dan semua orang kalo kamu emang sakit hati atas apa yang udah dilakuin Helmi ke kamu.”

Julian memandang Raden dalam-dalam, “nunjukkin kalo kamu sakit hati nggak bikin kamu keliatan lemah, Sayang. It's okay, temen-temenmu juga bakal paham. Emang harusnya kamu bilang dan mengakui kalo Helmi emang pernah punya pengaruh sekuat itu di hidupmu.”

“Kamu boleh ngakuin itu semua.” Julian kembali tersenyum, menunjukkan lesung pipinya yang dalam, matanya menatap Raden lembut, “kalo dulu kamu nggak mau bilang karena kamu nggak mau orang-orang kasian sama kamu, sekarang kamu bisa bilang karena kamu udah nglewatin itu semua.”

Raden membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering, ia juga ingin meminum sesuatu untuk membasahi kerongkongannya, “telat nggak, sih, Mas, kalo aku baru bilang sekarang?”

“Enggak, Sayang. Semua hal butuh waktu—termasuk nyiapin diri buat terbuka ke orang lain.”

Saat dirasa Raden tak kunjung menjawab, Julian menambahkan, “jujur sama temenmu lebih baik daripada kamu ngarang-ngarang alesan, ke depannya kamu bisa aja nyesel. Ninggalin mereka tanpa alasan yang jelas malah lebih jahat lagi.” Ia mengeratkan genggamannya pada Raden, “mungkin mereka bakal kecewa pas kamu bilang tentang keputusanmu, tapi aku yakin mereka juga nggak mau bikin kamu terus-terusan nggak nyaman—ke depannya gimana, kalian bisa omongin baik-baik. Okay?

Ujung bibir Raden naik perlahan, rongga dadanya terasa ringan, “aku pikir-pikir dulu, deh.”

“Jangan sungkan kalo mau ngajak aku mikir juga.”

“Iya.” Mata Raden menyipit, senyumnya melebar.

Terlihat segerombol pejalan kaki melewati Raden dan Julian. Suara tawa dan heels yang bertemu dengan paving block memenuhi telinga. Gemerlap bulan purnama dan terangnya lampu jalan ikut meramaikan malam.

“Oh iya, Sayang, kamu dapet salam dari Mama.”

Mata Raden berbinar, ia sudah lama tak mendengar kabar Mama, “salam bal—”

“Kata Mama, kapan kamu mau nikahin aku?”

DEG.