Mengecup Bibir Pantai
Jika ada seorang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan – M. Aan Mansyur
“Itu mobil Frog Escape, mobil dinas kantornya 15 tahun yang lalu, terus dibeli lewat lelang karena udah sayang banget. Beliau nggak rela mobilnya rusak, nggak mau ganti pokoknya,” Musa mengunyah potongan sandwich terakhir, “Terus bulan kemarin—he said, mobilnya mogok, beliau nunggu towing di pinggir jalan, dibawa ke bengkel resmi Frog, diganti alternator-nya, bayar tiga setengah juta,”
Regan khusyuk mendengar, tak menyela, ia juga sibuk mengunyah sandwich.
Mereka tengah duduk di salah satu kursi yang berada di pinggir trotoar—menghadap langsung ke pantai. Jarak bengkel ke pantai sekitar lima belas menit jalan kaki.
Musa sedang menceritakan pelanggan terakhir yang ditemuinya hari ini.
“Dan mogok lagi,” Musa lanjut bercerita, tangannya meraih botol jus, “Akhirnya dibawa ke tempatku, turns out, bengkel resminya salah masang kabel, rectifier di alternator gosong.”
Regan memberi anggukan ringan. Ia tak mengerti namun ia paham, intinya, Musa berhasil memperbaiki mobil itu.
Musa terdiam setelah meminum jus, tak lama ia tertawa, “Oh My God, maaf banget aku malah cerita tentang kerjaan.”
Regan ikut tertawa, “Nggak apa-apa, Kak,” Ia lanjut mengunyah sandwich, “Keren banget, kamu sekarang udah dipercaya megang mobil sama motor.”
Musa mengangguk, “Aku juga seneng. It's fun,” Tangannya meraih tisu di totebag Regan, “By the way, sandwich-nya enak banget. Makasih ya.”
Regan mengangguk, sama-sama. Ia masih sibuk menghabiskan potongan terakhir sandwich.
Setelah membersihkan tangan dengan tisu, Musa menadahkan telapak tangan, meminta tangan Regan.
“I think i can relate to him—bapak tadi,” Musa mulai mengusap tangan Regan dengan tisu, membersihkan remah-remah roti di ujung jari, “You know, there are some things in life that can't be replaced.”
Mata Regan memandangi wajah Musa yang sedang menunduk—sibuk membersihkan jemari Regan. Rambutnya setengah basah—sisa keramas tadi, dibiarkan berantakan. Separuh wajahnya tersiram semburat oranye dari matahari yang sedang merangkak turun.
Ujung bibir Regan naik, membentuk senyum simpul.
Yeah, some things... just... can't be replaced.
Suara kicau burung terdengar samar-samar. Deru mesin kendaraan dan riuh pejalan kaki yang lalu lalang ikut meramaikan senja di pantai ini.
Beberapa pedagang mulai bermunculan, hari ini malam minggu, pinggir pantai akan ramai.
“Udah.” Musa mengembalikan tangan Regan, ia sibuk mengumpulkan tisu-tisu yang telah digunakan, “Aku buang ini dulu, ya.” Bangkit, lalu berbalik, “Botolnya sekalian deh.” Ia kembali, meraih botol minuman yang telah kosong.
Regan mengamati punggung Musa yang berjalan perlahan ke tong sampah. Sudah lama ia tak mengamati Musa, sepertinya lelaki itu lebih tinggi beberapa senti sejak terakhir ia mengamatinya.
“Gimana kalau kita duduk-duduk bentar?” Musa kembali duduk di bangku panjang, “Sekalian nunggu sunset.”
Regan mengangguk, “Aku juga udah lama nggak liat sunset.”
Keduanya memandang semburat merah yang merangkak turun perlahan. Beberapa anak dan sejoli bermain di bibir pantai. Ujung ombak mengejar kaki-kaki yang asyik melangkah di atas pasir.
“Aku juga udah lama nggak liat sunset.” Ucap Musa, memecah keheningan di antara keduanya.
Regan menoleh, menaikkan dua alis, “Masa? Kan bengkelnya deket dari sini.”
“Kamu inget nggak?” Musa ikut menoleh, tak mengacuhkan pertanyaan Regan sebelumnya, “Dulu kita sering liat sunset pas sore, terus abis itu kita jajan-jajan jajanan pinggir jalan.”
Regan tertawa, mengangguk, “Atau kamu nemenin aku belajar sampai malem.”
“Abis itu masih dilanjut telfonan sampe pagi.” Musa menimpali.
Regan menggeleng, “Nggak pernah sampai pagi, Kak Musa udah ketiduran duluan sebelum pagi.”
“Really?” Musa menaikkan satu alis, “Well, aku selalu jemput kamu pagi-pagi bahkan sebelum kamu siap, inget?”
“Inget,” Regan terkekeh, “Pulang sekolah mampir makan dulu.”
“Oh!” Musa menaikkan dua alis, “Aku inget dulu kamu selalu ngomongin semua fakta-fakta unik tentang hewan-tumbuhan gitu.”
“Iya! Pas aku lagi suka-sukanya sama biologi.”
Pembicaraan keduanya terus berlanjut seiring sinar mentari yang telah padam digantikan kerlip malam. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Sorot lampu kendaraan ikut beradu—meramaikan gemerlap malam minggu.
“Kamu pas awal-awal ngehindarin aku terus, akhirnya mau juga.” Kini Musa mulai meledek Regan.
Regan melotot, “Eh, kalau ngomongin tentang pura-pura, Kak Musa harusnya lebih malu, sih.”
“Kenapa?”
“Foto profil Kak Musa itu aku yang ngefotoin, kan?” Regan sedikit menyipitkan mata, menggoda Musa, “Dulu Kak Musa bilang foto itu jelek, inget nggak?”
Musa terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya tertawa, “Iya, sih. Aku udah jarang foto-foto jadi stock fotoku dikit banget.”
“Alesan!” Regan ikut tertawa. Ia kembali mengamati deburan ombak di bawah sana, beberapa orang masih asyik bercengkerama di pinggir pantai—menantang angin malam yang berhembus pelan.
Keduanya menikmati suara ombak yang meliuk, diiringi suara tawa dari orang-orang yang berjalan di belakang kursi.
Seolah tak mau ketinggalan, hembusan angin menari-nari pelan di sekitar wajah keduanya—sejuk.
Dalam hingar bingar sabtu malam di pinggir pantai. Musa dan Regan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Di satu sisi, Regan menyadari kesalahan yang baru dibuat. Ia telah terbawa arus, mengikuti sungai pembicaraan yang mengalir ke masa lalu—hal yang tak seharusnya ia bincangkan dengan Musa.
Di sisi lain, Musa ingin percakapan ini terus berlanjut. Ia ingin terus mengenang dan berenang di sebuah masa di mana ia bisa menyayangi Regan sebanyak-banyaknya—walau tak utuh dan sempurna.
Dua cabang pikiran di satu bangku akhirnya menguapkan rasa canggung dan kaku yang saling berjibaku.
Namun, dalam hal melawan, memerangi, dan memenangi, Musa selalu lebih unggul.
“Regan?”
Yang dipanggil menoleh, “Iya?”
“Aku nggak mau liat sunset kalau nggak sama kamu.” Ucap Musa, matanya masih melekat pada deburan ombak yang berulang kali bergulung.
Regan mengerjap dua kali, “Kenapa?” Jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
“Karena setiap liat sunset, aku kepikiran kamu,” Musa menoleh, menatap kedua mata Regan yang terbuka mendengar penuturannya,
“And it hurts me, the fact that you're not around.” Musa kembali menatap ke depan—memandang langit malam, “Sunset looks better when you're with me.”
Jantung Regan berdetak dua kali lebih cepat. Matanya masih terkunci pada tulang pipi Musa yang meninggi dan bola mata yang bersinar diterpa cahaya rembulan.
Regan segera memalingkan wajah sebelum matanya menjelajah lebih jauh. Ditatapnya pohon kelapa yang daunnya melambai tertiup angin.
“Regan,”
Kali ini Regan tak menoleh, ia hanya melirik sekilas, “Iya?”
“I swear, it's not only sunset,” Musa menoleh, menatap wajah Regan dari samping—lelaki itu sedikit menunduk, “Semuanya, kalau bukan sama kamu, bener-bener meaningless.”
“Termasuk, you know, being in a relationship.” Lanjut Musa.
Entah karena hembus angin yang terus-menerus menerpa wajah atau debur ombak yang tak pernah berhenti berusaha mengecup bibir pantai, mulut Musa semakin terdorong untuk mengungkap semua yang dirasa.
Regan terdiam, tak menengok, tak menjawab. Separuh kepalanya terasa keras dan berat. Ia membeku di tempat.
“You know,” Musa memberi jeda sejenak, “You can always come back to me.”
Regan menoleh cepat. Tidak. Bukan ini percakapan yang ia inginkan. Bukan ini yang seharusnya mereka bicarakan. Pembicaraan ini jelas salah arah.
“Ah, maaf.” Musa memalingkan wajah sesaat sebelum kembali menatap Regan, “Aku kelewatan.” Ia terkekeh, “Pasti kebawa suasana.”
Regan tersenyum canggung, “Iya...” Ia melirik trotoar yang makin ramai, “Kayaknya kita jalan sekarang aja? Entar kemaleman.”
Musa tersenyum getir menyadari tak ada satupun kalimatnya yang dijawab Regan, “Yuk.” Ucapnya.
Regan membereskan kotak makan dan sisa jusnya ke dalam totebag lalu bangkit. Musa ikut bangkit, menawarkan diri untuk membawa totebag.
Regan menggeleng, “Nggak usah, cuma ini aja, nggak berat.”
Keduanya berjalan menyusuri trotoar, kembali ke bengkel.
Beberapa pejalan kaki mendahului karena Musa dan Regan mengambil langkah pelan, menikmati angin dan langit yang bahu membahu membangun syahdu malam sabtu.
Dua lampu jalan telah dilewati.
Karena trotoar masih cukup ramai, Regan berjalan di depan Musa.
Yang dibelakang mengamati punggung kecil Regan yang terbalut hoodie krem tua. Dalam kepalanya, berputar beribu andai yang mungkin dan tak mungkin terjadi.
“Regan.” Musa kini sudah berada di samping Regan, trotoar sudah cukup sepi, area pantai telah terlewati.
Regan menoleh sekilas, “Iya?”
“Naim is very lucky to have you.” Musa tersenyum, menatap Regan dari samping sebelum kembali menatap jalan yang ditelusuri.
Regan ikut tersenyum, Iyakah?
Regan kira, ia yang beruntung karena memiliki Naim di hidupnya. Apalagi jika Regan mengingat—
“Kalau dia nyia-nyiain kamu, you can always come to me, kayak sekarang.”
Langkah Regan terhenti. Ia terhenyak, menatap Musa yang sudah dua langkah di depan, lelaki itu menengok saat menyadari Regan tak lagi di sampingnya.
Regan menatap Musa lurus-lurus. Tak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.
Keduanya saling bertukar tatap, saling menduga apa yang dipikirkan satu sama lain.
Trotoar sepi.
Jalanan sepi.
Kepala ramai.
“Kak, aku—” Regan tercekat, sejenak melirik lampu jalan dan ranting-ranting yang melandai dibawa angin.
Ragu menyergap. Apa Regan perlu menjelaskan situasinya pada Musa?
Sedang Musa masih menatap Regan. Pikirannya menebak diam yang mengudara di antara deru satu-dua kendaraan yang lewat.
“Dia...” Musa memecah hening, “Beneran nyia-nyiain kamu?”
Mata Regan membulat, menggeleng cepat, “Nggak lah.”
Musa menaikkan satu alis, “Really?”
Regan mengangguk.
Kedua mata Musa menatap penuh selidik, “Seberapa sering dia nemenin kamu liat sunset?”
Regan tak menjawab. Bukan karena ia tak bisa atau tak tau.
Regan tau jawabannya, jawaban yang diinginkan Musa tapi bukan jawaban yang ingin ia ucap.
“Naim sibuk kuliah, aku juga.” Jawab Regan, ia balas menatap Musa, “Akhir-akhir ini aku juga nggak terlalu tertarik sama sunset.”
Liar.
Musa menatap Regan lamat-lamat, “Dia jarang antar-jemput kamu?”
Jantung Regan berdegup cepat. Pertanyaan Musa terlalu menjebak, “Aku bisa kemana-mana sendiri.”
“Dia jarang nemenin kamu belajar?”
“Aku punya grup belajar sendiri.”
“Berapa kali dia nolak ajakan kamu?”
“Jarang.”
Musa menatap kedua mata Regan dalam, “Pas kamu nangis malem-malem itu, kenapa kamu nggak nelfon Naim dan malah nelfon aku?”
Regan membuang pandang, menatap batu-batu kecil di trotoar. Lidah membeku dan bibir kelu.
Regan tau apa yang dimaksud Musa. Dulu, semalam sebelum UTS semester 5. Pikirannya sedang kacau. Ia tak menelfon Naim karena ia tau kekasihnya sedang dalam keadaan lebih kacau.
Sesal mendesak seluruh rongga dada Regan.
“Kenapa nggak jawab?” Tatapan Musa menuntut. Ia mengambil satu langkah mendekat.
“Kamu paham kan maksud pertanyaanku apa?” Tanya Musa sekali lagi, “Intinya, apa pacarmu bener-bener ada buat kamu?”
Regan masih terdiam. Kepalanya sibuk menimbang.
“Regan,” Ucap Musa, ia tinggal satu langkah di depan Regan, matanya menatap lekat, “Kamu selalu bisa balik ke aku.”
Musa meraih tangan Regan, mengusap pelan punggung tangan, “Aku selalu di sini,” Ia menatap Regan, “Nggak pernah—dan nggak akan—kemana-mana.”
Regan terdiam selama beberapa saat sebelum menarik tangan cepat. Tak menjawab. Ia masih bimbang.
Suara klakson membuat keduanya terjingkat, menoleh ke jalanan. Sebuah mobil baru saja disalip oleh motor yang melaju cepat.
Hening.
Regan dan Musa masih terdiam di tempat masing-masing.
Hembusan angin mengitari keduanya, mengusap lembut lengan dan leher Musa.
Entah karena tiup angin atau tatap beku dari Regan, Musa merasa dingin.
Regan yang hanya memberi jawaban dengan hening membuat Musa mulai menduga. Pikirannya berkelana, berusaha membedah isi kepala lelaki yang dikasihinya enam tahun belakangan.
Katanya, mencintai orang terlalu dalam dapat membuatmu berenang mengarungi lautan tanpa takut tenggelam.
Katanya, mencintai orang terlalu lama dapat membuatmu memahat seluruh pasti menjadi sebuah umpama.
Katanya, mencintai orang terlalu jauh dapat membuatmu melompati jurang tanpa takut jatuh.
Tak ada lagi, yang dapat mendorong Musa ke belakang.
“Regan, kamu selalu bisa balik ke aku.”
Regan hanya membalas dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Pikirannya lebih dari campur aduk, seluruh rasanya melebur, menyaingi air laut dan ombak yang saling mendebur.
Di tempatnya, Musa hanya mampu menerka-nerka.
Mungkin Regan terdiam karena ragu.
Dan Musa percaya, bahwa keraguan hanya muncul untuk mereka yang tak pernah merasa yakin sejak awal. Ia percaya bahwa dalam setiap yakin yang tak pasti, selalu ada celah yang bisa dilewati.
“Regan,” Musa mengambil sedikit langkah ke depan, “Will you marry me?”
Kedua mata Regan membulat, “Kak!” Ia mundur satu langkah, “Aku udah punya pacar!”
“Terus kenapa?”
Terus kenapa? Regan mengulang pertanyaan itu di kepalanya, “Ya kenapa-nap—”
“Do you love him?”
Pertanyaan itu bagai busur panah yang menancap tepat di jantung Regan.
Dulu, pertanyaan ini sering ia dengar dari seluruh teman-temannya.
Regan beneran sayang Naim? Bukan pelarian aja?
Regan menelan ludah. Tak menyangka suatu hari ia akan mendengar pertanyaan ini dari Musa.
“I do.” Jawab Regan, matanya terang-terangan menatap Musa.
“As much as you love me?” Musa kembali mengambil sedikit langkah menuju Regan.
Regan tak menjawab, susah payah kakinya dilangkahkan mundur, memberi jarak pada Musa.
“Would you still love him, kalau dia nyakitin kamu...” Musa menggantung kalimat di udara.
Kayak aku? Lanjutnya dalam hati.
Telinga Regan hanya mampu mendengar apa yang diucap Musa namun pikirannya paham, kata menyakiti yang dimaksud Musa, adalah masa lalu yang telah ditutup keduanya rapat-rapat.
Ruang yang tak seharusnya disentuh atau dibicarakan lagi.
Tapi, tanpa Musa sadari, keyakinan Regan bukan lagi ranting tua yang mudah dipatahkan.
“Kak, aku sayang Naim,” Regan mengepalkan tangan, menguatkan diri, “A lot, more than you can imagine.” Ditekannya setiap kata.
“Nggak.” Musa menggeleng—membuat Regan menarik napas dalam-dalam, “You still love me—cara kamu mandang aku, cara kamu merhatiin aku, cara kamu bicara sama aku—masih sama kayak dulu.”
Regan menggigit bibir bawah.
Benar.
“Kamu bisa pacaran sama siapapun,” Musa melanjutkan, wajahnya mengeras, ia menahan sesak yang memenuhi tenggorokan enam tahun belakangan, “Tapi perasaanmu nggak bisa bohong.”
Regan memejamkan mata, menahan rasa berat yang menyerang kepala.
Benar.
Lagi-lagi, Musa benar.
Perasaan tak akan bisa berdusta.
Regan juga tak bisa mengelak seberapa dalam rasanya untuk Musa.
Regan juga tak bisa mengelak bahwa—selamanya, Musa akan memilki tempat tak terjamah di ujung hatinya.
Regan juga tak bisa mengelak—sekeras apapun ia mencoba, Musa adalah pemilik inti jantungnya.
Satu tetes air mata lolos dari ujung mata Regan.
“Regan?” Musa menelan ludah melihat bulir panas yang mengaliri pipi Regan, cepat-cepat ia meraih tubuh kecil itu dalam dekapnya “Maaf—maaf—aku kelewatan ya?” Tangannya mengusap bahu sedang tangan yang lain mengusap rambut Regan pelan.
Regan membiarkan beberapa bulir air mata lolos begitu saja.
Bayang-bayang Naim terus berputar di pikirannya.
Rasa sesal. Bersalah. Resah. Gelisah.
Semua saling bertaut membentuk kalut.
Regan menarik napas perlahan lalu menghembuskannya pelan. Pikirannya berkali-kali memanggil kenang-kenang bersama Naim.
Benar.
Rasa tak bisa berdusta.
Tapi, bukan berarti Regan tak bisa memilih cintanya untuk siapa.
Bertahun-tahun bersama Naim, Regan menyadari, hidup selalu tentang memilih dan menyisih.
Bahwa cinta tak hanya tentang jantungmu berdegup untuk siapa.
Bahwa cinta hanyalah sebuah papan yang dikuatkan berbagai macam pilar—komitmen, ketenangan, kenyamanan, dan kepercayaan.
Regan, bisa menjalin kasih dengan siapapun, dan mencintai siapapun.
Regan, selalu bisa memilih.
“Kak...” Ucap Regan lirih.
“Iya?”
“Aku sayang banget sama Naim.” Ucap Regan, begitu dekat di depan jantung yang berdetak untuknya.
Musa memejamkan mata sekilas, merasakan sebuah tikaman dalam jantung, “Kenapa kamu keliatan ragu-ragu buat bilang itu?” Tanya Musa pelan.
Regan melepaskan diri dari dekapan Musa, mengusap air mata dengan punggung tangan, tersenyum, “Emang aku nggak boleh mikir dulu sebelum jawab?”
Musa kikuk, “Well, you can—but—”
“Ragu-ragu itu hal yang wajar, Kak.” Regan kembali memberi senyum simpul—memikirkan Naim memberi kelapangan di rongga dada, “Aku ngehargain semua yang kamu bilang ke aku, makanya aku mikir dulu. Kalau aku langsung jawab—yakin banget—nggak pake mikir dulu, itu artinya aku nggak ngehargain pilihan yang dikasih ke aku, dong?”
Kini Musa yang terdiam.
Beberapa kendaraan mulai memenuhi jalanan. Deru kendaraan dan klakson mulai saling bersautan.
Regan dan Musa masih terdiam di tempat masing-masing.
“Kak?” Regan sedikit memiringkan kepala, menghalangi arah pandang Musa yang lurus-lurus menatap trotoar.
“Eh—” Musa tersadar dari bekunya, “Ya?”
“Naim selalu ada buat aku,” Regan tersenyum—cukup lebar, “Di sini.” Jarinya menunjuk kepala.