Menyaksikan dan Disangsikan
cw / tw // mention of ghost, murder, blood ; harsh words
Hendra kembali datang membawa dua cangkir kopi.
“Pake gula nggak?” Tanya Raib yang baru tersadar dari lamunannya.
“Nggak,” Hendra terhenti di depan pintu, “Harus pake ya?”
Raib mengangguk, “Iya, sesendok.”
Hendra mendengus kesal, “Bilang, kek.”
“Lo nggak nanya!” Seru Raib, “Eh bentar.” Serunya sekali lagi sebelum Hendra keluar.
“Ini siapa sih yang mau ngewawancara gue?” Raib melirik jam tangan, “Udah telat 10 menit!”
“Detektif diimpor langsung dari Vision, detektif utama kasus Jaksa Juki.” Jawab Hendra sembari berjalan ke arah pintu, “Entar gue kasih tau, gue tambahin gula dulu.”
Hendra kembali keluar sementara Raib kembali terfokus pada buku catatannya. Ia sedang menyusun rencana.
Rencana pertama, Raib tak boleh terlihat mencurigakan. Rencana kedua—
Cklek.
Pintu terbuka.
“Cepet banget kayaknya tadi baru keluar.” Raib mengangkat wajah, melihat seseorang yang baru saja masuk.
Eh?
Raib termangu.
Seluruh tubuhnya membeku.
Untuk pertama kalinya semenjak beberapa tahun. Jantung Raib berdegup kencang, berkali-kali, sampai ia bisa mendengar suara detaknya sendiri.
Pikiran Raib melayang, menggali semua informasi yang bisa membantunya memproses apapun yang dilihatnya sekarang.
Dua tahun yang lalu, Jibran pernah menceritakan sebuah kisah menarik.
Katanya, di dunia ini setiap manusia memiliki tujuh kembaran.
Namun, Pak Jo mengoreksi, tak harus tujuh katanya.
Pak Jo menjelaskan Paradoks Fermi yang—saat itu—membuat seluruh ruang terdiam.
Paradoks ini mengatakan bahwa, terdapat sebuah peradaban selain di bumi sekaligus ketiadaan bukti yang mengakui keberadaan mereka. Argumen pertama dari paradoks ini adalah, berdasar diagram Hertzsprung–Russell, ada miliaran bintang di galaksi yang strukturnya mirip dengan matahari.
Kata Pak Jo, gen yang menyusun manusia seperti struktur pembentuk bintang di angkasa.
Jika bintang sebesar matahari, yang strukturnya rumit—ternyata—memiliki kemiripan dengan bintang lain, begitupun manusia.
Bagaimana jika, dari sekelumit proses pembentukan gen manusia, terdapat beberapa kemiripan dalam beberapa tubuh?
Walau Raib tak ingin mempercayai seluruh informasi yang didengarnya dari keluarga penuh teori itu, namun Raib hanya mampu termangu saat bukti nyata dari teori itu ada di depannya.
Mata bulat dan sayu.
Hidung mungil.
Bibir berbentuk hati.
Raib mengingat wajah itu.
Hugo?
Raib segera bangkit.
“Maaf telat, di luar macet.” Ucap lelaki itu sembari berjalan mendekat. Tangannya menenteng sebuah tas.
Bahkan suara serak-rendah itu sama persis.
“Saudara Raib? Silakan duduk.” Lelaki dengan kemeja biru keunguan itu duduk di seberang Raib.
Raib masih termangu.
Jantungnya berdetak keras.
Hugo?
.
.
.
.
.
.
.
.
“Saudara Raib?”
Raib terkesiap, “I—iya?”
“Silakan duduk.”
Raib kembali mendudukkan diri dengan tatapan kosong. Apa dia berhalusinasi?
Raib mengerjapkan mata berkali-kali.
Nggak.
Raib menggeleng kepala cepat.
Tangannya menepuk pipi beberapa kali.
Bukan, dia bukan Hugo.
“Kamu okay?” Lelaki itu sedikit mencondongkan tubuh sambil mengeluarkan ponsel.
Raib mengangguk pelan. Menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
“Your face,” Lelaki itu menunjuk sekeliling wajahnya sendiri, “Pucet banget.”
Mendadak Raib merasa haus. Tenggorokannya terasa kering.
Sadar, Raib. Teriak batinnya berkali-kali.
Detektif itu mengusap ponselnya sebelum kembali bersuara,
“Kamu Raib Harun, kan? Yang nulis artikel ini?”
.
.
.
.
Raib melirik sekilas, mengangguk.
Detektif itu mengeluarkan laptop dari tas. Tangannya mulai menari di atas keyboard.
Wajah Detektif itu terus berputar di pikiran Raib.
Nggak, dia cuma mirip sama Hugo.
Raib mengangkat wajah, mengamati lelaki di depannya—dengan wajah tertutup laptop.
Mendadak—tanpa sadar, Raib mulai membuat perbandingan.
Tubuhnya terlihat lebih tinggi, besar, dan berotot. Selama lelaki ini memasuki ruangan, wajahnya sama sekali tak menunjukkan aura menyenangkan. Garis rahangnya tak setegas Hugo namun wajahnya memancarkan aura dingin yang membuat seluruh ruangan terasa beku.
Raib menarik napas untuk kesekian kalinya lalu dihembuskan perlahan.
Dia bukan Hugo. Sadar, Raib.
“Ah, saya belum ngenalin diri.” Lelaki itu menggeser laptop yang menghalangi wajah keduanya.
Tangannya terulur, “Saya Halim—”
Raib menelan ludah.
Bahkan namanya juga dimulai pake huruf H.
Raib membalas uluran tangan Halim, tangan lelaki itu menjabat dengan kokoh, berbeda dengan Hugo yang selalu menggenggam lembut, “Gue Ra—”
“—Udin,”
Hah?
“Saya Halimudin. Biasa dipanggil Udin.” Tangannya ditarik, ia kembali duduk, “Detektif utama kasus Jaksa Juki.”
HAH?
Raib mematung.
“Udin...?”
Detektif itu mengangguk.
Cklek.
Pintu ruang terbuka.
“Udin yang di kamar, namanya Kamarudin.” Sebuah senandung lagu membuat keduanya sama-sama menoleh ke arah pintu.
Hendra datang membawa dua cangkir kopi.
“Udin yang polisi, namanya Halimudin.” Lanjut Hendra sambil menaruh dua cangkir kopi, “Kenalin, Raib, ini detektif yang bakal ngewawancara elo, namanya Halimudin.”
Raib mematung.
“Tenang aja,” Hendra mengibaskan tangan saat melihat wajah tegang Raib, “Dia emang mukanya galak, tapi aslinya mah fans berat Doraemon.”
Raib tak menjawab. Ia masih berusaha memproses nama yang baru saja didengar.
“Ya udah, gue tinggal ya,” Hendra melambaikan tangan pada Raib, “Udin jangan galak-galak ke Raib yaaa.”
Hendra menghilang di telan pintu sementara Raib masih berdiri di tempat—membeku.
“Tahun 2029 masih ada yang namanya Udin?” Tanya Raib hati-hati.
“Saya.” Jawab Detektif itu tak acuh, tangannya mengambil beberapa berkas di tas, “Silakan duduk, Raib.”
Raib kembali duduk, “Kalau gue panggil Halim, boleh?”
“Boleh.”
Raib menghembuskan napas lega.
Kan nggak lucu ada orang mukanya dua kali lebih seksi dari Hugo tapi gue panggil Udin.
“Nama lengkap, Raib Harun?” Halim mulai bertanya.
“Iya.” Jawab Raib.
“Lahir 23 Maret 1999?”
“Iya.”
“Kita seumuran, nggak usah formal-formal, ya?”
Hugo juga seumuran...
“Oke.”
Pertanyaan dasar mulai diajukan. Halim tak memberi ekspresi apapun.
“Jurnalis di Status Quo?”
“Iya.”
Halim mengetikkan beberapa hal sebelum menyingkirkan laptopnya.
“Raib, kamu sadar kan, kamu ini saksi utama kasus Jaksa Juki?”
“Iya.” Jawab Raib, tangannya meraih cangkir kopi, mencari kehangatan dari sana.
“Coba ceritain gimana awalnya kamu bisa nemuin jasad itu.”
Raib menggumam pelan. Matanya menatap pinggir cangkir.
Hal inilah yang dipikirkan Raib sejak tadi. Ia harus mengarang untuk pertanyaan ini.
Masalahnya, Raib menemukan jasad Jaksa Juki karena ia bertemu dengan arwah dari jaksa itu.
Sedikit flashback kemarin pagi—pukul setengah enam pagi saat seluruh dunia masih tertidur,
Saat Raib sedang berjalan ke kantor redaksi, tepat di pertigaan—Jalan EmpatEmpat- Jalan EmpatLima-Jalan EmpatEnam, ia melihat arwah jaksa itu sedang mondar-mandir. Wujudnya terlihat normal, bahkan Raib tak mengira bahwa arwah itu adalah arwah.
Tentunya, Raib, sebagai seorang pekerja lapangan yang selalu siap sedia memburu berita terbaru, segera menghampiri arwah itu, apalagi Jaksa Juki sedang menangani kasus yang sedang panas di seantoro negeri.
Arwah itu melihat Raib, dan ia malah berjalan memasuki Jalan EmpatLima. Raib mengikutinya dan nyaris berteriak saat melihat tubuh Jaksa Juki terkapar dua puluh meter dari tempatnya berdiri—bersimbah darah—dan seorang lelaki dengan pakaian serba hitam sedang berdiri di samping tubuh itu.
Raib tak terlalu melihat wajah lelaki serba hitam itu secara jelas, namun Raib mengingat postur tubuh, bentuk muka, jenis celana-jaket-dan topi yang digunakan. Lelaki itu berlari ketika melihat Raib, larinya luar biasa cepat, Raib tak sanggup mengejarnya.
Oke, flashback selesai.
Sekarang, bagaimana Raib akan menjelaskan apa yang dialaminya pada Halim?
“Raib, kamu bisa ceritakan dari awal.” Ucap Halim, postur duduknya tegak.
“Gue lagi jalan, mau ke kantor,” Raib membenarkan posisi duduk, “Terus liat mayat.”
Halim menatap Raib untuk beberapa saat, “Udah?”
“Terus gue liat pelakunya sekilas. Pake celana item yang banyak sakunya gitu, jaket item polos—mereknya nggak keliatan—mungkin puwma?, topinya model topi army tapi polos warna item, kemungkinan wajah bentuk oval, tinggi sekitar 180cm—”
“Raib.” Potong Halim cepat, ia memajukan tubuh, kedua siku bertumpu di meja, “Pelan-pelan, biar saya tanya beberapa hal dulu.”
Raib memundurkan tubuh, bersandar pada sandaran kursi, mengangguk. Silakan.
“Apartemen kamu di Jalan EmpatEnam, kan?”
Raib mengangguk.
“Kantor Redaksi Status Quo ada di Jalan LimaLima, kan?”
Raib kembali mengangguk.
“Kamu cuma bisa ke Jalan LimaLima lewat Jalan EmpatEmpat. Harusnya kamu belok di Jalan EmpatEmpat, dong, kenapa belok di Jalan EmpatLima?”
Waduh.
Raib berdeham, “Harus banget nanya itu?”
Halim mengangguk.
“Urusan pribadi.”
“Urusan pribadi apa?” Tanya Halim lebih jauh.
“Ya...” Raib merapikan anak rambutnya, melirik ke dinding ruang sebelum kembali menatap Halim, “Pribadi.”
“Iya, urusan apa?” Tanya Halim sekali lagi.
Tangan Raib disilangkan, “Kenapa lo kepo banget? Gue saksi kunci lho.”
“Saya detektif utama.” Jawab Halim santai.
Iya sih.
Hening.
Terdengar deru mesin AC dan ketukan jam dinding.
“Bukan gue yang bunuh.” Ucap Raib akhirnya.
“I know,” Halim mengangkat dua alis, “Ada di rekaman CCTV kamu lagi jalan dari apartemen pas Jaksa Juki ditusuk.”
Raib menaikkan satu alis.
Oh iya juga, ngapain gue panik.
“Yang mau saya tanyain,” Halim menatap Raib, “Kenapa kamu belok ke Jalan EmpatLima seolah kamu tau ada sesuatu di sana?”
“Insting jurnalis.” Jawab Raib bangga.
Ujung bibir Halim tertarik, ia menunduk untuk beberapa saat—sepertinya menertawakan Raib dalam diam.
Well, jelas Halim berbeda jauh dengan Hugo. Kalau itu Hugo, dia pasti akan menertawakan Raib keras-keras tepat di depan wajah.
“Raib, please jujur,” Halim kembali menatap Raib, “Kamu bukan jurnalis sehebat itu, Status Quo masuk sepuluh besar media cetak dengan penjualan terendah dan situs kalian cuma dikunjungi lima ratus orang per bulan.” Sebuah senyum terbit di bibirnya.
Raib terdiam.
First time dia senyum... dan itu... karena dia ngejek gue?
“How rude.” Mata Raib memicing.
Halim menarik napas sejenak lalu mengeluarkannya perlahan, senyumnya telah sirna, “Saya tunggu kamu jelasin kejadian yang sejujur-jujurnya.”
Raib menatap jengah. Otaknya berpikir cepat.
Untuk saat ini, Raib harus mencari keuntungan dari kasus ini. Kemarin, Status Quo mendapat engagement yang cukup tinggi karena menjadi media pertama yang memberitakan kasus ini.
Oh!
Sebuah ide terlintas di pikiran Raib.
Raib berdeham, “Detektif Halim.”
Halim menaikkan dua alis, apa?
“Lo tau kan kasus ini disorot satu negara?”
Halim mengangguk, berusaha mencari tau kemana arah pembicaraan Raib.
“Kepolisian pasti butuh satu atau dua media buat transparansi ke masyarakat tentang proses penyelidikan, iya kan?”
Halim terdiam. Ia belum mendengar apapun tentang media yang akan diikutsertakan dalam penyelidikan.
“Iya.” Raib menjawab pertanyaannya sendiri.
“Kata siapa?” Tanya Halim.
“Gue. Beneran deh, gue udah pengalaman di bidang ini enam tahun. Polisi bakal nunjuk beberapa media buat dapet laporan ekslusif tentang penyelidikan,” Terang Raib malas, “Percaya deh. Ini kasus gede. Nggak mungkin nggak ada transparansi penyelidikan.”
Halim terdiam. Ia mulai memahami arah pembicaraan ini.
“Nah,” Raib mencondongkan tubuh, “Kayak yang lo bilang tadi, Status Quo termasuk media yang lagi krisis banget. Gimana kalau—”
“Nggak.” Halim menggeleng cepat.
“Kenapa?”
“Ini gratifikasi.”
Raib mengerutkan dahi, “Emang gue ngasih lo apa?!” Serunya kesal.
“Memang apa yang mau kamu kasih?”
“Pernyataan jujur dari gue.”
“Itu kewajiban kamu.”
“Kata siapa?” Raib menaikkan dagunya.
“Saya.” Halim menunjuk diri sendiri, “Kan kamu saksi kunci, emang harusnya kamu bersaksi.”
“Kalau gue nggak mau?”
“Kamu ditahan.”
Anjriiiit.
Raib melirik ujung cangkir kopinya, “Ya udah tahan aja.” Jawabnya kemudian.
Halim mengernyitkan dahi, “Maksudnya?”
“Tahan aja, gue nggak akan ngasih keterangan apa-apa.” Raib menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menyilangkan tangan, “Gue punya back-up orang kaya, walaupun gue pengangguran karena jadi napi, gue tetep bisa idup.”
Halim mengerjap dua kali. Menatap Raib dengan tatapan setengah datar—setengah terkejut.
Hening cukup panjang sebelum suara Halim kembali terdengar,
“Oke.”
YES.
“Jadi kenapa kamu belok sana?”
Raib tersenyum, “Gue bisa liat hantu.”
Hening.