Menyeberang Ketakutan

cw / tw / harsh word ; toxic mindset ; violence ; blood ; mention of cheating

Udara malam tak pernah semenyesakkan ini untuk Raden.

Setidaknya, tiga tahun belakangan ia masih bisa bernapas lega setelah mulai tak acuh pada Helmi.

Tapi sekarang, Raden merasa sesak, seolah ia sedang bersaing meraup oksigen dengan lelaki di sampingnya.

Langit malam sedang tak indah. Bintang-bintang tertutup gumpal awan yang tak kunjung menumpahkan hujan.

Mendung di malam hari selalu mengingatkan Raden pada pembicaraan singkatnya dengan Helmi saat mereka masih memadu kasih. Untuk Raden, kegelapan yang menutupi cahaya adalah kejahatan. Untuk Helmi, kerlip bintang adalah lakon jahat yang cahayanya menutupi gelap malam.

Mata Raden dilempar melihat sekitar. Lampu bulat menyala terang mengelilingi taman yang sepi. Beberapa mobil terparkir di pinggir, milik para warga yang mampu membeli mobil tapi tak mampu membangun garasi.

Raden tengah duduk pada bangku panjang di ujung taman.

Di depannya membentang taman yang sering menjadi tempat berkumpul warga saat kerja bakti.

Di samping kanannya terdapat jalan setapak berlapis batu yang sering digunakan para warga untuk terapi jalan kaki. Sehat—katanya.

Di belakangnya terdapat satu mobil yang terparkir. Mungkin milik warga, mungkin milik Pak RT yang rumahnya beberapa meter di seberang taman.

Di samping kirinya, Helmi.


Pernahkan kalian tak menyukai keberadaan seseorang hingga ritme napasnya terdengar begitu salah?

Itulah yang dirasakan Raden sekarang.

“Tumben joging jam segini? Biasanya pagi?”

Setelah cukup lama tak mendengar suara Helmi, akhirnya suara serak rendah itu kembali menyapa telinga.

Tapi Raden tak suka. Rasanya suara itu menganggunya menikmati para jangkrik yang tengah mengerik.

“Gue capek banget, bisa langsung aja nggak?” Raden tak mau repot-repot menoleh—punggung disandarkan pada sandaran kursi, dua tangan disilingakan di depan dada, mata menatap rerumputan yang berjarak tiga meter di depannnya.

“Gue nggak tau harus jelasin dari mana dulu,” Helmi menolehkan tubuhnya pada Raden, menatap figur lelaki mungil itu dari samping, “Gue nggak nyangka bakal dapet kesempatan ngobrol berdua lagi sama lo kayak gini, misal—”

“Jeno apa kabar?” Raden menoleh, matanya menatap tajam kedua mata Helmi yang langsung bergetar.

Helmi terdiam. Ia tau Raden tak benar-benar menanyakan kabar suaminya. Tak ada rasa peduli yang tersirat di pertanyaan dingin itu.

“Baik,” Tak urung Helmi tetap menjawab, ia menunduk sekejap sebelum kembali menatap Raden, “Lo apa kabar?”

Mata Raden kembali dilempar pada rerumputan, ia menggigit bagian dalam pipinya, meluapkan rasa kesal di rongga dada yang datang membeban, “Baik.”

“Bagus, deh.” Helmi mengangguk ringan, setelah mengusap tengkuk yang dihembus angin canggung, ia kembali berucap, “Oh iya—gue mau minta maaf.”

Raden melirik sepintas, minta maaf? tumben langsung minta maaf?

“Soal gue qrt tweet lo waktu itu...”

Lelaki berkaca mata itu segera mendengus remeh. Betul, tak mungkin Helmi akan membuka pembicaraan tentang hal itu dengan kata maaf.

“Oh, lo jauh-jauh kesini mau minta maaf tentang itu?” Potong Raden sebelum Helmi melanjutkan ucapannya, “Santai aja, sih. Nggak terlalu gue urusin juga.”

“Akun lo ilang—”

“Sengaja.” Potong Raden—lagi, “By the way, akun gue ilang bukan berarti lo bisa seenaknya nge-chat akun privat gue.” Ia menatap Helmi tajam.

Sorry, gue harusnya tau posisi kalau gue udah nggak seharusnya—”

“Lo juga harusnya tau posisi lo sebagai suami orang,” Potong Raden ketus, “Nggak pantes banget lo ada di sini, berduaan sama mantan lo.”

“Tapi gue—”

“Mana suami lo? Kenapa lo di sini sendirian?

“Enggak, bukan gitu—”

“Lo kabur?” Raden menaikkan satu alis, “Suami lo nggak tau lo di sini?”

“Gue—”

“Jangan bikin gue keliatan kayak mantan yang masih ngejar-ngejar suami orang.” Raden berdiri dari duduknya, “Gue udah bilang—”

Jeno tau.” Potong Helmi penuh penekanan begitu melihat Raden hendak beranjak, “Dia yang nganterin gue kesini. Dia tau gue bakal nemuin lo.”

Dahi Raden mengernyit tak percaya.

Helmi ikut berdiri hingga matanya sejajar dengan Raden, “Dia tau gue bakal ngobrol empat mata sama lo.” Ia mengambil satu langkah, mendekati Raden.

Mata Raden membulat, terkejut, “Udah gila.” Desisnya.

“Apa?”

“Kalian udah gila!” Seru Raden, ia mengambil satu langkah ke belakang.

“Gue perlu ngobrol sama lo. Jeno tau gue perlu ngobrol sama lo!” Seru Helmi, ia kembali mengambil satu langkah.

“Gue enggak!” Seru Raden dengan nada yang lebih tinggi, matanya nyalang menatap balik Helmi.

“Seenggaknya dengerin gue!”

“Buat apa?! Apa lagi yang mau lo jelasin?!”

“Banyak. Gue ngerasa—”

“Perasaan lo bukan urusan gue!” Raden menyalak galak. Napasnya memburu, “Lo udah punya suami, apapun yang lo rasain! Bilang ke dia!” Ia masih berseru, ditatapnya kedua mata Helmi dalam.

“Jangan pernah lari ke gue.” Lanjut Raden sembari menggertakkan gigi.

Mata Helmi kembali bergetar. Raden tak pernah menggunakan kalimat semenohok ini padanya.

Tak pernah.

Sekali pun.

Ia menelan ludah.

Sejauh yang Helmi kenal, Raden tak seketus ini.

Raden berbalik, telah siap mengangkat kaki sejauh mungkin dari tempat ini.

Grep!

Helmi menahan tangan Raden secepat mungkin, membuat lelaki penuh emosi itu menoleh cepat, matanya melirik tajam Helmi.

“Lo...” Ujar Raden dengan suara rendah.

“Dengerin gue dulu.” Helmi mengeratkan cengkeramannya pada tangan Raden, menarik lelaki itu perlahan mendekatinya.

Raden berusaha mengibaskan tangan, “Gue nggak peduli. Lanjutin aja hidup lo.” Tangannya berusaha keras melepaskan diri namun cengkeraman Helmi terlalu kuat.

“Raden, lo nggak pernah semarah ini sama gue.” Helmi menatap dua mata Raden bergantian.

“Sebelumnya gue masih bisa tahan,” Raden masih berusaha menarik kembali tangannya, “Sekarang gue bener-bener muak.”

“Karena gue udah nikah?”

Raden tak menjawab, ia masih berusaha melepaskan jemari Helmi yang begitu erat melingkar di pergelangan tangan.

“Karena lo kaget gue mau ngejar lo sejauh ini?”

Raden masih mengabaikan ucapan Helmi. Tangannya yang lain berusaha membuka jemari Helmi yang makin menguat—tulangnya mulai terasa remuk perlahan.

Helmi segera menarik tangan Raden dalam sekali hentakkan hingga tubuh lelaki itu limbung ke depan, nyaris menabrak tubuh Helmi jika saja Raden tak segera menahan tubuh.

Wajah Helmi hanya beberapa jengkal dari Raden, ia menatap lelaki berkaca mata itu dengan mata memerah.

“Lo muak karena lo nyadar lo lebih pengecut dari gue.” Bisik Helmi penuh tekanan.

BUGH!

Tubuh Helmi segera terhuyung ke belakang.

Pipinya baru saja dihantam kuat dengan sebuah pukulan telak dari tangan Raden yang masih bebas bergerak.

Seluruh tubuh Raden bergetar, ada kebakaran di rongga dadanya hingga darah yang melewati tiap pembuluh mendidih dan dahinya berpeluh.

“Ngomongin soal pengecut,” Raden mengepalkan tangan kuat-kuat, matanya menatap Helmi, “Lo ahlinya.”

Helmi menunduk, tangannya menyeka darah yang mengalir dari ujung bibir. Ada bekas merah di antara bibir dan pipi. Rasa nyeri menjalar hingga gigi.

Dengan bibir sobeknya, Helmi terkekeh lalu mengucap tanya, “Kenapa baru sekarang?”, yang langsung membuat Raden nyaris melempar satu tinju lagi kalau saja ia tak menahan diri.

“Apa?” Raden balik bertanya, giginya menggertak ditekan emosi.

“Kenapa baru sekarang lo semarah ini ke gue?” Helmi berusaha kembali berdiri tegap, dua mata bulatnya menatap Raden lurus-lurus.

Raden nyaris tak mempercayai apa yang dilihatnya—sebuah senyum tertarik di ujung bibir Helmi, “Lo seneng liat gue marah kayak gini?”

Mungkin Helmi harus berterima kasih pada dingin angin malam yang sedikit meniup bara api di tubuh Raden.

Karena salah satu alasan lelaki itu tak memukuli sumber sakitnya adalah usapan lembut angin malam di punggung serta dedaunan tertiup angin yang berbisik pelan di telinga agar tak serta merta dikalahkan emosi.

Seolah tak tau terima kasih, Helmi melanjutkan, “Lo harusnya marah kayak gini dari dulu.”

Kenapa?

Raden tak mengerti mengapa Helmi seperti tengah merayakan kemarahannya.

Lelaki yang lebih tinggi itu susah payah tersenyum dengan bibir terluka.

Mengapa?

Inilah yang membuat Raden tak mau menunjukkan amarahnya, bagaimana jika duka citanya menjadi suka cita untuk Helmi?

Lidah Raden terjulur sekilas, membasahi bibir yang mendadak terasa kering, “Buat ap—”

“Buat nunjukkin kalau selama ini lo beneran sayang sama gue.” Potong Helmi cepat, seolah ia tau Raden akan menanyakannya.

Mata Raden menyipit, sangsi akan ucapan lawan bicara, “Lo pikir gue pura-pura?”

Sebuah dengusan keluar dari mulut Helmi, “Lo nggak inget?” Ia sempat mendongak menatap mendung sebelum kembali menatap Raden, “Sebelum kejadian itu, lo diemin gue berbulan-bulan, gue ada di samping lo tapi lo anggep nggak ada, tiap gue ajak ketemu—”

“Gue lagi sibuk waktu itu.” Sebuah dorongan dari dalam diri Raden memaksanya untuk membela diri dan menepis tuduhan Helmi.

“Sibuk?” Satu alis Helmi naik, “Lo bosen sama gue.”

“B—bosen?” Mulut Raden setengah ternganga.

Apa katanya? Bosen? atas dasar apa?

Seluruh kesadaran Raden seolah didorong jauh-jauh ke belakang, meninggalkan rasa hampa di seluruh tubuh, ia tak pernah menyangka Helmi—seseorang yang pernah menjadi prioritas utama di hidupnya, seseorang yang pernah menjadi alasan Raden tersenyum tiap harinya—mengucap demikian.

“Gue—” Raden tercekat, ia nyaris tak mampu berkata-kata, “Gue beneran—”

“Kalau lo sayang sama gue,” Helmi memotong lebih dulu, ia menarik napas dalam sebelum kembali berucap, “Kenapa lo langsung mutusin gue waktu itu?” Ia sedikit terengah namun tetap berusaha menyelesaikan kalimat, “Kenapa lo langsung ninggalin gue—”

“Lo selingkuh di depan mata gue!” Seolah kesadaran Raden baru kembali, ia berseru cukup keras, “Terus gue harus apa?! Mohon-mohon di depan lo?”

“Gue nggak selingkuh!” Seru Helmi sembari melangkah mendekati Raden.

Lihat, kan.

Selalu begini.

Raden memandang dua mata Helmi yang memancar penuh keyakinan.

Memuakkan.

Inilah alasan lain Raden tak ingin membahasa hal ini pada Helmi. Ia selalu menemui ujung yang sama.

“Lo make out sama Jeno!” Susah payah Raden menahan suaranya agar tak bergetar, “Menurut lo itu—”

It was a mistake!” Lagi, Helmi memotong ucapan Raden dengan seruan yang lebih tinggi, “Gue cuma mabok dikit, gue lagi stress mikirin lo and he was there for me!”

Hening.

Hembusan angin tak terlalu kuat namun rasa kering perlahan menjalar di kedua bola mata Raden.

Perih.

Raden menelan ludah. Mengatur seluruh bara api yang siap berkobar di tiap tulang.

Ia menata napas perlahan.

Kata Julian, setelah ini, tak akan ada lagi seorang pun yang dapat menyakitinya.

Kenapa?

Katanya, karena Raden tau cara bertahan sendirian.

Maka Raden membawa pikirannya membuka kenang-kenang pahit yang selalu ia kubur dalam-dalam di sudut kepala.

Dulu,

saat gelap menerangi langit,

saat sepi menemani diri,

Raden akan meringkuk di samping ranjang, menatap kosong tembok polos di hadapan.

Saat itu, ia menyalahkan diri ribuan kali perihal kepergian Helmi.

Mungkin, Helmi punya alasan.

Mungkin, ada kesalahan yang tak Raden sadari.

Mungkin, ada yang kurang dari Raden.

Dan mungkin-mungkin yang lain.

Seluruh kemungkinan ini, bagai mata pisau yang diasah berkali-kali lalu dibiarkan mengoyak akal sehat Raden tanpa sisa.

Memang, dulu Raden pernah jatuh sedalam-dalamnya hingga ia ingin mengubur diri agar orang lain tak menemukannya.

Namun Raden dapat bangkit perlahan, meski ia harus merangkak untuk mengumpulkan diri yang berceceran.

Meski ia harus terjatuh lagi,

lagi,

lagi,

dan lagi.

Namun Raden akan tetap berdiri di atas dua kaki.

Dan kalimat Helmi yang baru didengar Raden, tak akan mampu membuatnya kembali jatuh.

Tak semudah itu.

“Terus kenapa?” Raden mengangkat dagunya pongah, “Kenapa lo bilang sama gue?”

Helmi kembali mengambil satu langkah menuju Raden, “Lo nggak pernah mau dengerin penjelasan gue!” Matanya tinggal dua jengkal dari mata Raden, “Seenggaknya lo harus tau—”

“Terus kenapa?!” Raden menyalak galak, “Apa penjelasan lo bakal ngubah sesuatu?!” Ia ikut mengambil satu langkah tipis mendekati Helmi, “Abis itu lo pacaran sama Jeno, sekarang lo nikah sama dia?! apa yang bakal berubah kalau lo jelasin itu semua ke gue?!”

“GUE PENGEN TAU LO BENER-BENER SAYANG SAMA GUE ATAU NGGAK!”

Lengang.

Yang terdengar hanya napas Helmi yang tersengal.

“Lo langsung ninggalin gue, lo langsung pergi dari hidup gue. Nggak ada nangis, marah, atau nuntut penjelasan, seolah—” Helmi tercekat, dadanya naik turun berusaha mengatur napas yang makin berat, “Seolah hubungan 5 tahun kita nggak ada artinya buat lo.”

Tangan Raden terkepal kuat.

“Lo...” Raden mulai kehilangan kemampuannya merangkai kata, ia melirik sekitar—berharap menemukan cara untuk menyusun tiap kata yang disampaikan, “Selama ini—”

Raden menghela napas kasar, “Selama ini lo ganggu gue cuma buat liat gue—” Ia mengggigit bibir sebelum melanjutkan kalimat, tangannya diangkat—mengusap rambut frustasi, “Nggak cukup lo main belakang?! Sekarang lo juga pengen liat seberapa hancur gue abis lo selingkuhin?”

“Gue nggak selingkuh!” Dua tangan Helmi berusaha meraih lengan Raden.

Whatever you name it!” Raden cepat-cepat menepis tangan Helmi. Ia tak lagi tertarik dengan apapun yang terjadi di antara Helmi dan Jeno.

Apapun yang terjadi, Raden sudah terlanjur menelan seluruh pengkhianatan dan memuntahkan seluruh sisa-sisa percaya.

Raden mengambil satu langkah ke belakang, “Gue nggak peduli.”

Dalam mata Helmi, suasana di sekitar taman terasa makin gelap. Cahaya dari lampu beberapa langkah di belakangnya seolah tak membantu penerangan. Ia hanya terfokus pada lelaki di depannya yang terasa makin jauh.

“Jadi bener... sebelum kita putus, lo udah nggak sayang sama gue?” Tanya Helmi pelan, “Terus—” Ia menelan ludah, “Terus lima tahun hubungan kita... ada artinya nggak buat lo...?”

Bagai tersihir, perlahan pandangan Raden semakin buram. Di matanya terlihat potong-potong kenang yang melintas satu per satu.

Tawa, bahagia, sedih, kecewa, dengki...

Raden tak pernah melupakan.

Sejauh apapun kakinya melangkah untuk meninggalkan kenangnya bersama Helmi, serpih-serpih perih masih tertancap sempurna di kaki Raden.

Sejauh apapun Raden melangkah, serpih itu justru semakin dalam. Walau tak nampak, namun seluruh kenang itu... menusuknya.

Raden membawa luka bersamanya.

Bagaimana bisa... pertanyaan itu... keluar dari mulut Helmi?

Belum sempat Raden menjawab, Helmi kembali melanjutkan pertanyaannya, “Lo nggak pernah sayang sama—”

I loved you!” Seru Raden—setengah parau karena tenggorokannya terasa gersang, “Gue sayang banget sama lo sampe gue mikir lo yang udah nggak sayang lagi sama gue!”

Raden mengambil satu langkah mendekati Helmi.

“Gue sayang sama lo sampe gue nggak mau jadi penghalang lo buat mulai hubungan baru!” Tangannya mendorong pundak Helmi, membuat lelaki itu terhyung ke belakang.

Telinga Helmi tak dapat benar-benar mendengar sementara matanya terpaku pada amarah yang terpancar dari Raden, terbata ia berusaha menjawab, “Tapi lo nggak pernah nangis, marah—”

I did! a lot!” Rahang Raden bergetar, ia sudah siap membanting lelaki di depannya bila saja lelaki itu berani mengambil langkah mendekati, “Kalau itu yang mau lo denger, gue nangis, gue marah, gue kayak orang nggak tau arah karena selama ini gue NGGAK PERNAH bayangin bakal kehilangan lo!”

Helmi tak menjawab.

“Coba itung berapa kali lo pamerin kemesraan lo sama Jeno pas awal-awal kalian pacaran?!” Raden melanjutkan seruan, “Sebanyak itu gue nangisin lo.” Ucapnya dengan nada rendah, suaranya bergetar.

Diam masih menjadi pilihan Helmi.

“Udah puas?” Mati-matian Raden berusaha menahan bulir panas yang siap tumpah, “Setelah tau ini semua, udah puas? Sekarang lo bisa lanjut ngetawain gue sama suami baru lo.”

“Gue nggak pernah ngetawain lo, sama sekali.” Jawab Helmi cepat.

Hingga enam puluh detik ke depan, tak terdengar suara apapun.

Raden menghempas diri di kursi, sementara Helmi tetap berdiri.

Saat rasa nyeri menyerang pelipis, Raden melepas kaca mata lalu tangannya naik—memijat pelan bagian tengah alis.

Lihat, bahkan setelah perbincangan dilakukan, tak ada yang berubah.

Justru semua menjadi kacau.

Luka yang tak ingin dibuka Raden selama lima tahun belakangan justru terkupas dalam waktu semalam.

“Gue juga nggak selalu ketawa kayak yang lo liat.” Suara Helmi memecah hening.

Raden sedikit mendongak, “Gue udah bilang, gue nggak pedul—”

“Lo peduli.”

“Nggak.”

“Gue udah kenal lo dua belas tahun.”

“Terus? Lo pikir lo paham—”

“Nggak. Dua belas tahun gue tau lo tapi gue nggak pernah bisa nebak jalan pikiran lo.”

Raden tak menjawab, ia membuang pandang, tangan mengusap kasar wajah.

“Lo tau gue goblok, lo tau gue nggak bisa langsung mahamin lo. Itu 'kan yang bikin lo selalu bilang apapun yang lo rasain ke gue.”

Raden menoleh cepat, ia paham kemana arah pembicaraan ini akan dibawa, “Ter—”

“Kenapa selama ini lo diem aja?! Gue lebih suka lo marahin gue, pukul sekalian atau—” Helmi menarik napas dalam, tangannya terkepal, “Atau lo bisa nangis-nangis di depan Naresh, gue yakin dia bakal langsung bunuh gue—”

“Buat apa?!”

“Buat...” Helmi terdiam sejenak, mendadak ia merasa taman yang kecil terlalu lapang untuk dirinya, “Buat diri lo sendiri, buat gue, buat hubungan kita—yang mungkin aja masih bisa dipertahanin kalau aja—” Ia menelan ludah saat diarasa seluruh tenggorokan terasa kering, “Kalau aja lo berusaha sedikit aja dan nggak langsung pergi—”

“Ini yang bikin gue nggak mau bilang apa-apa!” Potong Raden cepat, “Lo selalu pengen keliatan bener!” Serunya keras, “Gue berkali-kali bilang sama diri sendiri kalau gue nggak salah tapi lo selalu nyari celah buat nyalahin gue!”

Helmi tak menjawab.

“Pernah nggak—sekali aja—lo ngerasa bersalah sama—”

“Pernah.”

“Gue nggak yakin.”

“Selalu.”

“Jangan bo'ong.”

Aneh rasanya, bagaimana sorot nestapa orang lain, dapat menjadi kebahagiaan untuk diri sendiri.

Raden bukan orang suci, banyak larangan yang sengaja dilanggar. Namun ia selalu berusaha membawa diri dengan memilih tutur kata yang baik dalam bicara.

Raden bukan orang berbudi, ia kerap menggerutu dalam hati. Namun ia tak akan berpesta di atas duka orang lain. Setidaknya, ia akan tersenyum hanya pada hal yang menyenangkan.

Namun malam ini, sudut hati Raden merasa buncah hanya karena mendengar akuan penyesalan dari Helmi.

Saat Helmi berteriak menjelaskan hari-hari yang berlalu penuh sesal, Raden menggigit bibir agar tak terpingkal.

Saat Helmi mempertanyakan tentang harga diri, Raden sengaja tak menjawab agar lawan bicara malu hati.

Malam belum terlalu larut saat teriakan Helmi mulai padam.

Kini keduanya kembali ke posisi semula, duduk di bangku panjang tepat di bawah langit mendung.

Mobil-mobil masih terparkir di pinggir taman.

Tak ada yang berubah kecuali suhu yang makin dingin dan hati yang makin panas.

“Gue kira,” Helmi membuka percakapan setelah menit-menit direnggut hening, “Gue bakal mendingan setelah tau kalau selama ini lo nggak baik-baik aja,”

Raden menoleh, menatap wajah Helmi dari samping. Dulu, garis rahang itu menjadi pemandangan favorit untuknya.

“Tapi,” Helmi terkekeh, melanjutkan ucapan, “Gue malah makin nyesel.”

Raden tak menjawab.

“Gue selama ini mikir, se-nggak berharga apa sih gue di mata lo?” Helmi menoleh, mata sayunya menatap balik kedua mata Raden, “Gue mikir, gue se-nggak penting itu ya?”

Entah mengapa, Raden menyadari sesuatu.

Raden paham betul seberapa derita yang dirasa lelaki di depannya. Rasa tak percaya diri, tak berharga, dan sesal. Ia pernah melewatinya.

Lagi-lagi, Raden teringat kalimat Julian.

Ah, sepertinya benar ya?

Beberapa orang lebih suka menunjukkan tawanya pada dunia. Seperti Raden yang ingin tetap angkuh walau dalam dirinya runtuh, mungkin, mungkin, Helmi juga demikian.

“Lo juga nggak pernah ngabarin gue.” Ujar Helmi.

Raden sudah siap membantah kalimat Helmi, ia sudah siap mengelak dengan mengatakan kabar gue nggak sepenting itu, lo juga nggak perlu tau.

Namun Helmi lebih dulu menambahkan, “Nggak harus kabar rutin kayak dulu, Eyang Kakung meninggal aja lo nggak ngabarin gue.”

“Lo nggak nany—”

“Lo juga nggak langsung ngabarin anak coksu.”

Raden terdiam selama beberapa saat.

Anehnya, ia siap melempar berbagai alasan untuk membela diri. Walau pada nyatanya, alasan Raden hanya satu: ia tak mau.

Lelaki dengan kaca mata di tangan itu terhenyak.

Oh....

Jadi ini yang dirasakan Julian?

Mungkin, mungkin, memang ada beberapa hal yang tak dapat dibagi begitu saja, dengan berbagai alasan.

Perlahan, Helmi mulai melanjutkan percakapan—atau lebih tepatnya monolog karena Raden tak menanggapi sejak tadi.

Mendung mulai tersingkir. Meteor kecil mulai menunjukkan keelokan dalam menghias malam.

Saat Helmi kembali membuka kartu penyesalannya satu per satu, Raden mulai teringat kalimat Yoshi. Benar—ternyata—Raden memang lebih kuat dari yang ia pikirkan.

Saat pembicaraan itu nyaris selesai, Raden semakin menyadari. Ketakutannya selama ini benar-benar hanyalah rasa takut untuk tersakiti kedua kali.

Raden terlalu menganggap remeh diri sendiri.

Ujung bibir lelaki itu sedikit terangkat.

Dan, lagi-lagi, kalimat Julian benar adanya.

Manusia memang sering takut pada hal-hal yang tak pasti.


Omong-omong tentang Julian, lelaki itu tengah duduk di mobil yang terparkir tepat di belakang bangku yang diduduki Raden.