Menyederhanakan Hal-Hal yang Tak Sederhana

“Keseimbangan adalah tidak melakukan sesuatu meski kita bisa melakukannya lebih lagi.”– Kim Suhyun

Raden duduk di ujung sofa panjang—sengaja tak ingin terlalu dekat dengan Julian.

“Jauh banget duduknya?” Julian menolehkan tubuhnya pada Raden, ia duduk di ujung sofa yang lain. “Kamu masih marah sama aku?”

Satu alis Raden dinaikkan, “kamu belum bilang apa-apa tentang hal pentingmu itu.” Ia sengaja menekan suaranya.

Julian menghela napas perlahan, “tapi janji ya, kalo udah aku kasih tau, kamu jangan marah sama aku?”

Tangan Raden disilangkan di depan dada, “tergantung hal penting apa yang kamu maksud—karena seingetku kamu pernah lupa kalo aku mau ngobrol sama kamu karena kalian pergi nonton, menurutku nonton itu bukan hal penting.” Matanya menajam.

Mulut Julian tergagap, “bu-bukan nonton—eh bentar,” ia berhenti sejenak, menatap Raden penuh selidik, “kamu masih marah tentang itu? Kan aku udah minta maaf dan kamu udah maafin?”

Mata Raden menyipit, iya juga. Ia buru-buru memasang wajah datar, “oke—masalah itu udah selesai. Sekarang mending kamu jelasin apa hal penting yang kamu lakuin sama temen-temenmu.”

Sebenarnya, Raden tak sampai hati menodong Julian dengan penjelasan ini—apalagi melihat wajah lelah Julian. Kekasihnya itu juga belum menyentuh jus jeruk yang disajikan di meja. Tapi... bagaimana ya? Raden tak ingin Julian berpikir bahwa kehadirannya akan menyelesaikan semuanya. Maksudnya, Raden hanya ingin bersikap tegas. Ia tak suka tindak tanduk Julian yang terlihat santai saat mereka bertemu—seolah masalah mereka telah selesai sejak mata keduanya beradu.

“Kamu jangan marah ya, dengerin dulu penjelasanku.” Jawab Julian kemudian, ia menggigit bibir. Tubuhnya sepenuhnya dimiringkan untuk menghadap Raden, tangannya diistirahatkan pada sandaran sofa.

Mata Raden semakin menyelidik pada Julian. Ia sudah membuat berbagai kemungkinan di kepalanya—mulai dari hal yang masih dapat ia maklumi hingga hal yang mungkin akan membuatnya diam seribu bahasa.

“Jadi,” Julian berdeham, “Jacob sama Dhika mau nikah—”

Tunggu…

Kedua mata Raden membulat. “Hah? Mereka pacaran?”

“Bukan pacaran sih… tapi temenan juga bukan....” Julian membasahi bibirnya sekilas, “mungkin semacam HTS, tapi udah dari lama.”

Untuk beberapa saat, Raden terdiam. Tubuhnya masih terpaku di sofa, namun seluruh pikirannya kembali pada beberapa waktu belakangan— Jadi selama ini rasa cemburunya sia-sia?

Untung gue belum nanya langsung ke Mas Iyan.

Raden berdeham untuk mengembalikan pikirannya yang berceceran. Ia menghela napas pelan sekaligus menyingkirkan rasa malunya karena telah termakan emosi sesaat. “Terus?”

“Mereka pengen bangun rumah di Rosemary,” Julian melanjutkan, “jadi—”

“Tunggu.” Potong Raden cepat, “mereka mau bangun rumah... di deket rumahmu?”

“Bukan.” Julian menggeleng. “Di kota.”

“Oke, terus?”

“Nah, aku bantuin mereka buat nyari lahan sama sekalian ngurus dokumennya.”

“Kamu yang ngurus dokumennya?”

“Nggak. Aku cariin notaris aja.”

Raden kembali mengangguk, “terus? Kalo cuma itu doang aku nggak bakal marah lah, kan—”

“Bukan itu.” Julian menyambar cepat.

Mata Raden kembali memberi sorot penuh selidik, “terus?”

“Jadi,” Julian membenarkan posisi duduknya, “aku juga minta tolong sama Dhika buat nyariin aku lahan di...” ia sedikit memberi jeda, “di sini....”

“Buat?”

“Bangun...” matanya melirik Raden takut-takut, “toko....”

Oh, wow?

Dua alis Raden terangkat sempurna, ia menatap wajah Julian yang menyorotkan sinar gugup, lalu ia beralih pada ujung meja, lalu kembali pada Julian—ia hampir kehilangan seluruh kosa kata di kepalanya—berharap dengan terus menggerakkan bola matanya akan membuat pikirannya lebih tertata,.

“Kamu…” Raden terdiam sejenak, “mau bangun toko di sini?” Setidaknya ia masih mampu mengulang kalimat Julian.

“Iya...” Julian mengangguk pelan.

“Jadi ini....” Kepala Raden nyaris kosong, ia berhenti sejenak untuk menyusun kosa kata yang pas untuk mengutarakan isi pikirannya, “jadi sekarang kamu kesini karena mau bangun—”

“Nggak.” Julian menggeleng cepat. “Aku kesini karena emang pengen ketemu kamu.” Lanjutnya mantab.

Raden mengangguk pelan. Matanya kembali bergerak pelan menyusuri meja, ujung sofa, kaki Julian, lalu kembali lagi ke meja. Sel-sel di otaknya bergerak cepat untuk mencerna ucapan Julian.

Setelah hening yang cukup panjang, Raden melepas kacamatanya lalu menaruhnya di meja—ia siap memuntahkan hasil berpikir singkatnya. “Aku nggak mungkin nggak marah tentang rencanamu ini, Mas.” Ia menatap Julian lurus-lurus, “aku udah pernah bilang aku nggak setuju sama keputusanmu buat bangun toko di sini.”

Hening.

Julian tak langsung membalas. Ia hanya menggigit bibir, menunggu Raden kembali melanjutkan kalimatnya—ia yakin masih ada banyak hal yang akan disampaikan kekasihnya.

“Kenapa kamu nggak bilang dulu sama aku?” Suara Raden kembali terdengar.

“Karena aku tau kamu bakal ngelarang aku...”

Satu alis Raden terangkat, “kamu udah tau aku bakal ngelarang kamu dan kamu tetep ngelakuin itu?”

“Raden,” Julian mendesis pelan, ia kembali merubah posisi duduknya, “biar aku yang urus—”

“Kamu udah jadi beli tanah?”

Julian menggeleng, “belum.”

“Jangan.”

“Kenapa?”

“Kenapa?” Raden mengulang kembali pertanyaan Julian—dengan nada yang meragukan mengapa Julian masih harus mempertanyakan larangan Raden, “karena kamu mau bangun toko di sini demi aku—sementara aku nggak setuju dan kamu harusnya lebih tau kenapa aku nggak setuju.” Jawab Raden, suaranya jauh lebih membulat dari sebelumnya—menunjukkan ia bersungguh-sungguh dengan tiap kalimatnya.

“Raden,” jemari Julian saling mengusap—ia gugup, “aku emang udah lama nggak nilai bisnis tapi aku tau kok masa depan tokoku juga bakal tetep bagus kalo aku buka satu lagi di sini.”

Raden mengerutkan alis, “nggak, Mas. Kamu nggak ada survey lahan atau persiapan apa-apa di sini. Kamu cuma bilang gitu karena kamu pengen nurutin egomu.”

Tak ada jawaban dari Julian. Sebuah fakta baru saja menghantamnya telak.

Stop, Mas.” Raden melanjutkan, “aku juga pengen bareng terus sama kamu. Aku juga pengen kita selalu deket. Tapi bukan gini.” Ia sedikit memiringkan kepala, matanya masih menatap Julian dalam-dalam, “kamu jangan keterlaluan.”

“Keterlaluan?” Mulut Julian ternganga, “aku? keterlaluan?” Tangannya menunjuk dadanya sendiri.

“Iya.” Raden mengangguk sekilas, “kalo kamu bangun toko di sini, kamu bakal terlalu berkorban buat hubungan kita, dan itu bakal bikin hubungan kita nggak seimbang.”

Dua alis Julian saling bertaut, “kenapa nggak seimbang?”

“Karena kamu ngasih terlalu banyak buat aku.” Raden membasahi sekilas bibirnya, “kamu tau 'kan, di dalam sebuah hubungan itu harus ada give and take. Kalo kamu ngorbanin sesuatu buat aku, aku juga harus ngorbanin sesuatu buat kamu. Dengan pengorbanan sebesar itu, aku nggak bakal bisa ngimbangin usahamu, Mas.”

“Raden...” Julian terdiam sejenak, ia tau pikirannya sekarang akan terdengar kekanak-kanakan, tapi tak ada hal lain yang bisa ia simpulkan selain pikiran ini, “itu bukan pengorbanan… itu cuma hal kecil…?” Ia menggigit bibir—ragu mengucapkan kalimat yang telah duduk di ujung lidahnya, “kamu… nggak sesayang itu sama aku?”

Raden mengerjap beberapa kali. Ia menghembuskan napas pelan sebelum membalas pertanyaan Julian, “bukan gitu, Mas.”

“Aku cuma...” Raden menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “aku pernah ada di posisi kamu. Maksudnya—di hubunganku dulu, aku selalu... ngusahain hal-hal yang sebenernya nggak perlu aku lakuin—dan sebelum kamu protes, usaha sama pengorbanan itu berbanding lurus,” Ia terdiam sejenak, “Oke, awalnya emang baik-baik aja—I feel good abis aku ngusahain banyak hal buat mantanku. Tapi lama-kelamaan itu nggak sehat buat hubunganku, Mas. Aku jadi berharap dia bakal ngasih usaha yang sama tingginya ke aku—”

“Tapi aku bukan kamu, Raden.” Potong Julian cepat.

“Tapi kamu kayak gitu, Mas—sadar nggak sadar—kemarin kamu gitu.” Sahut Raden tak kalah cepat, “pas aku marah sama kamu karena kamu lama bales chatku—kamu inget nggak—kamu bilang, kamu nggak pernah protes padahal kamu capek nunggu kabarku dan kamu tanya kenapa aku nggak bisa ngelakuin hal yang sama ke kamu. Kamu bilang, kenapa aku nggak bisa ngertiin kalo kamu nggak bisa cepet bales chat. Inget, 'kan?”

Julian mengangguk.

“Dari situ udah keliatan, Mas.” Telunjuk Raden bergerak seiring tiap kata yang keluar dari mulutnya, “kamu ngerasa udah sabar banget ke aku dan kamu pengen aku juga bisa sesabar itu ke kamu.” Ia berhenti sejenak, “paham?”

Saat merasa Julian tak kunjung menjawab, Raden menarik kembali topik percakapan pada jalurnya, “dulu pas akhirnya aku dikhianatin mantanku, aku jadi heran kenapa dia ngekhianatin aku padahal usahaku udah banyak banget buat dia. Aku ngerasa nggak dihargai. Dan itu yang bikin aku langsung pergi ninggalin dia tanpa peduli apapun penjelasannya—aku bener-bener langsung pergi, Mas.”

Raden menggeleng sebelum Julian sempat bersuara, “kamu nggak bisa ngelak kalo kamu nggak kayak aku, Mas. Aku yakin semua orang kayak gitu. Nggak ada orang yang mau bertahan di tempat yang bikin dia ngerasa nggak dihargai.”

Julian terdiam. Ia mengurungkan niatnya untuk menjawab penjelasan Raden—lebih memilih untuk menajamkan telinganya.

“Semakin kamu ngorbanin banyak hal buat aku, semakin tinggi juga ekspektasimu buat aku. Dan ini, Mas, ini yang bakal jadi masalah banget kalo aku nggak bisa ngimbangin pengorbananmu, bisa aja kamu ngrasa kalo kamu berjuang sendiran di hubungan kita, atau kamu ngerasa aku nggak sayang sama kamu—kayak tadi.”

“Hubungan yang nggak seimbang kayak gitu, bisa hancur kapan aja, Mas.” Raden masih mendominasi percakapan. Tatapannya melembut—masih tertuju pada Julian, “buka toko di sini adalah usaha yang besar banget buat hubungan kita—berlebihan lah kasarnya. Jadi, jangan buka toko dulu ya? Kita liat dulu keadaannya nanti gimana. Kita nggak perlu buru-buru. Pelan-pelan aja ya?”

Julian menggeleng.

Bahkan Raden sudah enggan menghela napas. Ia tak tau lagi harus menjelaskan dengan cara ap—

“Peluk dulu.” Tangan Julian merentang lebar.

Walaupun kesal, ujung bibir Raden sedikit naik. Tanpa disuruh dua kali, lelaki itu beranjak memasuki pelukan kekasihnya.

Hangat. Nyaman. Tenang.

Pelukan Julian berisi hal-hal yang Raden rindukan.

“Makasih, Raden.” Bisik Julian pelan—di antara pelukannya yang makin mengerat pada Raden.

“Kenapa?” Jawab Raden tak kalah pelan, tangannya masih bergelayut di pinggang Julian.

Julian makin erat mendekap punggung Raden lalu mengusapnya lembut, “you have no idea how much I love you.

Raden terkekeh pelan, “apa, sih?”

“Setiap hari ada aja yang bikin aku bersyukur bisa pacaran sama kamu.”

Jantung Raden berdegup dua kali lebih cepat—ia mengeluarkan tawa kecil untuk menutupi suara degup jantungnya yang makin menjadi.

Tangan Julian berpindah mengusap rambut Raden, “aku beneran bisa mindahin planet bumi seisinya kalo kamu mau.”

Tawa Raden terdengar, tangannya otomatis menepuk punggung Julian, “gombal!”

“Beneran.” Tawa Julian ikut bergabung.

Sebuah senyum lebar tertoreh di wajah Raden, “jangan. Aku pengen tinggal di bumi bareng kamu.”

Julian terus mendorong Raden untuk memasuki pelukannya, “oke, aku kabulin karena kamu yang minta.”

Hingga satu menit kemudian, keduanya tak beranjak dari posisi—sampai akhirnya Raden yang meminta untuk melapaskan diri, berpindah menyandarkan kepalanya di bahu Julian dengan tangan kekasihnya yang melingkar di sekitar pundaknya.

Tak ada percakapan hingga akhirnya suara Julian terdengar, “aku kangen banget sama kamu, Raden.”

Raden tersenyum. “Aku juga.”

Tangan Julian mengusap lengan Raden, “aku nggak mau kayak kemarin lagi.”

Raden terdiam untuk beberapa saat—berusaha menerka hal tak mengenakkan apa yang terjadi kemarin karena ada terlalu banyak hal yang terjadi di antara keduanya, “kemarin?”

“Aku nggak mau kita nggak kabar-kabaran sama sekali.”

Oh.

Kalau saja Julian mengatakan itu semua di telepon, mungkin Raden akan langsung menyerbunya dengan kamu sih, nggak ngabarin aku, tapi usapan Julian terlalu menenangkan di lengannya—Raden hanya ingin mempertahankan ketenangan ini lebih lama—akhirnya Raden hanya membalas dengan anggukan ringan, “iya. Aku juga nggak mau.”

Lagi-lagi, keduanya terdiam. Tenggelam dalam ketenangan yang nyaris membuat keduanya sama-sama terlelap.

Meskipun matanya berat, pikiran Raden masih sibuk berkelana. Ia teringat bagaimana ia mencecar Julian beberapa waktu lalu. Ia teringat bagaimana rasa cemburunya menerbitkan buruk sangka yang menyakiti Julian.

“Maaf ya, Mas.” Ucap Raden, memecah keheningan.

“Kenapa?” Julian mengistirahatkan pipinya di ujung kepala Raden.

“Karena aku egois.”

Julian mengerjap beberapa kali, “egois?”

Raden mengangguk, ia segera melepas diri dari pelukan Julian untuk menatap kekasihnya, “iya.”

“Karena nggak ngabarin kemarin? Iya sih, kamu emang egois banget. Aku tau kamu bisa tahan nggak dapet kabar dari aku, tapi aku nggak bisa—”

“Bukan itu.” Potong Raden cepat, ia tak dapat menahan bibirnya yang terlanjur mengulum senyum.

“Terus?”

“Sebenernya, kemarin...” Raden memberi jeda untuk beberapa saat, mendadak ia merasa malu dan meragukan niatnya untuk menjelaskan kesalahpahamannya pada Julian—tapi permintaan maaf tanpa disertai penjelasan adalah hal yang tak kalah egois, “kamu inget nggak pas aku bilang mau ngomog sesuatu sama kamu...” ia menunggu hingga Julian mengangguk, “yang mau aku omongin itu... aku mau bilang kalo aku...” Raden melirik sekilas mata Julian, “nggak suka kamu deket-deket sama Jacob...”

“Jacob?” Julian memastikan telinganya tak salah dengar, “kenapa?”

Bahkan Raden tak tau kosa kata apa yang cocok untuk ia gunakan sekarang.

Cemburu? Terlalu kekanak-kanakan.

Trust issue? Terlalu dramatis.

Nggak suka aja? Terlalu tak jelas.

“Kamu cemburu?” Tembak Julian langsung.

Karena terlanjur ditanya demikian, Raden mengangguk pelan—nyaris tak terlihat, namun karena Julian memasang lekat matanya pada Raden, gerakan sekecil apapun dapat tertangkap jelas di matanya.

Lelaki berlesung pipi itu tak bisa menahan tangannya untuk tak menarik Raden kembali dalam pelukannya, senyumnya melebar, “astaga... pantes....”

Pipi Raden memerah—tak menyangka Julian akan meresponnya dengan pelukan, “pantes apa?”

“Pantes kamu jadi nyebelin banget.” Tak perlu melihat wajahnya, Raden tau Julian sedang tersenyum lebar saat mengucapkannya.

Nyebelin?

Raden menelan ludah—semakin merutuki sifatnya beberapa hari belakangan, “maaf.”

“Jacob udah mau nikah sama Dhika.” Meskipun Julian tak perlu menjelaskannya, tapi ia merasa harus menyangkal rasa cemburu yang baru saja diutarakan Raden.

“Kan kemarin aku nggak tau.”

Julian hanya membalas dengan tawa renyah. Ia mengusap bagian belakang kepala Raden sebelum melepas peluknya, “kalo gitu, aku juga minta maaf.”

“Kenapa?”

Tangan Julian berpindah untuk merapikan anak rambut Raden yang menutupi wajah, “kemarin aku juga nggak kalah nyebelin karena cemburu kamu pergi bareng Helmi.”

“Kamu cemburu?” Dua alis Raden terangkat.

Jemari Julian berhenti, “kamu nggak tau... atau pura pura nggak tau?”

“Aku cuma mau mastiin,” ia menangkap tangan Julian yang masih melayang di depan wajahnya lalu menurunkannya, “kamu beneran cemburu sama Helmi?”

“Ya... iya...? Kamu sempro bukannya ngabarin aku tapi malah pergi sama mantanmu?”

Wah. Bukankah Julian adalah orang yang paling tau ia tak akan pernah kembali pada Helmi? Untuk apa cemburu?

Raden menyelipkan jarinya di antara jemari Julian, “aku udah ngasih tau kamu kalo aku mau sempro, kamu aja yang lupa!”

“Aku inget.” Jawab Julian cepat, “waktu itu aku udah mau ngucapin selamat tapi aku malah liat tweet mantanmu.” Ia mendengus kesal.

Raden tertawa melihat wajah masam Julian, “kan aku juga pergi sama yang lain?”

“Iya, tau.”

“Kamu tau tapi masih tetep cemburu?” Dahi Raden berkerut.

Julian tak menjawab.

Sebuah kekehan kecil terdengar dari mulut Raden, “iya, ya? Ternyata orang cemburu tuh nyebelin.”

Julian mendengus kasar. Bibir tebalnya mengatup rapat.

Raden tertawa, ia segera mencubit sekilas pipi Julian, “kenapa manyun gitu?”

“Ngambek.” Jawab Julian tanpa memandang wajah Raden.

Tawa Raden meledak. “Kalo dicium masih ngambek nggak?”

Terlihat jelas Julian sedang menahan senyumnya, meskipun bibirnya masih membentuk garis lurus namun lesung pipinya mengintip perlahan. “Nggak tau.”

“Kok nggak tau?”

Telinga Julian memerah, “coba aja dulu.”

Tak sampai dua detik, Raden telah mendaratkan bibirnya di bibir Julian.

Dan dari kecupan beberapa saat itu, Raden dapat merasakannya—seolah sebuah ledakan baru saja terjadi di kepalanya, menghancurkan dinding kecemasan yang selama ini terbangun di sana.

Malam itu, Raden paham.

Hidup memang berisi peristiwa dengan pola yang sama. Bahkan beberapa orang akan merasa terlalu muak, bosan, lelah—atau apalah sebutannya—untuk menghadapi kehidupan.

Tapi, tak pernah ada hal yang seratus persen sama di dunia ini—kembar identik pun tak seutuhnya sama. Bahkan siklus musim yang selalu berulang tiap tahun tak pernah jatuh di tanggal yang sama.

Jadi, Raden tak seharusnya terlalu khawatir. Mungkin kehidupan akan terus menimpanya dengan rentetan peristiwa yang berulang, namun selalu ada hal yang berbeda.

Misal, waktu—atau tanggal, atau suasana hati, atau... kehadiran Julian.

Namun—tentunya—yang terpenting dari semua perbedaan itu adalah dirinya sendiri.

Raden hanya perlu memastikan bahwa ia telah menjadi orang yang berbeda di setiap peristiwa yang menimpa dan menempanya.

Raden tau, ia tak perlu susah-susah memenangkan takdir yang memang digariskan untuknya. Ia hanya perlu mengalahkan dirinya di masa lalu.

Sebuah senyum merekah di wajah Raden yang merona.

Sekali lagi, ia dibuat jatuh cinta pada cara Julian membuatnya merasa cukup.