Ngobrol
tw / cw // harsh words , cheating
“Gue dulu.” Raib memutar kursi belajar.
“Nggak, ini lebih penting.” Sergah Hugo cepat, berdiri mendekati Raib.
Raib menggeleng, “Apa yang mau gue bilang, jauh lebih penting.”
“Tentang Pak Juna?” Tembak Hugo cepat, “Apa yang mau gue sampein lebih penting, tentang lo.” Ia menyilangkan tangan di depan dada.
Raib terdiam, menghela napas, ia mengalah, “Oke.”
“Raib.” Ucap Hugo, memulai pembicaraan, “Gue minta maaf karena gue pergi ninggalin lo tadi siang. Gue nggak tau lo bakal nemuin—” Ia terdiam selama beberapa saat, “Apapun yang lo temuin tadi. Tapi tolong banget, tolong banget, lo janji ke gue, jangan pernah ulangin itu lagi.”
Raib menaikkan satu alis, “Ngulangin itu lagi? Itu lagi apaan?”
“Pergi sendiri gitu, ngelakuin sesuatu sendirian, bahaya,” Hugo menggigit bibir bawah, “Tadi gue bisa dateng tepat waktu, kalau misal gue nggak dateng gimana? Lo bakal bilang apa ke Pak Juna? Kalau lo dikira nyolong gimana?”
Raib melirik tajam. Merasakan bibirnya mulai agak bergetar, “Salah lo.” Desisnya pelan.
“Raib,” Hugo mengusap wajah frustasi, “Maaf banget, bisa nggak kita bahas dulu tentang lo hari ini? Keputusan lo hari ini bahaya banget. Dulu pas wawancara Yahya juga gitu, lo terlalu impul—”
“Salah lo!” Potong Raib cepat, ia berdiri, dadanya naik turun, ada terlalu banyak sesak yang ditahan, “Salah lo karena lo pergi ninggalin gue hari ini! Mana yang katanya lo sayang sama gue? Mana yang katanya lo ngerasa baik-baik aja di samping gue? Mana—”
“Tapi gue balik!” Tukas Hugo cepat, “Gue pasti balik, Raib. Lo tinggal nunggu gue, kita diskusiin semuanya bareng-bareng! Lo harusnya percaya sama gue!”
“Lo juga nggak percaya sama gue!” Bentak Raib, “Gue bisa jaga diri sendiri! Gue bisa aja loncat dari balkon atau sembunyi di kamar mandi! Lo yang selama ini nggak percaya sama gue!” Matanya nyalang menatap Hugo.
“Gimana gue tau lo bakal balik kalau lo nggak bales chat gue?! Lo pergi gitu aja tanpa bilang apa-apa!” Nada bicara Raib makin tinggi. Napasnya tak beraturan.
Hugo terdiam.
“Gue udah kemakan janji lo! Gue kemakan omongan lo!” Raib menatap Hugo tajam, “Semua omongan lo yang bilang lo bakal nyari gue abis badan lo ketemu. Lo sadar nggak gue jadi pengen banget nemuin badan lo? Lo sadar nggak gue jadi makin takut badan lo kenapa-kenapa kalau nggak cepet-cepet ditemuin?!”
Sesak. Hanya itu yang dirasakan Raib. Rongga dadanya dipenuhi mendung pekat yang tak mampu ia singkirkan. Semenjak mendengar semua janji Hugo, Raib hanya memiliki satu tujuan, menemukan tubuh lelaki itu. Setiap waktu—setiap detik, berharga. Ia kecewa dengan sikap Hugo yang meninggalkannya saat pikirannya sedang berkecamuk. Semua hal ini, semua hal yang ia lakukan tadi, semua demi Hugo.
Raib menutup wajahnya dengan dua tangan, mengusapnya kasar, sebuah fakta baru kembali menghujam pikirannya, “Belum lagi Pak Juna...”
“Maaf.” Hugo memijat pelipis, “Maaf.” Ucapnya lagi. Ia menatap Raib yang wajahnya tertutupi punggung tangan, “Raib, maaf.”
Benar. Hugo hanya mampu meminta maaf. Ia meminta maaf karena rasa khawatirnya ternyata hanyalah bentuk ketidakpercayaannya pada Raib. Ia meminta maaf karena pergi begitu saja tanpa mendiskusikan apapun. Terakhir, ia meminta maaf karena masa hidupnya yang membebani pikiran Raib.
“Lo brengsek.” Raib menurunkan tangan, matanya lamat-lamat menatap Hugo.
Hening.
Terdengar hembusan angin melewati jendela kamar. Burung-burung mulai mengepak, kembali ke peraduan. Kendaraan saling menyalip di jalan raya.
“Iya.” Jawab Hugo, tak mengelak. Ia sadar seberapa salah posisinya sekarang. Walaupun ia sama sekali tak mengingat kenangan dengan Pak Juna—tetap saja, ia brengsek.
“Pak Juna udah nikah, udah punya keluarga, udah jadi Papa buat Aika.” Raib menggertakkan gigi. Amarahnya membuncah.
Hugo hanya mampu menundukkan wajah.
“Aika belum genap setahun pas lo mulai pacaran sama Pak Juna.” Bibir Raib kembali bergetar.
“Iya.”
“Lo bangsat.” Mata Raib mulai mengkilat.
“Raib...” Hugo mengangkat wajah.
Selama mengenal Raib, ia tak pernah melihat raut wajah lelaki itu sehancur ini. Ia tak pernah mendapat tatapan kecewa dari Raib. Tatapan itu, menusuk Hugo berkali-kali.
“Raib, maaf banget—”
“Gue juga brengsek.”
Hugo menaikkan dua alisnya, “Hah?”
“Gue lebih brengsek dari lo.” Raib menyeka ujung mata, menarik nafas dalam lalu menghembuskannya cepat, “Gue seneng karena pacar lo Pak Juna.”
Hugo tak menjawab, membiarkan Raib melanjutkan kalimatnya.
“Gue udah takut banget pas nyadar kalau lo punya pacar,” Sebuah dengusan terdengar dari Raib, “Lo bakal bangun, ngelupain gue, dan gue bakal menderita sendirian sedangkan lo bahagia sama pacar lo.”
Raib menghela napas, “Tapi pacar lo Pak Juna, dan kalian main belakang.” Ia mengangkat wajah, menatap Hugo yang masih terdiam menunggu Raib menyelesaikan kalimatnya.
“Kalau badan lo ketemu, gue bakal langsung nemuin lo,” Sebuah senyum yang lebih mirip seringai muncul dair bibir Raib, “Bahkan kalau lo lupain gue dan yang lo inget cuma Pak Juna, gue bakal nyariin lo,” Ia menatap Hugo dalam-dalam, “Gue bakal hancurin hubungan kalian berdua.”
Senyap kembali menyergap.
Mendadak arwah Hugo bersinar terang. Membuat kedua mata Raib membulat sempurna.
Raib tak sempat berkedip ketika Hugo sudah menerjangnya.
Semua terasa lambat sekaligus cepat di mata Raib. Hugo menabrak tubuhnya, membuat dadanya seperti dihantam dengan bola raksasa. Napas tercekat. Telinga berdenging. Seluruh suara di sekitar Raib terserap diganti hening.
Ia seperti terdorong hingga dinding kamar.
Matanya membulat saat sekilas ia melihat bagian belakang tubuhnya.
Arwah gue keluar lagi?
Lalu setelahnya,
Gelap.