Ngobrol Bareng Hiro

TW // domestic violence , mention of gaslighting behavior

Malam Selasa di tepi Sungai Neo. Gelak tawa bersaing dengan segala bising. Hiro dan Regan saling melempar kata memeriahkan pertemuan mereka.

Tangan mereka sesekali ikut berbicara. Mengepal, terbuka, tertutup, menepuk.

Bincang malam itu dihiasi dengan banyak topik. Sekolah, kampung halaman, jajanan, film, lagu, Jufferi, Chleo, semuanya, semuanya. Hiro menepati janjinya, Regan bisa membicarakan apapun dengannya.

Ada lengang setelah mereka sibuk tertawa.

“Hiro?”

“Ya?”

“Apa yang paling lo takutin?”

“Takut?” Hiro berpikir sejenak, “Lo nanya serius?”

Regan tersenyum samar, “Serius.”

Well, sampe sekarang sih yang paling gue takutin...” Hiro terdiam untuk beberapa saat, “Pak Anton kalau lagi marah—AWW”

Regan memukul lengan Hiro, “Auk ah males.”

Hiro tertawa, badannya menghadap lelaki mungil di sampingnya, “Kalau lo? Apa yang paling lo takutin?”

“Nggak ada!”

Hiro tertawa, “Lo nanya kayak gitu buat pembukaan cerita lo kan? Jangan bikin gue mikir lah, langsung cerita aja.”

Regan memanyunkan bibir, kesal tapi yang dibilang Hiro memang benar adanya.

Jari tangan Regan saling bertaut, memainkan satu sama lain.

“Gue takut sama bokap gue.”

“Bokap lo?”

Untuk pertama kalinya selama mereka saling kenal, Hiro mempertanyakan Papa Regan.

“Dia jahatin lo?”

Regan menggeleng.

“Dia sering marahin lo?”

Regan menggeleng.

“Hmm.. sorry sebelumnya… cerai?”

Regan tetap menggeleng.

“Terus… kenapa?”

Regan menggigit bibir bawahnya.

Kenapa… kata yang paling ditakuti Regan.

Dulu ia sering menggunakan kata ini,

Kenapakenapakenapa… namun tak ada jawaban.

Kata itu bagai palu yang menuntut. Setebal apapun tembok didirikan, 'kenapa' pasti meruntuhkan.

“Dia baik,”

Kenangan akan Papa mulai memenuhi kepala Regan. Sebaris demi sebaris ingatan menyeruak tanpa permisi.

Papa, cinta pertama milik anak pertama.

Papa pernah membuat ujung bibir Regan pegal karena terpingkal,

Papa pernah membuat kaki Regan kebas karena bercerita seharian di teras,

Papa pernah berbisik merencanakan pembelian mainan baru bagai menyelundupkan peluru.

Papa pernah,

pernah

dulu,” lanjut Regan.

Hiro terdiam.

“Sejak kapan ya dia berubah?” Tanya Regan, entah ditujukan pada siapa.

Sejak kapan ya? mungkin Regan berkedip terlalu lama hingga tak sampai menyaksikan.

Berubah Kata Papa, dibutuhkan rasa sakit terburuk untuk menghasilkan perubahan terbaik. Apa yang Papa hasilkan hingga perasaan Regan yang ditumbalkan?

Picingan, decakan, dengusan, semuanya bahu-membahu menghina keberadaan Regan.

Mulut Hiro tertutup rapat, tak ada satu kata pun lolos dari mulutnya. Matanya melekat pada wajah sendu di hadapannya.

“Gue dulu mikir oh gue ada salah ya sama Papa?”

Riang, senang. Dulu hanya ada dua kata itu dalam kamus hati Regan. Senang? tertawa. Merasa cukup? Bersyukur. Butuh bantuan? minta tolong. Salah? minta maaf.

“Gue minta maaf, tapi Papa marah.”

Bingung. Saat itu reaksi pertama Regan adalah bingung. Kepalanya bergerak linglung. Papa mengajarkan untuk selalu memberi saat ada yang meminta. Mengapa Regan meminta maaf namun yang diberikan Papa justru amarah?

“Sejak itu, gue nggak pernah lagi ngomong sama Papa sampe sekarang.”

Regan menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Mama…”

Suara Regan tertahan, asap lara menggumpal pekat dalam rongga dadanya.

Hiro mengulurkan tangannya, meminta tangan Regan.

Angin berhembus membawa perih Regan yang hangus. Pada suara bising kendaraan yang saling ribut, jemari dua insan saling bertaut.

“Regan… kalau terlalu berat, besok aja ya?”

Regan menggeleng, tidak. Perihnya sudah tersuap, sesaknya harus sekalian dilahap.

“Sini.” Hiro menarik Regan ke dalam dekapnya, diusap pundak Regan perlahan.

Regan menghapus air mata yang siap bergulir.

“Hiro, Mama—”

Ragu mulai menyelundup. Dalam bisu bibir Regan menjerit tak sanggup. Nyalinya tak akan pernah cukup.

Mana bisa bibir Regan menyebut kata Mama dan luka dalam satu kalimat?

Kata Papa, ucapan adalah doa. Regan hanya mau mengucap Mama dalam kalimat berisi doa baik.

“Mama bilang, ini bukan salah Papa...”

Dinding dalam rumah pun sangsi saat mendengarnya. Jika vas bunga bisa bicara, mungkin akan terkuak berapa kali ia dibenturkan pada kulit Mama. Jika lantai mau bersaksi, mungkin akan terkuak berapa kali ia dicumbu paksa oleh tubuh Mama.

Tak sekali dua kali daun telinga Regan dipaksa menangkap getaran tangis dari balik dinding. Tak sekali dua kali retina Regan dipaksa menangkap kilatan buncah amarah dari ujung jari Papa.

Kulit Mama putih, halus, terang. Setidaknya itu yang diingat Regan dulu. Kata Regan, dekap Mama lebih hangat dari terik yang menyengat.

Suara Mama adalah untaian nada yang menabuh gendang telinga Regan dengan lembut. Setiap kalimat Mama adalah lagu termerdu sepanjang waktu.

Namun Papa mengubah semuanya.

Kulit Mama membiru, suaranya penuh gugu, kasihnya terbelenggu.

Mama tak lagi mendekap dengan hangat. Salah gerak mungkin Mama akan tersengat.

Tanpa sadar, tangan Regan mungkin sempat menyapa luka Mama dibalik perca. Mama meringis namun tangannya tak akan menepis.

“Tiap Papa pulang, selalu ada barang yang dibanting—”

Selalu ada luka baru di badan Mama, selalu ada seru tangis dari kamar Mama.

Bibir Regan tak akan pernah mampu mengucap bising di kepalanya.

Hiro sama sekali tak dapat mendengar guruh di kepala Regan yang saling bersilat, namun dekapannya makin erat.

Regan terdiam, matanya kering, tak ada air mata lagi.

“Tau nggak Ro apa yang paling bikin sakit?”

Hiro menelan ludahnya, tak siap mendengar apa yang lebih sakit dari luka yang tak terucap,

“Apa?”

“Mama nggak mau ninggalin Papa.”