Nyari Angin

warning: semua hal di AU ini murni 100% fiksi. tw / cw // ghost , harsh words.

“Oh, jadi lo kalau nyari angin tuh kesini?” Raib memandang sekitar. Ternyata tempat Hugo mencari angin adalah taman kecil yang berjarak tiga rumah dari kos. Taman ini jarang digunakan karena tempatnya yang kecil—mungkin hanya satu petak—dengan air mancur kecil di tengah.

Hugo dan Raib sedang duduk di kursi panjang yang menghadap langsung pada jalanan. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, jalanan sudah sepi.

Hugo membalas dengan anggukan kecil, “Bagus lho, di sini tenang. Jarang ada setan lain juga, mungkin karena deket sama gereja.” Dagunya menunjuk bangunan gereja di seberang jalan.

Raib mengangguk paham, “Tapi gue penasaran, deh. Setan-setan beneran takut ya sama tempat suci?”

“Ya takut—kalau setannya punya energi jelek. Kan mereka cuma pengen balas dendam, nyelakain orang, iri, benci, gitu-gitu. Ajaran di agama, nggak ada yang gitu. Makanya mereka takut, mereka nggak bisa ngelawan juga.” Hugo menjelaskan.

Mulut Raib membentuk huruf O, “Makanya doa-doanya harus yang seagama sama setannya ya?”

Hugo mengangguk.

Mendadak Raib teringat seseorang, “Kalau setannya atheis gimana?”

Hugo terdiam, tampak berpikir sejenak, gimana ya kalau atheis?, lalu menggeleng, “Nggak tau.”

“Kok lo bisa tau banget, sih? Kenapa lo bisa tau ini semua tapi nggak inget lo siapa?”

“Nyindir ya? Kan gue barusan bilang nggak tau.”

Raib menggeleng, “Maksud gue yang hal-hal sebelumnya. Lo kayak tau banget, tapi lo nggak inget apa-apa tentang diri sendiri.”

Hugo mendengus, “Ya gimana? Emang nggak inget. Tapi nggak tau kok gue malah tau semua ini.”

Raib mengangguk perlahan. Ia memandangi tangan-tangannya, “Btw, kenapa jari lo nggak ada benang putihnya?”

“Oh, ini?” Hugo ikut mengangkat telapak tangan kirinya lalu menurunkannya di atas punggung tangan kanan Raib, “Biar nggak ada yang bikin ribet kalau mau pegang—AW!”

Raib segera menepuk tangan Hugo yang siap meraih tangannya, “Serius!!”

Hugo kembali mendengus kesal, “Bisa jadi karena gue udah meninggal, bisa jadi karena badan gue jaraknya lebih dari 6,6km dari arwah gue sekarang—”

“Bentar, kenapa 6,6 km?”

Hugo memutar bola mata, tampak berpikir, “Nggak tau. Cuma muncul angka 6,6 aja di kepala gue.”

“Oke deh, mungkin lo emang cuma tau sebatas itu,” Ia kembali menatap Hugo di sampingnya, “Lanjutin. Antara meninggal, atau...?”

“Atau badan gue jaraknya lebih dari 6,6 km dari arwah gue sekarang, atau...” Ucapan Hugo menggantung.

“Atau...?” Ulang Raib, menunggu kelanjutan ucapan Hugo.

“Atau arwah gue emang sengaja keluar dari badan.”

Alis Raib bertaut, “Hah? Sengaja?”

Hugo mengangguk, “Lo pernah denger astral projection?”

Raib terdiam, proyeksi astral?

“Itu lho di film Insidious yang arwahnya keluar dari badan buat jemput orang di dunia arwah.”

Kedua alis Raib langsung naik sempurna, “Oh iya! Kalau itu tau!”

Hugo mengangguk, “Nah, kalau orang ngelakuin astral projection, nggak akan ada benang putih di jarinya, dia bisa pergi sejauh mungkin dari badannya.”

“Enak, dong? Bisa pergi jauh, gue kalau astral projection gitu bakal pergi ke Eropa, atau ke Jepang, atau ke Amerika ya?”

Hugo menggeleng, “Nggak enak. Nggak ada benang putih, makin susah buat balik ke badan.”

Raib mengangguk perlahan, lalu menoleh pada Hugo. Menyandarkan tangannya pada sandaran bangku taman, “Kalau menurut lo sendiri, gimana? Badan lo sekarang gimana?”

Hugo ikut menolehkan badan pada Raib, kini mereka saling berhadapan, “Hmmm....” Ia menggumam sejenak, “Badan gue masih baik-baik aja. Cuma emang jaraknya lebih dari 6,6 km dari arwah gue sekarang.”

Raib hanya membalas dengan gumaman. Emang dari awal dia optimis, sih.

“Kalau lo?” Hugo mencondongkan badan, menatap lebih dekat wajah Raib yang diterpa remang lampu taman, “Menurut lo, badan gue sekarang keadaannya gimana?”

Tubuh Raib sedikit mundur, terkejut dengan gerakan dan tanya dari Hugo, “Menurut gue...” Ia menggaruk pipinya yang tak gatal.

“Jujur aja, gue nggak bakal sakit hati atau ngambek—”

“Menurut gue, lo udah meninggal.”

Hugo langsung membalikkan badan, “Nggak nyangka, mulut lo beneran nggak bisa dijaga. Lo nggak pernah ngertiin gue, lo selalu nyakitin—”

“Dengerin duluuuu.” Raib menarik lengan Hugo agar ia kembali menghadapnya, “Mana katanya nggak ngambek?” Badannya ikut melongok, berusaha mengintip Hugo yang membelakanginya.

“Ya emang nggak ngambek!” Hugo memanyunkan bibirnya, “Kesel aja.”

“Ya kan, lo udah ilang 2 bulan,” Raib masih memegang lengan Hugo, “Golden hour jelas udah lewat. Manusia aja cuma bisa bertahan semingguan tanpa makan minum di keadaan biasa, misal ternyata badan lo di tempat yang dingin banget mungkin bisa kurang dari itu. Bisa aja—”

“Belum setahun.” Hugo membalikkan badan tiba-tiba, kembali menghadap Raib, membuat wajah keduanya cukup dekat karena Raib sedang mencondongkan badan, “Belum ada setahun. Belum dua tahun. Belum tiga tahun.”

Raib memundurkan badannya, “Oke, belum bertahun-tahun,” Ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, “Di mata hukum juga perlu keputusan pengadilan buat ngubah status orang hilang jadi meninggal.”

Hugo tak menjawab.

Ada keheningan selama beberapa saat. Raib diam menatap benangnya yang menjuntai jauh. Sedang Hugo menatap salib di gereja seberang jalan. Suara aliran air mancur sesekali mengisi hening keduanya.

Raib mengalihkan pandangnya pada pohon-pohon besar di sekitar taman.

“Dari pada bahas yang nggak pasti, mending kita bahas yang lebih pasti aja.” Suara Raib memecah hening.

Hugo menoleh, “Apa?”

Raib kembali menghadap Hugo, mengangkat kaki untuk bersila di bangku taman, “Lo kayaknya belum pernah cerita, gimana awalnya lo bisa bangun di kos? Terus kenapa bisa ada di kamar gue?”

Hugo menggumam, ikut menghadap Raib, kakinya diangkat satu di bangku taman, mendadak senyumnya terbit, Ih kok bisa dia duduk sila di bangku kecil ini, dasar kecillll.

“Kok malah senyum-senyum?”

“Hehe, nggak,” Tangannya meraih jemari Raib yang sedang diistirahatkan di pangkuan, “Mau cerita tapi sambil pegangan tangan.”

Raib menelan ludah saat merasakan sensasi dingin memenuhi punggung tangannya yang sudah dingin, “Biar apa deh?”

“Biar...” Tangan Hugo meremas-remas tangan kecil Raib di genggamannya, “Biarin!” Serunya kemudian, “Kalau nggak mau pegangan tangan, gue nggak mau cerita.”

Raib mendecak, “Dasar lo-nya aja yang modus. Ya udah sini, cepet cerita.” Kini tangan Raib yang lain ikut serta menutupi punggung tangan Hugo, mengusapnya perlahan.

Hugo mengulum senyum, “Jadi, waktu itu gue bangun di dapur,” Jemarinya disematkan di antara jari Raib, “Pokoknya di antara ruang makan sama kamarnya Jerri, nah gue bangun di situ.”

Raib antara fokus-tak fokus mendengar cerita Hugo, ia ingin fokus namun tangannya juga menarik perhatian, “Terus?”

“Terus gue jalan-jalan aja, sih. Keliling-keliling kamar. Kan waktu itu lagi libur ya? Jadi kos-an kosong,” Jemarinya memainkan jari-jari kecil Raib, “Lantai 1-2 beneran kosong. Nggak ada orang sama sekali.”

Dahi Raib berkerut, “Bentar, jangan-jangan Jerri jujur pas bilang—”

“Nggak boleh bahas Jerri!” Potong Hugo cepat.

“Lo inget nggak sih Jerri bilang terakhir ketemu lo di kos, dan lo beneran bangun di kos, ya kan?”

Hugo tak menjawab.

Tangan Raib seperti tersengat saat jari telunjuk Hugo bermain-main di punggung tangannya, “O—oh oke lanjutin, terus kok bisa nangkring di kamar gue?”

“Karena kamar lo kosong,” Hugo tersenyum, menunjukkan gigi-giginya, “Kan nggak enak kalau gue pake kamar yang udah diisi barang-barang punya orang lain.”

Raib mengernyitkan dahi, “Terus kenapa nggak pindah pas gue mulai masuk?”

“Lah ngapain? Kan malah bagus, gue ada temennya. Lagian gue mau pindah kemana lagi coba? Gue nggak mau ya jadi setan lontang-lantung nggak jelas.” Hugo kembali mengusapkan jari-jarinya pada jemari Raib.

“Terus, lo ngikutin gue?”

Hugo menggeleng, “Nggak, sih. Gue selalu nungguin lo di kamar. Kadang lucu tau liat lo ngerjain tugas abis itu ketiduran, abis itu bangun mainan HP, abis itu tidur lagi, abis itu panik belum ngerjain tugas tapi malah main HP, abis itu panik—”

“Iya, iya, udah.” Potong Raib cepat, malu mendengar kegiatannya sendiri, “Terus misal gue lagi ganti baju, lo ngintip ya?”

Hugo menggeleng cepat, “Enggak. Beneran.”

Raib menyipitkan mata, menatap wajah Hugo yang polos dengan penuh selidik, “Bohong...”

Hugo kembali menggeleng, “Enggak, sumpah.”

Raib membalas dengan picingan mata.

Hugo menggigit bibir bawahnya, “Kadang... liat... dikit...”

Tak membutuhkan waktu lama hingga Raib melayangkan tangannya pada punggung dan lengan Hugo.


“Btw,” Ucap Raib setelah membenarkan posisi duduknya, ia telah selesai memukuli tubuh Hugo, “Tadi lo bilang gue sama lo sekarang ini sama-sama arwah, tapi beda, itu kenapa?”

Hugo yang sedang meringis dan mengusap lengannya menoleh kesal, “Kan tadi udah gue jelasin?”

“Kapan?”

“Yang benang-benang tadi. Lo ada benangnya, gue nggak. Lo masih terikat sama badan lo, gue nggak. Atau kata lainnya, lo masih terikat sama dunia nyata, gue udah sepenuhnya di dunia arwah.”

Mulut Raib membentuk huruf O, “Terus nih, misal—” Ucapannya terhenti saat matanya menangkap sosok hitam di samping pohon besar yang berada beberapa meter di belakang Hugo.

“Misal?” Hugo mengulang ucapan Raib karena lelaki di depannya tak kunjung melanjutkan kalimat.

“Itu...” Raib menunjuk sosok itu dengan matanya.

Hugo ikut menoleh, mengikuti arah pandang Raib, “Oh? Takut ya? Kenapa takut? Kan kalian sama-sama arwah.”

Raib menelan ludah, “Serem, liat deh... kulitnya ngelupas gitu...” Ia membuang pandang, memilih menatap sandaran kursi di sampingnya.

“Oh,” Demi melihat Raib yang duduk tak nyaman, Hugo berdiri, “Tunggu sini.”

Raib meraih tangan Hugo, “Mau kemana?! Jangan disamperin!!”

Hugo melepas genggaman Raib lembut, “Nggak apa-apa. Gue Hugo, arwah penasaran, arwah paling kuat di dunia arwah.”

Raib menggigit bibir, ragu-ragu. Ya bagaimana ia bisa membiarkan Hugo menghampiri sosok hitam dengan muka kemerahan karena kulitnya mengelupas itu?

“Nggak apa-apa.” Hugo tersenyum, menepuk pelan punggung tangan Raib.

Akhirnya setelah menimang beberapa kemungkinan, Raib melepas tangan Hugo, membiarkannya menghampiri sosok itu.

Hugo segera menghampiri sosok di balik pohon.

“Jangan nongkrong di sini, dong.” Ucap Hugo, ia satu langkah di depan sosok itu.

Arwah hitam itu seorang lelaki. Dengan seluruh badan gosong berwarna hitam, pakaian compang-camping, dan kulit mengelupas di area wajah. Seperti korban kebakaran atau ia meninggal karena terbakar.

Lelaki gosong itu menggeleng. Matanya melirik pada Raib melalui balik pohon.

Hugo segera bergeser, menutupi pandangan lelaki itu dari Raib, “Jangan gangguin dia. Pasti lagi iseng kan? Dia masih baru jadi arwah, jadi masih gampang takut.”

“Mau ngobrol.” Ucap lelaki gosong itu, suaranya begitu rendah dan serak.

Hugo melotot, “Udah gila?! Liat lo aja dia takut apalagi ngobrol?! Gue tabok ilang lo!” Tangannya ancang-ancang.

“Lo biasanya nongkrong di mana? Jangan nongkrong di sini, liat tuh ada gereja,” Hugo menunjuk gereja dengan kepalanya, “Entar lo makin kepanasan.”

Lelaki gosong itu menggeleng, “Aku atheis.”

Shit.

“Jangan mentang-mentang atheis terus lo ngerasa nggak takut sama tempat suci mana pun ya!” Hugo berkacak pinggang, “Pergi sana! Atau mau ilang sekarang?”

Lelaki gosong itu berbalik cepat. Sepertinya ia kesal, ada sisa-sisa bau gosong dan kilatan api saat sosoknya mulai perlahan menghilang.

“Anjir panas banget, dia korban kebakaran api neraka apa gimana?” Hugo mengibas tangan di depan wajah, berusaha menghilangkan sensasi panas yang tiba-tiba terasa.

Hugo ikut berbalik, hendak kembali pada Raib.

Mata Hugo terbelalak saat dari kejauhan ia mendapati bangku taman kosong.

Ia mempercepat gerakannya.

“Anjir?”

Ia menoleh ke sekitar. Pandangannya nyalang menelusuri tiap sudut taman.

“Raib?”

“Raib?”

“Raib?”

Hugo memanggil berkali-kali. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Ia hanya memikirkan satu tempat.

Kos.

Ia segera kembali ke kos, memasuki kamar Raib dengan terburu-buru.

Mendapati tubuh Raib masih di sana. Benang putih juga masih terlilit.

“Anjir.”