(P)akar

POV: HIMALAYA cw / tw // harsh words ; violence

Aku percaya struktur otak Erde memiliki lekukan sederhana. Saking sederhananya, mungkin lekukan otak dan ususnya hampir mirip. Dengan kata lain, aku membenci Erde dengan sepenuh hati, jantung, usus, otak, empedu, dan organ dalamku yang lain.

Orang bodoh seperti Erde adalah manusia yang paling kuhindari di seluruh dunia. Aku tidak suka ketika dihadapkan dengan seseorang berdaya pikir rendah dan lamban karena aku tidak sabaran dan menurutku menjelaskan suatu hal yang mudah dimengerti adalah kesia-siaan.

Namun—aku tidak mau mengakuinya—aku dua kali lebih bodoh, aku sudah terlanjur jatuh hati pada orang bodoh yang berlagak pintar dengan menyamar menjadi mahasiswa hukum dan bersikap sok perhatian padaku.

Shit.

Lelaki bodoh yang kukasihi itu sekarang sedang berduaan dengan lelaki berbahaya yang dulunya (menurut dugaanku) mengalami krisis identitas karena ia begitu rajin memohon ampun pada Tuhan namun tetap bertahan di tempat yang membuatnya menentang Tuhannya.

Fuji terus memintaku untuk tenang selama di jalan. Dia bilang, jangan khawatirin Bang Erde, tenang aja dia nggak bakal kenapa-kenapa.

Oh, yeah. Tentu saja. Jika kami semua berkelahi di satu ruangan, aku akan menjadi orang pertama yang K.O dan Erde adalah orang terakhir yang harus kukhawatirkan, tapi apa salahnya jika aku takut sesuatu terjadi pada Erde? Mudah bagi Fuji untuk tidak khawatir karena di kepalanya Maru hanyalah debt collector ganas yang tidak bisa melakukan apa-apa jika sendirian—mungkin di kepalanya si bodoh Erde memiliki kemampuan self defense yang luar biasa. Dia tidak tahu Maru berkaitan dengan panti asuhan yang dihindarinya mati-matian.

Ketika kami sampai di rumah Erde, aku sempat mengamati rumahnya yang biasa saja. Pagar dan teras rumah Erde hanya berjarak dua langkah. Walaupun rumah kontrakanku terlihat lebih modern, tapi rumah Erde juga masih layak huni—memang sih, rumahnya berada di lingkungan yang padat dan—uhm—agak kumuh.

Tepat sebelum membuka pintu, aku menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Tarikan napas ini berguna untuk menenangkan otakku yang sebenarnya sudah siap mengeluarkan reak—

Oh. Shit.

Aku melotot saat Erde tiba-tiba menyerang ke arahku begitu mata kami bertemu. Bagian leher hoodie-ku ditarik hingga aku merasa tercekik. Sialnya, bukannya marah karena tiba-tiba diserang—padahal aku mengkhawatirkannya setengah mati, kepalaku justru membuat berbagai cabang kemungkinan mengapa Erde menarik kerahku dengan penuh amarah—aku salah apa?

Di halaman rumah Erde yang tidak seberapa luas, tubuhku terdorong kuat, punggungku sempat berbenturan dengan kusen pintu. Aku meringis.

Wajah Erde berubah merah padam dengan mata menajam. Rahangnya mengeras. “Lo bilang sama Maru kalo gue sama Fuji kabur dari panti?!” Desisnya, cengkeramannya pada leherku menguat. Aku nyaris terbatuk.

Erde menarikku ke dalam rumah saat menyadari dia baru saja membuat kegaduhan di teras rumahnya. Punggungku kembali dibenturkan pada dinding. Sebelum kakinya menendang daun pintu hingga tertutup sempurna, tangannya yang tidak mencengkeram hoodie-ku menunjuk Fuji yang ikut masuk, “tunggu di luar!”

Lelaki malang itu menatapku dan Maru—yang berada di belakang Erde—bergantian sebelum akhirnya keluar.

“Uhuk! Uhuk!” Kini aku benar-benar terbatuk karena cekikan di leherku yang makin kuat.

“Lo ngomongin apa sama Maru tadi malem?!” Seru Erde cepat. “Lo tau nggak Maru kerja di mana? Kantor dia yang ngurusin duit panti itu! Lo—”

“Bermuda!”

Oh, yep. Maru.

Lelaki itu muncul dari punggung Erde, “hey, hey, stop!” Tangannya berusaha melepas cengkeraman Erde pada hoodie-ku, memberikan sedikit kelegaan untuk bernapas. Tapi kelegaan itu hanya bertahan beberapa detik, Erde melepas cengkeramannya dengan mendorongku kuat-kuat, punggungku kembali terbentur tembok. Aku mengusap leherku dan terbatuk beberapa kali.

“Oh gitu.” Erde menatapku dan Maru bergantian. Ia menjaga jarak dari kami berdua. “Sekarang kalian berdua setim? Kalian janjian mau dateng ke rumah gue? Mau ngapain? Nangkep gue sama Fuji?”

“Denger—”

“Sini.” Tangan Erde—dengan kecepatan yang nyaris tidak tertangkap mata—merogoh saku celananya lalu mengacungkan pisau lipatnya pada Maru, kakinya memasang kuda-kuda. “Maju selangkah lagi, gue pastiin lo nggak bisa jalan kemana-mana.”

Sepertinya Erde tidak punya respon fight or flight, dia hanya mengenal fight or fight.

Cklek!

Pintu terbuka, wajah Fuji terlihat. Kami semua menoleh tapi Erde sama sekali tidak bergeming dari posisinya—seolah dia tidak peduli misal seseorang yang baru membuka pintu adalah orang asing dan orang itu melihatnya dengan posisi mengacungkan pisau.

Fuji meringis begitu melihat sebuah pisau teracung di rumahnya yang sempit. “Bang, tenang dulu. Mereka nggak janjian.”

Oh. Dia menguping pembicaraan kami.

“Lo kenapa balik lagi?!” Erde berdecak kesal. Dia terlihat dua kali lebih kesal dari sebelumnya. Menurut hematku, wajah super masam Erde saat ini karena Maru yang berdiri tepat dua langkah di depan Fuji. Mungkin Erde takut Maru akan melakukan sesuatu pada adiknya. “Gue udah nyuruh lo nunggu di luar, 'kan?”

“Gue nggak sengaja denger yang kalian omongin dari luar.” Fuji bergeser perlahan mendekati Erde, “Haya nggak janjian sama Maru, tadi gue ketemu Haya di jalan, dia nggak tau rumah kita di mana.”

Erde menurunkan pisaunya. Ia melirik Maru.

I swear gue nggak ada janjian apa-apa sama Haya.” Maru menatap Erde lurus, “gue cuma mau ngomongin cek tadi malem.”

“Lo nanyain tentang kabur dari panti!” Sanggah Erde tajam, “dan yang tau kalo gue kabur dari panti cuma lo!” Kini mata hitamnya menghardikku.

“Oke, maaf!” Seruku cepat. Aku terkejut saat mendengar suaraku yang serak dipadu dengan nada suaraku yang naik—aku terbatuk sekali lagi. “Gue emang nanyain ke Maru tentang orang yang kabur dari panti tapi gue nggak bilang kalo itu elo!” Dan aku semakin terkejut saat mulutku kembali menghasilkan nada ketus. Sepertinya aku terbawa emosi karena baru saja dicekik oleh orang yang kukhawatirkan. Aku menarik napas, membiarkan lobus frontalku kembali bekerja agar aku tidak mengeluarkan reaksi berlebihan hanya karena dicekik Erde.

Hening.

Permasalahan (atau keunggulan?) manusia dengan lekukan otak kompleks sepertiku adalah terbiasa melakukan analisis panjang saat mulutku tidak digunakan.

Dalam waktu hening yang singkat ini. Aku benar-benar merutuki Erde dan semua situasi yang kami alami sekarang. Niatku datang ke rumah Erde adalah untuk menyampaikan simpatiku tentang tragedi yang menimpanya dan menceritakan tentang keterkaitan panti biadab itu dan kematian ayahku. Namun yang kudapatkan malah cekikan, benturan, dan tatapan sinis dari Erde. Lagi-lagi, aku harus menarik banyak oksigen ke paru-paruku agar otakku berhenti menyuruhku menunjukkan reaksi kecewa.

Sial. Ini semua karena Maru! Dia merusak rencanaku dengan datang mendahuluiku.

Erde menghela napas. Melipat kembali pisaunya lalu memasukkanya ke dalam saku. “Lo nggak tau kita udah hampir mati berapa kali karena orang lain tau kita kabur dari panti?” Ia menatapku datar.

Aku menelan ludah. Menggeleng pelan. Tidak tau.

Decakan Erde terdengar memenuhi ruangan. Dia terlihat enggan menyebutkan berapa kali ia hampir mati.

Tunggu... kenapa orang dari panti itu masih mengejar Erde dan Fuji padahal sudah bertahun-tahun terlewati?

Kal—

“Terus ngapain lo tanya sama dia?” Erde melotot galak—membuatku segera tersadar dari lamunan singkatku. “Lo sendiri yang bilang kantor dia ada hubungannya sama panti itu!”

Lihat, 'kan? Erde memang bodohnya bukan main.

Untuk situasi seperti ini, pertanyaan yang seharusnya ia ajukan pertama bukan 'kenapa Haya nanya sama Maru?' tapi 'kenapa Maru nanyain itu ke gue?'

Kalau Maru hanya ingin mengonfirmasi, ada banyak hal yang bisa dilakukannya selain bertanya langsung pada Erde. Kalau Maru memang ingin mengkonfrontasi Erde, apa tujuannya? Dia tahu persis pertanyaan itu sensitif dan Erde bisa saja membunuhnya.

Aku melirik Maru. Berusaha melempar beban menjawab pertanyaan ini padanya—karena memang dialah akar masalah pagi ini.

Seolah menangkap sinyalku, Maru segera berdeham, “Bermuda, listen.”

Erde menoleh cepat pada Maru. “Lo diem. Jangan bikin gue makin pengen ngabisin lo.”

“Bang,” kini Fuji ikut mendekati Erde, “kayaknya dia mau jelasin sesuatu.”

Astaga. Aku sangat membenci Erde dan kemampuan linguistiknya yang rendah.

“Urusan gue sama orang ini cuma cek aja.” Erde menatap Fuji jengah. “Dia nggak punya urusan nanyain tentang panti, Ji. Gue ama dia udah sepakat tadi malem buat lupain semuanya asal ceknya—”

“Erde,” suaraku memanggil serak, “biarin Maru jelasin dulu.”

Benar. Maru harus menjelaskan mengapa ia datang kemari pagi buta dan menanyakan pertanyaan itu.

Aku juga ingin tahu.

Namun tidak ada jawaban. Ruangan lengang.

Erde menghela napas lalu menghembuskannya pelan. Ia menoleh pada Maru, matanya mempersilakan Maru memberi penjelasan.

“Kantor gue emang ada hubungannya sama panti yang dulu lo tinggalin,” Maru membuka penjelasannya, “tapi gue nggak ada niatan buat ngelaporin kalian.” Lanjutnya, nada suaranya tenang. “Haya juga nggak ngasih tau kalo lo pernah kabur dari panti, gue cuma asal nebak aja.”

“Lo ke rumah gue pagi-pagi cuma buat asal nebak aja?” Satu alis Erde naik. “Buat mastiin tebakan lo bener atau salah?”

“Iy—bukan. Iya tapi bukan.” Maru menggumam pelan. “Iya gue emang mau mastiin tebakan gue bener atau salah, tapi bukan itu tujuan gue kesini.”

“Terus?”

“Gue mau tanya gimana lo bisa kabur dari panti.”

Bahkan aku ikut terkejut mendengar jawaban Maru.

“Kenapa?” Tanya Erde sangsi. “Buat nyegah orang lain pake metode yang sama kayak gue? Biar kantor lo bisa ambil tindakan prefen—”

No, it's not. Bukan itu.” Maru menggeleng cepat.

Kami (aku, Erde, dan Fuji) memandang Maru dengan tatapan heran. Kami sama-sama penasaran dengan apa yang akan diucapkan mulutnya karena matanya melirik kami bergantian, seolah dia ragu akan meloloskan kalimatnya.

“Gu—gue juga mau kabur.”

Oh. Shit.

Kini aku terperangah.

“Lo mau kabur dari kantor lo?” Fuji menyambar, kini ia sudah berada di samping Erde—tepat di depan Maru.

Maru menggeleng, “gue mau kabur dari organisasi gue.”

Shit.

“Kalo kalian bisa kabur dari panti sampe sekarang,” Maru melanjutkan. “Kalian pasti bisa bantu gue kabur dari mereka.”

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang mendadak terasa gatal.

Organisasi yang dimaksud Maru pastilah seluruh nama perusahaan-perusahaan besar yang kami temukan saat itu. Mandala Group?

Mau dipikir bagaimanapun, peluang Maru untuk berhasil kabur sangat kecil. Mana bisa dia lolos dari gurita raksasa seperti mereka? Bahkan para polisi, jaksa, dan hakim (mendiang Ayah) kehilangan nyawa hanya karena menjalankan tugas. Bagaimana dengan Maru yang nantinya akan dicap pengkhianat oleh organisasi itu? Dia akan diburu sepanjang hidupnya.

Dan dia meminta bantuan Erde untuk kabur?

Aku mengernyit.

Maru hanya akan membahayakan Erde. Bisa-bisa Erde dan Fuji ikut diburu oleh organisasi itu karena membantu Maru, belum lagi kalau nantinya mereka mengetahui asal-usul Erde dan Fuji sebagai penghuni panti yang kabur.

Mataku cepat-cepat melirik Erde dan Fuji. Aku dapat melihat keraguan di wajah Fuji tapi si bodoh Erde justru terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu.

Aku tidak setuju dengan apapun yang direncakan Maru. Dia terlihat seperti sedang menggali kuburannya sendiri.

Atau...

Dia sedang menggali kuburan Erde dan Fuji...

Bagaimana kalau ini hanya tipuan?

Bagaimana kalau Maru hanya ingin menjebak Erde dan Fuji untuk diserahkan pada panti asuhan itu lagi?

Kepalaku segera menoleh pada Maru. “Lo. Maru—”

“Kak Maru.” Koreksinya—menyebalkan.

“Oke, Kak Maru.” Aku memutar bola mataku malas. “Gimana kita bisa tau lo nggak lagi nipu kita? Bukannya lo udah kerja dari lama sama mereka? Erde sama Fuji juga masih dikejar sama panti asuhan itu,” aku berdeham, “gimana kita bisa tau lo bukan suruhan mereka?”

Fuji menatapku dengan dua alis terangkat sementara Erde melirikku tajam.

Bagus, mereka ikut terkejut.

“Jaga ya mulut lo!” Sergah Maru cepat. “Gue udah bilang, kantor gue cuma ngurusin duit—”

“Lo tau dari mana dia udah kerja dari lama sama mereka?” Potong Erde cepat. Dahinya mengernyit, dua bola matanya menatapku penuh selidik.

Aku mengendikkan bahuku. Karena aku HOKU.

Sepertinya jawabanku sampai pada Erde. Dia meremas ujung kaos putih yang dikenakannya, menoleh pada Maru. “Kalo gue nggak mau bantu, gimana?”

“No way.”

Dua alisku bertaut begitu mendengar jawaban Maru. “Yes way!” Seruku tidak terima.

“Lo bakal bantuin gue.” Maru menatap Erde—mengabaikan seruanku.

“Kenapa?”

“Karena nasib kita sama.”

Lengang.

Nasib sama?!

Semua kepala di ruangan itu menoleh pada Maru.

“Dulu gue tinggal di panti itu.”