Pak Jo.

Hugo mengamati Raib yang tengah menggoyangkan kaki, “Kakinya kenapa gerak-gerak gitu, sih?”

Raib melirik sinis, suka-suka gue?

Suara ketukan sepatu mulai terdengar, membuat Raib dan Hugo menoleh ke sumber suara.

Kania sudah datang.

Ia memasuki ruang tamu dengan setelan merah jambu dan kemeja putih. Berjalan anggun di atas high heels biru muda, “Sore, Raib.” Tangannya terulur.

Raib berdiri, menyambut uluran tangan Kania, “Sore, Kania.”

Hugo memandang Kania, tersenyum simpul. Tenang, anggun elegan, cantik banget.

Kania memberi anggukan, mempersilakan Raib duduk kembali.

“Apa yang bisa saya bantu?” Kania menyilangkan kaki, memandang Raib dengan mata teduh.

“Saya mau tanya untuk seminggu belakangan—sebelum tanggal 5 Juni, Hugo keman—”

Drrrt. Drrrrt.

Ponsel Kania berdering, “Tunggu.” Tangan Kania mengisyaratkan Raib untuk menahan ucap.

“Halo. Aku lagi ada tam—proposal? punya siap—oh proposal rencana usaha tanah Kemenhub ya?” Kania berdiri, “Tunggu, aku kesana sekarang.” Ia menurunkan ponselnya.

Kania menoleh, memberi senyum manis, “Kamu tadi mau tanya sebelum tanggal 5 Juni Hugo kemana aja ya? sebentar,” Diangkat lagi ponselnya, tangannya menekan panggilan cepat kelima,

“Pak Jo? tolong kamu temuin tamu di sini. Iya, namanya Raib, butuh informasi tentang Hugo. Yep, di ruang tamu.”

Telfon ditutup.

Kania merapikan setelan jas-nya, “Nanti kamu akan ditemani Pak Jo, dia kepala pelayan di rumah ini. Tenang, bisa aja Pak Jo lebih tau Hugo daripada saya.” Kania tertawa pelan.

Hugo ikut tertawa, membuat Raib melirik penuh tanda tanya.

Kania melangkah pergi, meninggalkan Raib dan Hugo di ruang tamu.

Suara ketukan sepatu Kania perlahan menghilang seiring tubuhnya yang di telah pintu depan.

Lengang.

Raib memandangi tujuh lukisan hewan yang tergantung di ruang tamu. Harimau, cheetah, paus, ular, elang, gajah, dan kadal?—ehm komodo. Lukisan-lukisan itu memberi nuansa gelap, kontras dengan ruang tamu yang bernuansa cerah.

“Serem banget pausnya.” Gumam Raib pelan.

“Itu paus orca, predator puncak rantai makanan.” Bisik Hugo yang sedang duduk di samping Raib.

“Kayak lumba-lumba.” Jawab Raib pelan.

“Emang masih satu famili sama lumba-lumba.”

Raib menggaruk pelipis, “Oh...”

“Tuan Raib?”

Raib menoleh, mendapati seorang lelaki tinggi dengan setelan jas hitam memasuki ruang tamu. Pundak lebar, garis rahang tegas, dan mata tajam.

Lutut Raib lemas saat sebuah senyum tersungging dari sudut bibir lelaki itu. Kalau dibandingkan Jerri, lelaki ini terlihat lebih dewasa dengan pembawaan yang lebih tenang.

Senyum Raib sirna, kenapa gue kepikiran Jerri?!

Kepalanya digelengkan cepat.

Matanya kembali terfokus pada lelaki tinggi yang mulai mengulurkan tangan padanya, “Pak Jo.” Ucapnya.

Pak Jo

“Ra—Raib.” Raib menerima uluran tangan Pak Jo.

“Mulutnya dikondisikan, entar gue kesedot.” Cibir Hugo, membuat Raib cepat-cepat mengatupkan mulut.

Pak Jo mempersilakan Raib untuk duduk lebih dulu.

“Apa yang ingin dibicarakan, Tuan Raib?” Pak Jo masih dalam posisi berdiri, sedikit mencodongkan tubuh.

“Panggil Raib aja,” Raib berdeham, “Kak Jo...” Ucapnya malu-malu.

“CUKUUUP. KITA PULANG SEKARANG.” Hugo sontak berdiri yang langsung mendapat lirikan sinis dari Raib.

Pak Jo mengerjapkan mata dua kali, “Oh, baik, Raib. Apa yang mau dibicarakan?”

Raib meraih buku catatannya dari tas kecil yang ia bawa, “Ini, Kak, aku kan lagi—”

“HAHAHAHA. AKU. SOK AKRAB.” Hugo tertawa keras, membuat Raib terlonjak.

“Ada apa, Raib?” Pak Jo ikut terkejut saat melihat gerakan tiba-tiba dari Raib.

“Ehm—itu...” Raib menggaruk dagunya yang tak gatal, “Kram, kaki aku... tiba-tiba kram...”

Pak Jo segera bersimpuh dengan satu kaki di depan Raib, membuat wajah keduanya sejajar, “Boleh saya lihat?”

Raib terdiam, terkesima dengan wajah Pak Jo yang berada cukup dekat dengannya.

“PERMISI. SORRY BANGET GANGGU. TAPI LO KESINI BUAT NANYAIN TENTANG GUE.” Mata Hugo menatap sengit dua wajah yang saling berhadapan di depannya.

“Oh iya...” Gumam Raib pelan.

Tangan Pak Jo terulur—salah mengartikan gumaman Raib—nyaris menyentuh kaki Raib, membuat Raib dengan cepat memundurkan kakinya, “Eh—maksudnya nggak apa-apa udah sembuh.” Ia membenarkan posisi duduk.

“Oh.” Pak Jo tersenyum, kembali berdiri.

Raib berdeham, “Aku mau nanyain tentang Hugo, Kak. Mulai tanggal 30 Mei sampai tanggal 5 Juni, Hugo ada dimana aja.” Ia kembali menunjukkan buku catatannya.

“Sok imut.” Hugo mendengus kesal.

“Oh.” Pak Jo menaikkan dua alisnya, “Mungkin pembicaraan kita akan cukup panjang, Raib. Mau sambil minum kopi?”

Raib menatap wajah ramah Pak Jo dengan pandangan kagum.

Lo tawarin racun juga gue iyain.

“M—”

“Sampe lo bilang mau, gue ngambek, gue pergi seminggu.” Potong Hugo cepat.

Raib menggeleng cepat, “Nggak usah. Aku puasa.”

“Oh, oke...” Pak Jo mengangguk perlahan lalu mendudukkan diri di sofa seberang Raib.

“Langsung saja ya?” Pak Jo merogoh ponsel dari saku jas, “Dari tanggal 30 Mei sampai 5 Juni ya?” Tangannya mulai mengusap ponsel.

Raib mengangguk, “Iya.”

Hugo mulai berpindah tempat, bergeser di samping Pak Jo. Mengintip isi ponsel lelaki berjas itu.

Pak Jo sedang membuka file dengan judul Daily Report.

“Tanggal 30 Mei, Tuan Hugo sedang sakit, bed rest seharian.”

Raib mencatatnya.

“Tanggal 31 Mei sudah mulai membaik. Hmmm.... di rumah juga.”

Hugo memicingkan mata, sepertinya Pak Jo mengatakan ia hanya di rumah saja karena tak ada catatan apa pun tentangnya kecuali Tuan Hugo sudah sembuh.

Kan bisa aja gue pergi nggak bilang-bilang. Dasar nggak becus. Batin Hugo mencibir ketus.

“Tanggal 1 Juni, Tuan Hugo pergi dari siang hingga sore.”

“Sama siapa?” Tanya Raib spontan.

“Teman.” Jawab Pak Jo singkat.

Hugo kembali mengintip, hanya ada tulisan Tuan Hugo lunch di luar.

Kata siapa gue pergi sama temen?

“Temen siapa?” Tanya Raib lagi.

Pak Jo menggeleng, “Tuan Hugo tidak menyebutkan nama temannya, waktu itu Tuan Hugo hanya bilang akan lunch di luar, dengan teman.”

Hugo merasa pening. Seolah ada tali tambang yang mengikat kepala. Ia menggigit bibir, menggelengkan kepala. Ada kilas bayang Pak Jo yang dengan setelan abu-abu, tersenyum padanya dan suaranya sendiri, mungkin sore baru pulang.

Raib melirik Hugo cemas. Aduh, aduh, inget apa nih.

“Tanggal 2 Juni juga pergi. Ke kampus.”

“Kampus?” Raib mengulang apa yang didengarnya.

Raib baru teringat sesuatu, kedua alisnya bertaut, “Bukannya tanggal 29 Mei sampai 13 Juni libur semester ya?”

Hugo ikut terkejut, “Bentar banget liburnya?”

“Oh, iya. Hari itu pengumuman beasiswa Golda, Tuan Hugo perlu mengurus beberapa berkas.”

Mulut Raib membentuk huruf O sambil mengangguk paham.

“Tanggal 3 Juni...” Mata Pak Jo menelisik layar ponsel, “Di rumah.”

“Tanggal 4 Juni juga di rumah, tanggal 5 Juni Tuan Hugo pergi dari pagi.” Lanjutnya.

Raib mengangguk perlahan.

Dibaca ulang catatannya, ia menggigit bibir. Informasi yang didapat terlalu minim.

“Oh iya!” Seru Pak Jo tiba-tiba, “Tanggal 4 Juni seharusnya ada makan malam keluarga, tapi dibatalkan karena ada masalah kecil.”

Raib menaikkan dua alisnya, “Masalah kecil?”

Pak Jo mengangguk.

“Masalah... kecil?” Raib bertanya sekali lagi, berusaha meminta informasi lebih detail.

Pak Jo mengangguk kembali, “Masalah kecil.”

Mata Raib terus menatap Pak Jo, menuntut penjelasan lebih.

Pak Jo tertawa ringan, “Ada keributan kecil. Saya juga kurang tau ada apa, waktu itu saya sedang berjalan dari ruang makan lalu mendengar keributan dari kamar utama. Pas saya kesana, Tuan Hugo bilang ke saya, makan malam hari ini, batal.

Kepala Hugo kembali pening.