Pelan tapi Pasti, Lambat tapi Tepat
“Satya, Asa, bawa kotaknya ke taman ya,” Ujar Julian setelah menurunkan beberapa kardus berisi jus dan snack ke trotoar, “Saya mau cari Pak RT dulu.” Lanjutnya sembari menggulung bagian lengan kaos hingga siku.
Satya dan Asahi mengangguk, segera melaksanakan perintah Julian. Lokasi taman tak jauh. Julian memarkirkan mobilnya tak sampai sepuluh meter dari sana.
Sementara itu, Julian berjalan perlahan menuju area muda-mudi, hendak menanyakan keberadaan Pak RT. Mungkin akan lebih efisien jika ia menelpon beliau, namun tentunya, di saat seperti ini, Pak RT tak siap sedia di depan ponsel.
“Ando!” Julian menyapa salah satu pemuda yang dikenal. Lelaki berusia tujuh belas itu tengah menenteng karung berisi sampah. Tangan dan kaki penuh noda kecoklatan.
“Eh, Mas Iyan,” Ando sedikit mendongak, “Gimana?” Ia nampak sumringah walau peluh menghiasi wajah.
Ando kenal baik dengan Julian. Ibunya adalah salah satu teman arisan Bu Ares, beliau sering menceritakan betapa anaknya kesulitan mengerjakan soal fisika dan matematika.
Bu Ares menceritakan kesulitan pada Julian dan meminta anaknya untuk membantu Ando.
Tentu, awalnya Julian ragu. Ia sudah lama tak menyentuh soal matematika dan fisika. Bagaimana jika nanti ia salah mengajari?
“Kasian, Mas. Ibunya mau daftarin Ando ke bimbel tapi nggak ada duit.”
Bagaimana bisa Julian menolak?
Dan sejak itu, Ando sering menghubungi Julian untuk menanyakan soal-soal fisika dan matematika. Kadang Ando akan mendatangi toko milik Julian untuk bertanya langsung.
“Liat Pak RT nggak?” Tanya Julian sembari membenarkan bagian leher kaos, ia merasa gerah walau hanya berjalan beberapa langkah.
“Kayaknya di sungai, Mas. Tadi bapak-bapak pada bersihin sungai.” Ando menunjuk arah sungai dengan dagu.
Julian mengikuti arah dagu Ando.
Ke sungai ya...
Lelaki berlesung pipi itu mengangguk, tersenyum, “Ya udah, lanjutin. Makasih ya!”
Ando membalas dengan anggukan ringan.
Dari taman, Julian harus berjalan lima belas menit hingga mencapai sungai—melewati sawah, pertokoan, dan jalan raya.
Sungai ini membentang. Membelah dua distrik dan melewati berpetak-petak sawah.
Area sungai yang akan dibersihkan adalah area di bawah jembatan karena daerah ini lah yang paling kotor. Beberapa orang sering dengan sengaja membuang sesuatu dari atas jembatan—entah itu warga sekitar atau (yang paling parah) adalah pengguna jalan raya yang hanya lewat.
Sebenarnya, Julian ragu Pak RT ada di area sungai. Seingatnya, sore ini ada rapat besar antar Kepala RT, Kepala RW, dan Kepala Desa untuk membahas kegiatan balai pengobatan gratis yang akan dilaksanakan bulan depan. Bisa saja Pak RT tengah mengurus persiapan rapat.
Tujuan Julian menemui Pak RT adalah membahas tentang salah satu tugas yang harus dilaksanakan untuk persiapan program pengobatan gratis tersebut, pendataan—yang kata Bu Ares, akan dilimpahkan pada Julian. Tak mendesak memang, namun Julian perlu membahasnya agar bisa cepat memulai dan menyelesaikan tugas itu.
Masih pukul sebelas siang. Namun terik matahari cukup menyengat ujung kepala Julian. Padahal, lelaki tinggi itu sengaja menggunakan pakaian berwarna terang—kaos putih dan celana training abu—untuk mengurangi rasa panas yang menerjang. Namun sepertinya sia-sia.
Langkah kaki Julian diperlambat saat ia mulai memasuki area jembatan—yang sebenarnya cukup besar karena jembatan ini menghubungkan dua distrik. Terdapat jalan seukuran satu mobil di samping area masuk jembatan. Jalan ini lah yang digunakan warga untuk memasuki area sungai.
Terdapat ladang ilalang dan rerumputan sebelum memasuki area sungai—tepat di bawah jembatan. Seperti yang dikatakan, area sungai ini membentang, lebarnya satu setengah kilometer.
Terdapat bendungan di depan padang ilalang. Suara deras air mulai jelas terdengar.
Kaki Julian masih harus dilangkahkan hingga empat menit ke depan untuk mencapai tempat yang dibersihkan oleh warga.
Julian sempat berpapasan dengan beberapa lelaki usia paruh baya yang sedang mengangkat sampah dan membersihkan rumput di pinggir sungai. Ia menyapa sebelum akhirnya terus berjalan karena tak menemukan sosok Pak RT.
Saat sampai di area penuh kerikil yang berada tepat di pinggir sungai, mata Julian menyipit, mengamati para lelaki yang ia sapa sebelumnya. Mereka telah bersiap dengan menggunakan sepatu boot karet.
Julian ganti mengamati kakinya yang hanya memakai sandal jepit. Kotor terkena tanah basah. Bahkan ujung celana abunya juga ikut kotor.
Yeah, harusnya gue juga pakai sepatu boots kalau tau bakal ke sungai.
Julian mengendikkan bahu. Tak masalah. Selama hanya noda tanah, masih bisa dibersihkan.
Tangan Julian mengusap rambut ke belakang, surainya terus terhembus angin yang membuat pandangannya tertutup. Ia menelisik pinggir sungai, mendapati tujuh orang tengah menyusuri area sungai yang dangkal dengan masing-masing membawa satu kantong sampah.
Ia tak menemukan—
Oh!
Bukan Pak RT yang Julian temukan.
Namun teman barunya,
Raden?
Langkah Julian terhenti.
Untuk ketiga kalinya, ia melihat tatap kosong Raden.
Tentu, melihat tatapan kosong seseorang bukanlah hal yang buruk. Bukan berarti Julian tak suka.
Ia hanya merasa, di mana pun Raden berada, lelaki itu selalu memiliki dunianya sendiri.
Saat pertama ia berjumpa dengan Raden di emperan toko. Di antara rintik hujan yang berlomba-lomba menyentuh tanah dengan kecepatan 10 meter per detik, tangan Raden bergerak lambat menadah air hujan.
Saat kali kedua ia berjumpa dengan Raden di acara seribu hari Opa. Di antara ramainya suara percakapan dan riuh tawa, Raden terdiam namun mata mengumpat—terlihat jelas tatapan tajam dari ujung mata Raden saat itu.
Dan sekarang, ketiga kalinya. Di antara derasnya aliran sungai dengan debit 90 meter kubik per detik, mata Raden bergerak perlahan mengamati dasar sungai, kadang tatapnya berhenti di satu titik, lalu sebuah helaan napas yang jauh lebih lambat dari hembusan angin keluar dari mulut lelaki mungil itu.
Seolah dunia Raden memang berputar lebih lambat dari rotasi bumi.
Bukan, bukannya Julian tak suka.
Tapi, bayangkan jika bumi berotasi lebih lambat? Apa yang terjadi? Seluruh benda dan manusia yang terbiasa dengan cepatnya rotasi bumi akan terpental kesana kemari. Kacau.
Itu lah yang membuat Julian cukup berhati-hati di sekitar Raden. Ia tak mau ikut terpental kalau saja ia terlalu cepat.
Kalau boleh jujur, Julian memang ingin berteman dengan Raden. Bukan hanya karena lelaki itu adalah cucu dari Oma—nenek kesayangan semua orang di desa ini yang selalu membagikan makanan dan terkenal dengan masakannya yang selalu berkesan di lidah siapa pun—tapi juga karena pembicaraan singkat tempo hari.
Raden memiliki beberapa kesamaan dengan Julian.
Kesamaan yang paling ia ingat adalah Kota Mawar.
Meski Julian telah meninggalkan kota itu sejak bertahun-tahun lalu, namun kampung halaman tetaplah kampung halaman. Ada cita rasa tersendiri saat diceritakan. Sebuah perasaan lapang seolah baru saja menginjakkan kaki di tanah yang paling dirindu.
Julian tak lagi memiliki alasan untuk kembali ke kota Mawar. Satu-satunya keluarga—Mama, ada di sini. Sumber pendapatannya, ada di sini. Kota Mawar kini telah tersimpan dengan baik menjadi kenang.
Maka bercerita dengan Raden menjadi salah satu cara agar kenang tentang Kota Mawar tetap tumbuh subur di pikiran.
Tapi, alasan untuk berteman dengan Raden bukan hanya itu.
Lambatnya dunia Raden membuat suasana di sekitarnya terasa tenang. Itu lah yang membuat pembicaraan singkat mereka terasa dua kali lebih menyenangkan. Rasa pulang dan tenang diaduk bersama untuk mengobati rindu.
Ujung bibir Julian terangkat hanya dengan mengingat percakapan kecil itu.
“Raden!” Panggil Julian.
Yang dipanggil langsung menoleh. Menyipitkan mata.
Oh?
Julian baru menyadari, Raden melepas kaca mata.
“Mas Iyan?”
Meski suara Raden terhalang debuman arus sungai dari bendungan, Julian masih dapat mendengar dan membaca gerak bibir Raden.
Julian mengangguk. Ia memilih untuk berjalan mendekati Raden setelah menggulung celana.
“Kok bisa tau kalau yang manggil aku?” Tanya Julian saat jarak mereka tinggal satu meter. Betisnya terendam air.
“Ya tau?” Raden tersenyum simpul, ia langsung paham dengan maksud pertanyaan Julian, “Masih bisa aku kenalin walaupun blur dikit.” Ia mengibas tangan kanan yang sedari tadi terendam air.
Julian ikut tersenyum, mengangguk paham, “Kaca mata kamu mana?” Tanyanya, ia sedikit khawatir Raden berjalan sejauh ini dari rumah tanpa menggunakan kaca mata.
“Di saku.” Punggung tangan Raden menunjuk saku depan celana training hitam yang digunakan. Terdapat tonjolan benda yang terlihat seperti wadah kaca mata.
“Sengaja kamu lepas?”
“Iya, biar nggak jatuh, pelipis aku licin,” Raden menunjuk peluh yang menetes di wajah, sesaat kemudian matanya mengamati tangan kosong Julian, “Kamu ngapain kesini?”
“Oh,” Julian baru tersadar, ia tak membawa kantong sampah seperti Raden atau bapak-bapak lain di sini, “Aku nyari Pak RT.”
Dua alis Raden terangkat, “Pak RT baru aja pergi.”
“Oh? Kemana?” Julian tak kecewa Pak RT tak ada di sini—ia sudah menduganya, namun lebih terkejut pada fakta bahwa Pak RT sebelumnya ada di sini.
“Ke rumah Bu Lilis, ngambil makan siang.”
“Yah, aku telat.” Julian menghela napas, kalau saja ia datang lebih cepat, ia bisa bertemu dengan Pak RT. Sepertinya rencana untuk bertemu Pak RT harus ditunda hingga jam makan siang.
Tangan Raden terangkat, menyingkirkan rambut yang menyapa wajah.
“Lho?” Mata Julian menangkap sesuatu dari bagian ujung telapak tangan Raden.
“Kenapa?” Raden sedikit mendongak saat tangan Julian menunjuk telapak tangannya yang masih digunakan untuk menyeka rambut.
“Kenapa kamu nggak pakai sarung tangan?” Julian menata Raden cemas. Sebuah goresan dengan sedikit warna merah menghiasi tangan Raden, “Kamu nggak liat bapak-bapak yang lain pakai sarung tangan?”
Raden segera menoleh ke sekitar. Ia baru menyadari bapak-bapak yang lain menggunakan sarung tangan karet lengkap dengan sepatu—
“Kamu nggak pakai sepatu boot?” Julian lebih dulu menyadari, “Kamu udah berapa lama di dalem air?”
“S—satu jam?” Raden sedikit terbata. Ia baru saja terkejut dengan diri sendiri. Bagaimana bisa ia tak tau bahwa para pembersih sungai menggunakan sarung tangan dan sepatu boot karet?
Oh....
Raden menyadari sesuatu.
Pantas sedari tadi ia mengalami kesulitan saat mengambil sampah. Belum lagi kakinya terasa luar biasa dingin dan licin karena tak beralas sama sekali.
“Balik sekarang aja, yuk? Kan udah mau makan siang,” Julian melirik jam tangan di tangan kiri, “Sekalian ngobatin tangan kamu.” Ia kembali menunjuk telapak tangan Raden.
Kini Raden dua kali terkejut. Ia memandang telapak tangannya lebih dekat.
Oh... pantes....
Sejak tadi Raden merasa sedikit rasa aneh di telapak tangan.
“Tapi, nggak enak, Mas,” Raden melirik sekitar, “Bapak-bapak yang lain belum balik, masa aku balik duluan?”
“Nggak apa-apa,” Julian mengibas tangan, “Paling sepuluh menit lagi pada balik juga.”
Raden tetap terdiam di tempat.
“Aku pamitin,” Ucap Julian akhirnya, “Sini.” Julian mengulurkan telapak tangan, “Aku bawa sekalian kantong sampahnya.”
Raden menyerahkan kantong sampah yang terisi setengah.
“Hati-hati.” Julian menoleh, memastikan Raden berjalan dengan aman di belakang, “Butuh bantuan, nggak?” Tangannya yang kosong diulurkan pada Raden.
Raden menggeleng, “Bisa, kok.”
Julian terus berjalan menuju tempat kantong sampah dikumpulkan, sementara Raden meghampiri bagian ujung lain—mengambil sandal jepit yang sengaja ditinggalkan di tempat kering.
“Kaki kamu nggak lecet, kan?” Tanya Julian begitu kembali.
Raden menggeleng pelan, “Enggak, Mas.”
“Oke deh, yuk.”
Keduanya berjalan perlahan.
Setelah berpamitan pada bapak-bapak yang lain dan menyerahkan kantong sampah, Raden dan Julian berjalan menuju jalan raya.
Matahari cukup terik dan jalanan cukup ramai. Minggu siang, saatnya beberapa orang pergi bertamasya.
Raden dan Julian berjalan di trotoar. Beriringan. Merasakan hangat mentari menyengat separuh tubuh.
Julian berinisiatif untuk mampir ke warung. Membeli tisu kering, tisu basah, dan plester luka—menyerahkannya pada Raden untuk segera menutup gores di tangan, takut kalau infeksi.
“Tadi, bapak-bapak di sana ngira kamu udah kebiasa masuk sungai.” Ucap Julian saat Raden tengah membersihkan luka. Keduanya sedang duduk pada bangku panjang di depan warung.
Mata Raden membulat, “Kok gitu?”
“Soalnya kamu nggak ngambil sarung tangan sama sepatu.”
Raden tertawa ringan, “Aku beneran nggak tau kalau disuruh ngambil kayak gitu. Kirain langsung masuk aja.”
“Untung cuma luka kecil,” Julian memandang goresan di tangan Raden yang telah tertutup plester, tak lama matanya ganti melihat keriput di ujung jari Raden yang terlihat samar, “Masih dingin nggak?”
Mata Raden mengikuti pandangan Julian, “Enggak,” Ia terkekeh, “Enak malah pas kena matahari, jadi anget.” Tangannya dijulurkan keluar, mengenai area yang terkena sinar matahari, menadah untuk menyerap panasnya.
“Ya udah, mau jalan sekarang? Biar makin kerasa angetnya.” Julian beranjak dari duduk.
Raden mengangguk setuju.
Kedua lelaki itu kembali berjalan menyusuri jalanan. Sesekali menyapa saat berpapasan dengan warga lain.
Setelah membahas cuaca yang cukup hangat siang ini, perbincangan singkat siang itu perlahan mulai terbangun.
Julian membagikan alasannya mencari Pak RT dan hal-hal terkait kegiatan pengobatan gratis yang akan dilaksanakan bulan depan.
“Kamu emang sering disuruh bantuin Pak RT ya, Mas?”
Julian mengangguk, “Tapi cuma hal-hal yang perlu mobilitas tinggi aja. Kalau hal-hal selain itu, Pak RT dibantu Bu RT.”
Raden mengangguk paham. Ia mengenal Pak RT dan Bu RT. Keduanya memang memiliki kerja sama yang luar biasa. Sejak dulu, Pak Rusli—nama asli Pak RT— telah dipercaya menjabat sebagai Kepala RT karena kinerjanya yang luar biasa, seluruh warga juga menyukai Bu RT yang tak kalah cekatan. Mungkin sudah tujuh tahun?
“Kamu nggak ngerasa licin apa selama di sungai tadi nggak pakai alas kaki?” Julian mulai melompat pada topik lain.
Raden tertawa, mengangguk, “Licin banget.”
“Pantes kamu nggak banyak gerak.”
Dahi Raden mengernyit, “Maksudnya?”
“Pas di sungai tadi, kamu nggak banyak gerak.”
Wah? Pupil mata Raden membesar, “Kok tau?”
“Aku tadi sempet liat kamu diem aja, ngelamun ya? Mikir Ini kok licin banget ya... jadi takut mau gerak.” Ejek Julian, lesung pipinya terlihat mendalam seiring senyum yang melebar.
“Nggak gitu!” Raden ikut tertawa, tangannya nyaris memukul lengan Julian namun ia segera menariknya, “Aku diem aja karena lagi nggak pakai kaca mata. Takut salah ambil.”
Tawa Julian makin terdengar.
Sebenarnya, Raden berbohong. Ia masih dapat melihat benda-benda di bawah air. Apalagi dengan posisi membungkuk.
Hanya saja, ia tak mungkin menceritakan pada Julian bahwa ia diam saja di sungai karena memikirkan pernikahan mantannya yang akan berlangsung tiga hari lagi, kan?
Hell, no.
Keduanya terus berjalan menyusuri pinggir jalan raya setelah melewati daerah persawahan yang panasnya membakar kepala.
Rindang pohon di kanan kiri trotoar mengurangi sengat terik yang dirasa.
“Raden, kamu suka makan sop daging?”
“Sapi?”
Julian mengangguk.
“Suka. Tapi lebih suka sop iga, sih,” Raden membenarkan posisi kaca mata, “Mas tau Rumah Makan Sop Sapi Tigarasa nggak?”
“Tau!” Jawab Julian penuh semangat, “Di deket FISIP UM, kan?”
“Iya!” Raden menyahut tak kalah semangat, “Itu enak banget sop iganya, aku sering mampir kesana. Kalau hari Minggu sering dikasih bonus sop daging ukuran kecil gitu.”
“Dulu aku juga sering kesana,” Seru Julian, “Pas makan siang selalu rame. Aku saranin kamu dateng jam dua sampe setengah tiga-an, kan pas tuh jam makan siang selesai,” Tangan Julian bergerak antusias seiring penjelasan, “Jam segitu biasanya agak sepi.”
“Aku biasanya beli pas sore, sih, Mas,” Raden perlahan mulai mengingat rumah makan kecil yang selalu ramai itu, “Aku bungkus terus entar aku panasin pas jam makan malem.”
“Oh, iya. Kalau pas sore ramainya masih masuk akal, ya? Nggak kayak pas siang.”
Raden mengangguk setuju.
“Oh, di ujung jalan situ,” Julian menunjuk pertigaan yang masih berjarak dua puluh meter di depan, “Belok kiri dikit, terus masuk jalan kecil deket toko buah—tau nggak?”
“Toko buah...” Raden terdiam sejenak, “Oh iya tau.” Ia memperhatikan dengan seksama.
“Di samping toko buah ada jalan masuk, lurus terus, nanti ada Warung Makan Sop Daging di sana. Nggak kalah enak sama Tigarasa!”
“Masa sih?” Dua alis Raden terangkat, “Kamu udah pernah nyobain?”
Julian mengangguk mantab, “Udah. Kapan-kapan kita harus makan bareng di sana.”
Raden mengangguk antusias, “Boleh! Aku juga udah lama nggak makan sop daging.”
Tulang pipi Julian makin meninggi.
Perjalanan yang tinggal sepuluh menit itu diiringi dengan pertukaran informasi. Tentang beberapa rumah makan baru di desa ini yang belum diketahui Raden, dan beberapa rumah makan baru di Kota Mawar yang belum diketahui Julian.
Mentari berdiri kokoh di atas kepala. Kendaraan lalu lalang dengan kecepatan lima puluh kilometer per jam.
Langkah kaki Raden satu meter per detik. Dan di sampingnya, Julian tengah memperlambat langkah agar suara Raden tak tertelan deru motor dan hembus angin.