Peluk
CW// mention of consent
“Masuk.”
“Di rumah ada siapa?”
“Nggak ada siapa-siapa.”
ANJRIT. Jantung Regan serasa menggelinding hingga pagar rumah Musa.
Regan memasuki rumah satu lantai dengan desain minimalis. Kakinya baru saja menapaki halaman rumah yang cukup luas. Ada bebungaan disana, Regan tak tau pasti bunga apa, namun warnanya lebih dari cukup untuk memberi kehidupan di depan rumah bernuansa putih ini.
“Lo—eh kam—eh Kak Musa tinggal sendirian?”
“Sama Bunda, tapi beliau cuma pulang seminggu sekali.”
“Berdua doang?”
Musa mengangguk.
Mata Regan bergerak ragu, Oh berarti luka kemarin dari Bundanya?
“Kenapa?”
Regan menggeleng, ia menjawab dengan senyum lebarnya.
Musa menaruh tasnya di sofa. Kakinya dilangkahkan menuju ujung ruangan. Ruang tamu dan ruang keluarga di rumah ini berada di satu ruangan dengan dapur.
“Mau minum ap—”
Ucapan Musa terhenti ketika ia mendapati Regan mengikutinya sedari tadi.
“Duduk aja di sofa.”
“Hmm... oke Mus-Kak Musa.”
Regan segera berlari kecil menuju sofa ruang tamu.
Musa menahan senyum yang nyaris terbit dari bibirnya. Regan ini lucu ya?
Kaki Regan bergerak canggung, ada diam diantara keduanya. Ia sudah berada di jurang kebingungan antara ingin kabur dan penasaran setengah mati dengan apa yang akan dibicarakan Musa.
“Mau minum apa?”
“Eh? Nggak usah, Kak.”
“Beneran ni, mau minum apa?”
“Terserah lo—eh Kak Musa aja.”
Musa nyaris tersenyum, “Gue nanya beneran. Mau minum apa?”
“Lemon Yogurt Smoothie ada, Kak?”
“Nggak ada.”
“Yaudah terserah Kak Musa aja.”
Musa tak bisa menahan senyumnya, “Alright then lemon iced tea?“
“Lo bisa bikin es lemon tea?!?!”
Musa tertawa, “Nggak, ini ada serbuk instannya.”
“Oh, hehe, kirain.” Regan tersenyum canggung.
Senyum kembali terbit di ujung bibir Musa, gemesin banget muka keselnya.
Regan memandangi sekitar rumah Musa. Ada 4 pintu, dua diantaranya—mungkin—kamar tidur, salah satunya kamar mandi, dan sisanya—mungkin—pintu belakang. Dinding rumah ini sepi, tak banyak foto tergantung. Berbeda dengan rumahnya yang masih penuh—ehm, foto keluarga kecil mereka.
“Nih.” Musa menaruh nampan berisi dua es teh lemon dan beberapa kue kering. Ia duduk di seberang Regan.
Seluruh batin Regan sudah berkecamuk bimbang dengan suasana tenang yang diciptakan Musa. Ini kenapa vibes-nya jadi kayak mau arisan ya?
“Makasih Mu—eh Kak.”
Musa terkekeh, “Santai aja, panggil gue senyaman lo aja.”
“Lo—Kak Musa sukanya dipanggil apa?”
Musa terdiam sejenak, “Kak Musa sounds good.”
Sebuah senyum canggung sekali lagi mengintip dari bibir Regan, 'Senyaman lo aja' dari mana coba?
“Btw, Kak, lukanya udah sembuh?”
Mata Regan menelusuri samar keunguan di pipi Musa, masih bengkak. Hanya saja seharian ini Musa mengenakan masker—dan sepertinya ditutupi riasan? Luka di pergelangan tangan juga tertutup. Musa hari ini serba tertutup.
“Dikit lagi sembuh.”
“Itu kenapa sih, Kak?”
“Jatoh.”
“Dari?”
“Motor.”
Regan menatap sangsi.
Pertama, Regan rajin belajar. Kedua, mata pelajaran favoritnya adalah biologi. Ketiga, ia akrab dengan luka memar.
Gimana ya cara menjelaskannya? Jika luka itu memang benar karena jatuh dari motor, maka seharusnya pergelangan tangannya patah dan mukanya lecet.
Regan memilih bungkam, jika ia bahkan tak mampu menceritakan luka Mama pada Hiro, mungkin Musa juga tak mampu—atau tak mau—menceritakan lukanya pada Regan.
“Kenapa ngeliatin gitu?”
Regan terkejut, kepalanya menggeleng cepat, “Nggak, Kak.”
Ada hening diantara detik jam dinding.
Regan hanya berani menatap es kubus di es teh lemon-nya yang bergerak perlahan karena mencair.
“Kak,”
“Iya?”
“Mau ngomongin apa ya?”
Musa terdiam.
Matanya terus menatap Regan. Lelaki ini terlihat mungil diantara sofa rumahnya. Benaknya terus mempertanyakan, bagaimana tubuh sekecil ini mampu menghadirkan rasa aman sebesar itu?
Musa mampu bersikap angkuh selama ini karena pendiriannya yang kukuh. Reputasinya buruk namun nilainya tak pernah jatuh. Mulutnya tak pandai berkata namun tinjunya mampu membuat gaduh. Di arena pun posisinya selalu melesat jauh.
Intinya, Musa adalah definisi angkuh karena tangguh.
Namun sekarang, di depannya, sedang duduk lelaki mungil yang membuat rasa tangguh dalam dirinya berganti jadi rapuh.
“Kak.” Regan mulai merasa risih karena tatapan Musa semakin—ehm, intens.
“Iya?”
“Mau ngomongin apa?”
“Oh iya,” Musa terkekeh.
“Hmm... Regan, bisa minta tolong?”
Ada perasaan lega dalam benak Regan. Oke jadi cuma minta tolong, bukan diomelin apalagi ditonjok.
“Bisa,Kak, tenang aja. Papa selalu bilang kalau ada orang minta tolong harus kita tolongin.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Kalau minta maaf?”
Dahi Regan mengernyit, “Ya dimaafin.”
“Kalau minta peluk?”
“Ya dipe—hah?”
Regan membeku, mulutnya ternganga.
Musa menggigit bibir bawahnya, “Hmm... boleh?”
“A—apa, Kak?”
“Boleh minta peluk?”
Regan menelan ludahnya, “Hmm...”
“Kata Laut gue nggak boleh sembarangan meluk orang, harus ada persetujuan dari kedua pihak.”
“Oh gitu ya, Kak?” Mata Regan melirik panik, tak tau kemana arah pembicaraan ini.
“Lo kemarin udah meluk gue tanpa ijin.”
Suara Hiro langsung terngiang di kepala Regan, CEPET MINTA MAAF DULUAN!
“Maaf, Kak.”
“Nggak.”
Regan mencengkeram kain celananya kuat.
“Gue mau meluk lo tanpa ijin, biar impas.”
Lengang. Bahkan detik jam dinding tak lagi berdenting di telinga Regan.