Perayaan Ulang Tahun
Perumahan Red Hills semakin berkembang pesat tiap tahunnya. Setahun lalu, saat terakhir Raib mengunjungi perumahan ini, ada sekitar lima rumah baru. Sekarang, ada sembilan rumah baru dan satu pusat perbelanjaan. Bahkan hutan di kanan-kiri jalan—pepohonan rimbun sebelum memasuki rumah Hugo—sudah berganti menjadi empat toko besar.
Dapat dikatakan, perumahan Red Hills membangun kotanya sendiri.
Raib sudah menyelesaikan perbincangan ringan dengan Pak Jo saat mobil mereka memasuki halaman rumah Hugo. Rumah ini tak banyak berubah, toh apalagi yang mau dirubah?
Rumah ini menggunakan desain klasik yang tetap akan terlihat mewah bahkan hingga puluhan tahun ke depan—campuran gaya The Victorian dan Colonial.
Raib turun dari mobil, memandangi rumah berwarna cokelat dengan menara di ujung kanan-kiri. Ada dua pilar besar yang menyangga bagian tengah rumah.
“Raib,” Kania menyambut Raib di ruang tamu, “Apa kabar?” Tangannya diulurkan, memberi pelukan singkat.
“Baik, Kania,” Raib membalas pelukan Kania, “Kamu apa kabar?”
“Baik,” Kania menunjuk bagian ujung matanya, “Tapi kerutan makin banyak.”
Raib tertawa. Sebenarnya penampilan Kania tak setua umurnya, hanya ada garis halus di bawah mata yang justru menambah ketegasan wajah.
Hari ini Kania mengenakan kemeja putih polos yang dipadu dengan rok lipit tiga perempat, rambutnya digulung rapi.
“Langsung duduk aja,” Kania menggiring Raib menuju ruang makan, “Kata Jo, kamu nanti nggak bisa lama-lama ya?”
Raib mengangguk, “Iya,” Ia duduk di salah satu kursi yang mengitari meja makan besar, “Udah denger kabar Jaksa Juki meninggal?”
“Udah, of course, kabarnya langsung nyebar di kota sini, heboh banget,” Kania ikut duduk di seberang Raib, “Kamu mau minum apa?”
“Jangan kopi, Nyonya, tadi Raib sempat meminum kopi di mobil.” Pak Jo yang menjawab, ia baru saja mengecek kondisi dapur.
“Udah kamu kasih minum kopi pagi-pagi gini?” Kania menoleh pada Pak Jo, “Jo, kan perutnya masih kosong, jangan sembarangan rusak lambung orang.”
Raib terkekeh, “Nggak apa-apa, kan nggak tiap hari.”
Pembicaraan terus berlanjut dengan topik-topik ringan. Kania masih sibuk mengurus anak perusahaan di Neo. Sementara Bima dan Jibran bertanggung jawab untuk induk perusahaan di Jepang.
“Bentar lagi mereka sampai,” Kania melirik jam tangan, “Mungkin setengah jam lagi.”
Sesekali Kania mengeluhkan beberapa hal.
“Keluarga ini sibuk banget, semuanya jarang di rumah, mungkin Jo lebih sering di rumah ini dari pada yang lain,” Wanita itu tertawa, “Inget ya, Raib, kalau kamu capek kerja jauh-jauh, Sadewa selalu terbuka buat kamu.”
Raib membalas dengan anggukan canggung. Ini bukan kali pertama Kania mengingatkan Raib bahwa ia adalah bagian dari Sadewa. Bahkan dulu, saat Raib belum terlalu dekat dengan keluarga Sadewa, ia sudah ditawari menjadi Kepala Divisi di salah satu anak perusahaan Sadewa—walau Raib belum lulus kuliah.
Suara seorang lelaki dan derap langkah terdengar dari kejauhan.
“Halo, iya ini sarapan dulu. Minta Pak Ramli buat nunda rapat satu jam, bilang aja gue ada acara penting.”
Raib dan Kania menoleh, mendapati Yahya memasuki ruang makan.
“Bunda-Ayahmu kemana?” Kania mempersilakan Yahya menduduki kursi di samping Raib.
Beberapa pelayan langsung datang menyajikan buah-buahan. Acara 'Perayaan Ulang Tahun Hugo' akan segera dimulai.
“Bunda masih tidur, tadi malem nggak bisa tidur,” Yahya memasukkan ponsel di saku, “Ayah ada sidang.”
“Sidang?” Kania menaikkan satu alis.
“Sengketa tanah—”
“Oh, iya.” Kania mengangguk paham.
Yahya menoleh, menepuk lengan Raib, “Sampe sini jam berapa?”
“Baru aja,” Jawab Raib, “Bunda lo kenapa nggak bisa tidur?” Tanyanya—setengah basa-basi,setengah cemas.
“Nonton drama.” Jawab Yahya singkat, ia meraih gelas berisi air putih, meminumnya.
Pembicaraan terus berputar di meja makan.
Dua tahun belakangan, Yahya bekerja di salah satu anak perusahaan Sadewa. Raib hanya bertemu dengan Yahya setahun sekali, melalui acara makan bersama seperti pagi ini.
“Gue bakal pindah ke Quo minggu depan.”
Raib yang sedang menikmati teh langsung tersedak, “Ngapain?”
Kania tertawa, “Kerja lah, Raib, apa iya Yahya ngikutin kamu?”
Yahya mengangguk, “Ada client mau buka perusahaan di Quo, gue sama tim gue harus kesana buat bikin analisis kelayakan.”
Raib mengangkat alis sekilas, tanda ia paham, “Kenapa sampe pindah?”
“Dikira bangun perusahaan semalem langsung jadi? Paling sekitar dua-tiga bulanan lah gue di sana.” Yahya menoleh pada Pak Jo, meminta kopi panas.
Satu gelas kopi panas disajikan di depan Yahya.
“Jo, kayaknya kamu duduk sekarang aja, deh. Sisanya biar diurus yang lain.” Ujar Kania pada Pak Jo.
Pak Jo mengangguk, ia memilih duduk di samping Raib, “Permisi, Raib.”
Raib tersenyum, mempersilakan Pak Jo menempati kursi kosong di sampingnya.
Ketika Pak Jo baru saja mendudukkan diri, dua orang lelaki memasuki ruang makan.
“Mamaaaa!”
Jibran—baru saja datang dengan piyama berwarna abu-abu.
“Kok pakai piyama?!” Kania melotot.
“Baru bangun.” Bima yang menjawab, ia menghampiri Kania, memeluknya singkat.
Jibran berganti memeluk Kania, erat dan lama, “Miss you, Mam.”
Kania terkekeh, membalas pelukan Jibran, “Miss you too, tapi kita terakhir ketemu seminggu yang lalu, kan?”
Jibran melepas pelukan, menyapa Raib, Yahya, dan Pak Jo lalu duduk di samping Kania.
“Raib, Jaksa Juki beneran meninggal?” Bima bertanya, ia duduk di samping Jibran.
Raib mengangguk, “Pagi kemarin.”
“Kamu kenal, Pa? Kirain cuma aku doang yang kenal.” Kania menoleh pada Bima.
“Dia kakak kelasku SMA.” Jawab Bima, tangannya sibuk menggulung lengan kemeja, “Sebelum ditugasin di Quo, dia sempet kerja di Kejaksaan Neo.”
Pembicaraan dilanjutkan dengan membahas Jaksa Juki lalu berganti pada beberapa hal menarik yang ditemukan Jibran di Jepang. Adik Hugo itu selalu memiliki kisah menarik tiap mereka berkumpul.
Jibran memimpin salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan sambil mempelajari cara mengelola perusahaan induk dari Bima.
Benar. Sadewa mulai melebarkan sayap di dunia pendidikan—bidang yang awalnya tak akan mereka masuki karena menghormati Golda Group. Namun, sejak insiden delapan tahun lalu, perang dingin Sadewa dan Golda terus berlanjut hingga puncaknya, Sadewa mulai membuka jasa pelatihan yang lama-lama berkembang menjadi akademi. Menjamah bidang pendidikan dan melebarkan sayap di sana.
“Karena udah kumpul semua, kita mulai sekarang ya?” Kania bergantian memandangi orang-orang di meja makan. Setelah semua setuju, ia menoleh pada beberapa pelayan yang stand by, meminta hidangan sarapan untuk disajikan.
Waffle. Pancake. Salad. Nasi goreng. Omelet. Brioche. Dan kue ulang tahun. Nasi. Sup Miso. Ikan panggang.
Banyak.
Setelah disajikan, semua orang mulai menyantap makanan sambil membicarakan hal-hal ringan. Tentang sedikit pengalaman menarik setelah setahun tak berjumpa atau harga barang yang makin melambung tiga tahun belakangan.
Inilah Perayaan Ulang Tahun Hugo yang dilakukan tiap tahun.
Makan bersama.
Awalnya semua terasa canggung. Bahkan saat pertama kali acara ini dilakukan, semua orang menangis di meja makan.
Lama kelamaan, acara ini lebih seperti kebiasaan tahunan untuk berkumpul, saling mengabari, dan memberi pesan bahwa siapapun yang berada di meja ini adalah bagian dari Keluarga Sadewa.
Setelah acara makan bersama selesai, biasanya beberapa orang akan tetap tinggal untuk berbincang lebih lama. Beberapa langsung pergi untuk melanjutkan urusan.
Sementara Raib, akan tinggal beberapa saat untuk memandangi foto Hugo yang terpampang di kamar.
Foto tu dipasang di dinding yang dulu sering digunakan Hugo untuk menggantung lukisannya saat berpikir.
Raib tak lagi menyimpan foto Hugo. Dulu, ia selalu menyimpan dan memotret foto Hugo yang ia lihat, entah itu dari album foto keluarga atau dari ponsel Keluarga Sadewa. Namun lima tahun belakangan, Raib memutuskan untuk benar-benar melepas Hugo.
Raib akan mengenang Hugo, secukupnya. Seperti sekarang.
Tanpa sadar, bibir Raib terangkat. Melihat cara Hugo tersenyum selalu menenangkan. Lihat bagaimana Hugo memiringkan kepalanya.
Lucu.
“Saya masih bingung.”
Raib menoleh, mendapati Pak Jo sedang berdiri di sampingnya, entah sejak kapan.
“Bagaimana bisa kamu terlihat sedekat ini dengan Hugo padahal dia cuma mampir beberapa kali di mimpi kamu, Raib?” Lanjut Pak Jo.
Raib berdeham, mengusap rambut ke belakang, “Kayaknya dulu aku bener-bener nyelidikin Hugo, sampe rasanya aku udah lama kenal dia.”
Pak Jo tersenyum, “Itu yang selalu membuat saya kagum sama kamu, Raib.” Ia menyilangkan tangan di depan dada, “Kamu selalu bersungguh-sungguh di segala hal.”
Raib melirik sekilas Pak Jo yang menoleh padanya, “Makasih, Kak.” Tersenyum simpul.
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat.
“Raib,”
Suara Pak Jo memecah keheningan.
“Kamu tau, lamaran saya sejak dua tahun lalu masih berlaku.”
DEG!
Raib menoleh, “Eh—” Salah tingkah saat matanya bertemu langsung dengan mata Pak Jo, “Aku—”
“Tenang, Raib.” Pak Jo terkekeh, “Saya tau kamu masih berusaha mengejar karir dan melakukan banyak hal hebat di luar sana,” Wajahnya sedikit dicondongkan pada Raib, “Tapi kapanpun kamu butuh saya, saya selalu siap.”
Wajah Raib bersemu merah, ia kembali mengusap rambut untuk menghilangkan rasa gugup, “Anakmu tiap tahun nambah terus, Kak. Aku bisa pusing.”
Pak Jo tertawa, “Mereka anak asuhku, Raib. Kamu tau aku cuma bertindak sebagai wali.”
Tentu, Raib tau. Ia hanya beralasan agar suasana tak berubah menjadi canggung.
Pak Jo orang yang baik. Ia ditugaskan oleh Kania untuk menjaga dan mengantar-jemput Raib keluar-masuk Neo.
Entah sejak kapan, Raib dan Pak Jo mulai bertemu di luar keperluan. Pak Jo kadang mengajak makan siang atau sekadar minum kopi.
Dan dua tahun lalu, akhirnya Raib tau, Pak Jo tertarik padanya.
Namun sayangnya, Raib sudah tak tertarik pada Pak Jo. Tentu, ia senang berbincang dengan Pak Jo, lelaki itu cerdas dan pembawaannya tenang. Tapi untuk menjadi pacar—bahkan pendamping hidup? Raib tak tau. Ia kehilangan minat pada banyak hal setelah ditinggal Hugo. Untuk sekarang, Raib hanya tertarik pada pekerjaannya.
Suara tawa Pak Jo terdengar—membuyarkan Raib dari lamunannya, “Maaf, saya bikin suasana jadi canggung ya?”
Raib menggeleng cepat, “Enggak.”
“Mau saya antar pulang sekarang?”
Raib mengangguk cepat.
Pak Jo tersenyum—langsung tau, Raib sedang merasa canggung.