Perfect Relationship (doesn't exist)

CW // kissing ; giving hickey TW // Toxic relationship; violence; guilt tripping; lack of self-esteem

“Ngobrol di kamar aja.” Regan menutup pintu ruang tamu, menunjuk kamarnya dengan lirikan mata.

By, maaf...”

Regan abai, ia berjalan lebih dulu ke dalam kamar. Musa menyusul kemudian.

Pintu kamar ditutup.

Regan berjalan menuju samping ranjang, berdiri disana.

Dalam hati Regan tau, mungkin pembicaraan ini tak akan berjalan mulus. Mungkin ada lebih banyak hal selain pembicaraan yang harus ia hadapi.

Matanya menatap Musa yang berdiri di depan pintu. Keduanya bersitatap tanpa berucap.

Cahaya matahari ikut duduk dalam ruangan mengamati dua insan yang enggan memulai pembicaraan.

“Maaf, By,” Suara Musa akhirnya terdengar, “Aku beneran nggak maksud buat nyakitin kamu atau ngatain kamu—”

Regan mengangkat telapak tangannya saat Musa melangkahkan kaki padanya, “Kamu disitu aja. Jangan deket-deket.”

By—”

“Kak, kayaknya ada yang salah di hubungan kita.”

Alis Musa saling bertaut, “By, listen, i'm sorry for what i did, but it doesn't mean hubungan kita ada yang salah, okay?”

“Ada yang salah, Kak. Kamu berubah setelah kita pacaran.”

Mata Regan beradu cukup lama dengan mata Musa yang tersesat pada resah. Sangsi pada kata yang lolos dari mulut Regan.

“A—aku? berubah? maksud kamu apa?”

Mata Musa menuntut penjelasan.

Regan meremat jari-jarinya sendiri, telapak tangannya terasah basah, tangannya yang lain sibuk menghitung kemungkinan-kemungkinan dari kata yang akan ia ucapkan.

“Aku kurang apa, By?”

“Ng—Nggak, Kak. Bukan itu. Kamu masih senyum sama aku, kamu masih perhatian sama aku, tapi kamu bukan Kak Musa yang—”

Regan menghirup udara banyak-banyak di sekitarnya, mencari seluruh sisa nyali di sela ketakutan yang mengitarinya.

“Aku mulai ngerasa asing sama kamu, Kak...” Ucapnya seiring dengan hembusan nafas yang panjang.

No...No...” Musa mendekati Regan perlahan. Jemarinya berusaha menggapai tangan Regan yang mengepal.

Regan sayang, dengerin aku.”

Tangan Musa beralih menangkup wajah kecil Regan, membuat mata keduanya beradu.

“Aku masih sama. Aku masih sayang banget sama kamu, jangan mikir yang aneh-aneh, ya?” Diusapnya pipi Regan lembut.

Musa membawa Regan pada dekapnya, “Maaf, maaf banget aku udah ngomong hal yang nggak baik ke kamu... maaf banget...” Tangannya membelai surai Regan perlahan.

Musa melepas dekapnya, tangannya mengusap bahu Regan lembut. Ia menatap mata Regan dalam.

“Aku minta maaf, akhir-akhir ini aku keterlaluan ya?”

Regan menggigit bibir bawahnya.

Tangannya menepis jemari Musa yang melekat di pundaknya, “Kak, we need to talk—”

Bibir Musa lebih dulu membungkam Regan sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, mengapit bibir bawah Regan lalu mengulumnya lembut.

Musa memejamkan matanya.

Tangannya mulai naik sedikit demi sedikit, mengusap pipi Regan perlahan.

Regan terdiam.

Oh, I miss you.” Ucap Musa diantara ciumnya.

Dari nadanya, Regan tau Musa tersenyum saat mengucapnya.

Tanpa sadar, Regan mulai memejamkan mata, menikmati permainan lidah Musa di dalam mulutnya.

Ia terbuai pada rasa manis cappuccino yang mulai menelusup di antara bibirnya.

We. need. to. talk.

Kedua mata Regan terbuka lebar, ia memundurkan kepalanya menjauhi Musa, membuat ciumannya terlepas secara tiba-tiba, memunculkan benang saliva dari ujung bibirnya.

Regan mengusap ujung bibirnya dengan punggung tangan, “Kak, we should talk.” Menekankan kata di ujung kalimatnya.

No...” Musa kembali melangkah pada Regan.

“Kak.” Regan memalingkan wajahnya saat Musa berusaha mengecup bibirnya.

Musa menghela nafas, tangannya mengusap wajah dengan gusar, “Oke, go on.”

Sebenarnya, Regan tak tau. Ia tak tau apa yang harus ia bicarakan pada Musa.

Ia hanya tau, ada yang salah.

Kata demi kata ia susun. Nafas demi nafas ia hembuskan.

If you feel something wrong, but you don't know where;why;what and how it went wrong,

Take a step back,

Regan mengambil satu langkah mundur.

And observe.

Matanya mengamati lelaki yang berdiri tak jauh di depannya.

Celana jeans hitam.

Celana yang sering Musa pakai saat mereka pergi berdua.

Celana yang sering membuat Regan menggoda Musa, Celanamu ini doang ya, Kak? dan Musa akan tersenyum menunjukkan tulang pipinya sambil mencubit pipi Regan lembut, Celanaku emang kebanyakan warna item.

Jaket hijau tua.

Jaket yang hanya Musa kenakan saat pergi terburu-buru, tak sempat memikirkan untuk berdandan.

Jaket yang katanya selalu tergantung di belakang pintu.

Jaket yang membuat Regan terbuai dengan wangi lavender dan sedikit sentuhan manis vanilla.

Jika mereka sedang belajar bersama atau sekadar duduk-duduk di pinggir pantai, Musa akan memberikan jaketnya pada Regan, membiarkan Regan tenggelam dalam aroma khas kekasihnya.

Telapak tangan.

Telapak tangan yang ukurannya lebih besar dari milik Regan.

Sini liat tanganmu, kata Musa saat mereka sedang duduk menikmati keramaian jalanan sambil menikmati kopi pinggir jalan.

Tanganmu kecil banget! Lanjutnya, terkejut saat membandingkan telapak tangannya dengan kekasihnya.

Kalau tangannya kecil gini, harus ada tangan lain yang ngelindungin, sini, Musa menggenggam jemari mungil Regan.

Jangan pernah dilepasin, ya? Musa memamerkan senyum dan genggaman tangannya pada seluruh dunia.

Matanya yang bulat.

Mata yang selalu memberinya sorot kasih tanpa pamrih. Menatapnya seolah seluruh dunia terpusat padanya.

Kak, kenapa sih ngeliatin terus? malu, lalu Musa akan dengan senang hati menjawab, Nggak tau? kamu ada magnetnya ya? ayo ngaku organ dalammu magnet semua ya? abisnya kamu menarik banget!

Oh, tidak.

Regan menelan ludahnya.

Apa yang salah?

Keringat dingin mulai menetes di ujung kening Regan.

Semuanya keliatan baik-baik aja, apa yang salah?

Kalau nggak ada yang salah di Kak Musa...

...gue yang salah?

Regan menggelengkan kepalanya cepat. Nggak.

“Regan,” Suara Musa memanggil, “Are you okay?

Musa melangkah mendekat. Wajah Regan terlalu pucat untuk ia abaikan.

“Kamu butuh apa, bilang aja.” Tangan Musa merengkuh kedua lengan Regan.

Regan mengernyitkan dahinya. Bahkan gurat cemas di wajah Musa tetap lah gurat cemas yang membuat Regan merasa ingin berada dalam dekap selamanya.

Lalu apa yang salah?

Kepala Regan berdenyut.

Ada yang salah namun ingatnya tak mampu menemukan jawab.

Ada yang kurang, di hubungan ini...

Seluruh kepala Regan bekerja keras. Ada ribuan mungkin yang harus ia telusuri.

“Kak,” Ucap Regan pada akhirnya,

“Aku butuh waktu buat sendiri dulu.”


Mata Musa membulat, “Putus?”

Bukan. Bukan ini yang diharapkan Musa saat ia diam-diam keluar rumah agar Bunda tak menyadari kepergiannya.

Regan mengangguk.

Kacau.

Pikiran Musa kacau. Apa yang salah?

“Kenapa tiba-tiba?” Musa mencengkeram lengan Regan.

“Kak, kita butuh waktu buat, mikir, ada yang salah di hubungan kita.”

Musa menggigit bibir bawahnya.

“Kamu tau apa yang salah?”

Regan menggeleng.

Tentu. Tentu tak ada yang salah dari hubungan mereka. Kemarin mereka masih tertawa bersama dan masih memberi kasih satu sama lain. Pagi tadi mereka masih saling mengucap salam dan menanyakan kabar.

“Kamu yang salah karena kamu milih putus.” Ucap Musa kemudian.

Mungkin memang ada yang salah pada Regan. Ada yang salah saat Regan akhir-akhir ini mulai membuatnya marah, mulai membuatnya merasa tak didengarkan, mulai membuatnya merasa... tak diinginkan.

Seolah kurang jauh jarak yang dibuat Regan, kini kekasihnya ingin memutus hubungan mereka.

“Regan,” Musa menghela nafas, ada gumpalan pekat di rongga dadanya yang bisa meledak kapan saja, seluruh kepalanya belum mampu menerima apapun yang ia dengar baru saja.

There is no perfect relationship. Nggak ada hubungan yang sempurna, yang isinya cuma ketawa dan seneng-seneng.” Musa mengusap pipi Regan perlahan.

Musa menatap mata Regan dalam.

Sometimes, it's soft.” Musa mengecup bibir Regan. Menyapu bibir kekasihnya dengan usapan lidahnya yang lembut.

Sometimes, it's full of...” Musa mendorong Regan lebih dekat padanya, bibirnya didaratkan pada sisi leher Regan. Membuat Regan menjenjangkan lehernya, “love,” Musa meninggalkan bekas-bekas merah di leher Regan.

“Kak...” Regan mendorong Musa menjauh, namun tenaganya tak lebih besar dari Musa.

Sometimes, it's ticklish...” Musa meniup leher Regan, membuat Regan sekali lagi mendorong Musa namun tangan Musa menahannya menjauh.

Sometimes, it bites.” Leher Regan diberi gigitan kecil oleh Musa.

Regan menggigit bibir, menahan desahnya.

Musa melepas bibirnya dari leher Regan.

Derus nafasnya menyapu permukaan leher Regan, menimbulkan sensasi hangat dan geli di saat yang sama.

Sometimes, it's suffocating.”

Mata Regan membulat saat merasakan jemari Musa melingkar di lehernya. Menekannya kuat dan perlahan.

“K—” Tenggorokan Regan terasa menyempit.

Seluruh darah di kepalanya terasa menghilang. Kebas dan menegang.

Tangannya berusaha menggapai dan memukul tangan Musa yang masih berada di lehernya.

Musa mengeratkan cekikannya.

Mata Regan terasa berat, kamarnya yang terkena sinar matahari berubah menjadi gelap dan kabur.

Hingga Musa melepas cekikannya.

Regan terjatuh di lantai. Mulutnya meraup oksigen sebanyak mungkin hingga ia tersedak.

Kepalanya terasa hangat dan kesemutan.

Perutnya bergejolak, Regan mual.

Let me ask you,” Musa berjongkok di depan Regan. Tangannya menyentuh ujung dagu Regan.

“Coba inget semua yang pernah kita lewatin. Lebih banyak mana, seneng atau sedih?”

Regan masih terbatuk dan mengatur nafasnya. Tenggorokannya tercekat bahkan untuk membalas ucapan Musa.

“Kak,” Suara Regan parau.

We need a break.